Anda di halaman 1dari 14

KEGIATAN BELAJAR 3

IJMAK SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta mampu menganalisis ijmak sebagai sumber hukum Islam

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis konsep Ijmak sebagai sumber hukum Islam
2. Menganalisis objek dan kedudukan ijmak sebagai sumber hukum Islam
3. Menganalisis ijtihad jama’i

C. Uraian Materi
1. Pengertian Ijmak
Ijmak secara etimologi berasal dari kata ajma’a - yujmi’u - ijma’an dengan
isim maf’ul mujma yang memiliki dua makna. Pertama, ijmak bermakna tekad
yang kuat. Oleh karena itu, jika dikatakan “ajma’a fulan ‘ala safar”, berarti bila ia
telah bertekad kuat untuk bepergian dan telah menguatkan niatnya,
sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Yunus/10: 71.
ُ َ ُ ُ َ ُ ََْ
‫فاج ِمع ْوا ا ْم َرك ْم َوش َركا َۤءك ْم‬

Artinya:”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-


sekutumu (untuk membinasakanku)”. (QS. Yunus/10: 71)

jmak bermakna sepakat. Jika dikatakan “ajma’ al-muslimun ‘ala kadza”, berarti
mereka sepakat terhadap suatu perkara.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna ijmak menurut
arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan
syarat ijmak. Namun, definisi ijmak yang paling banyak digunakan adalah
kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah
wafatnya beliau saw. pada masa tertentu atas suatu perkara agama.
Hal itu pernah dilakukan oleh Abu Bakar. Apabila ditemukan suatu
perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah. Jika tidak ditemui dalam
kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasul saw., ia pun berhukum
dengan sunah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunah Rasul saw., ia

28
kumpulkan para sahabat dan ia lakukan musyawarah untuk menemukan
solusi atas suatu masalah dan menetapkan hukumnya.
2. Dasar Hukum Ijmak
a. Dalil Al-Qur’an
1). QS. al-Nisa/4: 59.
َ ْ ُ َ ُ َ ْ ُ َ َّ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َّ َ َ
ُ‫از ْع ُت ْم في َش ْيء َف ُر ُّدوه‬
َ َ َ ْ
‫يََا أيُّها ال ِذين آمنوا أ ِطيعوا اّلل َوأ ِطيعوا الرسول وأوِلي الأم ِر ِمنكم ف ِإن تن‬
ْ َ ُ َّ
ٍ ِ
ً َْ ُ َ ْ ََ ٌْ َ َ َ ْ ‫اّلل َو ْال َي‬ َ ُ ُْ ْ ُ ُ ُ ‫الر‬
َ
‫الآخ ِر ذ ِلك خير وأحسن تأ ِويلا‬ ‫م‬ ‫و‬ ِ ِ ‫ول ِإن كنتم تؤ ِمن‬
‫ب‬ ‫ون‬ ‫س‬ َّ ‫اّلل َو‬
ِ ‫ى‬ ‫ِإل‬
ِ ِ ِ
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-
Qur’an) dan Rasul (sunah), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”. (QS. al-Nisa/4: 59)
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti
hal/keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan
urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara,
pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah
para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu
telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa,
maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum
muslimin.
2) Firman Allah dalam QS. Ali Imran/3: 103.
ُ ََ َ ً َ َ ْ َ ْ
ِْ‫اّلل ج ِميعا َولا تفَّرقوا‬
ِ ‫واعت ِص ُموا ِبح ْب ِل‬

Artinya:”Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan


janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali Imran/3: 103)
3) Firman Allah dalam QS. al-Nisa/4: 115.
ْ ‫س‬
‫اءت‬ ْ ‫س ِبي ِل ْالمؤْ مِ نِينَ ن َو ِل ِه َما ت ََولَّى َون‬
َ ‫ص ِل ِه َج َهنَّ َم َو‬ َ ‫الرسو َل مِ ن َب ْع ِد َما ت َ َبيَّنَ لَه ْالهدَى َو َيتَّ ِب ْع‬
َ ‫غي َْر‬ َّ ‫ق‬ِ ‫َو َمن يشَا ِق‬
‫صيرا‬ِ ‫َم‬
Artinya:”Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itudan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali”. (QS. al-Nisa/4: 115)

29
Pada ayat ini Allah swt. melarang untuk menyakiti/menentang
Rasulullah dan melarang membelot/menentang jalan yang disepakati
kaum mukminin. Imam Syafi’i ketika ada yang menanyakan kepadanya
dasar bahwa kesepakatan para ulama bisa dijadikan dasar hukum, ia
menunda jawaban atas pertanyaan orang tersebut hingga tiga hari. Beliau
mengulang-ulang hafalan al-Qur’an hingga menemukan ayat ini.
b. Dalil Sunah
1) Sabda Nabi saw.
َ َ ُ
َ َ َ َ َْ
‫َلا تجت ِم ُع أَّم ِتي على ضلال ٍة‬

Artinya:”Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan”. (HR.


Tirmidzi)
2) Sabda Rasul saw.
َ ُ َ َ َ
ٌ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ ََّ ُ َّ َ ْ َ َ َ ُ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ُ ُ ُ ْ َ ْ َ
،‫ وأمرهم ج ِميع‬،‫من رأيتموه فارق الجماع ِة أو ي ِريد أن يف ِرق بين أم ِة محم ٍد صلى اّلل عليهِ وسلم‬
َ َ َْ َّ َ َّ َ َ َ ً َ ُ ُُ ْ َ
‫اّلل َم َع الجماع ِة‬
ِ ‫ ف ِإن َيد‬،‫وه كائِنا َم ْن كان‬ ‫فاقتل‬

Siapa saja yang kalian pandang meninggalkan jama’ah atau ingin


memecah belah umat Muhammad saw. sedangkan dalam perkara
tersebut mereka sepakat, maka bunuhlah ia siapapun gerangannya,
karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah. (HR. Ibnu Hibban)
Dalil di atas meskipun berbicara mengenai pemberontak
pemerintahan yang sah, namun ia menjadi bukti betapa kuatnya
pengaruh ijmak dalam Islam.
c. Dalil Logika
Secara logika dapatlah dikatakan bahwa ijmak umat Islam bisa saja
salah dan bisa saja benar. Jika benar maka tak pelak ia merupakan dalil.
Namun, jika salah, maka bagaimana mungkin mereka semua salah sedang
mereka adalah sebaik-baik umat manusia? Artinya, jika umat Islam telah
sepakat, maka kebenaran pasti terdapat.
Setiap ijmak yang ditetapkan menjadi hukum syarak, harus dilakukan
dan disesuaikan dengan asal-asas pokok ajaran Islam. Oleh karena itu,
setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok
ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad, serta
hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad menggunakan nash,
maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang

30
mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya, jika dalam berijtihad, ia tidak
menemukan satu nash pun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka
dalam berijtihad, ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama
Islam. Oleh karena itu, ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash,
seperti kiyas, istihsan, dan sebagainya.
Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka
hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau
menyalahi al-Qur’an dan hadis, karena semuanya dilakukan berdasar
petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti
ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil
pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa
lebih utama diamalkan.

3. Rukun Ijmak
Adapun rukun ijmak sebagaimana definisi di atas adalah adanya
kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa atas hukum syarak. Rukun ijmak
terdiri dari empat hal:
a. Ada beberapa orang mujtahid
Tidak cukup ijmak dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila
keberadaanya hanya seorang saja di suatu masa. Suatu kesepakatan (ijmak)
harus dilakukan lebih dari satu orang yang pendapatnya disepakati antara
satu dengan yang lain.
b. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syarak dalam suatu
masalah dengan melihat negeri, jenis, dan kelompok mereka.
Andai yang disepakati atas hukum syarak hanya para mujtahid haramain,
para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu al-sunnah, mujtahid Syiah,
maka secara syarak kesepakatan khusus ini tidak disebut ijmak. Ijmak tidak
terbentuk, kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di
dunia Islam dalam suatu masa.
c. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa
ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syarak)
dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu.
Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau
para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus

31
menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau
dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan
hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja
keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah
yang dilakukan para mujtahid.
d. Ijmak hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang
ada, maka keputusan yang demikian belum mencapai derajat ijmak. Ijmak
yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujah syari'ah.
Apabila keempat rukun ijmak atas telah terpenuhi, maka hukum yang
disepakati tersebut menjadi aturan syarak yang wajib diikuti dan tidak
boleh mengingkarinya. Selanjutnya, para mujtahid sesudahnya tidak boleh
lagi menjadikan hukum yang sudah disepakati itu menjadi garapan ijtihad,
karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijmak dengan hukum syar’i yang
qath’i dan tidak dapat dihapus.

4. Macam-macam Ijmak
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijmak terdiri atas:
a. Ijmak Bayani
Ijmak bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan
jelas dan tegas, baik berupa ucapan maupun tulisan. Ijmak bayani disebut
juga ijmak sarih, ijmak qauli atau ijmak hakiki.
b. Ijmak Sukuti
Ijmak sukuti yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri
saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang
telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijmak seperti ini
disebut juga ijmak i'tibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijmak, dapat dibagi kepada:
a. ljmak Qath'i,
ljmak qath'i yaitu hukum yang dihasilkan ijmak itu adalah qath'i,
diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari

32
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijmak
yang dilakukan pada waktu yang lain.
b. ljmak Zanni
ljmak zanni yaitu hukum yang dihasilkan ijmak itu zanni, masih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijmak
yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fikih terdapat pula beberapa macam ijmak yang
dihubungkan dengan masa terjadi dan tempat terjadi atau orang yang
melaksanakannya. Ijmak-ijmak itu adalah:
a. Ijmak Sahabat, yaitu ijmak yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah
saw.
b. Ijmak Khulafaur Rasyidin, yaitu ijmak yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Tentu hal ini hanya dapat dilakukan pada
masa keempat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar meninggal ijmak tersebut tidak dapat dilakukan lagi.
c. Ijmak Shaikhan, yaitu ijmak yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar
bin Khattab.
d. Ijmak Ahli Madinah, yaitu ijmak yang dilakukan oleh ulama-ulama
Madinah. Ijmak ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum
Islam menurut mazhab Maliki, tetapi mazhab Syafi'i tidak mengakuinya
sebagai salah satu sumber hukum Islam;
e. Ijmak Ulama Kufah, yaitu ijmak yang dilakukan oleh ulama-ulama
Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijmak ulama Kufah sebagai salah
satu sumber hukum Islam.
Bentuk-bentuk ijmak ini meskipun disebut ijmak bila dikaitkan dengan
rukun ijmak, maka hakekatnya tidak dapat disebut ijmak, karena rukun-
rukunnya tidak terpenuhi. Ijmak seperti ini lebih tepat bila disebut sebagai
ijtihad jama’i (kolektif), yakni hasil ijtihad dari sekelompok orang seperti hasil
ijtihad yang dikeluarkan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI).
5. Kedudukan Ijmak sebagai Sumber Hukum Islam
KH. Ahmad Sahal Mahfudh dalam kitab ‫ البيان الملمع عن الفاظ اللمع‬menjelaskan
bahwa ijmak menjadi hujah dalam semua hukum syarak, seperti ibadah,

33
muamalah, hukum pidana, pernikahan, dan lain-lain dalam masalah hukum
halal dan haram, fatwa, dan hukum-hukum.
Sedangkan hukum akal dibagi dua. Pertama, sesuatu yang wajib
mendahulukan pekerjaan daripada mengetahui sahnya secara syarak, seperti
barunya alam, penetapan Zat Yang Mencipta, penetapan sifat-sifat-Nya,
penetapan kenabian, dan yang menyerupainya. Dalam hal ini, ijmak tidak
menjadi hujah karena ijmak adalah dalil syarak yang ditetapkan dengan jalan
sam’u (mendengar wahyu). Maka, tidak boleh menetapkan hukum yang wajib
diketahui sebelum sam’u.
Kedua, sesuatu yang tidak wajib mendahulukan pekerjaan di atas sam’u.
Misalnya, bolehnya melihat Allah, ampunan Allah kepada orang-orang yang
berdosa, dan lainnya yang bisa diketahui setelah mendengarkan wahyu. Ijmak
dalam hal ini menjadi hujah karena hal itu boleh diketahui setelah adanya
syarak dan ijmak termasuk dalil syarak, maka boleh menetapkan hukum itu
dengan ijmak.
Adapun persoalan-persoalan dunia, seperti mengatur tentara, perang,
pembangunan, industri, pertanian, dan lainnya dari kemaslahatan dunia, maka
ijmak tidak menjadi hujah karena ijmak dalam masalah itu tidak lebih banyak
dari sabda Nabi dan sabda Nabi hanya menjadi hujah dalam ijmak syarak,
bukan pada kemaslahatan dunia.
6. Ijtihad Jama’i dan Perbedaannya dengan Ijmak
a. Pengertian Ijtihad Jama’i
Ijtihad jama’i berasal dari dua suku kata, yaitu ‘ijtihad’ dan ‘jama’i.’
Ijtihad secara etimologi (bahasa) menurut Ibnu Mandzur (w.711H) adalah
‚mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan. Ijtihad merupakan
mashdar (akar kata) dari ijtahada. Menurut al Raghib al Ashfahani (w.502H),
Ijtihad adalah memulai aktivitas diri dengan mengerahkan segenap
kemampuan serta sabar dalam menahan kesulitan. Menurut al Asnawi
(w.772H) yang merupakan ulama bermazhab Syafi’i, ijtihad secara bahasa
diibaratkan sebagai pengerahan segenap tenaga untuk meraih sesuatu dan
tidak digunakan kecuali dalam permasalahan yang di dalamnya
mengandung beban dan kesulitan. Menurut Ibn al Hajib (w.464H) seorang
ulama bermazhab Maliki, ijtihad adalah pengerahan seorang faqih segala

34
kemampuannya dalam mencapai sesuatu yang zanni di dalam hukum
syari’at.
Definisi di atas memberikan penegasan bahwa, ruang lingkup ijtihad
tidak tertentu kepada dalil yang bersifat dzanni saja, lebih dari itu dalil dalil
yang bersifat qath’i juga bisa menjadi objek bahasan dalam melakukan
ijtihad dalam kondisi tertentu.
Jama’i secara etimologi (bahasa) menurut Ibnu Mandzur (w.711H)
adalah berasal dari kata jama’a, yaitu menkompilasikan sesuatu yang
terpisah dan menggabungkan sesuatu dengan mendekatkan sebagian
kepada sebagaian lainnya. Sedangkan jama’i secara terminologi (istilah)
menurut al Fayyumi (w.770H) adalah dinisbahkan kepada jamaah, yaitu
perkumpulan diantara manusia baik jumlahnya sedikit maupun banyak
yang terkandung di dalamnya kerukunan di antara mereka.
Ijtihad jama’i dinisbahkan kepada jamaah yang dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan istilah kolektif, maka ijtihad jama’i adalah ijtihad jamaah
atau dikenal dengan istilah ijtihad kolektif.
Adapun ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) menurut ulama kontemporer,
yaitu:
Menurut Khalid Husein al Khalid, ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) adalah
usaha pengerahan ijtihad sekumpulan ulama dalam pembahasan dan
musyawarah untuk menistinbathkan hukum syari’at di dalam
permasalahan zanni atau usaha pengerahan ijtihad sekumpulan dari para
fuqaha muslim yang adil dalam pembahasan dan pandangan mereka sesuai
dengan metode ilmu Usul Fikih, kemudian mereka bermusyawarah di
dalam satu majlis khusus untuk mengistinbath atau mengambil kesimpulan
hukum syari’at dalam permasalahan syari’at yang zanni.
Menurut Abdul Majid al Sausah al Syarafi, ijtihad jama’i (ijtihad
kolektif) adalah sebuah upaya optimal dari mayoritas ahli fikih untuk
sampai pada sebuah kesimpulan sementara terhadap hukum Islam tertentu
melalui proses istinbath dan telah menemukan titik kesepahaman kolektif,
atau mayoritas dari mereka telah melakukan elaborasi pendapat untuk
menghasilkan kesepakatan hukum secara bersama.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) adalah
kesepakatan hukum para ulama atas suatu permasalahan tertentu
35
berdasarkan atas hasil putusan hukum ulama terdahulu dengan cara
mendistribusikan dalil dalil yang dijadikan pijakan hukum oleh mereka dan
memilih dalil yang paling kuat dan memiliki relevansi kemaslahatan terkini
dan nyata. Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) berbeda dengan ijmak, karena
ijmak mengharuskan kesepakatan ulama secara bersama dan semasa,
sedangkan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) tidak harus disepati secara masif,
sehingga sebagian sudah memenuhi kategori.
Menurut Yusuf al Qardhawi, ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) adalah
tukar pendapat dari para ahli ilmu (ulama) atas kasus yang menyangkut
permasalahan umum dan memiliki danpak kemaslahatan bagi halayak
umat. Dengan demikian definisi ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) menurut
penulis adalah sama seperti yang Wahbah al Zuhaili sampaikan
dikarenakan merupakan definisi yang paling lengkap dibandingkan dengan
definisi yang ulama kontemporer lainnya sampaikan, yaitu kesepakatan
hukum para ulama atas suatu permasalahan tertentu berdasarkan atas hasil
putusan hukum ulama terdahulu dengan cara mendistribusikan dalil dalil
yang dijadikan pijakan hukum oleh mereka dan memilih dalil yang paling
kuat dan memiliki relevansi kemaslahatan terkini dan nyata.
Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) berbeda dengan ijmak, karena ijmak
mengharuskan kesepakatan ulama secara bersama dan semasa, sedangkan
ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) tidak harus disepati secara masif, sehingga
sebagian sudah memenuhi kategori.
Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dengan musyawarah saling berkaitan
satu dengan lainnya yang dimana pada saat sekarang ini tergambar pada
Lembaga Lembaga Fatwa. Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) berbeda dengan
ijmak, karena ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) hanya kesepakatan mayoritas
ulama, sedangkan ijmak merupakan kesepakatan seluruh ulama. Maka
ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) merupakan pendahuluan yang harus ada bagi
terwujudnya ijmak. Maka ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) menjadi prasyarat
yang harus terpenuhi sebelum terwujudnya ijmak.
Dapat dikatakan bahwa semua ijmak menghendaki adanya ijtihad
jama’i (ijtihad kolektif), tetapi tidak semua ijtihad jama’i (ijtihad kolektif)
bermuara dan menjadi ijmak, karena kesepakatan para ulama dalam
menentukan status suatu hukum tertentu bisa dikatakatan ijmak jika

36
keseluruhannya sependapat tanpa perselisihan. Sebaliknya, sepahamnya
pandangan ulama dalam kuantitas besar namun masih menyisihkan
pandangan yang berbeda tidak dapat dikatakan sebagai ijmak melainkan
pendapat mayoritas atau dikenal dengan istilah ijtihad jama’i (ijtihad
kolektif). Maka ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) tidak dapat berdiri sendiri,
kecuali bersandarkan kepada prinsip musyawarah.
Maka ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) adalah aktivitas ilmiah yang
sistematis dan terarah yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
memiliki kemampuan berijtihad pada satu masa, demi sampai kepada
maksud Allah pada sebuah perkara yang memiliki karakteristik umum yang
menyentuh kehidupan penduduk sebuah negara, regional atau umat, atau
demi sampai kepada aplikasi maksud Allah yang benar atas kenyataan
hidup masyarakat, negara dan umat.
Dengan kata lain ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) erat kaitannya dengan
persoalan kepentingan sosial dengan prioritas permasalahan skala besar.
b. Syarat-syarat Ijtihad Jama’i (Ijtihad Kolektif)
Jika mengacu terhadap pandangan sebelumnya bahwa, ijtihad kolektif
sebagaimana Wahbah al Zuhaili, yaitu kesepakatan hukum para ulama atas
suatu permasalahan tertentu berdasarkan atas hasil putusan hukum ulama`
terdahulu dengan cara mendistribusikan dalil dalil yang dijadikan pijakan
hukum oleh mereka dan memilih dalil yang paling kuat dan memliki
relevansi kemaslahatan terkini dan nyata. Maka Syarat ijtihad jama’i (ijtihad
kolektif) paling tidak ada tiga, yaitu:
1) Syarat ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) seperti syarat dalam ijtihad fardi
(ijtihad individu).
2) Dalam ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) hanya kesepakatan sejumlah ulama
atau mayoritas saja, tidak disyaratkan seluruh ulama seperti dalam ijmak.
3) Dalam ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) ada dialog atau musyawarah
sebelum mengambil sebuah keputusan hukum.
Syarat-syarat ijtihad kolektif tidak sama dengan ijtihad individu, dalam
artian ijtihad kolektif lebih longgar dalam persyaratan daripada ijtihad
individu yang begitu ketatnya, dikarenakan persyaratan seorang mujtahid
(ijtihad individu) untuk saat ini sangat sulit untuk dipenuhi.

37
Di samping persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid,
maka menurut Imam Abu Hamid al Ghazali (w.505H) dalam ijtihad harus
ada tiga rukun yang dipenuhi, yaitu:
1) Al-Mujtahid, yaitu orang yang melakukan ijtihad.
2) Al-Mujtahid fih, yaitu objek ijtihad.
3) Nafs al-Ijtihad, yaitu subtansi ijtihad itu sendiri, yakni usaha yang
dilaksanakan secara sungguh sungguh dan penuh tanggung jawab.
Karenanya, ketiga syarat di atas hampir pasti juga dijumpai dalam
pelaksanaan ijmak. Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) sebagaimana disampaikan
sebelumnya bahwa, menjadi bagian integral atas terbentuknya ijmak,
bahkan sebagian kalangan ulama modern menyamakan antara ijtihad jama’i
(ijtihad kolektif) dan ijmak. Menurut mereka ijmak hanya bisa terwujud
hanya dalam bentuk ijtihad jama’i (ijtihad kolektif).
Jika dilihat dari aspek bahasan, maka objek ijtihad jama’i (ijtihad
kolektif) sama seperti ijtihad fardi (ijtihad individu), yaitu pada
permasalahan yang bersifat zanni saja bukan qath’i. Permasalahan yang
menjadi objek ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) pada saat ini, paling tidak ada
tiga, yaitu:
1) Permasalahan yang kontemporer yang memiliki kaitan dengan berbagai
macam ilmu selain agama.
2) Permasalahan umum yang di dalamnya terdapat berbagai macam
pendapat ulama mazhab, maka umat diharuskan untuk memilih yang
terbaik dari pendapat tersebut yang kemudian dijadikan sandaran dalam
penetapan hukum.
3) Permasalahan yang di dalamnya terdapat hukum yang secara substansi
dapat berubah, seperti permasalahan yang disandarkan kepada ‘urf (adat
istiadat) ataupun mashlahah atau perubahannya mengikuti perkembangan
waktu dan tempat.

7. Obyek Ijmak
Obyek ijmak ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada
dasarnya dalam al-Qur’an dan hadis, peristiwa atau kejadian yang
berhubungan dengan ibadah ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung
ditujukan kepada Allah swt.) bidang muamalah, bidang kemasyarakatan, atau

38
semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi, tetapi tidak ada
dasarnya dalam al-Qur’an dan hadis. Dasarnya adalah firman Allah swt. dalam
QS. al-Nisa/4: 59.
َ ُ ُّ َ َ َ َ ْ ُ َ ُ َ ْ ُ َ َّ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َّ َ َ
ُ ْ َ َ ْ
ِ ‫َيا أيُّها ال ِذين آمنوا أ ِطيعوا اّلل َوأ ِطيعوا الرسول وأوِلي الأم ِر ِمنكم ف ِإن تنازعتم ِفي ش ْي ٍء فردوه ِإلى‬
‫اّلل‬ ُ ْ ْ َ ُ َّ
ً َْ ُ َ ْ ََ ٌْ َ َ َ َ ُ ُْ ْ ُ ُ
ْ َ ْ َ ِ ‫ون ب‬ ُ َّ َ
‫الآخ ِر ذ ِلك خير وأحسن تأ ِويلا‬
ِ ‫اّلل واليو ِم‬ ِ ‫ول ِإن كنتم تؤ ِمن‬
ِ ‫والرس‬
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunah), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti
hal/keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan
urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara,
pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para
mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat
tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan
itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.

D. Kontekstualisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Materi Ijmak


Secara sederhana ijmak ulama dipahami sebagai kesepakatan-kesepakatan
yang diputuskan oleh seluruh ulama Islam mengenai hukum bagi suatu masalah
keagamaan yang muncul sepeninggal Nabi Muhammad saw.
Setelah Nabi saw. wafat problem hukum berkembang begitu pesat. Hukum
tidak bisa lepas dari dinamika kehidupan manusia. “Di mana ada masyarakat di
sana ada hukum”. Oleh karena itu, hukum harus selalu mengikuti irama
perkembangan masyarakat, artinya dalam masyarakat yang maju dan modern
harus memiliki hukum yang maju dan modern pula. Namun demikian, harus
diakui bahwa hukum adalah benda mati tidak berwujud yang menjadi bagian
dari karya dan karsa manusia. Artinya, karena hukum bukan sumber hidup dan
tidak pada posisi untuk mengubah dirinya, dalam arti apabila hukum tidak
diubah dan dimodernisasi maka hukum tidak akan pernah modern. Dalam ilmu
Ushul Fiqih kita banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai
macam dalil hukum atau kesepakatan-kesepakatan (ijmak) para ulama dalam
mengambil keputusan (istinbat) suatu hukum.
Kesepakatan-kesepakatan yang diputuskan oleh ulama-ulama Islam
tidaklah berarti bahwa kebebasan masyarakat terabaikan atau terpinggirkan.
Justeru ijmak hanya ingin menegaskan bahwa apabila masalah-masalah hukum

39
telah disepakati oleh ulama maka hukum itu berarti memiliki kekuatan hukum
karena telah dianut oleh seluruh ulama dibandingkan dengan keputusan hukum
yang hanya disimpulkan oleh satu atau dua ulama. Ini juga sangat berkaitan erat
dengan salah satu prinsip moderasi beragama yakni kesiapan dan ketaatan untuk
tunduk kepada apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama dalam masyarakat.
Bahkan, perkara-perkara yang disepakati itu sepatutnya dipelihara, dikawal dan
diperkuat sedapat mungkin aga dapat melahirkan harmoni yang kuat dalam
masyarakat.
Selain nilai moderasi beragama tersebut, nilai moderasi beragama apa saja
yang dapat Saudara peroleh dari materi ijmak sebagai sumber hukum ini?

E. Latihan:
Selamat, Anda telah menyelesaikan Kegiatan Belajar 3 tentang Ijmak sebagai
sumber hukum Islam. Untuk memperluas wawasan Anda tentang materi ini,
coba Anda jawablah beberapa pertanyaan berikut:
1. Buatlah rumusan pengertian ijmak yang redaksinya berbeda dari definisi yang
tercantum dalam modul!
2. Ada empat rukun ijmak. Bagaimana pendapatmu jika salah satu rukun
tersebut tidak terpenuhi? Jelaskan!
3. Ijmak terdiri dari beberapa macam/jenis. Temukan perbedaan masing-masing
jenis ijmak tersebut!
4. Dalam konteks Indonesia, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk
memberikan solusi terhapap problem hukum yang muncul belakangan apakah
termasuk dalam kategori Ijmak? Jelaskan!
5. Dalam aspek apa ijmak dapat dijadikan landasan hukum? Jelaskan!
6. Ada beberapa peristiwa yang bisa dijadikan objek Ijmak, Jelaskan!
F. Daftar Referensi

1. Abd al-Karim bin Ali al-Namlah, Al-Madzhab fi ‘Ilmi Ushulil Fiqhi Al Muqarin.
Cetakan Pertama Maktabah Ar Rusyd Riyadh, 1420H.
2. Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Raudhatun Nazhir wa Jannah al-Manazhir, Cetakan
kedua, Muassasah al-Rayyan, 1423H
3. Khallaf, Abd. Wahhab. Ilm Ushul Fiqh. Maktabat a-Dawat al-Islamiyyah

40
4. Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta : Paramuda Advertising,
2008.
5. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI.
Pengantar Ilmu Fiqh (Pengantar Ilmu Hukum Islam).
6. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jaklarta, Logos.
7. Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, al-
Ma’arif
8. Yusuf Qardawi, al-Ijtihad fi al-Isyarah al-Islamiyah Ma’a Nadzariyyat Tahliliyyah fi
Al-Ijtihad al-Mu’ashir, cet 1, Kuwait : Dar al-Qalam, 1996.
9. Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabiy
10. Zaydan, Abd al-Karim. Al-Madkhal li Dirasat al-Syari’ah al-Islamiyyah. Beyrut:
Muassasat al-Risalah, 2003 M/1424 H.
11. https://almanhaj.or.id/2263-pengertian-as-sunnah-menurut-syariat.html
12. https://bangkitmedia.com/ngaji-ushul-fiqh-10-ijma-sebagai-sumber-hukum-
ketiga/

41

Anda mungkin juga menyukai