Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam adalah agama rahmatan lilalamin, bersifat universal mencakup seluruh zaman dan
semua manusia di muka bumi. Dalam Islam segala sesuatu mengenai kehidupan manusia
serta seluk beluknya sudah diatur sedemikian rincinya agar pemeluk islam tidak kehilangan
arah dan mencapai tujuan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Islam mengatur pula hal ihwal pernikahan, dimulai dengan akad yang sah hingga
membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Namun, manusia tidak
lepas dari masalah yang ada, banyak hal-hal yang bisa menjadi pemicu retaknya hubungan
pernikahan seseorang sehingga talak bisa jatuh kapan saja jika memang sang suami tidak
ridho lagi kepadaistri.
Ketika masa perceraian terjadi maka ada yang namanya masa iddah,yang merupakan
tenggang waktu atau masa penantian seorang perempuan bertujuan untuk memastikan tidak
adanya anak yang dikandung dalam rahim perempuan tersebut dan bentuk ta'abbudi kepada
Allah swt.
Dengan begitu, tidak akan muncul permasalahan yang berarti setelah perceraian dan
mungkin bisa menjadi solusi untuk mengembalikan pernikahan.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa saja hukum iddah ?
b. Apa saja macam-macam iddah ?
c. Bagaimana kedudukan hukum iddah ?
d. Apa saja hikmah iddah ?

C. TUJUAN
a. Mengetahui hukum iddah.
b. Mengetahui macam-macam iddah.
c. Mengetahui kedudukan hukum
d. Mengetahui hikmah iddah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ‘IDDAH
‘Iddah secara bahasa berasal dari kata ‘adda-ya‘uddu-‘idatan, jamaknya ialah ‘idad yang
secara arti kata berarti menghitung. Kata ini dimaksudkan untuk ‘iddah karena dalam masa
itu wanita yang ber-‘iddah menunggu berlalunya waktu.
Adapun secara istilah fiqih ‘iddah berarti masa yang diperkirakan syariat bagi wanita
untuk menunggu berlalunya masa tersebut dari mantan suami setelah adanya perpisahan.
‘Iddah menurut ulama hanāfiyah terdapat dua pemahaman. Pertama, ‘iddah merupakan
masa yang digunakan untuk menghabiskan segala hal tersisa dari pernikahan. Kedua, ‘iddah
merupakan masa menunggu yang secara umum dilakukan oleh seorang wanita setelah
perkawinannya berakhir, baik karena perceraian maupun kerena kematian.
Selanjutnya ulama Mālikiyah mendefinisikan ‘iddah sebagai masa dilarang menikah bagi
wanita disebabkan karena talak, meninggalnya suami, atau sebab Fasakh. Begitu juga dengan
ulama Shāfi‘iyah mengartikan ‘iddah sebagai masa menunggu bagi seorang istri untuk
mengetahui bersihnya rahim, untuk beribadah, atau sebagai ungkapan berduka cita atas
meninggalnya suami.
Adapun ulama Hanābilah memahami ‘iddah sebagai masa penantian yang telah
ditetapkan oleh syara’ bagi seorang wanita sehingga tidak diperbolehkan menikah selama
masa penentian tersebut.
Dengan demikian ‘iddahmerupakan suatu masa dimana perempuan yang telah berpisah
dengan suaminya harus menunggu untuk meyakinkan bersihnya rahim dan menghalalkan
bagi laki-laki lain, juga sebagai ta‘abud kepada Allah.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa ‘iddah merupakan
penghalang untuk melakukan perkawinan. Di dalam perceraian antara suami istri belumlah
positif, sehingga suami mendapat kesempatan berfikir kembali mengenai kpeutusan yang
diambilnya dan akhirnya dapat diharapkan untuk ruju‘ kembali. Ringkasnya dengan adanya
‘iddahpintu untuk melakukan ruju‘ masih ada dan suami istri yang bercerai bisa memiliki

2
kesempatan tersebut dengan leluasa yang akhirnya bisa diharapkan untuk membangun
kembali rumah tangga yang harmonis dengan tanpa melakukan akad baru.
B. HUKUM DAN DASAR HUKUM ‘IDDAH
‘Iddah hukumya wajib bagi wanita yang telah putus perkawinan dengan suaminya, bukan
laki-laki atau suaminya. Adapun kewajiban melakukan ‘iddah ini berlaku bagi wanita-wanita
berikut;
1. Wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya setelah adanya akad nikah yang sah, baik
wanita tersebut sudah digauli maupun sebelum digauli
2. Wanita yang berpisah dengan suami sahnya, baik sebab talak, khulu‘, maupun fasakh dan
wanita tersebut telah digauli oleh suaminya
3. Wanita yang ditinggal mati suaminya, dan telah digauli akan tetapi dalam perkawinan
yang tidak sah atau sebab wat’ī shubhat
Kewajiban menjalani masa ‘iddahini dapat dilihat dari beberapa ayat al-Quran
diantaranya adalah :
1. QS. al-Baqarah Ayat 228

ِ ‫َّللاُ فِي أ َ ْر َح‬


‫ام ِه َّن إِ ْن ُك َّن‬ َ ‫َو ْال ُم‬
َّ َ‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ث َ ََلثَةَ قُ ُروءٍ ۚ َو ََل يَ ِح ُّل لَ ُه َّن أ َ ْن يَ ْكت ُ ْمنَ َما َخلَق‬
‫علَ ْي ِه َّن‬ ْ ِ‫اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ َوبُعُولَت ُ ُه َّن أ َ َح ُّق بِ َر ِده َِّن فِي َٰذَلِكَ ِإ ْن أ َ َرادُوا إ‬
َ ‫ص ََل ًحا ۚ َولَ ُه َّن ِمثْ ُل الَّذِي‬ َّ ِ‫يُؤْ ِم َّن ب‬
ٌ ‫ع ِز‬
‫يز َح ِكي ٌم‬ َّ ‫علَ ْي ِه َّن دَ َر َجةٌ ۗ َو‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫بِ ْال َم ْع ُر‬
َ ‫وف ۚ َو ِل ِلر َجا ِل‬

Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
2. QS. al-BaqarahAyat 234

3
‫ع ْش ًرا ۖ فَإِذَا بَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَ ََل‬
َ ‫َوالَّذِينَ يُت ََوفَّ ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو‬
‫ير‬ٌ ِ‫َّللاُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ َخب‬ ِ ‫علَ ْي ُك ْم فِي َما فَعَ ْلنَ فِي أ َ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْع ُر‬
َّ ‫وف ۗ َو‬ َ ‫ُجنَا َح‬

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-


isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui
apa yang kamu perbuat.
3. QS. at-Talāq Ayat 4

َ ُ ‫الَلئِي لَ ْم يَ ِحضْنَ ۚ َوأ‬


ُ‫وَلت‬ َّ ‫ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ث َ ََلثَةُ أ َ ْش ُه ٍر َو‬ْ ‫سائِ ُك ْم إِ ِن‬ َ ِ‫يض ِم ْن ن‬ ِ ‫الَلئِي يَئِسْنَ ِمنَ ْال َم ِح‬ َّ ‫َو‬
‫َّللاَ يَجْ عَ ْل لَهُ ِم ْن أ َ ْم ِر ِه يُس ًْرا‬ َّ ‫ق‬ َ َ‫ْاْلَحْ َما ِل أ َ َجلُ ُه َّن أ َ ْن ي‬
ِ َّ ‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن ۚ َو َم ْن يَت‬

Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara


perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Selain itu, kewajiban ‘iddah ini juga diterangkan dalam hadis Nabi sebagai berikut :

‫مرة فليراجعها حتى يحيض شم تطهر ثحيض حتى تطهر شم يطلقهاان شآء قبل ان يمسها‬
Artinya : “Suruhlah dia, hendaklah ia merujuk istrinya sehinggah iahaid, kemudian suci
kemudian haid lagi kemudian menceraikanya juga mau sebelum ia menyentuhnya.
Demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Alloh SWT untuk menceraikan istri”.

ِ ْ‫ َلَ يَ ِح ُّل َِل ْم َرأَةٍ ُم ْس ِل َم ٍة تُؤْ ِم ُن بِاهللِ َو اْليَ ْو ِم ا‬:َ‫ي ص قَال‬


‫ْلخ ِر ا َ ْن ت ُ ِحدَّ فَ ْوقَ ثََلَث َ ِة اَي ٍَّام‬ َّ ِ‫سلَ َمةَ ا َ َّن النَّب‬
َ ‫ع ْن اُم‬
َ
6:329 ‫ فىنيل اَلوطار‬،‫ البخارى و مسلم‬.‫ش ًرا‬ ْ ‫ع‬َ ‫علَى زَ ْو ِج َها ا َ ْربَعَةَ ا َ ْش ُه ٍر َو‬ َ َّ‫اَِل‬
Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang
wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga

4
hari kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari”. [HR Bukhari dan
Muslim, dalam Nailul 6:329]

َ‫ َو َل‬.‫ع ْش ًرا‬ َ َّ‫ث اَِل‬


َ ‫علَى زَ ْوجٍ ا َ ْر َب َعةَ ا َ ْش ُه ٍر َو‬ ٍ َ‫ت فَ ْوقَ ثََل‬ ٍ ‫علَى َمي‬ َ َّ‫ ُكنَّا نُ ْن َهى ا َ ْن نُ ِحد‬:‫ت‬ْ َ‫ع ِطيَّةَ قَال‬
َ ‫ع ْن اُم‬ َ
‫ت‬ْ ‫س َل‬ ُّ َ‫ص َلنَا ِع ْند‬
َ َ ‫الط ْه ِر اِذَا ا ْغت‬ َ ‫ َو قَ ْد ُرخ‬.‫ب‬ ٍ ‫ص‬ْ ‫ع‬َ ‫ب‬ َ ‫غا اَِلَّ ث َ ْو‬
ً ‫صب ُْو‬ْ ‫س ث َ ْوبًا َم‬ َ َ‫َّب َو َلَ ن َْلب‬
َ ‫طي‬ َ َ ‫نَ ْكت َِح َل َو َلَ نَت‬
ْ َ‫ت ا‬
ٍ َ‫ظف‬
6:332 ‫ فى نيل اَلوطار‬،‫ البخارى و مسلم‬.‫ار‬ ِ ‫ْض َها فِى نُ ْبذَةٍ ِم ْن ُك ْس‬
ِ ‫اِحْ دَانَا ِم ْن َم ِحي‬
Dari Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Kami dilarang berkabung terhadap orang mati lebih
dari tiga hari kecuali terhadap suami, yaitu empat bulan sepuluh hari, dimana tidak
boleh bercelak, tidak boleh berwangi-wangian dan tidak boleh memakai pakaian yang
dicelup, kecuali kain genggang (pakaian yang tidak mencolok), dan kami diberi
keringanan pada waktu suci yaitu apabila salah seorang diantara kami mandi dari
haidlnya (menggunakan) sedikit qust adhfar (sejenis kayu yang berbau harum)”. [HR.
Bukhari dan Muslim]

‫علَى‬ َ َّ‫ث اَِل‬ ِ ْ‫َِلم َرأَةٍ تُؤْ ِم ُن ِباهللِ َو اْل َي ْو ِم ا‬


ٍ َ‫ْلخ ِر ت ُ ِحدُّ فَ ْوقَ ثََل‬ ْ ‫ َلَ َي ِح ُّل‬:‫ي ص‬ ُّ ِ‫ قَا َل النَّب‬:‫و فى رواية قالت‬
‫ت نُ ْبذَة ً ِم ْن‬ َ ‫س ِط ْيبًا اَِلَّ اِذَا‬
ْ ‫ط ُه َر‬ ُّ ‫ َو َلَ ت َ َم‬،‫ب‬ٍ ‫ص‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ب‬ َ ‫غا اَِلَّ ث َ ْو‬
ً ‫صب ُْو‬ ُ َ‫زَ ْوجٍ فَ ِانَّ َها َلَ ت َ ْكت َِح ُل َو َلَ ت َْلب‬
ْ ‫س ث َ ْوبًا َم‬
ْ َ ‫قُسْطٍ ا َ ْو ا‬
ٍ َ‫ظف‬
6:332 ‫ فى نيل اَلوطار‬،‫ احمد و البخارى و مسلم‬.‫ار‬

Dan dalam riwayat lain (dikatakan), Ummu ‘Athiyah berkata : Nabi SAW bersabda,
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung
lebih dari tiga hari kecuali terhadap suami, maka istri tidak boleh bercelak, tidak boleh
memakai pakaian yang dicelup kecuali kain genggang dan tidak boleh memakai wangi-
wangian kecuali apabila bersuci (dengan menggunakan) sedikit qust atau adhfar (sejenis
kayu yang berbau harum)”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]

‫ َما‬:َ‫ فَقَال‬،‫صب ًْرا‬ َ ‫ي‬ َ ُ‫س َل َمةَ َو َق ْد َج َع ْلت‬


َّ َ‫عل‬ َ ‫س ْو ُل هللاِ ص ِحيْنَ ت ََوفَّى اَب ُْو‬ َّ َ‫عل‬
ُ ‫ي َر‬ َ ‫ دَ َخ َل‬:‫ت‬ ْ ‫س َل َمةَ َقا َل‬
َ ‫ع ْن اُم‬ َ
َّ‫شبُّ اْ َلوجْ هَ َفَلَ تَجْ َع ِل ْي ِه اَِل‬ َ ‫ لَي‬،ِ‫س ْو َل هللا‬
ُ َ‫ اِنَّهُ ي‬:َ‫ قَال‬. ٌ‫ْس فِ ْي ِه ِطيْب‬ ُ ‫صب ٌْر يَا َر‬َ ‫ اِنَّ َما ُه َو‬: ُ‫سلَ َمةَ؟ فَقُ ْلت‬
َ ‫هذَا يَا ا ُ َّم‬
َ ‫ ِبأَي‬: ُ‫ قُ ْلت‬:‫ت‬
ٍ‫ش ْيء‬ ْ َ‫ قَال‬. ٌ‫ضاب‬
َ ‫ فَ ِانَّهُ ِخ‬،‫اء‬ ِ ْ ‫ب َو َلَ بِا‬
ِ َّ‫لحن‬ ِ ‫ِط ْي ِبالط ْي‬ ِ ‫ َو َلَ ت َ ْمتَش‬.‫ار‬ ِ ‫ِباللَّ ْي ِل َو ت َ ْنزَ ِع ْينَهُ ِبالنَّ َه‬
6:332 ‫ فى نيل اَلوطار‬،‫ ابو داود و النسائى‬.‫ك‬ َ ْ‫ ِبالسد ِْر تُغَل ِفيْنَ ِب ِه َرأ‬:َ‫س ْو َل هللاِ؟ قَال‬
ِ ‫س‬ ُ ‫ط َيا َر‬ ُ ‫ا َ ْمت َ ِش‬

5
Dari Ummu Salamah, ia berkata : Rasulullah SAW pernah masuk ke (rumahku) ketika
Abu Salamah meninggal dunia, sedang aku memakai celak. Lalu Nabi SAW bertanya,
“Apa ini, hai Ummu Salamah ?”. Kemudian aku menjawab, “Ini jadam (celak) ya
Rasulullah, yang tidak ada wangi-wangiannya”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya jadam
itu mempercantik wajah, maka janganlah kamu pakai kecuali pada waktu malam dan
hilangkan di waktu siang. Janganlah kamu bersisir menggunakan wangi-wangian atau
hinna’, karena sesungguhnya itu juga pewarna”. Ummu Salamah berkata : Aku
bertanya, “Kalau begitu aku harus bersisir dengan apa ya Rasulullah ?”. Beliau
menjawab, “Dengan daun bidara yang kamu dapat menggunakannya di kepalamu
dengannya”. [HR. Abu Dawud dan Nasai]

C. MACAM-MACAM ‘IDDAH
1. Iddah Talak
Iddah talak adalah terjadi karena perceraian, perempuan yang berada dalam ‘iddah
talak antara lain:
a. Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3
kali suci (3 kali haid atau 3 kali Quru’).
Mengenai quru’ para ulama’ fiqih berpendapat berbeda-beda:
1) Fuqaha berpendapat bahwa quru’ itu artinya suci yaitu masa diantara haid.
2) Fuqaha lain berpendapat bahwa quru’ itu haid, terdiri dari Imam Abu Hanifah,
Ats-tsauri Al-Auzali, Ibnu Abi Laila. Alasanya adalah untuk mengetahui
kolongnya rahim, tidak hamil bagi wanita yang di talak, sedangkan kekosongan
rahim hanya di ketahui dengan haid.
3) Fuqaha Anshor berpendapat bahwa quru’ adalah suci terdiri dari Imam Mahit dan
Syaf i’. alasanya adalah menjadi pedoman bagi kosongnya rahim dimana masa
suci pada haid bukan bukan berarti berpegang pada haid terakhir maka tiga yang
di syaratkan harus lengkap masa suci diantara 2 haid.
b. Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum balig atau
perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya untuk 3 bulan menurut penggalan,
jika tertalak dapat bertemu pada permulaan bulan.

6
c. Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak ada
iddahnya.
Firman Allah SWT :
‫ياايهاالذين امنوااذانكحتم المؤمنت ثم طلقتموهن من قبل ان َلتمسوهن فما لكم عليهن من‬
)94: ‫عرة تعتر ونها (للَلحزاب‬
Artinya : ‘’Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimoe yang kamu minta
menyempurnakanya (Q.S Al Ahzab (22):49)
Jika perempuan belum pernah di setubuhi dan di tinggal mati maka iddahnya seperti
iddahnya orang i’lah di setubuhi’’
Firman Allah SWT :
‫والذين يتوفون منكم ويذرون ازوجا يتربصن بانفسهن اربعة اثهر وعشرا‬
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaknya para istri itu) menangguhkan dirinya )‫ (عدة‬untuk 4 bulan
10 hari” (Q.S. Al-Baqoroh 2 : 234)
2. Iddah Hamil
Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yangdiceraikan itu sedang
hamil, iddahnya samapai melahirkan.
Firman Allah SWT :
)4: ‫واولت لألجمال اجملهن ان يضعن حملهن ومن يتق هللا يجعل له من امره يسرا (الطَلق‬
Artinya : “Dan perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampaimereka
melahirkan kandunganya . dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya
Alloh menjadikan baginya kemudian dalam urusnya”. (Q.S. At-talaq 28 : 4)
Apabila ia hamil dengan anak kembar maka iddahnya belum habis sebelum anak
kembarnya lahir semua jika perempuan itu keguguran maka iddahnya ialah sesudah
melahikan baik baginya hidup, mati, sempurna badanya / cacat, ruhya telah ditiup /belum.

7
3. Iddah Wafat
Iddah wafat adalah iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di tinggal mati
suaminya dan masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari.
Firman Allah SWT :
َ ‫َوالَّذِينَ يُت ََوفَّ ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو‬
)234 : ‫ع ْش ًرا (البقرة‬
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari”. (Q.S. Al-Baqoroh: 234)

4. Iddah Wanita yang Kehilangan Suami


Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui keberadaan suami,
apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di menunggu selama 4 tahun lamanya
sesudah itu hendaknya dia beriddah 4 bulan 10 hari.
‫ أيما امرأة فقدت زوجها لم ندر أين هو فإنها تنتظر أربعة سنين ثم تعتد أربعة أشهر‬: ‫عن عمر رضي هللا عنه قال‬
.‫وعشرا ثم تحل‬
Artinya: “Dari Umar R.A berkata: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia
tidak mengetahui dimana ia berada sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu 4
tahun, kemudian hendaknya ia beriddah 4 bulan 10 hari barulah ia boleh menikah.
(H.R Malik)
5. Iddah Wanita yang di Ila’
Bagi perempuan yang di ila’ timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani
iddah atau tidak, diantaranya:
a. Jumhur Fuqoha’ mengatakan bahwa ia harus menjalani Iddah.
b. Zabir bib Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah.
Perbedaan pendapat ini di sebabkan iddah itu menghabungkan antara iddah dan
maslahat bersama-sama. Oleh karena itu bagi fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi
kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya iddah, sedangkan fuqoha’ yang
lebih memperhatikan segi ibadah maka mereka mewajibkan iddah atasnya.

8
D. KEDUDUKAN IDDAH
Melihat status iddah pelaksanaannya wajib, dan kesepakatan ijma’ ulama sepakat
mewajibkan iddah sejak masa rasulullah saw hingga sekarang. Maka Kedudukan iddah
sendiri tergolong sebagai hal yang harus dilakukan dengan banyaknya manfaat didalamnya.
Iddah juga sebagai ta’abbudi kepada Allah swt, pelaksanaan iddah ini sebagai gambaran
tingkat ketaatan seseorang pada aturan-aturan Allah swt. jika seseorang itu taat pada aturan
Allah swt dalam kasus ini menjalani masa iddah yang telah diatur maka dari situ dapat dilihat
tingkat ta’abbudinya.
Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati,
sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, hukumnya wajib menjalani masa iddah itu,
sesuai dengan firman allah swt. :
ِ ‫َّللاُ فِي أ َ ْر َح‬
‫ام ِه َّن‬ َ ‫َو ْال ُم‬
َّ َ‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثََلثَةَ قُ ُروءٍ َوَل يَ ِح ُّل لَ ُه َّن أ َ ْن يَ ْكت ُ ْمنَ َما َخلَق‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” (QS. Al-
Baqarah (2): 228).
Diantara hadits nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang
disampaikan oleh aisyah menurut riwayah ibnu majah dengan sanad yang kuat yang artinya :
“nabi saw. Menyuruh baurairah untuk beriddah selama tiga kali haid.
Dari ijma’ para ulama juga sepakat wajibnya iddah sejak masa Rasulullah saw. Sampai
sekarang.

E. HIKMAH IDDAH
Hikmah dari adanya masa Iddah sendiri yaitu:
1. Sebagai pembersih rahim
Penisaban keturunan dalam islam merupakan hal penting yang tidak dapat disepelekan.
Maka dari itu, untuk menghindari kekacauan nisab keturunan karena sebab lain diatur
didalam Alquran dan As-sunnah. Adanya masa iddah ini bertujuan untuk menghilangkan
keraguan tentang kesucian rahim perempuan yang telah berpisah dengan suaminya
karena beberapa sebab. Selain itu, memastikan apakah ada anak yang merupakan hasil
dari keduanya sebelum berpisah, jika memang ada selanjutnya akan diatur segala

9
ketentuannya. Dengan begitu, tidak ada keraguan untuk perempuan bilamana ia ingin
menikah kemabli dengan laki-laki lain.
2. Kesempatan untuk berpikir
Iddah merupakan suatu tenggang waktu yang memungkinkan tentang hubungan antara
istri dan suami setelah jatuhnya talak. Khususnya dalam talak raj’i. Adanya tenggang
waktu ini menciptakan kesempatan bagi keduanya untuk berpikir mengintropeksi diri
masing-masing dengan pikiran yang jernih dan kepala dingin
guna mengambil langkah-langkah yang lebih baik dan jika ada alasan kuat untuk
mempertahankan rumah tangga keduanya maka dapat diusahakan rujuk dsn menghindari
perceraian. Terutama jika keduanya telah memiliki anak yang membutuhkan kasih
sayang kedua orang tuanya dan pendidikan yang baik, ini bisa menjadi bahan
pertimbangan untuk mempertahankan pernikahan.
3. Kesempatan untuk berduka cita
Khususnya iddah dalam kasus cerai mati merupakan masa duka atau bela sungkawa atas
kematian suami. Syariat Islam, mewajibkan seorang wanita yang suaminya meninggal
untuk menjalani masa iddah guna menampakkan rasa duka dan sedih. Perceraian karena
kematian suami adalah hal diluar kendali manusia dan merupakan takdir dari Allah swt.
yang tidak bisa dihindari. Iddah ketika suami meninggal ini bertujuan untuk menghindari
ketidaksenangan dari keluarga pihak suami kepada istri, bilamana istri akan menerima
lamaran dari laki-laki lain setelah masa iddah habis.Sebagai penghormatan kepada suami
yang meninggal dunia. Bagiseorang isteri yang kematian suami yang dikasihinya sudah
tentu akanmeninggalkan kesan yang pahit di jiwanya, dengan adanya iddahselama empat
bulan sepuluh hari adalah merupakan suatu masa yangsesuai untuk ia bersedih, sebelum
menjalani kehidupan yang baru disamping suami yang lain
4. Kesempatan untuk rujuk
Jika suami berpikir bahwa dia akan kembali sanggup menjalani rumah tangga dengan
istrinya yang sebelumnya ia talak, maka sang suami dapat merujuk sang istri. Tetapi
bilamana sang suami merasa tidak ada alasan yang dapat meneruskan rumah tangga maka
ia harus melepas bekas istri nya dengan baik.

10
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Segala ketentuan yang telah Allah swt atur dalam Alquran dan ada dalam As-
sunnah tidak dapat digantikan walaupun teknologi telah berkembang sedemikian
rupa canggihnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mungkin dapat
dipakai mengenai masalah lain tapi mengenai kasus Iddah ini terkait dukhul yang
menggunakan kesucian rahim perempuan.
2. Iddah merupakan hal penting yang tidak boleh dilanggar walaupun dari pihak
bekas suami atau bekas istri meyakini rahim bekas istri tersebut bersih dan
diantara mereka berdua tidak mungkin kembali merujuk.
3. Tidak dapat dibenarkan memperpanjang masa iddah bagi istri yang dapat
mengakibatkan penganiayaan ataupun mendatangkan keuntungan baik bagi bekas
suami ataupun bekas istri.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. http://digilib.uinsby.ac.id/3639/6/Bab%202.pdf,
2. http://etheses.uin-malang.ac.id/1384/6/06210103_Bab_2.pdf,
3. http://kosanmakalah.blogspot.com/2015/03/makalag-fiqh-munakahat-iddah.html?m=1
4. https://www.academia.edu/36614984/Iddah

13

Anda mungkin juga menyukai