Anda di halaman 1dari 12

ILMU NASIKH WAL MANSUKH AL QUR'AN

DI
S
U
S
U
N
OLEH
Nama : Muhammad Husni Reza
Zulfahdi
TM Rizal
Unit/Sem : 3/1
Prodi : HES
Dosen : Alfattiah Aldin, M.Ag

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH


AL-HILAL SIGLI
TAHUN 2022
A. Pengertian Nāsikh dan Mansūkh
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. Berarti “Izalatu al shay’I
wa i’damuhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “
Naqlu al shay’i” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil”
(penggantian), berarti “Tahwil” (pengalihan). Sedangkan naskh secara istilah
adalah: Mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil/khith{ab syara’
yang lain. Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan
dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu
hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti.
Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya
pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus
ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya.
Mansūkh merupakan hukum yang diangkat atau yang dihapus.1
Syarat-syarat Naskh
1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’.
2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khit{ab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.

A. Pembagian Naskh Mansukh


Naskh dibagi menjadi tiga ;
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat
bulan sepuluh hari.

ٍ ‫صيَّةً َأِل ْز َوا ِج ِه ْم َمتَاعًا ِإلَى ْال َحوْ ِل َغ ْي َر ِإ ْخ َر‬


‫اج فَِإ ْن خَ َرجْ نَ فَاَل جُ نَا َح‬ ِ ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا َو‬
٢٤٠ : ‫َزي ٌز َح ِكي ٌم ]البقرة‬ ٍ ‫[ َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن ِم ْن َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َوهَّللا ُ ع‬

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika

Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”, Tajdid, Vol. XIII No. 1, Januari-
1

Juni 2014, 205-206.


mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari
yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka.
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 240)2

‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا يَتَ َربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا‬
ِ ‫[ فَِإ َذا بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬
٢٣٤ : ‫ُوف َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر] البقرة‬

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat . (QS.Al-Baqarah [2]: 234)3

2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadith mutawatir dan ahad dinasakh


oleh hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadith ahad.
Contoh:
‫ت نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزيَا َر ِة ْالقُبُوْ ِر َأالَ فَ ُزوْ رُوْ هَا‬
ُ ‫ُك ْن‬
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah”
ُ‫ب الرَّابِ َع ِة فَا ْقتُلُوْ ه‬
َ ْ‫فَِإ ْن ُشر‬
“Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”
Dinasakh oleh hadith:
ُ‫َأنَّهُ ُح ِم َل ِإلَ ْي ِه َم ْن َش ِربَهَا الرَّابِ َعةَ فَلَ ْم يَ ْقتُ ْله‬
Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr
keempat kalinya, tetapi rasul tidak membunuhnya. Sabda Rasululah:
‫ضا ِحي َِألجْ ِل ال َّدا فَ ِة فَا َّد ِخرُوْ هَا‬
َ ‫َار ل ُح ُو ِم اَْأل‬ ُ ‫ُك ْن‬
ِ ‫ت نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َِن ا َّدخ‬

Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada


golongan yang membutuhkan, maka sekarang simpanlah.
3. Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an
Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:
2
Q. S. al-Baqarah (2) : 240
3
Q. S. al-Baqarah (2) : 234

2
ُ ‫ْج ِد ْال َح َر ِام َو َحي‬
‫ْث َما ُك ْنتُ ْم فَ َولُّوا‬ ْ ‫ك َش‬
ِ ‫ط َر ْال َمس‬ َ َ‫ضاهَا فَ َو ِّل َوجْ ه‬ َ ْ‫ب َوجْ ِهكَ فِي ال َّس َما ِء فَلَنُ َولِّيَنَّكَ قِ ْبلَةً تَر‬َ ُّ‫قَ ْد نَ َرى تَقَل‬
]١٤٤: ‫ق ِم ْن َربِّ ِه ْم َو َما هَّللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُونَ [البقرة‬ َ ‫ط َرهُ وَِإ َّن الَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِكت‬
ُّ ‫َاب لَيَ ْعلَ ُمونَ َأنَّهُ ْال َح‬ ْ ‫ُوجُوهَ ُك ْم َش‬
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu
ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke
arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-
kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram
itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 144)4

a. Macam-Macam Nāsikh dalam al-Qur’an


Nāsikh dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan. Ayat-ayat yang terbilang
kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
Misalnya riwayat Bukhari dan Muslim, yaitu hadits ‘Aisyah ra.

ٍ ‫س َم ْعلُوْ َما‬
‫ فَتُ ُوفِّ َي َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه‬.‫ت‬ ِ ‫ت َم ْعلُوْ َما‬
ٍ ‫ت يُ َح ِّر ْمنَ فَنُ ِس ْخنَ بِ َخ ْم‬ ٍ ‫ض َعا‬ َ ‫َكانَ فِ ْي َما ُأ ْن ِز َل َع َش ُر َر‬
)‫وسلم ( َوه َُّن ِم َّما يُ ْق َرُأ ِمنَ ْالقُرْ َأ ِن‬.
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh isapan
menyusu yang diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu) yang
diketahui. Seteah Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai
bagian al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara
apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di
antara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian
dināsikh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam
menyusu karena baik bacaannya maupun hukumnya telah dināsikh.5
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah:

4
Q. S. al-Baqarah (2) : 144
5
Anwar Rosihon, Ulūm Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 175.

3
ْ َ‫ك َخ ْي ُر لَ ُك ْم َوا‬
َ‫طهَ ُر فَِإ ْن لَ ْم ت َِج ُدوْ ا فَِإ َّن هللا‬ َ ِ‫ص َدقَةً َذل‬ َّ ‫يَاَيُّهَا ْال ِذ ْينَ اَ َمنُوْ آ ِإ َذا نَ َج ْيتُ ْم ال َّرسُوْ َل فَثَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َد‬
َ ‫ي نَجْ َو ُك ْم‬
]۱۲: ‫ [المجادلة‬.‫َغفُوْ ُر َّر ِح ْي ٌم‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus


dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih
bersih, jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedahkan) maka sesungguhnya
Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 12)[6]
Ayat ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:

َ‫صلَوةَ واَتُوْ ا ال َّز َكوة‬ َ ‫ت فَا ِ ْذ لَ ْم تَ ْف َعلُوْ ا َوت‬


َّ ‫َاب هللاُ َعلَ ْي ُك ْم فَاَقِ ْي ُموْ ا ال‬ ٍ ‫ص َدقَا‬ َ ‫ي نَجْ َوا ُك ْم‬ َّ ‫َأاَ ْشفَ ْقتُ ْم اَ ْن تُقَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َد‬
َ‫ َواَ ِط ْيعُوْ ا هللاَ َو َرسُوْ لَهُ َوهللاُ خَ بِ ْي ٌر بِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬.
[۱۳: ‫]المجادلة‬
“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 13).6
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Contoh ayat rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat al-Qur’an. Ayat yang
dinyatakan mansūkh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
‫ِإ َذا زَ نَا ال َّش ْي ُخ ال َّشيْخَ ةُ فَارْ ُج ُموْ هَ َما‬
“Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.
Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay
bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai
ayat yang dianggap bacaannya mansūkh itu. Umamah mengatakan bahwa
Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
‫ضيَا ِمنَ الَّ َّذ ِة‬
َ َ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّشيْخَ ةُ فَارْ ُج ُموْ هُ َما البَتَةَ بِ َما ق‬
.

6
Q. S. al-Mujaādalah (58) : 12

4
“Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang
mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”7
b. Dasar-dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh
Manna>’ Al-Qat}t}an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar adalah:
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para
sahabatnya, seperti hadis yang artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur,
sekarang berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut
nāsikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-Qat}t}an
menambahkan bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad,
pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat
dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.

B. Urgensi Mengetahui Nasikh


1. Menerima Adanya Nasakh
Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat, nasakh adalah
suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum
syara’. Berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut; (1)perbuatan Allah tidak
bergantung pada alasan dan tujuan. Allah bisa saja memerintahkan sesuatu pada
suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang
lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
Abd al Wahhab al Khallab berpendapat sebagaimana dikutip Nashruddin
Baidan dalam bukunya Wawasan baru ilmu tafsir, bahwa memang terdapat nasakh
sebelum Rasul wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasakh. 8 Menurut
Abdul Azim al Zarqani sebagaimana dikutip M Quraish Shihab bahwa para
pendukung nasakh mengakui bahwa nasakh baru dilakukan apabila;(a) terdapat
dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan.
(b) Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut,
7
Ibid.,177
8
Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I, 2005, h 176

5
sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian
sebagai nasikh.9 Termasuk ulama-ulama yang menerima adanya nasakh adalah Al
Suyuthi dan Imam Syafi’I.
b. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al Isfahani.
Kemudian diikuti oleh para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah;
(1) sekiranya dalam Al Qur’an ada nasakh, maka berarti dalam Al Qur’an ada
yang salah atau batal. Sedang dalam Al Qur’an dinyatakan tidak ada
kebatalan(QS.41:42). (2)Dalil yang dijadikan alasan nasakh perlu peninjauan
lebih lanjut. Kosakata”ayat” tidak hanya berarti ayat Al Qur’an tetapi dapat berarti
mu’jizat, dapat juga berarti kitab sebelum Al Qur’an(Taurat, Zabur, dan Injil)
disamping itu kata nasakh mempunyai arti bermacam-macam. (3)Tidak ada
kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah dinasakh.(4) Tidak ada
penegasan dari Nabi tentang ada atau tidaknya nasakh.(5)Adanya ayat yang
nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum
bisa menjadi jaminan adanya nasakh. Ternyata banyak ayat yang semula diduga
telah dinasikh-kan, dapat dikompromikan dengan jalan takhsikh, atau taqyid atau
ta’wil atau dengan cara lain.10
Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang dianggap
mansūkh di antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang dianggap
mansūkh berjumlah 100 buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al Nahas
berlawanan dengan ayat-ayat lainnya. Setelah diteliti ternyata hukumnya tidak
berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama setuju dengan vonis Nahas itu.
Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain berasal dari provinsi
Ashut} (karena dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang ayat-ayat yang telah batal
hukumnya itu. Al Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang
dipandang mansūkh dengan yang dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyut}iy, ada 20
ayat yang terpaksa dinyatakan mansūkh.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai
dengan tahun 1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin
9
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit h 146
10
Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, op cit h 178-180

6
digabungkan ternyata olehnya bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut
Shaukaniy hanya 8 buah.11
Contoh :
ْ ُّ‫ق َو ْال َم ْغ ِر ۚبُ فََأ ْينَ َما تُ َول‬
‫وا فَثَ َّم َوجْ هُ ٱهَّلل ۚ ِ ِإ َّن ٱهَّلل َ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬ ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬
[۱۱۵ :‫] البقرة‬
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.12
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu
Abbas, dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
ْ ‫وا ُوجُوهَ ُك ْم َش‬
ۚ ] ١٥٠ : ‫ [البقرة‬....ُ‫ط َره‬ ْ ُّ‫ْث َما ُكنتُ ْم فَ َول‬
ُ ‫َو َحي‬
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya”. 13
Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy
Al Nisaburiy dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa Al Mansūkh
- demikian: “Setiap kali Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya
menengadah ke langit dan berseru: “Wahai Jibril, sampai kapankah daku salat
menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan Rasulullah, Jibril hanya
mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah Tuhanmu.”
Tiba-tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.
Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis
disebabkan kerisian Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi
mendorong beliau mengadu kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya.
Karena seperti diakui Jibril sendiri, dia hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi
Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150 surat al-Baqarah. Padahal
bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan bahwa perubahan
kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan yang

11
Acep Hermawan, ‘Ulūmul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011), 182
12
Q. S. al-Baqarah (2) : 115
13
Q. S. al-Baqarah (2) : 150

7
hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan
pengikut Rasulullah.14

C. Contoh Ayat Yang Di Nasikh

Al Suyuti  menyebutkan beberapa contoh ayat nasikh dan mansukh


sebagaimana disebutkan dalam Mabahis fi ‘Ulumul Qur’an(Studi ilmu-ilmu
Qur’an. Juga terdapat dalam Al Qur’an dan Tafsirnya, Yaitu:

A. Firman Allah dalam Q.S.  al-Baqarah/ 2 :115.


Yang Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka ke mana
pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.

B. Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :144.


Yang Artinya : Maka hadapkan wajahmu ke arah Masjidil Haram … 

Menurut Syaikh Manna’ ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan

dengan salat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan,

juga dalam keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini

tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua

berkenaan dengan salat fardu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua

ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dalam

sunnah. 15

C. Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :183.Firman Allah dalam Q.S.

al-Baqarah/ 2 :185
Yang Artinya “Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan,
hendaklah ia berpuasa…..” 16

Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal dari Salamah bin

Akwa, “ ketika turun Surah Al-Baqarah ayat 184, maka orang yang ingin

tidak berpuasa, ia membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya

yang menasakhkannya”.

14
Hermawan, Ulūmul Quran, 185
15
Manna Khalil al-Qattan, op. cit., h. 344.
16
Departemen Agama R.I.,  op. cit.,h. 45

8
Ibn Abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkam, tidak mansukh.

Bukhari meriwayatkan dari ‘Ata’, bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca:

“Dan bagi mereka yang kuat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)

membayar fidyah, memberi makan seorang miskin.” Ibn Abbas mengatakan,

ayat ini tidak dimansukh, tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah lanjut

usia yang tidak lagi sanggup berpuasa. Mereka boleh tidak berpuasa dengan

memberikan makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya. Dengan

demikian, maka makna yatikuwnahu bukanlah yastatiyuwnahu (sanggup

menjalankanya). Tetapi maknanya ialah “mereka sanggup menjalankannya

dengan sangat susah payah dan memaksakan diri”.17


Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 240

َ Ä‫وْ ِل َغ ْي‬ÄÄ‫ا ِإلَى ْال َح‬ÄÄ‫اج ِهم َّمتَا ًع‬


‫ر‬Ä ِ ‫يَّةً َأل ْز َو‬Ä‫ص‬
ِ ‫ َو‬Ä‫ ا‬Ä‫ َذرُونَ َأ ْز َوا ًج‬Äَ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِمن ُك ْم َوي‬
Äٍ ‫ ر‬Ä‫ ِه َّن ِمن َّم ْع‬Ä ‫ا فَ َع ْلنَ فِي َأنفُ ِس‬ÄÄ‫ا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َم‬ÄÄَ‫ َرجْ نَ فَالَ ُجن‬Ä‫ِإ ْن َخ‬Ä َ‫اج ف‬
ُ‫ُوف َوهللا‬ ٍ ‫ َر‬Ä‫ِإ ْخ‬
– 240 : ‫َزي ُُز َح ِكي ُُم – البقرة‬ ِ ‫ع‬
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma’ruf terhadap diri
mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)18
Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.

‫ِإ َذا‬ÄÄَ‫ يَتَ َربَّصْ نَ بَِأنفُ ِس ِه َّن َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا ف‬Ä‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِمن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َوا ًجا‬
َ‫ون‬ÄÄُ‫ا تَ ْع َمل‬ÄÄ‫ُوف َوهللاُ بِ َم‬
Äِ ‫ال َم ْعر‬Ä ْ Äِ‫ ِه َّن ب‬Ä‫ا فَ َع ْلنَ فِي َأنفُ ِس‬ÄÄ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِي َم‬
َ ‫بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَالَ ُجن‬
– 234 : ‫خَ بِي ُر * – البقرة‬
 

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada
dosa bagimu(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka

17
Manna Khalil al-Qattan op. cit., h. 345
18
Departemen Agama RI, op cit, h 59

9
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-
Baqarah /2:234)19.

D. Kesimpulan
Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang
lain. Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan
hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang
dibebani hukum atasnya. Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi, yakni : Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah
hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih dulu daripada mansūkh, khitab yang
mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu. Dalam cakupannya naskh dibagi
menjadi tiga, antara lain : Naskh quran dengan quran, naskh sunnah dengan
sunnah, naskh sunnah dengan quran. Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat
yang mansūkh. Di antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat dan ayat tersebut. al
Nahas berpendapat jumlah ayat yang dimansūkh berjumlah 100 ayat. Suyuṭiy
berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan Al Shaukaniy berpendapat 8 ayat.

Para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al
Qur’an. Sedangkan hadis yang dinasakh oleh ayat Al Qur’an jumhur ulama
mengakui adanya hal tersebut. Dan ayat Al Qur’an yang dinasakh oleh hadis para
ulama sepakat hal tersebut tidak ada.

19
Ibid h, 57

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qat, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera
AntarNusa, 2014.
Anwar, Rosihon. Ulumu al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Haris, Abdul . “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”. Tajdid, (2014), XIII: 205-
206.
Hermawan, Acep. Ulumul Quran untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2011.

Anda mungkin juga menyukai