Anda di halaman 1dari 5

A.

Surat At-Talaq Ayat 1-4

َّ ‫صوا ا ْل ِع َّدةَ َواتَّقُوا‬


َ‫َّللا‬ ُ ‫سآ َء فَ َط ِلِّقُو ُه َّن ِل ِع َّدتِ ِه َّن َوأ َ ْح‬ َ ِّ‫يَأَا يُّ َها النَّ ِب ُّي ِإذَا َطلَّ ْقت ُ ُم ال ِن‬
َ‫ش ٍة ُّمبَ ِيِّنَ ٍة َوتِ ْلك‬ ِ َ‫ين ِبف‬
َ ‫اح‬ َ ِ‫َربَّ ُك ْم الَ ت ُ ْخ ِر ُجو ُه َّن ِمن بُيُوتِ ِه َّن َوالَ يَ ْخ ُر ْج َن إِالَّ أَن يَأْت‬
َ‫ِث بَ ْع َد ذَ ِلك‬ َّ ‫سهُ الَ تَد ِْري لَعَ َّل‬
ُ ‫َّللاَ يُ ْحد‬ َ ‫َّللاِ فَقَ ْد َظلَ َم نَ ْف‬
َّ ‫َّللاِ َو َمن يَتَعَ َّد ُحدُو َد‬ َّ ‫ُحدُو ُد‬
‫أ َ ْم ًرا‬
Artinya: 1. Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya dan hitunglah waktu
iddah itu serta tawakallah kepada Allah Tuhanmu; Janganlah kamu keluarkan mereka
dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar, kecuali kalau mereka
mengerjakan perbuatan keji dengan terang-terangan; itulah hukum-hukum Allah dan
barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka seseungguhnya dia telah
berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu yang baru.

‫ي‬ْ ‫وف َوأَش ِْهدُوا ذَ َو‬ ٍ ‫وف أ َ ْو فَ ِارقُو ُه َّن بِ َم ْع ُر‬


ٍ ‫سكُو ُه َّن بِ َم ْع ُر‬ ِ ‫فَ ِإذَا بَلَ ْغ َن أ َ َجلَ ُه َّن فَأ َ ْم‬
‫اّلِلِ َوا ْليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر‬
َّ ‫َان يُ ْؤ ِمنُ ِب‬
َ ‫ظ ِب ِه َمن ك‬ ُ ‫ع‬ َ ‫ش َها َدةَ ِ َّّلِلِ ذَ ِل ُك ْم يُو‬َّ ‫ع ْد ٍل ِ ِّمن ُك ْم َوأ َ ِقي ُموا ال‬َ
‫َّللاَ يَ ْجعَل لَّهُ َم ْخ َر ًجا‬
َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫َو َمن يَت‬
2. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan cara
baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah; demikianlah peringatan itu
diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Barangsiapa yang
bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan memberi jalan keluar baginya.

‫َّللاَ بَا ِل ُغ أ َ ْم ِر ِه قَ ْد‬ ْ ‫َّللاِ فَ ُه َو َح‬


َّ ‫سبُهُ إِ َّن‬ َّ ‫علَى‬ ُ ‫َويَ ْر ُز ْقهُ ِم ْن َح ْي‬
ُ ‫ث الَ يَ ْحتَس‬
َ ‫ِب َو َمن يَت َ َو َّك ْل‬
‫َّللاُ ِل ُك ِ ِّل ش َْيءٍ قَد ًْرا‬
َّ ‫َج َع َل‬
3. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah
telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

‫ش ُه ٍر َوالالَّئِي‬ْ َ ‫ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِع َّدت ُ ُه َّن ثَالَثَةُ أ‬ َ ِِّ‫يض ِمن ن‬


ْ ‫سائِ ُك ْم إِ ِن‬ ِ ‫س َن ِم َن ا ْل َم ِح‬ ْ ِ‫َوالالَّئِي يَئ‬
‫َّللاَ يَ ْجعَل لَّهُ ِم ْن‬
َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫ض ْع َن َح ْملَ ُه َّن َو َمن يَت‬ َ َ‫ض َن َوأ ُ ْوالَتُ ْاْل َ ْح َما ِل أ َ َجلُ ُه َّن أَن ي‬ْ ‫لَ ْم يَ ِح‬
ْ ُ‫أ َ ْم ِر ِه ي‬
‫س ًرا‬
4.Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.

B. Tafsir

Sayyid Quthb berpendapat bahwa pada ayat ini terdapat hikmah yang terkandung
di dalamnya. Dintaranya dapat menenangkan jiwa seseorang yang sedang tidak stabil,
maksudnya di sini yaitu ketika seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya pada
waktu tersebut akan dapat meredakan hasrat si suami yang menggebu-gebu untuk
menjatuhkan talak, karna harus menuggu sampai pada waktu yang telah ditentukan.
Sebagaimana di dalamnya terdapat hikmah untuk mengecek ada atau tidaknya kehamilan
sebelum terjadinya perceraian. Namun bila suami tetap dan terus berkeinginan untuk
menjatuhkan talak kepada istrinya, walaupun istrinya telah jelas-jelas hamil, berarti ia
telah benar-benar ingin menceraikan istrinya. Jadi, pensyaratan istri dalam keadaan suci
tanpa terjadi jima’pada saat itu, untuk memastikan kekosongan rahim dan tidak adanya
kehamilan. Sedangkan, pensyaratan kejelasan terjadinya kehamilan dimaksudkan agar
urusan ini terang dan jelas.1

1
Sayyid Quthb, Fi Zilal al-Qur’an, terj. As‟ad Yasin dan Abd. Aziz, (Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 2000), hlm.313
ۡ ‫ٓيأيِهاَۖٱلنَّبِيََۖۖإِذْاَۖطلَّ ُۡقتمَۖٱلنِسآءََۖۖفط ِلَُۖقوُه ََّّنَۖ ِل ِعدَِّتِ ِِه ََّّنََۖوَأ ۡۡحُصوْا‬
َۖ‫َۖٱل ِعدَّة‬
Seperti halnya Sayyid Qutbh, Quraish Shihab juga menafsirkan redaksi ayat di
atas bukan dalam bentuk perintah, tetapi berbentuk berita dibuktikan adanya ‫ إِذَا‬yang
sebagai dzaraf disambung dengan Fiil madhi. Redaksi semacam ini merupakan salah satu
bentuk gaya bahasa al-Qur‟an dalam memerintahkan sesuatu. Ini dinilai lebih kuat
daripada redaksi yang menggunakan kalimat bentuk perintah. Karena menurutnya, bentuk
perintah belum menunjukkan terlaksananya perintah tersebut. Sedangkan bentuk berita,
apalagi dengan menggunakan kata kerja yang berkesinambungan yakni َۖ‫طلَّ ۡق‬, memberi
kesan telah dilaksanakannya apa yang diberitakan itu dengan baik dan berkesinambungan
dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini pada pembahasan di atas adalah penantian para
istri.
As-Suda berkata ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus Abdullah bin Umar
yang mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian ia disuruh oleh Rasulullah saw.
merujuknya kemudian menahannya sampai ia suci dari haidnya lalu haid lagi kemudian
suci lagi. Setelah itu apabila ia hendak mentalaknya maka talaklah ketika dalam keadaan
suci dan belum dicampuri; itulah masa yang oleh Allah diperintahkan supaya wanita
ditalak pada masa itu.2
َۖ‫ طلَّ ُۡقتم‬maksudnya adalah janganlah segera mentalak ketika ada sebabnya tanpa
memperhatikan perintah Allah sebagaimana diterangkan dalam lanjutan ayat ini.
Maksudnya, istri-istri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. Jika ditalak
dalam keadaan haidh, maka ia tidak menghitung dengan haidh yang dijatuhkan talak
ketika itu dan masa ‘iddahnya semakin lama karenanya, demikian pula jika mentalaknya
dalam keadaan suci yang telah dijima’i, maka tidak aman terhadap kehamilannya
sehingga tidak jelas dengan iddah yang mana yang harus ia jalani. Yakni hitunglah
dengan haidh jika wanita itu haidh atau dengan bulan jika ia tidak haidh dan tidak hamil.
Jadi, suami itu harus mencerainya ketika suci dan suci pula dari perbuatan
senggama. Sebab jika telah terjadi senggama lalu timbul kehamilan maka berarti
iddahnya menjadi panjang, sebab harus menunggu kandungan itu lahir yang
menunjukkan berakhirnya iddah tersebut.

2
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, Vol. 1, Cet. IX, 2007), hlm. 591
Selanjutnya, yang dimaksud dengan َۖ َۖ‫ ٱلنِسآء‬adalah wanita-wanita yang ditalak
yakni wanita yang telah pernah bercampur dengan suaminya kemudian ditalak, dan ketika
itu tidak dalam keadaan hamil. Ini dipahami demikian oleh Quraish Shihab karena dalam
ayat lain dijelaskan, bahwa masa tunggu wanita yang sedang hamil adalah dengan
melahirkan anaknya َۖ‫( َأن َۖيضعۡ َّن َۖۡح ۡملِه ََّّن‬QS. Ath-Thalaq : 4), wanita yang bercerai akibat
kematian suami, masa tunggunya empat bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqarah : 34), wanita
tua yang tidak haid lagi (monopous) dan wanita yang belum haid, masa tunggu mereka
adalah tiga bulan ‫( ثلثةََۖأ ۡشِهر‬QS. Ath-Thalaq : 4), dan yang dikawini tanpa bercampur, tidak
diwajibkan atasnya masa tunggu (QS. al-Ahzab : 49).3
Di dalam tafsir Al-Quranul Majid An-Nuur diterangkan bahwa yang dimaksud
dengan para perempuan dalam ayat ini adalah : perempuan yang sudah disetubuhi dan
berhaid. Perempuan yang belum disetubuhi tidak ada iddahnya. Perempuan yang beriddah
dengan bulan akan dengan bulan akan dijelaskan iddahnya.4
Terkait dengan masalah tersebut maka Al-Quran bisa dikaitkan dengan hadis Nabi
Muhammad. Nafi menerangkan, “Bahwasannya Ibnu Umar menthalaqi istrinya yang
sedang haidh, dimasa Rasulullah s.a.w. Maka Umar bin Khatab bertanya kepada
rasulullah tentang hal tersebut, maka rasulullah menjawab: surulah dia ruju’ kepadanya
kemudian hendaklah ditahan hingga ia suci, kemudian ia suci lagi. Kemudian jika ia
berkhendak terus, ia menahannya dan ia berkehendak, boleh dia thalaq, sebelum ia
menyentuhnya, itulah iddah yang Allah memerintahkan kita menthalaqi wanita.”5
Adapun tafsir al-Ahkam menerangkan tafsir Quran bil Quran perlu diperhatikan
dalam menetapkan hukum. Maka surat At-Thalaq ayat 4 bisa diharmonisasikan dengan
surat Al-Baqarah ayat 234 tentang masalah iddah:6

‫عش ًْرا فَ ِإذَا بَلَ ْغ َن‬َ ‫ش ُه ٍر َو‬ ْ َ ‫ْن ِبأ َ ْنفُس ِِه َّن أ َ ْربَعَ َة أ‬
َ ‫ون أ َ ْز َوا ًجا يَت َ َربَّص‬
َ ‫ين يُت َ َوفَّ ْو َن ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُر‬
َ ‫َوالَّ ِذ‬
‫ون َخبِير‬ َ ُ‫َّللاُ بِ َما ت َ ْع َمل‬
َّ ‫وف َو‬ ِ ‫علَ ْي ُك ْم ِفي َما فَعَ ْل َن فِي أ َ ْنفُس ِِه َّن بِا ْل َم ْع ُر‬
َ ‫أ َ َجلَ ُه َّن فَ َال ُجنَا َح‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu serta meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) mereka menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah sampai akhir iddah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka

3
Ibid, hlm 592
4
Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Quranul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki,
tt) hlm. 4259
5
Hasbi As-Shidiqi, Mutiara Hadis (Yogyakarta: Bulan Bintang, 2002), hlm. 294
6
Abdul Halim, Tafsir Al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 106.
lakukan diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
Maka perempuan yang beriddah tiga kali quru’ ialah mereka yang telah dicerai
oleh suaminya, sedang dia telah campur dengan suaminya dan biasa membawa kotoran.
Quru jamak dari qar maupun waktu haid yaitu waktu membawa kotoran. Maka arti tiga
kali quru ialah tiga kali waktu. Yang dimaksud ayat ini apakah tiga kali waktu suci atau
tiga kali waktu haid. Ada yang mengatakan artinya haid dan ada pula yang mengatakan
suci, sedangkan masing-masingnya mempunyai dalil.
Asbabun Nuzul dari Surat Ath-Thalaq ayat 4 yaitu ada riwayat yang telah
dikemukakan bahwa ketika turun ayat tentang iddah dalam surat Al-Baqarah ayat 226-
237 para sahabat berkata: “Masih ada masalah iddah wanita yang belum disebut (di dalam
Al-Quran) yaitu iddah wanita muda (yang belum haid), yang sudah tua, dan yang hamil.
Maka turunlah surat At-Thalaaq ayat 4 yang menegaskan bahwa masa iddah bagi mereka
ialah tiga bulan, dan bagi yang hamil apabila telah melahirkan. Dalam riwayat lain juga
dikemukakan bahwa Khalad bin Amr bin Al-Jamuh bertanya kepada Nabi Muhammad
SAW tentang iddah wanita yang sudah tidak haid lagi. Maka turunlah ayat 4 ini atas
jawaban dari pertanyaan itu. 7

7
Mudjab Mahali, Asbabul Nuzul, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hlm. 827

Anda mungkin juga menyukai