Latar Belakang
Alquran adalah kalimat-kalimat Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam melalui Malaikat Jibril ‘alaihi salam
sebagai pedoman hidup umat manusia hingga akhir zaman. Membaca kumpulan
ayat yang diawali dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas ini
merupakan suatu amal ibadah yang mulia dan berpahala. Berbagai macam ilmu
pengetahuan, hukum, kaidah, perintah, larangan, maupun petunjuk lain yang
terdapat di dalam Alquran telah Allah jamin kesuciannya dari segala jenis fitnah
dan upaya musuh-musuh Islam yang hendak mengubah, merusak, maupun
memusnahkannya.
Surah An-Nur, yang bermakna cahaya, merupakan surah ke-24 dalam
urutan Mushaf Utsmani. Surah ini memiliki 64 ayat dan tergolong surah
Madaniyah. Sebagaimana surah Madaniyah lainnya, An-Nur berisi hukum-
hukum, etika, serta bukti-bukti kekuasaan Allah di langit dan bumi.
Secara singkat, surah ini mengobati satu sisi dari sisi-sisi kemasyarakatan,
yaitu masalah keluarga dan bahaya yang mengancamnya dan permasalahannya
yang menyebabkan keluarga roboh kemudian hancur berantakan. Ditambah lagi
etika-etika yang luhur, hikmah-hikmah yang tinggi, dan arahan-arahan yang lurus
menuju pokok-pokok hidup yang utama nan mulia. Itulah sebabnya, Amirul
Mukminin Umar bin Al-Khaththab mengirimkan surat kepada penduduk Kufah:
“Ajarkan surah An-Nur kepada kaum wanita kalian.”1
Menurut Agus Purwanto (2018: 26), ayat-ayat yang membahas tentang
hukum di Alquran berjumlah seperlima dari ayat-ayat kauniyah. Para ulama dan
umat Islam secara umum lebih memfokuskan energinya untuk mengupas ayat-
ayat hukum sehingga ayat-ayat kauniyah yang berjumlah sangat banyak sering
kali terabaikan.
1
Muhammad Ali ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, terj. KH. Yasin, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2020), jilid 3, hlm. 590.
135
Surah An-Nur menghimpun beberapa ayat kauniyah, seperti dalam ayat 41-
45:
يم مِب َاِ ِ ٍ ِ َّ َأن اللَّه يسبِّح لَه من يِف
َ ِص اَل تَهُ َوتَ ْس ب
ٌ يحهُ ۗ َواللَّهُ َعل َ ض َوالطَّْي ُر
َ صافَّات ۖ ُكلٌّ قَ ْد َعل َم ِ اَأْلر
ْ الس َم َاوات َو ْ َ ُ ُ َ ُ َ َّ َأمَلْ َتَر
ِ ِ ض ۖ وِإىَل اللَّ ِه الْم ِ َّ ك ِ
ُ َِّأن اللَّهَ يُْزجي َس َحابًا مُثَّ يَُؤ ل
ُف َبْينَ ه َّ ) َأمَلْ َتَر٤٢(ُصري َ َ ِ اَأْلر
ْ الس َم َاوات َو ُ ) َوللَّ ِه ُم ْل٤١( َي ْف َعلُو َن
ِ ِ ٍ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ َّ مُثَّ جَي علُ ه ر َكام ا َفَت رى الْ و ْد َق خَيْ رج ِمن ِخاَل ِلِه ويَن ِّز ُل ِمن
ُيب بِه َم ْن يَ َش اء
ُ الس َماء م ْن جبَ ال ف َيه ا م ْن َب َرد َفيُص َ َُ ْ ُُ َ َ ً ُ ُ َْ
ِك لَعِْب َر ًة ُأِلويِل
َ َّه َار ۚ ِإ َّن يِف َٰذل
َ ب اللَّهُ اللَّْي َل َوالن ِ َ ْاد َسنَا َب ْرقِ ِه يَ ْذ َهب بِاَأْلب
ُ ص ِرفُهُ َع ْن َم ْن يَ َشاءُ ۖ يَ َك
ُ ِّ) يُ َقل٤٣( ص ار ُ ْ ََوي
ِ ْ) واللَّه خلَ ق ُك َّل دابٍَّة ِمن م ٍاء ۖ فَ ِمْنهم من مَيْ ِش ي علَى بط٤٤( اَأْلبص ا ِر
نِه َوِمْن ُه ْم َم ْن مَيْ ِش ي َعلَ ٰى ِر ْجلَنْي ِ َوِمْن ُه ْم َ ٰ َ َْ ُْ َْ َ َ َ ُ َ َْ
َم ْن مَيْ ِشي َعلَ ٰى َْأربَ ٍع ۚ خَي ْلُ ُق اللَّهُ َما يَ َشاءُ ۚ ِإ َّن اللَّهَ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير
136
Ayat-ayat di atas menyebutkan berbagai macam bukti kekuasaan Allah,
mulai dari makhluk ciptaan-Nya di langit dan bumi, proses turunnya air dari
langit, serta pergantian siang dan malam. Sebagai makhluk Allah yang telah
diberikan akal untuk berpikir, mata untuk melihat, dan telinga untuk mendengar,
maka ayat-ayat tersebut harus dikaji lebih dalam dan menyeluruh sebagai bentuk
syukur kita terhadap apa yang telah dianugerahkan kepada kita. Sebab, syukur
memiliki banyak bentuk. Menerima dengan lapang dada tanpa mengeluh terhadap
rezeki pemberian Allah merupakan bentuk syukur yang dilakukan hati, sedangkan
berpikir dan berusaha mencari hikmah merupakan bentuk syukur akal pikiran kita.
Oleh karena itu, penulis membuat judul “Kajian Tafsir Tahlili Surah An-
Nur Ayat 41-45” sebagai pembelajaran bagi penulis dan para pembaca dalam
memahami keagungan kuasa Allah Subhanahu wata’ala di langit dan bumi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah
yaitu:
1. Bagaimana penafsiran Surah An-Nur ayat 41 dengan metode
analisis/tahlili?
2. Bagaimana penafsiran Surah An-Nur ayat 42 dengan metode
analisis/tahlili?
3. Bagaimana penafsiran Surah An-Nur ayat 43 dengan metode
analisis/tahlili?
4. Bagaimana penafsiran Surah An-Nur ayat 44 dengan metode
analisis/tahlili?
5. Bagaimana penafsiran Surah An-Nur ayat 45 dengan metode
analisis/tahlili?
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
137
1. Mengetahui penafsiran Surah An-Nur ayat 41 dengan metode
analisis/tahlili.
2. Mengetahui penafsiran Surah An-Nur ayat 42 dengan metode
analisis/tahlili.
3. Mengetahui penafsiran Surah An-Nur ayat 43 dengan metode
analisis/tahlili.
4. Mengetahui penafsiran Surah An-Nur ayat 44 dengan metode
analisis/tahlili.
5. Mengetahui penafsiran Surah An-Nur ayat 45 dengan metode
analisis/tahlili.
Pembahasan
A. Tafsir Surah An-Nur ayat 41
2
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, terj. Arif Rahman Hakim, dkk, (Surakarta:
Insan Kamil, 2015), jilid 7, hlm. 421, cet. 2.
138
penyaksian. [ التسبيحyakniبِّحW ] يسpenyucian pada Dzat-Nya, perbuatan-perbuatan-
Nya, dan sifat-sifat-Nya dari segala yang tidak layak bagi-Nya.3
Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa pesan yang
terdapat pada firman Allah (“ )ألم ترTidaklah kamu tahu,” ditujukan kepada Nabi
Shalallahu ‘alaihi wasallam, dimana maknanya adalah, tidaklah engkau tahu –
makna harafiyahnya adalah, tidakkah engkau melihat–. Meskipun pesan itu
ditujukan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, namun yang dimaksud
darinya adalah semua orang.
هّٰللا
ِ “ )اَ َّن َ يُ َسبِّ ُح لَه َم ْن فِى السَّمٰ ٰوBahwa Allah, kepada-Nya bertasbih apa yang di
(ت
langit” maksudnya adalah, para malaikat. (ض ِ ْ“)وااْل َرDan
َ bumi,” maksudnya
adalah, jin dan manusia.4
3
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, terj. Amir
Hamzah Fachruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011) jilid 7, hlm. 906.
4
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Asmuni dan
Mukhlis Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2018) jilid 12, hlm. 719.
5
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, dkk. (Jakarta:
Gema Insani) jilid 9, hlm. 547.
6
Ibid.
7
Ibid, h. 548
139
Menurut satu pendapat, kepakan sayap yang dilakukan burung adalah
shalatnya, dan suaranya adalah tasbihnya. Inilah pendapat yang diriwayatkan oleh
An-Naqqasy.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan tasbih di sini adalah jejak-
jejak penciptaan yang dapat dilihat pada makhluk. Makna فّتWWW صadalah
mengembangkan sayap di udara.
َ “ ) ُك ٌّل قَ ْد َعلِ َمMasing-masing telah menegtahui (cara) shalat dan
(صاَل تَه َوتَ ْسبِ ْي َحه
tasbihnya.” Boleh saja makna firman Allah ini adalah, masing-masing, Allah
Subhanahu wata’ala telah mengetahui shalat dan tasbihnya, yakni mengetahui
shalatnya orang yang shalat dan tasbihnya orang yang bertasbih.8
Sedangkan Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitab tafsirnya, bahwa
semua makhluk telah diajari cara dan metode beribadah kepada Allah. Kemudian,
Allah mengabarkan bahwa Dia Maha Mengetahui semua itu, tidak ada satu pun
yang tersembunyi dari-Nya. Oleh karena itu, Allah berfirman ()وهللا عليم بما يفعلون
''Dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.". 9
“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah
kembali (semua makhluk).”
Allah mengabarkan bahwa kepunyaan-Nyalah langit dan bumi, Dialah
Hakim yang mengatur, Ilah yang berhak diibadahi, ibadah tidak patut ditujukan
kecuali kepada-Nya semata, tidak ada satu pun yang dapat menyanggah
keputusan-Nya. Firman Allah, (يرWW“ )وإلى هللا المصDan kepada Allah-lah kembali
(semua makhluk),” pada hari Kiamat, Dia menghukum menurut kehendak-Nya.10
8
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Asmuni dan
Mukhlis Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2018) jilid 12, hlm. 719-721
9
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, terj. Arif Rahman Hakim, dkk, (Surakarta:
Insan Kamil, 2015), jilid 7, hlm. 422, cet. 2.
10
Ibid, hlm. 422.
140
C. Tafsir Surah An-Nur ayat 43
ِ َأن اللَّه ي ز ِجي س حابا مُثَّ ي لِّف بينَ ه مُثَّ جَي علُ ه ر َكام ا َفَت رى الْ و ْد َق خَي ْ رج ِمن ِخاَل
لِه َويَُن ِّز ُل ِم َن ْ ُُ َ َ ً ُ ُ َ ْ ُ َْ ُ َ َ ً َُؤ ْ ُ َ َّ َأمَلْ َت َر
ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ َّ
ُ ص ِرفُهُ َع ْن َم ْن يَ َش اءُ ۖ يَ َك ُاد َس نَا َبْرقِه يَ ْذ َه
ب ْ َيب بِه َم ْن يَ َش اءُ َوي
ُ الس َماء م ْن جبَ ال ف َيه ا م ْن َب َرد َفيُص
َ ْبِاَأْلب
صا ِر
141
(هٗ ُر َكا ًماWWُ )ثُ َّم يَجْ َعلAllah menjadikannya saling bertumpang tindih, yang satu
diatas yang lain.15
َ )فَتَ َرى ْال َو ْدHujan akan keluar melalui celah-celahnya, yang
( ِهWِ ُر ُج ِم ْن ِخاَل لWق يَ ْخ
terjadi karna penumpukkan.16
(ال فِ ْيهَا ِم ۢ ْن بَ َر ٍد
ٍ َ“ ) َويُنَ ِّز ُل ِمنَ ال َّس َم ۤا ِء ِم ْن ِجبDan Allah (juga) menurunkan (butiran-
butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-
gunung.” Sebagaian ahli nahwu mengatakan ِمنyang pertama untuk menunjukkan
permulaan, sementara ِمنyang kedua untuk menunjukkan bagian, sementara yang
ketiga untuk menunjukkan jenis.17
Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa huruf jar ( َ ) ِمنyang pertama berfungsi
menunjukkan makna al-Ibtidaa’. Sebab penurunan yang dimaksud bermula dari
langit.
Sedangkan huruf jarr َ ِمنyang kedua, yaitu ا ٍلWWَ ِم ْن ِجبberfungsi untuk at-
Tab’iidh (menunjukkan makna ‘sebagian’) karena al-Baraad (hujan berbentuk es)
adalah sebagian dari al-Jibaal yang terdapat di langit. Jaarr majruur ini yaitu ِم ْن
ٍ َ ِجبmenduduki posisi maf’uul bihi untuk fi’il يُنَ ِّز ُل
ال
Adapun huruf jaar yang ketiga, yaitu َر ٍدWWَ ِم ۢ ْن بadalah berfungsi untuk
menjelaskan jenis (bayanul jinsi) karena jenis al-jibaal tersebut adalah jenis al-
Baraad, yakni ( فيها شيء من بردyang di dalamnya terdapat sesuatu berupa baraad).
Kata ِم ۢ ْن بَ َر ٍدdi sini berkedudukan i’rab rafa’. Sedangkan yang me-rafa’-kannya
adalah zharf فيهاkarena zharf berkedudukan sebagai sifat untuk kata ()جبَا ٍل.
ِ
18
Sebagaimana yang sudah dikenal bersama bahwa ketika uap naik dan
diuraikan oleh panas, lalu mencapai lapisan udara dingin dan di sana tingkat
temperatur suhu dinginnya cukup kuat, awan itu akan turun dalam bentuk hujan.
Namun, jika suhu dingin yang ada sangat kuat, unsur dingin itu sampai ke bagian-
bagian uap sebelum menyatu, akan turun dalam bentuk salju. Jika tidak, akan
15
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari,
(Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004), hlm. 70.
16
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, dkk. (Jakarta:
Gema Insani), jilid 9, hlm. 547.
17
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari,
(Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004), hlm. 70.
18
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, dkk. (Jakarta:
Gema Insani) jilid 9, hlm. 545-546.
142
turun dalam bentuk butiran-butiran es. Semua itu tentunya pasti bersandar kepada
kehendak Allah Yang Maha Bijaksana.19
Setiap sesuatu yang berada di atas manusia disebut ( سماءlangit). Jadi, yang
dimaksud dengan langit di sini adalah awan mendung yang berada di atas
manusia. Sedangkan, kata (الWWW )جبadalah kinayah tentang awan yang bisa
disaksikan oleh orang yang naik pesawat terbang yang biasanya terbang pada
ketinggian lebih dari tiga puluh ribu kaki di udara di atas kumpulan awan putih
yang berakumulasi membentuk onggokan awan yang sangat besar dan menjulang
tinggi seperti gunung besar yang tinggi.20
( صيبُ بِ ِه َم ْن يَ َشا ُء َويَصْ ِرفُهُ ع َْن َم ْن يَ َشا ُء
ِ ُ“ )فَيmaka ditimpakan-Nya (butiran-butiran)
es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang
dikehendaki-Nya.” yaitu, turunnya hujan ditunda untuk mereka. Dan
ِ ُ“ فَيMaka ditimpakan-Nya,” yaitu butiran-
kemungkinan juga firman-Nya, صيْبُ بِ ٖه
butiran es tersebut sebagai balasan dari-Nya terhadap siapa saja yang
dikehendaki-Nya, karena hujan es dapat merusak buah-buah mereka dan
menghancurkan tanaman-tanaman dan pepohonan mereka. Dan Allah
memalingkannya dari siapa yang dikehendaki-Nya sebagai bentuk rahmat dari-
Nya untuk mereka.21
Kehendak dan kuasa Allah Subhanahu wata’ala untuk mengontrol proses
penurunan hujan, sehingga Dia menurunkan hujan air atau hujan butiran es dari
langit kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari para hamba-Nya sebagai rahmat
bagi mereka. Allah juga kuasa menghalanginya dari siapa yang Dia kehendaki dan
menunda hujan terhadap siapa yang Dia inginkan. Adakalanya sebagai sebuah
bencana atau sebaliknya sebagai sebuah rahmat agar buah-buahan dan bunga
bakal buah tidak rontok, tanaman dan pepohonan tidak rusak.22
19
Ibid, hlm. 547.
20
Ibid, hlm. 550.
21
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari,
(Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004), hlm. 71.
22
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, dkk. (Jakarta:
Gema Insani) jilid 9, hlm. 550.
143
(ارWWWْص ْ َه يWWW
َ ذهَبُ بِااْل َبWWW ٖ ِنَا بَرْ قWWWا ُد َسWWW“ )يَ َكKilauan kilat awan itu hampir-hampir
menghilangkan penglihatan.” Yakni, kilauan sinar kilatnya hampir-hampir saja
menghilangkan penglihatan mereka jika dipandangi dan dilihat.23
Yang lebih menakjubkan dari semua itu (proses turun hujan) adalah
penciptaan sesuatu dari lawannya, yaitu menciptakan api dari udara dingin,
sampai-sampai cahaya kilauan kilat yang terbentuk dari benturan dan pergesekan
mendung hampir-hampir bisa membutakan mata yang memandanginya karena
terlalu kuat silaunya.24
ْ
َ ( ِ)يَ ْذهَبُ بِااْل َبorang yang membaca dengan huruf ya’ di-fathah ( ُذهَبWWَ)ي
ارWْص
Sedangkan, orang yang membaca dengan huruf ya’ di-dhammah ( ُ )ي ُْذ ِهبhuruf ba’
25
tersebut adalah zaa’iddah (tambahan).
َ يَ ْذهَبُ بِااْل َ ْبDi antara kedua kata االبصارini terdapat jinaas
)صار)) (الولي االبصار
taamm. Karena yang dimaksud dengan al-Abshaar yang pertama adalah
penglihatan, sedangkan yang kedua maksudnya adalah akal dan hati.26
23
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari,
(Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004), hlm. 71.
24
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, dkk. (Jakarta:
Gema Insani) jilid 9, hlm. 550.
25
Ibid, hlm. 546.
26
Ibid.
144
panjang. Dan Allah yang Maha Mengatur semua itu, dengan kekuasaan-Nya,
kemuliaan-Nya, dan dengan ilmu-Nya.27
ُ يُقَلِّبmaksudnya اقب بينهماWWWWWW يعmempergilirkan keduanya. Ada yang
mengatakan bahwa maksudnya menambahi salah satunya dan mengurangi
lainnya. Ada yang mengatakan mempergilirkan keduanya dengan masing-masing
ketetapan yang telah diatur pada keduanya, dari sisi kebaikan dan keburukan,
manfaat dan mudharat. Ada yang mengatakan mempergilirkan dengan panas dan
dingin. Ada yang mengatakan terkadang mengganti siang dengan gelapnya awan
dan terkadang dengan cahaya matahari, serta mengganti malam dengan gelapnya
awan dan dengan cahaya bulan.
(ار
ِ صَ )ُأِلولِي اَأْل ْبpetunjuk yang jelas, bisa dijadikan pelajaran bagi setiap orang
yang memiliki penglihatan yang digunakannya.
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian
dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan
dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.”
َ َ) َوهّٰللا ُ َخل, “Dan Allah telah menciptakan semua
Firman Allah, ( ق ُك َّل د َۤابَّ ٍة ِّم ْن َّم ۤا ٍء
jenis hewan dari air,” Allah menyebutkan kekuasaan-Nya yang Maha Sempurna
dan kerajaan-Nya yang Maha Agung dengan menciptakan berbagai jenis makhluk
dalam bentuk rupa, warna, dan gerak-gerik yang berbeda dari satu unsur yang
sama, yaitu air.28 Makna اءW( من مdari air) adalah dari air mani. Demikian yang
dikatakan oleh jumhur. Segolongan mufassir mengatakan bahwa maksudnya
27
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, terj. Arif Rahman Hakim, dkk, (Surakarta:
Insan Kamil, 2015), jilid 7, h. 424, cet. 2.
28
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-
Atsari, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2004), jilid 6, h. 72, cet. 1.
145
adalah air biasa, karena Adam diciptakan dari air dan tanah.29 Berdasarkan firman
Allah ini, maka jin dan malaikat tidak termasuk ke dalam ayat ini. Sebab, kita
belum pernah mengetahui kalau mereka itu diciptakan dari air. Yang benar, dalam
hadits shahih dinyatakan bahwa malaikat itu diciptakan dari cahaya, sedangkan jin
diciptakan dari api. Mayoritas analisis berkata, “Maksudnya Allah menciptakan
setiap hewan yang mengandung air, sebagaimana Allah menciptakan Adam dari
air dan tanah.”.30
Yahya bin Watstsab, Al-A’masy, Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca dengan
lafazh ِّلWWق ُك
ُ ِ الWWَ وهللا خyakni dengan idhofah. Sedangkan yang lain membacanya
dengan lafazh ق ُك َّل َ َ َوهّٰللا ُ خَ لyakni dengan bentuk fi’il.
Menurut satu pendapat, kedua makna yang terkandung pada kedua qiraah
tersebut shahih. Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan dua berita. Dalam hal ini,
tidak boleh dikatakan bahwa salah satu dari kedua qiraah itu lebih shahih daripada
lainnya. Namun menurut satu pendapat, lafazh ( )خلقitu digunakan untuk
penciptan sesuatu yang khusus, sedangkan lafazh (القWW )خitu digunakan untuk
penciptaan sesuatu yang umum.31
Mayoritas ahli qiraat Kufah (kecuali Ashim) membacanya وهللا خالق ُك َّل د َۤابَّ ٍة.
Mayoritas ahli qiraat Madinah, Bashrah, serta Ashim membacanya وهللا خلق كل دابة
dengan me-nashab-kan ( )كلdan lafazh ( )خلقsama seperti pola kata ()فعل.
Keduanya merupakan qiraat yang masyhur dan berdekatan maknanya, karena
penambah lafazh ( )خالقmenunjukkan bahwa maknanya adalah telah lalu. Oleh
karena itu, dibenarkan membaca dengan bacaan mana saja di antara keduanya.32
ْ َ" )فَ ِم ْنهُ ْم َّم ْن يَّ ْم ِش ْي ع َٰلى بSebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas
(طنِ ٖ ۚه
perutnya," seperti ular dan sejenisnya.
29
Muhammad al-Syaukani, Fathul Qadir, terj. Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2011), jilid 7, h. 916, cet. 1.
30
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Asmuni,
Mukhlis Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2018) jilid 12, hlm. 730-731.
31
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, terj. Asmuni,
Mukhlis Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2018) jilid 12, hlm. 729-730.
32
Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, Yusuf
Hamdani, Abdush-Shamad, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2009), jilid 19, h. 221, cet 2.
146
( ْي ع َٰلى ِرجْ لَي ِْنWW" ) َو ِم ْنهُ ْم َّم ْن يَّ ْم ِشSebagian berjalan dengan dua kaki," seperti
manusia dan burung.
(" ) َو ِم ْنهُ ْم َّم ْن يَّ ْم ِش ْي ع َٰلٓى اَرْ بَ ٍعSedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat
kaki,” seperti hewan ternak dan binatang-binatang lainnya.".33
Jika ada yang berkata: Bagaimana dikatakan “ َو ِم ْنهُ ْم َّم ْن يَّ ْم ِش ْيDan sebagian
berjalan,” padahal lafazh َمنadalah untuk manusia, sedangkan semua jenis atau
kebanyakan yang disebut dalam ayat ini adalah dari jenis yang lain?
Jawabannya adalah: Itu karena semua jenis tersebut masuk dalam firman
َ W َ“ َوهّٰللا ُ خَ لDan Allah menciptakan semua jenis hewan,” termasuk
Allah, َّل د َۤابَّ ٍةWق ُك
manusia dan lainnya. Allah kemudian berfirman, “ فَ ِم ْنهُ ْمMaka sebagian dari
hewan itu,” karena berkumpul dan bercampurnya jenis manusia, binatang ternak,
dan yang lainnya. Oleh karena itu, Allah menyebut semuanya dengan منkarena
Allah telah menyebut Bani Adam dengan sebutan khusus.34
Selanjutnya tidak disebutkan hewan yang merangkak dengan lebih dari
empat kaki karena sedikitnya jenis itu.35 Ada juga yang mengatakan bahwa itu
karena berjalannya yang berkaki banyak hanya dengan empat kaki walaupun
kakinya banyak. Ada juga yang mengatakan bahwa itu karena yang berjalan
dengan lebih dari empat kaki tidak dianggap. Alasan ini tidak tepat, karena
maksudnya adalah menunjukkan kedetailan ciptaan-Nya dan kesempurnaan
kekuasaan-Nya. Jadi, bagaimana bisa dikatakan bahwa yang berjalan dengan lebih
dari empat kaki tidak dianggap? Ada juga yang mengatakan bahwa di dalam
Alquran tidak ada ayat yang menunjukkan tidak adanya sesuatu yang berjalan
dengan lebih dari empat kaki, karena memang tidak menafikan hal itu. Juga tidak
ada yang menunjukkan pembatasan dengan apa yang disebutkan ini. Kemudian
juga, di dalam Mushaf Ubay disebutkan: “ َو ِم ْنهُ ْم َّم ْن يَّ ْم ِش ْي ع َٰلى أكثرsebagian berjalan
dengan lebih dari itu,” sehingga tambahan ini mencakup semua yang berjalan
33
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-
Atsari, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2004), jilid 6, h. 72, cet. 1.
34
Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, Yusuf
Hamdani, Abdush-Shamad, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2009), jilid 19, h. 222, cet 2.
35
Muhammad al-Syaukani, Fathul Qadir, terj. Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2011), jilid 7, h. 916, cet. 1.
147
dengan lebih dari empat kaki seperti kepiting, laba-laba, dan sejumlah serangga
tanah seperti kelabang, kaki seribu, dan lain sebagainya.36
Betapa penciptaan binatang tidak menunjukkan kekuasaan Allah, sekaligus
kehendak-Nya yang mutlak. Dari satu sisi, bahan ciptaannya sama, yaitu air, tetapi
air dijadikannya berbeda-beda, lalu dengan perbedaan itu Dia menciptakan
makhluk yang memiliki potensi dan fungsi yang sungguh berbeda dengan
substansi serta kadar air yang merupakan bahan kejadiannya. 37 Dengan demikian,
ayat ini menginformasikan bahwa setiap makhluk hidup di pentas bumi ini
berkembang biak melaui sperma, meskipun bentuk dan ciri sperma yang ada pada
masing-masing makhluk itu berbeda. Di sisi lain, ayat ini juga dapat dipahami
dalam arti sarana terpenting dalam kejadian setiap makhluk adalah air kandungan
air dalam tubuh manusia -misalnya- mencapai 70% dari berat tubuhnya. Kalau
saja tubuh seseorang kehilangan 20% air, ia tidak akan dapat bertahan hidup. Air
bagi manusia lebih penting dari makanan karena seseorang dapat bertahan hidup
sekitar 60 hari tanpa makan. Tetapi diperkirakan hanya mampu bertahan 3 hari
sampai 10 hari tanpa air. Selain itu, air adalah asal mula terbentuknya darah,
cairan limpa, dan cairan sumsum yang ada di sendi. Airlah yang menyebabkan
tubuh manusia menjadi lentur. Maha Besar Allah dalam firman-Nya.38
( ۤاءW ا يَ َشWWق هّٰللا ُ َم
ُ W ُ'' )يَ ْخلAllah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya," yakni
menciptakan dengan kekuasaan-Nya, karena apa yang dikehendaki-Nya pasti
terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Oleh karena
itu, Allah menutupnya dengan firman-Nya, (" )اِ َّن هّٰللا َ ع َٰلى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌرSesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.".39 Maksudnya adalah sesungguhnya
Allah memiliki kekuasaan untuk menciptakan dan membuat makhluk yang baru
dari makhluk yang lain dan tidak ada yang mampu menghalangi kehendak-Nya.40
36
Ibid, h. 917.
37
Quraish Shihab, Tafsir A- Misbah, (Tangerang: PT. Lentera Hati, 2016), jilid 8, h. 579,
cet 1.
38
Ibid, h. 580.
39
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-
Atsari, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2004), jilid 6, h. 72, cet. 1.
40
Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, Yusuf
Hamdani, Abdush-Shamad, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2009), jilid 19, h. 222, cet 2.
148
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas antara lain adalah:
1. Surah An-Nur ayat 41 membahas tentang makhluk-makhluk Allah
yang ada di langit maupun di bumi beribadah dan bertasbih kepada-
Nya dengan berbagai cara yang diketahui oleh Yang Maha
Mengetahui segala sesuatu.
2. Surah An-Nur ayat 42 menyebutkan bahwa hanya Allah Subhanahu
wata’ala, Pemilik kerjaan langit dan bumi yang berhak disembah
dan diibadahi.
3. Surah An-Nur ayat 43 membahas tentang kekuasaan Allah dalam
proses turunnya hujan.
4. Surah An-Nur ayat 44 membahas tentang kebesaran Allah yang
Maha Berkehendak, salah satunya membolak-balikkan siang dan
malam.
5. Surah An-Nur ayat 45 menegaskan bahwa Allah Maha Kuasa untuk
menciptakan beragam jenis makhluk.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr. (2018). Tafsir Al-Qurthubi
Jilid 12. (Asmuni dan Mukhlis Mukti, terjemahan). Jakarta: Pustaka Azzam.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. (2020). Shafwatut Tafasir Jilid 3. (KH. Yasin,
terjemahan). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. (2011). Tafsir Fathul Qadir
Jilid 7. (Amir Hamzah Fachruddin, terjemahan). Jakarta: Pustaka Azzam.
Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir. (2009). Tafsir ath-Thabari Jilid 19. (Ahsan
Askan, Yusuf Hamdani, Abdush-Shamad, terjemahan). Jakarta: Pustaka
Azzam.
Az-Zuhaili, Wahbah. (2020). Tafsir al-Munir Jilid 9. (Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk. terjemahan). Jakarta: Gema Insani.
149
Katsir, Ibnu. (2015). Tafsir al-Quran al-Azhim Jilid 7. (Arif Rahman Hakim, dkk.
terjemahan). Cet. 2. Surakarta: Insan Kamil.
Shihab, Muhammad Quraish. (2016). Tafsir al-Misbah Jilid 8. Tangerang: PT.
Lentera Hati.
Katsir, Ibnu. (2004). Tafsir al-Quran al-Azhim Jilid 6. (M. Abdul Ghoffar dan
Abu Ihsan al-Atsari, terjemahan). Cet. 1. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
150