Anda di halaman 1dari 10

MENELAAH TEORI NASIKH DAN MANSUKH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu:
Dr. M. Faizul Husnayain, M.Pd.I

Oleh:
ABDUL MUKTI (20230212002)
AMIN TOHARI (
RIANSANTOSA

FAKULTAS SOSEKHUM PROGRAM STUDI HUKUM SYARIAH


UNIVERSITAS NAHDAHATUL ULAMA
PURWOKERTO
2023

1
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Sang pemilik cinta yang sejati dan
yang telah memberikan segala ridho serta karunia-Nya kepada semua umat
manusia untuk beraktifitas di muka bumi ini. Dan shalawat serta salam tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita kepada
suatu arah dan tujuan yang jelas dan terang benderang bagaiakan matahari
menyinari dunia.

Makalah ini hanyalah sekilas ulasan tentang materi Ulumul Qur’an yang
lebih menitik beratkan dan cara bagaimana menelaah teori nasikh dan
mansukh yang semuanya jauh dari kesempurnaan. Penulis turut berterima kasih
kepada Dr. M. Faizul Husnayain, M.Pd.I yang senantiasa membimbing dalam
mempelajari Ulumul Qur’an dan tak lupa motivasi dari rekan-rekan penulis.

Tentunya segala sesuatu tidak ada yang sempurna dalam segala aspeknya,
tak terkecuali makalah ini. Akan tetapi penulis tetap berusaha untuk
menyelesaikannya dengan sebaik mungkin. Jadi mohon maaf jika ada kesalahan
secara teknis penulisan maupun subtansi. Saran dan komentar yang membangun
dari para pembaca, sangatlah penulis butuhkan demi perbaikan makalah ini.

Purwokerto, 15 September 2023

Abdul Mukti

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian nsikh dan mansukh................................................................5
B. Macam macam nasikh dan mansukh.......................................................6
C. menelaah nasikh dan mansukh................................................................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Allah menurunkan shari’at di dalam Alquran kepada Nabi


Muhammad untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan muamalah.
Tentang bidang ibadah dan mu’āmalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan
membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan manusia. Maka dalam
pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh
Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang
sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena
Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang
mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus
mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pengertian nasikh dan mansukh ?
2. Macam macam nasikh dan mansukh ?
3. Apa saja dasar dasar nasikh dan mansukh ?

C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh
2. Untuk mngetahui dasar dasar nasikh dan mansukh
3. Untuk mengetahui bentuk dan jenis nasikh dan mansukh

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh

Nasikh secara bahasa mempunyai beberapa arti. “Iza>latu al shay’I


wa i’da>muhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “
Naqlu al shay’i” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil”
(penggantian), berarti “Tahwil” (pengalihan). Sedangkan naskh secara istilah

4
adalah: Mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil/khith{ab syara’
yang lain.
Dari kutipan di atas sudah jelas bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya
pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus
ada nasikh, harus ada mansukh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya.
mansukh merupakan hukum yang diangkat atau yang dihapus.

B. Syarat-syarat Naskh
1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’.
2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khit{ab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.

C. Pembagian Naskh
Naskh dibagi menjadi tiga ;
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat bulan sepuluh
hari.
‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َو ِص َّيًة َأِلْز َو اِج ِهْم َم َتاًعا ِإَلى‬
‫اْلَح ْو ِل َغْيَر ِإْخ َر اٍج َفِإْن َخ َر ْج َن َفاَل ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفي َم ا َفَع ْلَن ِفي‬
[ ٢٤٠ : ‫َأْنُفِس ِهَّن ِم ْن َم ْعُروٍف َو ُهَّللا َع ِزيٌز َح ِكيٌم ]البقرة‬
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap
diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah
[2]: 240)[2]

‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة‬
‫َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا‬
‫َفِإَذ ا َبَلْغ َن َأَج َلُهَّن َفاَل ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَع ْلَن ِفي َأْنُفِس ِهَّن ِباْلَم ْعُروِف‬
[ ٢٣٤ : ‫َو ُهَّللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر] البقرة‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat . (QS.Al-Baqarah [2]: 234)
[3]

2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadith mutawatir dan ahad dinasakh oleh
hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadith ahad.

5
Contoh:
‫ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِزَياَر ِة اْلُقُبْو ِر َأَال َفُز ْو ُرْو َها‬
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah”
‫َفِإْن ُش ْر َب الَّراِبَعِة َفاْقُتُلْو ُه‬
“Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”

Dinasakh oleh hadith:


‫َأَّنُه ُح ِمَل ِإَلْيِه َم ْن َش ِرَبَها الَّراِبَع َة َفَلْم َيْقُتْلُه‬
Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr
keempat kalinya, tetapi rasul tidak membunuhnya. Sabda Rasululah:

‫ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ِن اَّدَخ اِر لُح ُو ِم ْاَألَض اِح يِ َألْج ِل الَّد ا َفِة َفاَّد ِخ ُرْو َها‬
Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada
golongan yang membutuhkan, maka sekarang simpanlah.

3. Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an


Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:
‫َقْد َنَر ى َتَقُّلَب َو ْج ِهَك ِفي الَّس َم اِء َفَلُنَو ِّلَيَّنَك ِقْبَلًة َتْر َض اَها َفَو ِّل َو ْج َهَك‬
‫َش ْطَر اْلَم ْس ِج ِد اْلَح َر اِم َو َح ْيُث َم ا ُكْنُتْم َفَو ُّل وا ُو ُج وَهُك ْم َش ْطَر ُه َو ِإَّن‬
‫اَّلِذ يَن ُأوُتوا اْلِكَتاَب َلَيْع َلُم وَن َأَّنُه اْلَح ُّق ِم ْن َر ِّبِهْم َو َم ا ُهَّللا ِبَغ اِف ٍل َع َّم ا‬
]١٤٤: ‫َيْع َم ُلوَن [البقرة‬
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah
mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
diberi al-kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke
Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 144)[4]

A. Macam-Macam Nāsikh dalam al-Qur’an


Nāsikh dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini
tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya
riwayat Bukha>ri dan Muslim, yaitu hadits ‘A<isyah ra.

‫َك اَن ِفْيَم ا ُأْنِزَل َع َش ُر َر َض َع اٍت َم ْع ُلْو َم اِت ُيَح ِّر ْم َن َفُنِس ْخ َن ِبَخ ْم ٍس‬
‫ َفُتُو ِّفَي َر ُسْو ُل ِهللا صلى هللا عليه وسلم (َو ُهَّن ِمَّم ا ُيْقَر ُأ ِم َن‬.‫َم ْع ُلْو َم اٍت‬
) ‫اْلُقْر َأِن‬.
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh
isapan menyusu yang diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan

6
menyusu) yang diketahui. Seteah Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap
dibaca sebagai bagian al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap
bersaudara apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah
seorang di antara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan
kemudian dināsikh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan
dalam menyusu karena baik bacaannya maupun hukumnya telah dināsikh.[5]
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Misalnya
ayat tentang mendahulukan sedekah:

‫َيَاُّيَها اْلِذ ْيَن َاَم ُنْو آ ِإَذ ا َنَج ْيُتْم الَّر ُسْو َل َفَثِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد َّي َنْج َو ُك ْم َص َد َقًة َذ ِلَك‬
]۱۲: ‫ [المجادلة‬. ‫َخ ْيُر َلُك ْم َو َاْطَهُر َفِإْن َلْم َتِج ُد ْو ا َفِإَّن َهللا َغ ُفْو ُر َّر ِح ْيٌم‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang
miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu dan lebih bersih, jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedahkan)
maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (Q.S. al-
Muja>dalah [58]: 12)[6]
Ayat ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:
‫َأَاْش َفْقُتْم َاْن ُتَقِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد َّي َنْج َو اُك ْم َص َد َقاٍت َفِاْذ َلْم َتْفَع ُلْو ا َو َتاَب ُهللا‬
‫َع َلْيُك ْم َفَاِقْيُم ْو ا الَّص َلوَة وَاُتْو ا الَّز َك وَة َو َاِط ْيُعْو ا َهللا َو َر ُسْو َلُه َو ُهللا َخ ِبْيٌر ِبَم ا‬
‫َتْع َم ُلْو َن‬.
[۱۳: ‫]المجادلة‬
“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya, dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 13).[7]
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Contoh ayat rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat al-Qur’an. Ayat yang
dinyatakan mansūkh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:

‫ِإَذ ا َز َنا الَّش ْيُخ الَّش ْيَخ ُة َفاْر ُج ُم ْو َهَم ا‬


“Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.
Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat
Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang
bernada mengenai ayat yang dianggap bacaannya mansūkh itu. Umamah
mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
‫الَّش ْيُخ َو الَّش ْيَخ ُة َفاْر ُج ُم ْو ُهَم ا الَبَتَة ِبَم ا َقَض َيا ِم َن اَّلَّذ ِة‬.
“Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran
apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”[8]

7
B. Dasar-dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh
Manna>’ Al-Qat}t}an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu
ayat dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar
adalah:
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para
sahabatnya, seperti hadis yang artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur,
sekarang berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga
disebut nāsikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-
Qat}t}an menambahkan bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur
ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila
dilihat dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa
riwayat.

C. Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansūkh


Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang
dianggap mansūkh di antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang
dianggap mansūkh berjumlah 100 buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al
Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya. Setelah diteliti ternyata hukumnya
tidak berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama setuju dengan vonis
Nahas itu. Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain berasal
dari provinsi Ashut} (karena dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang ayat-ayat
yang telah batal hukumnya itu. Al Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-
ayat yang dipandang mansūkh dengan yang dianggap nāsikh. Kesimpulan
Suyut}iy, ada 20 ayat yang terpaksa dinyatakan mansūkh.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai
dengan tahun 1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin
digabungkan ternyata olehnya bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut
Shaukaniy hanya 8 buah.[9]
Contoh :
ۚ ‫َو ِهَّلِل اْلَم ْش ِر ُق َو اْلَم ْغ ِرُب ۚ َفَأْيَنَم ا ُتَو ُّلوْا َفَثَّم َو ْج ُه ٱ‬
‫ِهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َو اِس ٌع َع ِليٌم‬
] ۱۱۵ :‫[البقرة‬
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-
Nya) lagi Maha Mengetahui”.[10]
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu
Abbas, dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
] ١٥٠ : ‫ [البقرة‬....‫ۚ َو َح ْيُث َم ا ُك نُتْم َفَو ُّلوْا ُو ُجوَهُك ْم َش ْطَر ُه‬
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu
ke arahnya”. [11]
Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy
Al Nisaburiy dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa
Al Mansūkh - demikian: “Setiap kali Nabi Muhammad mengerjakan salat,
wajahnya menengadah ke langit dan berseru: “Wahai Jibril, sampai kapankah

8
daku salat menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan Rasulullah,
Jibril hanya mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah
Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.
Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al
Maqdis disebabkan kerisian Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian
Nabi mendorong beliau mengadu kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya.
Karena seperti diakui Jibril sendiri, dia hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi
Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150 surat al-Baqarah. Padahal
bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan bahwa perubahan
kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan yang
hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan
pengikut Rasulullah.[12]

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang
lain. Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan
hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang
dibebani hukum atasnya. Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi, yakni : Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah
hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih dulu daripada mansūkh, khitab
yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu. Dalam
cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh quran dengan
quran, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan quran. Terdapat
beberapa pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya, pendapat
mengenai jumlah ayat dan ayat tersebut. al Nahas berpendapat jumlah ayat yang
dimansūkh berjumlah 100 ayat. Suyuṭiy berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan
Al Shaukaniy berpendapat 8 ayat.

9
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qat{t{an, Manna>’ Khali>l. Studi Ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera
AntarNusa, 2014.
Anwar, Rosihon. Ulumu al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Haris, Abdul . “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”. Tajdid, (2014), XIII: 205-
206.
Hermawan, Acep. Ulumul Quran untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011.

[1] Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”, Tajdid, Vol. XIII No. 1, Januari-Juni
2014, 205-206.
[2] Q. S. al-Baqarah (2) : 240.
[3] Q. S. al-Baqarah (2) : 234.
[4] Q. S. al-Baqarah (2) : 144.
[5] Anwar Rosihon, Ulūm Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 175.
[6] Q. S. al-Mujaādalah (58) : 12.
[7] Ibid.,176.
[8] Ibid.,177.
[9] Acep Hermawan, ‘Ulūmul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2011), 182.
[10] Q. S. al-Baqarah (2) : 115.
[11] Q. S. al-Baqarah (2) : 150.
[12] Hermawan, Ulūmul Quran, 185.

10

Anda mungkin juga menyukai