Anda di halaman 1dari 18

Kelompok III

WALI DAN SAKSI DALAM PERNIKAHAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas :

Mata Kuliah : Hukum Perkawinan Islam I

Dosen Pembimbing : Maimunah, M.H.I

Disusun oleh :

Abdul Wahid
NIM. 1802110617
Jihaan Nada
NIM.1802110642

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS SYARIAH

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur dengan hati dan pikiran yang tulus kepada Allah SWT, yang
atas berkat dan rahmat-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk
membantu menambahkan ilmu dan pengetahuan kita bersama.

Shalawat dan salam selalu terucapkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
para keluarga dan sahabat karena atas berkat usaha dan kerja kerasnyalah kita bisa
memeluk dan merasakan indahnya Islam.

Selanjutnya makalah yang berjudul Wali dan Saksi Dalam Pernikahan


disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perkawinan
Islam I. Semoga dengan terselesainya makalah ini bisa membantu dan bermanfaat
bagi kita semua. Kami sebagai penyusun juga menyadari bahwasanya didalam
makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kepada para pembaca untuk memberi kritik dan saran yang bersifat
membangun guna tercapainya perubahan kearah yang lebih baik.

Wassalammu,alaikum Wr. Wb.

Palangkaraya, Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan .....................................................................................................................1
D. Metode penulisan.....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Wali dan Saksi Dalam Pernikahan........................................................2


B. Syarat Wali dan Saksi Dalam Pernikahan...............................................................3
C. Kedudukan Wali dan Saksi Dalma Pernikahan.......................................................4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................................8
B. Saran........................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun keinginan
didalam dirinya. Pernikahan merupakan salah satu naluri serta kebutuhan dari
seorang manusia. Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada
pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara
atau aturan-aturan Allah Swt. Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak
akan memilih tata cara yang lain. Disini akan dijelaskan mengenai salah satu
syarat dalam pernikahan yaitu wali dan saksi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Wali dan Saksi Dalam Pernikahan ?
2. Apa saja Syarat Wali dan Saksi Dalam Pernikahan ?
3. Bagaimana Kedudukan Wali dan Saksi Dalam Pernikahan ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untu Mengetahui Pengertian Wali dan Saksi Dalam Pernikahan
2. Untuk Mengetahui Syarat Wali dan Saksi Dalam Pernikahan
3. Untuk Mengetahui Kedudukan Wali dan Saksi Dalam Penikahan
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode penelusuran
dan pencarian buku-buku yang ada di perpustakaan dan penelusuran di
internet.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Pengertian Wali

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi


bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Wali
bertindak sebagai orang yang mengakadkan nikah menjadi sah. Nikah tidak
sah tanpa adanya wali.1

Secara etimologis “ wali‟‟ mempunyai arti pelindung, penolong, atau


penguasa. Wali mempunyai banyak arti, antara lain:

a. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban


mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa.
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
c. Orang saleh (suci) penyebar agama.
d. Kepala pemerintah dan sebagainya

Arti-arti wali di atas pemakaiannya dapat disesuaikan dengan konteks


kalimat. Adapun yang dimaksud wali dalam hal pernikahan yaitu sesuai
dengan poin b. Orang yang berhak menikahkan seorang perempuan ialah
wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan tidak sanggup
bertindak sebagai wali, maka hak kewaliannya dapat dialihkan kepada orang
lain. Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari
orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab dan lebih
kuat hubungan darahnya, jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam

1
Kompilasi Hukum Islam, Buku I bagian ketiga Pasal 19

2
Syafi‟i mengatakan wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis keturunan
ayah, bukan dari garis keturunan ibu2

2. Pengertian Saksi

Menurut etimologi (bahasa) kata saksi dalam bahasa Arab dikenal


dengan syahada yang berbentuk isim fa’il. Kata tersebut berasal dari masdar
syahuda/syahaadah akar katanya adalah syahada-yusyahidu-syahuda yang
menurut bahasa artinya menghadiri, menyaksikan (dengan mata kepala),
memberikan kesaksian didepan hakim, mengakui, bersumpah, mengetahui,
mendatangkan dan menjadikan sebagai saksi. Kata syahadah menurut bahasa
bermakna “kehadiran”, seperti dalam kalimat syahida al-makan (dia hadir di
tempat itu) dan syahida al-harba (dia terlibat dalam perang itu).

Dari uraian diatas dapat di pahami bahwa, saksi menurut bahasa


adalah orang yang hadir menyasikan dan menginformasikan suatu peristiwa
yang telah dilihat dengan mata kepala sendiri. Definisi saksi secara istilah
dikemukakan oleh Muhammad Ibnu Ismail Al-Kahlani dalam kitab subulus
salam sebagai berikut: Artinya: Saksi adalah orang yang
mempertagungjawabkan kesakasian dan mengemukakannya,kerena dia
menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak menyaksikannya.

Dari definisi saksi seperti yang dikemukakan diatas, penulis dapat


mengambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan saksi menurut
istilah adalah orang yang benar-benar melihat atau mengetahui suatu peristiwa
yang orang lain tidak mengetahuinya, kemudian mempertanggungjawabkan
kesaksian tersebut kepada pihak yang berwenang dengan tujuan untuk
menegakkan hak seseorang.3

2
ihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali
Pers, 2009, hlm. 89-90
3
Asri Latifah, KEHADIRAN SAKSI PADA SAAT AKAD NIKAH DAN IMPLIKASI
HUKUMNYA (Study Analisis Pendapat As-Sarakhsiy dan Ibnu Rusyd Al-Qurt}ubiy), UIN

3
B. Syarat Wali dan Saksi Dalam Pernikahan
1. Syarat Wali

Seseorang dapat bertindak menjadi wali apabila memenuhi syarat-


syarat yang telah ditentukan dalam hukum Islam, dan para ulama ada yang
sepakat dan ada yang berbeda pendapat dalam masalah syaratsyarat yang
harus dipenuhi seorang wali. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi
menurut ulama Syâfi’îyah ada enam, yaitu sebagai berikut:

a. Beragama Islam
Ulama Syâfi’îyah dan ulama Hanafiyah tidak berbeda pendapat
mengenai persyaratan pertama ini. Antara wali dan orang yang dibawah
perwaliannya disyaratkan harus sama-sama beragama Islam, apabila yang
akan nikah beragama Islam (muslim) disyaratkan walinya juga seorang
muslim dan tidah boleh orang kafir menjadi walinya, hal ini berdasarkan
firman Allah Swt yang artinya : Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-
orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kembali (mu). (Ali Imran : 28) 4
b. Baligh
Baligh (orang mukallaf), karena orang yang mukallaf itu adalah
orang yang dibebankan hukum dan dapat mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Karena itu baligh merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang wali, dan ulama Syâfi’îyah dan ulama Hanafiyah
sepakat tentang hal ini. Wali tidak boleh seorang yang masih
kecil.Dasarnya adalah hadis Nabi yang artinya : Diangkat hukum itu dari

Walisongo, Semarang, 2017, hlm 22-23


4
Depag RI, Alquran dan terjemahnya, (2010), hlm. 66-67

4
tiga (3) perkara: dari orang yang tidur hingga bangun, dari anak-anak
hingga bermimpi (dewasa) dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh”.
(Abi Dawud).
c. Berakal Sehat
Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani hukum dan
mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatannya, karena orang yang
akalnya tidak sempurna baik itu karena masih kecil atau gila itu tidak
terbebani hukum. Karena itu seorang wali disyaratkan harus berakal sehat.
d. Merdeka
Ulama Syâfi’îyah mensyaratkan seorang wali harus orang yang
merdeka, sebab orang yang berada di bawah kekuasaan orang lain (budak)
itu tidak mimiliki kebebasan untuk melakukan akad buat dirinya apalagi
buat orang lain, karena itu seorang budak tidak boleh menjadi wali dalam
perkawinan.
e. Laki-laki
Syarat wali yang keempat adalah laki-laki, syarat ini merupakan
syarat yang ditetapkan oleh jumhur ulama yakni ulama Safi’iyah,
Malikiyah, dan Hanabilah. Mengenai syarat laki-laki ulama Syâfi’îyah
berpendapat wanita tidak boleh menjadi wali bagi orang lain dan tidak
boleh wanita mengawinkan dirinya sendiri. Alasannya hadis yang
diriwayatkan oleh Ibn Majah, al-Dâr al-Quthnî dan al Baihaqî Dari Abu
Hurairah ra. Ia berkata, Rasulullah saw, bersabda: wanita itu tidak syah
menikahkan wanita lain dan tidak sah pula menikahkan dirinya sendiri.
(H.r. Abu Dawud)
Jadi hadis di atas melarang wanita mengucapkan sighah al-ijâb dalam
akad nikah, larangan adalah menujukkan batalnya pekerjaan yang dilarang
yaitu larangan wanita menikahkan wanita lain dan wanita yang
menikahkan dirinya. Jika perbuatan ini dilarang terhadap wanita maka
wanita yang menikahkan orang lain atu menikahkan dirinya perkawinannya

5
tidak sah. Tegasnya akad nikah yang walinya wanita itu hukumnya tidak
sah dan begitu pula wanita yang menikahkan dirinya juga hukumnya tidak
sah.
f. Adil (beragama dengan baik)
Mengenai syarat adil atau cerdas ulama Syâfi’îyah berpendapat
bahwa wali harus seorang yang adil dan cerdas. Alasannya ialah hadis dari
Ibn Abbas: Dari Ibn Abbas, ia berkata bersabda Rasulullah Saw.: tidak
(sah) pernikahan kecuali dengan wali yang cerdas.
Menurut ulama Syâfi’îyah yang dimaksud dengan cerdas dalam hadis
tersebut di atas adalah adil. Maksud adil disini adalah seseorang yang
selalu memelihara agama dengan jalan melaksanakan segala yang di
wajibkan dan memelihara diri dari perbuatan dosa besar serta memelihara
dari selalu berbuat dosa kecil.Seorang wali harus adil karena dengan sifat
adil seseorang dapat berhati-hati dan dapat sungguhsungguh untuk
memelihara perkawinan dan memelihara keturunan.5

Pada dasarnya wali nikah dibagi menjadi dua, yaitu: wali nasab dan
wali hakim. Wali nasab adalah seorang wali nikah yang masih ada
hubungan darah lurus ke atas dari wanita yang ingin menikah. Sedang wali
hakim adalah wali yang hak perwaliannya timbul, karena orang tua mempelai
perempuan menolak („adal), atau tidak ada, atau karena sebab lain.Dalam
KHI, wali nasab terdiri dari empat kelompok, yang

termuat dalam dalam pasal 21 ayat 1 yaitu: “Wali nasab terdiri dari
empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok
kerabat saudara laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari

5
Rohmat, Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah dan
Praktiknya di Indonesia , AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011, hlm.167-170

6
pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki
kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat,kelompok saudara
laki-laki kandung kakek, saudara laki -laki seayah kakek dan keturunan laki-
laki mereka6

2. Syarat Saksi
Agar akad nikah menjadi sah hukumnya, maka yang bertindak sebagai
saksi harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: masing-masing
ulama fiqih menetapkan syarat-syarat menjadi saksi pernikahan sangat
beragam. Imam Taqiyyudin menetapkan syarat saksi ada enam syarat :

a. Islam
b. Baligh
c. Sehat akalnya
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Adil

Imam al-Jaziri dalam kitabnya, Fiqih Madzahib al-Arba’ah menyebutkan


lima syarat untuk menjadi saksi:

a. Berakal, orang gila tidak boleh jadi saksi


b. Baligh, anak kecil tidak boleh jadi saksi
c. Merdeka, hamba sahaya tidak boleh jadi saksi
d. Islam
e. Saksi mendengar ucapan dua orang yang berakad secara bersamaan,
maka tidak sah kesaksian orang tidur yang tidak mendengar ucapan ijab
qabul dua orang yang berakad.
6
Ibid, Kompilasi Hukum Islam

7
Imam Hanafi mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada
seseorang yang menjadi saksi ialah:

a. Berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi


b. Baligh, tidak sah saksi anak-anak
c. Merdeka, bukan hamba sahaya
d. Islam
e. Keduanya mendengar ucapan ijab dan kabul dari keduabelah pihak.

Imam Hanbali mengatakan syarat-syarat saksi adalah:

a. Dua orang laki-laki yang baligh


b. Keduanya beragama Islam, dapat berbicara dan mendengar
c. Keduanya tidak berasal dari satu keturunan kedua mempelai

Imam Syafi’i mengemukakan bahwa syarat-syarat saksi adalah:

a. Dua orang laki-laki


b. Berakal
c. Baligh
d. Islam
e. Mendengar
f. Adil

Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan harus memenuhi


persyaratan. Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang yang menjadi
saksi adalah: Muslim, aqil baligh(taklif), punya sifat al-‘Adalah, jumlahnya
minimal dua orang, berjenis kelamin laki-laki, serta orang yang
merdeka, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli, memahami
ucapan kedua belah pihak yang berakad. Bila para saksi itubuta maka

8
hendaknya mereka bisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul
bahwa suara tersebut adalah suaranya kedua orang yang berakad.7

C. Kedudukan Wali dan Saksi Dalam Pernikahan


1. Kedudukan Wali
Dalam pandangan ulama‟ Fiqih, Terdapat perbedaan pendapat
nikah tanpa wali. Ada yang menyatakan boleh secara mutlak, tidak
boleh secara mutlak, bergantung secara mutlak, dan ada lagi pendapat
yang menyatakan boleh dalam satu hal dan tidak boleh dalam hal lainnya.
Dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, IbnuRusyd
menerangkan: “Ulama berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat
sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik
berpendapat tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya
nikah.
Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Imam al-Syafi'i”.
Sedangkan Abu Hanifah, Zufar asy-Sya‟bi dan Azzuhri berpendapat
apabila seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali,
sedang calon suami sebanding, maka nikahnya itu boleh. Yang menjadi
alasan Abu Hanifah membolehkan wanita gadis menikah tanpa
wali.Adalah dengan mengemukakan alasan dari Al-Qur‟an surat Al-Baqarah
ayat 234 yang Artinya : ”Kemudian apabila telah habis masa iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
Imam Abu Dawud memisahkan antara gadis dan janda. Dia
mensyaratkan adanya wali pada gadis, dan tidak mensyaratkan pada janda.
Imam Dawud mengatakan bahwa wanita-wanita janda lebih berhak atas

7
UIN SUSKA, http://repository.uin-suska.ac.id/6624/4/BAB%20III.pdf ( Diakses pada
tanggal 24 Maret 2020 pukul 17.25 WIB)

9
dirinya dari pada walinya, dan gadis iti dimintai pendapat tentangnya
dirinya, dan persetujuannya ialah diamnya.8
2. Kedudukan Saksi
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad
nikah, oleh karena itu setiap pernikahan harus disaksikan oleh dua
orang saksi, sebagaimana di dalam kompilasi hukum Islam Pasal 24ayat 1
menyatakan bahwa: Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan
akad nikah, dan ayat 2 berbunyi: Setiap perkawinan harus disaksikan
oleh dua orang saksi. Kehadiran saksi dalam akad nikah adalah mutlak
diperlukan, apabila saksi tidak hadir pada saat akad nikah dilangsungkan,
maka sebagai akibat hukumnya nikah tersebut tidak sah.
Tidak sahnya nikah dikarenakan tidak hadirnya saksi di jelaskan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada 26
ayat 1 yang berbunyi: Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau
yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke
atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atauistri.Selain merupakan rukun
nikah, adanya saksi digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan
kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari, apabila ada salah satu
suami atau istri terlibat perselisihan dan perkaranya diajukan ke
pengadilan. Saksi-saksi tersebut yang menyaksikan akad nikah, dapat
dimintai keterangan sehubungan dengan pemeriksaan perkaranya. Oleh
karena itu dalam pelaksanaannya, selain saksi harus hadir dan menyaksikan

8
UIN Walisongo, KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN,
http://eprints.walisongo.ac.id/3703/3/092111043_Bab2.pdf, (diakses pada tanggal 24 Maret 2020
pukul 18.20 WIB)

10
secara langsung akad nikah, saksi diminta untuk menandatangani Akta
Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang saksi,
apakah saksi itu merupakan suatu syarat saja ataukah sebagai rukun
dalam perkawinan. Berarti mengandung maksud bahwa nikah itu tidak
dapat dilakukan tanpa adanya saksi walaupun pemberitahuan tentang
adanya nikah itu dapat dicapai dengan cara yang lain. Akan tetapi Imam
Syafi’i menyatakan bahwa saksi itu sebagai rukun, sehingga setiap
perkawinan harus disaksikan oleh kedua orang saksi.
Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa dua orang saksi
harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah. Karena dalam
suatu perkawinan peristiwa yang sangat penting adalah pada saat akad
nikah dilangsungkan, sehingga dua orang saksi harus hadir pada terjadinya
akad nikah.
Namun, Imam Malik berbeda pendapat bahwa saksi memang menjadi
syarat sah nikah, tetapi kehadirannya boleh pada saat akad nikah dan boleh
pula kesaksian pada waktu lain seperti resepsi, asal sebelum bercampur
kedua mempelai. Sekiranya kedua mempelai telah bercampur, sedangkan
kesaksian belum ada ( belum ada resepsi atau belum diberitahukan kepada
orang lain), maka nikahnya fasid dan harus cerai (fasakh). Jadi, sebelum
bercampur mutlak diperlukan saksi dan harus pada saat akad nikah
sebab dikuatirkan kedua mempelai akan bercampur sebelum diresmikan
pernikahan mereka (Ihtiyath).

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

wali dalam hal pernikahan yaitu Orang yang berhak menikahkan seorang
perempuan ialah wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan tidak
sanggup bertindak sebagai wali, maka hak kewaliannya dapat dialihkan kepada orang
lain. Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang
yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab dan lebih kuat hubungan
darahnya, jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi‟i mengatakan wali itu
adalah ahli waris dan diambil dari garis keturunan ayah, bukan dari garis keturunan
ibu.

saksi menurut istilah adalah orang yang benar-benar melihat atau mengetahui
suatu peristiwa yang orang lain tidak mengetahuinya, kemudian
mempertanggungjawabkan kesaksian tersebut kepada pihak yang berwenang dengan
tujuan untuk menegakkan hak seseorang

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut ulama Syâfi’îyah ada


enam, yaitu sebagai berikut: Beragama Islam, Baligh, Berakal Sehat, Merdeka, Laki-

laki dan Adil (beragama dengan baik)

Seseorang yang diamanahkan untuk menjadi saksi dalam akad nikah


haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut: Islam, Baligh, Berakal, Merdeka,
Laki-laki, Mendengar dan memahami ucapan orang yang beraka dan Adil

12
DAFTAR PUSTAKA

Ihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Pers, 2009, hlm. 89-90
Kompilasi Hukum Islam, Buku I bagian ketiga Pasal 19
Latifah,Asri, KEHADIRAN SAKSI PADA SAAT AKAD NIKAH DAN IMPLIKASI
HUKUMNYA (Study Analisis Pendapat As-Sarakhsiy dan Ibnu Rusyd Al-
Qurt}ubiy), UIN Walisongo, Semarang, 2017, hlm 22-23
Depag RI, Alquran dan terjemahnya, (2010), hlm. 66-67
Rohmat, Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah dan
Praktiknya di Indonesia , AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011, hlm.167-170

UIN SUSKA, http://repository.uin-suska.ac.id/6624/4/BAB%20III.pdf (Diakses pada tanggal


24 Maret 2020 pukul 17.25 WIB)

UIN Walisongo, KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN, http://eprints.


walisongo.ac.id/3703/3/092111043_Bab2.pdf, (diakses pada tanggal 24 Maret 2020
pukul 18.20 WIB)

Anda mungkin juga menyukai