Anda di halaman 1dari 15

AN-NASIKH WA AL-MANSUKH AL-QUR’AN

MATA KULIAH STUDI AL QUR’AN


Dosen Pengampu :
Abdullah Affandi, M.S.I.

KELAS A KELOMPOK 6

Disusun Oleh :

Silvi Oktafiani (932401119 )

Moh. Dhimas Nor R. (932412619)

Annisa Aziz Adha (932412719)

Shindy Arifiani (932412919)

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, dan tak lupa penulis sampaikan
shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW dan
kepada keluarganya, sahabatnya, dan kita sebagai umatnya yang setia sampai akhir
zaman, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Sehingga kami dapat
menyeselaikan Makalah yang berjudul “An Nasikh wa Al Mansukh Al Qur’an” ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya . Dan kami juga berterima kasih
kepada bapak Abdullah Affandi, M.S.I. sebagai dosen Studi Al Qur’an yang telah
member informasi dan petunjuk dalam pembuatan makalah ini. Kami sangat berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai Ilmu Al Qur’an.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi mudah-
mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penulis sendiri
dalam mencari ilmu dan untuk para pembaca dalam menambah pengetahuan. Untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif guna menyempurnakan
makalah ini.
Dan dalam menyelesaikan Makalah ini tentunya kami mendapat banyak bantuan
dari berbagai pihak. Oleh sebab itu kami juga ingin menyampaikan rasa terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah ini.

Wa’alaikumsalam Wr. Wb.

Kediri, 01 April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad  SAW.
Al Qur’an merupakan tuntutan bagi umat manusia untuk mencapai  bukan hanya
kebahagiaan  di dunia saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai
kebahagiaan di akhirat. Dalam Al Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran.
Al Qur’an memuat ayat tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk
beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah,muamalah, dll.Sebagaimana
disebutkan dalam Al Qur’an dan Terjemahnya”Al Qur’anul Karim adalah kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang
mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu
ataupun sebagai makhluk social, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Tasyri’ samawi diturunkan dari Allah kepada para rasul-Nya untuk
memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan mu’amalah. Oleh karena akidah
semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena
ditegakkan atas tauhid uluhiyah dan rububiyah maka dakwah atau seruan para
rasul kepada aqidah yang satu itu semuanya sama.
Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah sama,
yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat
serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an
ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja,
Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat
yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut
Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi
ayat-ayat tersebut. Sehingga  timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, syarat dan macam-macam nāsikh dan mansūkh ?
2. Apa makna dari nāsikh dan mansūkh ?
3. Apa dasar - dasar penetapan nāsikh dan mansūkh ?
4. Apa urgensi mempelajari nasikh dan mansukh ?
5. Apa saja ruang lingkup nasakh dan mansukh?
6. Bagaimana Pendapat Ulama Mengenai Nasikh Mansukh?
7. Bagaimana pendapat mengenai ayat yg dimansūkh ?
8. Apa saja Contoh Ayat-Ayat Nasikh dan Mansukh ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, syarat dan macam-macam nāsikh dan mansūkh.
2. Untuk mengetahui makna dari nāsikh dan mansūkh.
3. Untuk mengetahui dasar penetapan nāsikh dan mansūkh
4. Untuk mengetahui urgensi mempelajari nasikh dan mansukh
5. Untuk mengetahui ruang lingkup nasakh dan mansukh
6. Untuk mengetahui Pendapat Ulama Mengenai Nasikh Mansukh
7. Untuk mengetahui pendapat mengenai ayat yang dimansūkh.
8. Untuk mengetahui Contoh Ayat-Ayat Nasikh dan Mansukh
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Nasikh dan mansukh berasal dari kata nasakh. Dari segi etimologi kata nasakh,
dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Kata nasakh juga dipergunakan
untuk makna naqal (memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain),
dan nasakh juga bermakna ibthal (membatalkan). Adapun menurut istilah nasakh
ialah mengangkat (menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hukum (khithab)
syara’ yang lain (yang datang kemudian)1
Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya
pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus
ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum
atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang diangkat atau yang dihapus.2
Terjadinya Nasikh - Mansukh mengharuskan adanya syarat - syarat
berikut :
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan
waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan
berakhiranya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata : “Segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang
mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah: “Maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-
Nya” (QS. Al-Baqarah:109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan
dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada naskh di
dalamnya.
4. Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir.

Pembagian Naskh.
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh
sunnah dengan sunnah, nasakh sunnah dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan
Al Qur’an, dan nasakh Al Qur’an dengan sunnah. Berikut penjelasannya seperti
terdapat dalam Al Qur’an dan tafsirnya.
Naskh dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehannya dan
telah terjadi dalam pandangan para ulama yang mengatakan adanya nasakh.3
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi
empat bulan sepuluh hari.

ٍ ‫صيَّةً َأِل ْز َوا ِج ِه ْم َمتَاعًا ِإلَى ْال َحوْ ِل َغ ْي َر ِإ ْخ َر‬


‫اج فَِإ ْن خَ َرجْ نَ فَاَل‬ ِ ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا َو‬
[ ٢٤٠ : ‫]البقرة‬ ‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ‫هَّللا‬
ِ ‫ُوف َو ُ ع‬ ٍ ‫ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن ِم ْن َم ْعر‬

1
Muhammad Zaini, Abdul Wahid, Pengantar ‘Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, Banda Aceh : PENA,
2016, hal. 84
2
Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”, Tajdid, Vol. XIII No. 1, Januari-Juni 2014, 205-206.
3
Ibid, 85.
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap
diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah
[2]: 240) 4

‫فَِإ َذا بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل‬ ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا يَتَ َربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا‬
[ ٢٣٤ : ‫البقرة‬ ]‫ُوف َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬ ِ ‫ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬
  Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat . (QS.Al-Baqarah [2]: 234)
5

2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah


Hadits mutawatir dan ahad dinasakh oleh hadits mutawatir, dan hadits ahad
dinasakh oleh hadits ahad.
Contoh:
   ‫ار ِة ْالقُبُوْ ِر َأالَ فَ ُزوْ رُوْ هَا‬ ُ ‫ ُك ْن‬ 
َ َ‫م ع َْن ِزي‬Kْ ‫ت نَهَ ْيتُ ُك‬
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah”
ُ‫ب الرَّابِ َع ِة فَا ْقتُلُوْ ه‬
َ ْ‫فَِإ ْن ُشر‬
“Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”

Dinasakh oleh hadits :


ُ‫َأنَّهُ ُح ِم َل ِإلَ ْي ِه َم ْن َش ِربَهَا الرَّابِ َعةَ فَلَ ْم يَ ْقتُ ْله‬
 Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr keempat
kalinya, tetapi rasul tidak membunuhnya. Sabda Rasululah:

‫ضا ِحي َِألجْ ِل ال َّدا فَ ِة فَا َّد ِخرُوْ هَا‬


َ ‫خَار ل ُح ُو ِم اَْأل‬ ُ ‫ُك ْن‬
ِ ‫م َع ِن ا َّد‬Kْ ‫ت نَهَ ْيتُ ُك‬
     Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada golongan
yang membutuhkan, maka sekarang simpanlah.

3. Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an


Menghadap Baitul Maqdis ( hadits ) telah dinasakh al-Qur’an :

‫ْث مَا‬ ُ ‫ ِج ِد ْالحَ َر ِام َو َحي‬K‫ط َر ْال َم ْس‬ ْ K ‫ك َش‬ َ َ‫ضاهَا فَ َو ِّل َوجْ ه‬ َ َّ‫ك فِي ال َّس َما ِء فَلَنُ َولِّيَن‬
َ ْ‫ك قِ ْبلَةً تَر‬ َ ‫ب َوجْ ِه‬َ ُّ‫قَ ْد ن ََرى تَقَل‬
‫ق ِم ْن َربِّ ِه ْم َومَا هَّللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما‬ َ ‫وا ْال ِك‬KKُ‫ط َرهُ َوِإ َّن الَّ ِذينَ ُأوت‬
ُّ َ‫ونَ َأنَّهُ ْالح‬KK‫تَاب لَيَ ْعلَ ُم‬ ْ K‫ُك ْنتُ ْم فَ َولُّوا ُوجُوهَ ُك ْم َش‬
]١٤٤: ‫يَ ْع َملُونَ [البقرة‬

4
Q. S. al-Baqarah (2) : 240.
5
Q. S. al-Baqarah (2) : 234.
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah
mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke
Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 144)6

Macam – macam Nāsikh dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu :


1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.7

B. Makna Nasikh dan Mansukh


1. Menghapuskan (izalah),
firman Allah Ta'ala : 
‫ فَيَن َس ُخ ٱهَّلل ُ َما ي ُۡلقِى ٱل َّش ۡيطَ ٰـنُ ثُ َّم‬K‫ك ِمن َّرسُو ۬ ٍل َواَل نَبِ ٍّى ِإٓاَّل ِإ َذا تَ َمنَّ ٰ ٓى َأ ۡلقَى ٱل َّش ۡيطَ ٰـنُ فِ ٓى ُأمۡ نِيَّتِِۦه‬ َ ِ‫َو َمٓا َأ ۡر َس ۡلنَا ِمن قَ ۡبل‬
‫ي ُۡحڪِ ُم ٱهَّلل ُ َءايَ ٰـتِ ِۗۦ‌ه َوٱهَّلل ُ َعلِي ٌم َح ِكي ۬ ٌم‬
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak [pula]
seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun
memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa
yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, (52(Q.S. Al-Hajj: 52).
2. Mengganti (tabdil), firman Allah: 
ۙ ۬
َ‫َوِإ َذا بَ َّد ۡلنَٓا َءايَةً َّمڪَانَ َءايَ ۬ ٍ‌ة َوٱهَّلل ُ َأ ۡعلَ ُم بِ َما يُنَ ِّز ُل قَالُ ٓو ْا ِإنَّ َمٓا َأنتَ ُم ۡفت ۚ ۭ ِ‌َر بَ ۡل َأ ۡكثَ ُرهُمۡ اَل يَ ۡعلَ ُمون‬
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan
saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (101)(Q.S. An-Nahl: 101).
3. Mengalihkan / mengubah (tahwil). Seperti mengalihkan warisan seseorang
kepada orang lain.
4. Memindahkan dari satu tempat ke tempat lain . Diantaranya memindahkan
(transcrib) suatu kitab. Dalam pengertian ini tidak mungkin terjadi di dalam al-
Qur'an.8
C. Dasar - dasar penetapan Nasikh wa Mansukh

Manna>’ Al-Qat}t}an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat


dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar adalah :
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para
sahabatnya, seperti hadis yang artinya : Aku dulu melarang kalian berziarah
kubur, sekarang berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh
6
Q. S. al-Baqarah (2) : 144.

7
Rosihon Anwar, Ulum Al Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, hlm. 104

8
http://muslim.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-hajj-52.html.
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga
disebut nāsikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-
Qat}t}an menambahkan bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur
ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila
dilihat dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa
riwayat.
D. Urgensi Mempelajari Nasikh dan Mansukh
Ilmu nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam al-Quran
sangat penting untuk mengetahui proses tshri’ (penetapan dan penerapan hukum)
Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah,
sejuhmana elastisitas ajaran dan hukumnya, serta sejauhmana perubahan hukum itu
berlaku. Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan
ditetapkannya suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh
diberlakukan secara longgar dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi
yang mengitarinya atas dasar tujuan ajaran dan illat hukum tersebut.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat yang
cukup besar bagi para ahli ilmu, terutama bagi mufassir, fuqaha, dan ahli ushul.
Tujuannya agar pengetahuan mereka tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur.
Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar (perkataan sahabat maupun tabi’in) yang
mendorong agar mengetahui masalah ini.9
Diriwayatkan, Sayyidina Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu
bertanya:
“Apakah kamu mengetahui mana yang mansukh? Hakim itu
menjawab, tidak. Maka Ali berkata: Celakalah kamu dan mencelakakan
orang lain.”
Pentingnya mengatahui masalah nasikh dan mansukh secara tegas
diungkapkan beberapa ulama, seperti yang dinyatakan dalam buku Al-Itqan Fi
Ulumi Al-Qur’an karangan Imam Suyuthi:

Artinya: Berkata para imam: ‘Tidak boleh bagi seseorang menafsirkan kitab Allah
kecuali mengetahui tentang nasakh dan masukh’).
Selanjutnya Al-Zarqani juga mengungkapkan bahwa mengetahui nasakh dan
mansukh adalah rukun yang pokok untuk mengetahui Islam dan juga sebagai
petunjuk akan kebenaran suatu hukum.92 Begitu urgennya masalah nasakh dan
mansukh, maka para ulama mujtahid telah membahas secara spesifik dan mendalam
di berbagai kitab klasik dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu-ilmu hadits dan
ilmu ushul fiqh.
E. Ruang Lingkup Nasakh
Mengenai lingkup nasakh, Manna’ Khalil al Qattan menyimpulkan bahwa
nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang
bermakna ‘amar(perintah) atau nahyi(larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan
dengan persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-
Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau
dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal itu karena semua syari’at ilahi
tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok(usul) semua
9
Muhammad Zaini, Abdul Wahid, Pengantar ‘Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, Banda Aceh : PENA,
2016, hal. 86
syari’at adalah sama. Firman Allah dalam QS Asy Syuura ayat 13 yang terjemahnya
:”Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”(QS Asy Syuura ayat 13)
Nasakh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna
talab(tuntutan:perintah atau larangan), seperti janji(al wa’d) dan ancaman(al wa’id)
demikian menurut Syaikh Manna’
F. Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansūkh
Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang
dianggap mansūkh di antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang
dianggap mansūkh berjumlah 100 buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al
Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya. Setelah diteliti ternyata hukumnya
tidak berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama setuju dengan vonis
Nahas itu. Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain berasal dari
provinsi Ashut} (karena dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang ayat-ayat yang
telah batal hukumnya itu.  Al Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang
dipandang mansūkh dengan yang dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyut}iy, ada 20
ayat yang terpaksa dinyatakan mansūkh.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai dengan
tahun 1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin digabungkan
ternyata olehnya bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut Shaukaniy
hanya 8 buah.10

Contoh :
ْ ُّ‫فََأ ْينَ َما تُ َول‬  ُ‫ق َو ْال َم ْغ ِر ۚب‬
ِ ‫ِإ َّن ٱهَّلل َ َو‬ ِ ۚ ‫وا فَثَ َّم َوجْ هُ ٱهَّلل‬
‫اس ٌع َعلِي ٌم‬ ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬
] ۱۱۵ :‫[البقرة‬ 
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu
Abbas, dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
] ١٥٠ : ‫[البقرة‬ ....ُ‫ط َره‬ ْ ‫وا ُوجُوهَ ُك ْم َش‬ ْ ُّ‫ْث َما ُكنتُ ْم فَ َول‬ُ ‫ َو َحي‬  ۚ
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya”. 
Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy Al
Nisaburiy dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa Al Mansūkh -
demikian: “Setiap kali Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya menengadah
ke langit dan berseru: “Wahai Jibril, sampai kapankah daku salat menghadap ke
kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan Rasulullah, Jibril hanya mampu berucap:
“Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun
ayat 115, al-Baqarah ini.
Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al
Maqdis disebabkan kerisian Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian
Nabi mendorong beliau mengadu kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya.
10
Acep Hermawan, ‘Ulūmul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011), 182.
Karena seperti diakui Jibril sendiri, dia hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi
Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150 surat al-Baqarah. Padahal
bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan bahwa perubahan
kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan yang
hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan
pengikut Rasulullah.11

G. Pendapat Ulama Mengenai Nasikh Mansukh


Timbulnya sikap ulama menanggapi isu nasikh dan mansukh sebenarnya dalam
rangka merespon surat An-Nisa’ ayat 82 ;
   
Artinya : “kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”

Berikut sikap pro dan kontra dari para ulama tentang tepri nasikh-mansukh :
1.   Pendukung teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini
adalah Imam Syafi’i (204 H), An Nahas (388 H), As Suyuti (911 H) dan Asy
Syukani (1250 H). Dasar teori nasikh-mansukh dalam konteks makna tersebut
antara lain : 
a.       Surat Al-Baqarah ayat 106 :

ِ ‫ َما نَن َس ْخ ِم ْن َءايَ ٍة َأوْ نُن ِسهَا نَْأ‬ 


 ‫ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَٓا َأوْ ِم ْثلِهَٓا ۗ َألَ ْم تَ ْعلَ ْم َأ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ْى ٍء قَ ِدي ٌر‬
Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau
yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”

b.      Surat An-Nahl ayat 101 :

    َ‫ َوِإ َذا بَ َّد ْلنَا آيَةً َم َكانَ آيَ ٍة ۙ َوهَّللا ُ َأ ْعلَ ُم بِ َما يُنَ ِّز ُل قَالُوا ِإنَّ َما َأ ْنتَ ُم ْفت ٍَر ۚ بَلْ َأ ْكثَ ُرهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُمون‬ 
Artinya : " Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain
sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-
Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-
adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui."

c.       Adanya kenyataan bahwa beberap ayat ada yang menunjukkan gejala


kontradiksi. Misalnya dalam penelitian an-Nahas (388 H) terdapat ayat yang
berlawanan dengan ayat-ayat yang lain berjumlah 100  ayat, menurutnya
realitas yag diteukan tersebut, mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-
mansukh. Kemudian jauh sesudahnya As Suyuti (911 H) hanya menemukan 9
ayat saja. Selanjutnya Asy Syukani (1250 H), bahkan hanya menemukan 8 ayat
saja yang tidak mampu dikompromikan.

2.   Penolak teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini


adalah antara lain : Abu Muslim Al Ashfahany (322 H), Imam Al Fakhrur
Razy-Syafi’i Mazhaban (605H), Muhammad Abduh (1325 H), Sayyid Rasyid
11
Hermawan, Ulūmul Quran, 185.
Ridla (1354 h), Dr, Taufiq Shidqy dan Ustadz Khudhaybey. Alasan mereka
antara lain :
a.       Jika di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang mansukh berarti membatalkan
sebagian isinya. Membatalkan isinya berarti menetapkan bahwa di dalam al-
Quran ada yang batal (yang salah). Padahal Allah telah menerangkan ciri al-
Quran antara lain dala surat Fussilat ayat 42 :

‫اَل يَْأتِي ِه ْالبَا ِط ُل ِم ْن بَ ْي ِن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن خَ ْلفِ ِه ۖ تَ ْن ِزي ٌل ِم ْن َح ِك ٍيم َح ِمي ٍد‬


Artinya : “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari
depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
b.       Al-Quran adalah syariat yang diabadikan hingga ahir zaman dan menjadi
hujjah bagi manusia sepanjang zaman.
c.       Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam al-Quran bersifat kulliyah
bukan juz’iy-khas, dan hukum-hukumnya di dalam al-Quran diterangkan
secara ijmaly bukan secara khas.
d.      Al-Quran surat al-Baqarah ayat :106 tidak memastikan kepada adanya
naskh ayat al-Quran.
e.       Adanya ayat-ayat yang sepintas nmpk kontradiksi, tidak memastikan
adanya naskh.12

H. Contoh Ayat-Ayat Nasikh dan Mansukh.


As-Suyuthi menyebut dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang
dipandangnya sebagai ayat-ayat mansukh. Di antaranya ialah :
a. ayat tentang qiblat

‫ق َو ْال َم ْغ ِربُ ۚ فََأ ْينَ َما تُ َولُّوا فَثَ َّم َوجْ هُ هَّللا ِ ۚ ِإ َّن هَّللا َ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬
ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬
Artinya : “Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah (Q.S. Al-Baqarah:115)
Ayat di atas berisi penjelasan tentang boleh sembahyang menghadap ke mana saja
karena kemanapun kita menghadap di situ ada Allah. Ayat tersebut telah dinasakh
oleh

ُ ‫ْج ِد ْال َح َر ِام ۚ َو َحي‬


‫ْث َما ُك ْنتُ ْم فَ َولُّوا‬ ِ ‫ط َر ْال َمس‬ ْ ‫ك َش‬ َ َ‫ضاهَا ۚ فَ َو ِّل َوجْ ه‬ َ ْ‫ك فِي ال َّس َما ِء ۖ فَلَنُ َولِّيَنَّكَ قِ ْبلَةً تَر‬
َ ‫ب َوجْ ِه‬َ ُّ‫قَ ْد نَ َر ٰى تَقَل‬
َ ‫ط َرهُ ۗ وَِإ َّن الَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِكت‬
ُّ ‫َاب لَيَ ْعلَ ُمونَ َأنَّهُ ْال َح‬
َ‫ق ِم ْن َربِّ ِه ْم ۗ َو َما هَّللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُون‬ ْ ‫ُوجُوهَ ُك ْم َش‬
Artinya :”Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” (QS: Al-Baqarah:
144)
Ayat ini menjelaskan bahwa sembahyang mesti menghadap ka’bah (masjidil
haram)
Ayat Tentang Wasiat

َ‫ُوف ۖ َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين‬


ِ ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ْي ِن َواَأْل ْق َربِينَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ك خَ ْيرًا ْال َو‬ ُ ْ‫ض َر َأ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ت ِإ ْن تَ َر‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
Artinya: ”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu,
bapak dan karib kerabatnya…” (Q.S. al-Baqarah:180)

12
Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang : PT.
Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 104
Dalam ayat di atas dijelaskan tentang kewajiban berwasiat kepada ahli waris
terhadap harta-harta yang ditinggalkan. Akan tetapi Ayat di atas mansukh oleh ayat-
ayat tentang kewarisan (Q.S. An-Nisa’: 10-11), dan oleh hadis yang
artinya:”Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris).13
Ayat Tentang Puasa

ٍ ‫ت ۚ فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضًا َأوْ َعلَ ٰى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن َأي ٍَّام ُأخَ َر ۚ َو َعلَى الَّ ِذينَ يُ ِطيقُونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِك‬
ۖ ‫ين‬ ٍ ‫َأيَّا ًما َم ْعدُودَا‬
َ‫فَ َم ْن تَطَ َّو َع خَ ْيرًا فَه َُو َخ ْي ٌر لَهُ ۚ َوَأ ْن تَصُو ُموا َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ۖ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
Artinya :”Dan wajib bagi mereka yang menjalankan puasa ( jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah”… (Q.S.: Al-Baqarah: 184)
Ayat ini telah dinasakhkan oleh ayat:

ُ َ‫ت ِمنَ ْالهُد َٰى َو ْالفُرْ قَا ِن ۚ فَ َم ْن َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّشه َْر فَ ْلي‬


‫ص ْمهُ ۖ َو َم ْن‬ ِ َّ‫ضانَ الَّ ِذي ُأ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُرْ آنُ هُدًى لِلن‬
ٍ ‫اس َوبَيِّنَا‬ َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
‫هَّللا‬ ْ ُ ْ ْ ْ ‫هَّللا‬ ‫ُأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
َ ‫َكانَ َم ِريضًا وْ َعلَ ٰى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن ي ٍَّام َخ َر ۗ ي ُِري ُد ُ بِ ُك ُم اليُ ْس َر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ال ُع ْس َر َولِتُك ِملوا ال ِع َّدةَ َولِتُ َكبِّرُوا‬
َ‫َعلَ ٰى َما هَدَا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬
Artinya:”Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia
berpuasa…” (Q.S. Al-Baqarah:185)

Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim,
bersumber dari Salamah ibn Akwa: ”Ketika turun Surat al-Baqarah: 184, maka
orang-orang yang ingin tidak berpuasa, mereka berencana membayar fidyah saja,
sehingga turunlah ayat sesudahnya yang menasakhkannya.
Ayat Tentang Berperang

‫يل هَّللا ِ َو ُك ْف ٌر بِ ِه َو ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام َوِإ ْخ َرا ُج َأ ْهلِ ِه‬


ِ ِ‫ص ٌّد ع َْن َسب‬ َ ‫ك َع ِن ال َّشه ِْر ْال َح َر ِام قِتَا ٍل فِي ِه ۖ قُلْ قِتَا ٌل فِي ِه َكبِي ٌر ۖ َو‬ َ َ‫يَ ْسَألُون‬
‫ِم ْنهُ َأ ْكبَ ُر ِع ْن َد هَّللا ِ ۚ َو ْالفِ ْتنَةُ َأ ْكبَ ُر ِمنَ ْالقَ ْت ِل ۗ َواَل يَ َزالُونَ يُقَاتِلُونَ ُك ْم َحتَّ ٰى يَ ُر ُّدو ُك ْم ع َْن ِدينِ ُك ْم ِإ ِن ا ْستَطَاعُوا ۚ َو َم ْن يَرْ تَ ِد ْد‬
َ‫ار ۖ هُ ْم فِيهَا خَ الِ ُدون‬ ِ َّ‫ك َأصْ َحابُ الن‬ َ ‫ت َأ ْع َمالُهُ ْم فِي ال ُّد ْنيَا َواآْل ِخ َر ِة ۖ َوُأو ٰلَِئ‬
ْ َ‫ك َحبِط‬ َ ‫ت َوهُ َو َكافِ ٌر فَُأو ٰلَِئ‬ ْ ‫ِم ْن ُك ْم ع َْن ِدينِ ِه فَيَ ُم‬
Artinya:”mereka bertanya kepadamu tentang bererang pada bulan Haram.
Katakanlah: Berperang pada bulan itu adalah dosa besar.”
(Q.S. Al-Baqarah: 217)
Ayat ini telah dinasakh oleh ayat:

َ ِ‫ض ِم ْنهَا َأرْ بَ َعةٌ ُح ُر ٌم ۚ ٰ َذل‬


ُ‫ك الدِّين‬ َ ْ‫ت َواَأْلر‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬ ِ ‫ُور ِع ْن َد هَّللا ِ ْاثنَا َع َش َر َش ْهرًا فِي ِكتَا‬
َ َ‫ب هَّللا ِ يَوْ َم خَ ل‬ ِ ‫ِإ َّن ِع َّدةَ ال ُّشه‬
ْ ‫هَّللا‬ ‫َأ‬ ً َّ ُ ً َّ ْ ْ ُ ُ ْ ‫َأ‬
َ‫َظلِ ُموا فِي ِه َّن نف َس ُك ْم ۚ َوقَاتِلوا ال ُمش ِر ِكينَ َكافة َك َما يُقَاتِلونَ ُك ْم َكافة ۚ َوا ْعلَ ُموا َّن َ َم َع ال ُمتَّقِين‬ ْ ‫ْالقَيِّ ُم ۚ فَاَل ت‬
Artinya:”Dan perangi kamulah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya”. (QS. At-Taubah: 36)
Dari pembahasan di atas kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Keberadaan nasakh dalam al-Quran memang dilegitimasi oleh ayat al-Qur‘an itu
sendiri (umpamanya lihat Q.S. al-Baqarah:106)
2. Hikmah nasakh dalam al-Quran antara lain adalah untuk memelihara
kepentingan hamba, memelihara perkembangan tasyri’ menuju tingkat yang
sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah Islam, dan menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat.

13
Muhammad Zaini, Abdul Wahid, Pengantar ‘Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, Banda Aceh : PENA,
2016, hal. 89-92
3. Untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‘an seseorang mufassir (ulama) harus
menguasai ilmu nasikh dan mansukh, agar penafsirannya terarah dan tidak
menyimpang.14

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Nasikh dan mansukh berasal dari kata nasakh. Dari segi etimologi kata nasakh,
dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Kata nasakh juga dipergunakan untuk
makna naqal (memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain), dan nasakh

14
Muhammad Zaini, Abdul Wahid, Pengantar ‘Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, Banda Aceh : PENA,
2016, hal. 89-92
juga bermakna ibthal (membatalkan). Adapun menurut istilah nasakh ialah mengangkat
(menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hukum (khithab) syara’ yang lain (yang
datang kemudian). Nasikh - Mansukh mengharuskan adanya syarat - syarat berikut :

1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.


2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan
waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan
berakhiranya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Macam – macam Nāsikh dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu :
1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku

Makna dari nāsikh dan mansūkh yaitu menghapuskan (izalah), mengganti


(tabdil), mengalihkan / mengubah (tahwil), memindahkan dari satu tempat ke tempat
lain . menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus).Pendapat mengenai ayat-
ayat Alquran yang dianggap mansūkh di antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah
ayat yang dianggap mansūkh berjumlah 100 buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al
Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya. Setelah diteliti ternyata hukumnya tidak
berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama setuju dengan vonis Nahas itu.
DAFTAR PUSTAKA

http://muslim.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-hajj-52.html.

Zaini, Muhammad. Wahid, Abdul. 2016. Pengantar ‘Ulumul Qur’an dan


Ulumul Hadits. Banda Aceh. PeNA

Abdul Haris. “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”, Tajdid, Vol. XIII No. 1,
Januari-Juni 2014

Rosihon Anwar. 2000. Ulum Al-Qur’an, Bandung. Pustaka Setia,

Hermawan, Acep. 2011. Ulūmul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu.


Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

Kitab Suci Al-Qur’an

Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir.  Semarang. PT. Pustaka Rizki Putra

Anda mungkin juga menyukai