Anda di halaman 1dari 14

MAKALA

H
“Hukum Mukhtalaf”

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
APRILIYANA DWI LESTARI
MUCHAMAD SATRIADI
NURHAFIFAH
MARDIANA FARIDA ROUF
WAHYU HAJAR WIDODO
MELISA MOKODOMPIT
AHMAD NUR ARIPIN

Kelas XII MIA I


MADRASAH ALIYAH NEGERI I BOLAANG MONGONDOW
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya maka saya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sumber Hukum Islam yang
Mukhtalaf (Tidak di Sepakati)”.

Dalam proses penyusunan tugas ini pasti menjumpai hambatan, namun berkat
dukungan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini akan saya terima, Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak baik yang menyusun maupun yang membaca.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN........................................................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
C. Tujuan Makalah................................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN...........................................................................................................................2
A. Pengertian Sumber Hukum Mukhtalaf.............................................................................2
B. Macam-macam sumber hukum yang Mukhtalaf..............................................................2

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya Sumber hukum islam itu terbagi atas 2 macam yaitu Sumber Hukum
Islam yang Muttafaq (Yang di sepakati) dan Sumber Hukum yang Mukhtalaf (Tidak di
sepakati).
Tetapi Kali ini kita hanya akan membahas 1 sumber hukum saja. Yaitu Sumber
hukum Mukhtalaf (Tidak di sepakati). Sumber hukum mukhtalaf adalah sebuah bentuk
dari sumber hukum islam yang dimana didalamnya terdapat berbagai macam perselisihan
yang berasal dari seluruh umat muslim yang berada pada seluruh dunia. Kemudian dari
hal itu beberapa macam bentuk sumber hukum mukhtalaf sendiri adalah seperti istihan,
maslahah mursalah, urf, syar'un man qoblanan, istihab, saddud dzari'ah, madzhab sahabi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Sumber Hukum Mukhtalaf?
2. Apa saja Macam-macam sumber hukum yang Mukhtalaf?

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui pengertian dan penjelasan Sumber Hukum Mukhtalaf.
2. Mengetahui macam-macam sumber hukum yang mukhtalaf.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Hukum Mukhtalaf


Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang
berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil
keputusan (istinbat) suatu hukum.
Sumber hukum mukhtalaf adalah sebuah bentuk dari sumber hukum islam yang
dimana didalamnya terdapat berbagai macam perselisihan yang berasal dari seluruh umat
muslim yang berada pada seluruh dunia. Kemudian dari hal itu beberapa macam bentuk
sumber hukum mukhtalaf sendiri adalah seperti istihan, maslahah mursalah, urf, syar'un
man qoblanan, istihab, saddud dzari'ah, madzhab sahabi.
Diantara dalil – dalil hukum tersebut terdapat dalil hukum yang disepakati dan ada
yang diperdebatkan. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi
yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum
qiyas. Dan ini telah dijelaskan oleh makalah- makalah sebelumnya.
B. Macam – macam sumber hukum yang Mukhtalaf.
1. Istihsan
1.      Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap sesuatu lebih baik atau mencari
kebaikan. Menurut ulama ushul fiqh, ialah berpaling pada sesuatu masalah dari
sesuatu hukum yang sama menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat”.
Imam asy-Syarkhasi dalam kitabnya “al-Mabsut”, menyimpulkan bahwa istihsan
ialah menghindarkan kesulitan demi kemudahan.” Sebab kemudahan merupakan
unsur pokok atau prinsip dalam agama.[1]
2.      Dasar Hukum Istihsan
Firman Allah :

‫ي ُِر ْي ُد هللاُ بِ ُك ُم اليُس َْر َواَل ي ُِر ْي ُد بِ ُك ُم ال ُعسْر‬ 


Yang artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”

Juga sabda nabi :

‫َخي ُر ِد ْينُ ُك ْم اليُ ْس ُر‬


Yang artinya : “Sebaik-baik agamamu adalah kemudahan.”
3.      Macam- macam Istihsan
a.       Di lihat dari ma’aridhnya (dalil lain yang bertentangan), istihsan ini terbagi
menjadi tiga macam :
1)      Istihsan Sunnah: Istihsan yang disebabkan oleh adanya ketetapan sunnah yang
mengharuskan meninggalkan dalil Qiyas pada kasus yang bersangkutan.
Contohnya yaitu : ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihsna’ (perburuhan atau
pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran (objek) akad
tidak ada ketika akad itu dilangsungkan.
2)      Istihsan Ijma’: istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil qiyas karena adanya
ijma’ ulama’ yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntutan qiyas.
Contohnya adalah: Kasus kontrak kerja pertukaran barang dengan imbalan jasa.
3)      Istihsan Dlarurat: istihsan yang disebabkan oleh adanya keadaan dlarurat
(terpaksa) dalam suatu masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk
meninggalkan dalil qiyas. Contonya yaitu: mensucikan kolam atau sumur yang
tidak munkin dilakukan jika tetap berpegang pada dalil qiyas.

2.     Maslahah Mursalah


1.      Pengertian Maslahah Mursalah
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat
sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat atau madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat
mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (‫ )إجابي‬dan menjauhkan madharat (‫)سلبي‬.
2.      Dasar Hukum Maslahah Mursalah

َ‫َو َما أَرْ َس ْلنَكَ إِاَّل َرحْ َمةً لِّ ْل َعلَ ِم ْين‬
Artinya: “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam”.(QS. Al Anbiya’:107)

‫يَأَيُّهَا النَاسُ قَ ْد َجا َء ْت ُك ْم َّموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو ِشفَا ٌء لِّ َما فِى الصُّ ُدوْ ِر َوهُدًى‬
3.    Urf
1.      Pengertian Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui. ‘Urf adalah apa-apa yang saling diketahui
oleh manusia dan mereka mempraktekkannya, baik perkataan maupun perbuatan
atau meninggalkan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang
telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan tradisi.
2.      Macam- macam Urf
Pembagian ‘urf ada dua diantaranya:
a.       ‘Urf shahihah yaitu kebiasaan yang bisa dijadikan landasan hukum.
1)      ‘Urf shahih ‘am
Adalah suatu kebiasaan yang telah disepakati oleh setiap manusia dimanapun dan
kapanpun mereka berada. Seperti sesuatu yang berikan oleh laki-laki kepada wanita
pinangannya berupa perhiasan dan pakaian adalah hadiah yang tidak termasuk
sebagian dari maskawinnya.
2)      ‘Urf  shahih khas
Adalah suatu kebiasaan yang hanya diakui oleh satu negara, satu provinsi ataupun satu
sekelompok masyarakat, seperti halnya dalam masalah perniagaan atau bercocok
tanam dan lain sebagainya.
b.      ‘Urf fasidah yaitu suatu kebiasaan yang tidak bisa dijadikan landasan hukum,
karena bertentangan dengan nash-nash qot’i.
4.    Syar’un Man Qoblana
1.      Pengertian Syar’u Man Qoblana
Definisi Syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Tuhan kepada
umat-umat sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk
disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
2.      Dasar Hukum Syar’u Man Qoblana

‫ك الّ َذ ْينَ هَدَى هللاُ فَبِهُدَىهُ ُم ا ْقتَ ِده قُ~~لْ اَّل أَ ْس~أَلُ ُك ْم َعلَ ْي~ ْه أَجْ~ رًا إِ ْن هُ~ َو إِاَّل ِذ ْك~ َرى‬ َ ِ‫أٌوْ لَئ‬
َ‫لِ ْل َعلَ ِم ْين‬
90. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk
seluruh ummat.
3.      Macam- macam Syar’u Man Qoblana[6]
a.       Yang masih dipakai: syari’at umat terdahulu yang sampai saat ini masih sering
diikuti oleh umat Nabi Muhammad SAW. Contoh: puasa Daud.
b.      Yang ditinggalkan: syari’at umat terdahulu yang sudah dipakai oleh umat Nabi
Muhammad SAW.

5.     Istishab
1.      Pengertian Istishab
Istishab secara bahasa berarti “meminta ikut serta secara kontinyu”. Adapun menurut
pengertian istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama, istishab
berarti: “Menganggap status sesuatu (hukumnya) tetap seperti keadaan semula
tanpa perubahan, sebelum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya
(membatalkannya)”.[7]
Senada dengan pengertian di atas, istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum
yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang
mengubah kedudukannya”.
2.      Dasar Hukum Istishab
a.       Al-Quran

‫قل الّ أجد في ما أوحى إل ّى مح ّرما على طاعم يطعمه إالّ أن يكون ميتة أو‬
‫دما مسفوحا أو لحم خنزير‬
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi...”. (Q.S. Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah
hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan
dengan firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad)” ‘Aku tidak
menemukan....”. pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan
baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
b.      Hadis
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya)lalu
mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! ‘Engkau telah berhadats! Maka( jika
demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara
atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan
untuk kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan
suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal.
Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga
menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yzitu mendengar suara atau
mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
c.       Ijma’
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqh yang telah
ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab.
d.      Dalil ‘Aqli
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
1)      Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor
yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut
sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syari’at Islam, sebuah dugaan kuat (al-
zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
2)      Disamping itu, keika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas
keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan,
berdasarkan kaidah al yaqin la yaqin al-yazulul yuzalu bi al-syakk.
3.      Macam- macam Istishab
Istishab secara bahasa berarti “meminta ikut serta secara kontinyu”. Adapun menurut
pengertian istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama, istishab
berarti: “Menganggap status sesuatu (hukumnya) tetap seperti keadaan semula
tanpa perubahan, sebelum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya
(membatalkannya)”.[9]
Senada dengan pengertian di atas, istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum
yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang
mengubah kedudukannya”. Istishab terbagi menjadi 4 (empat) macam:
a.       Istishab ibahah ashliyah: “Pada dasarnya hukum segala sesuatu adalah
mubah/boleh, selama tidak ada bukti yang melarangnya”. Istishab model ini
banyak berperan dalam bidang muamalah. Dasarnya adalah Firman Allah di dalam
surat al-Baqoroh ayat 29:
‫ج‬
ٍ ‫ض َج ِم ْيعًا ثُ َّم ا ْست ََوى إِلَى ْال َس َما ِء فَ َس َّوىه َُّن َس ْب َع َس َم َوا‬
‫ت‬ ِ ْ‫ق لَ ُك ْم َّما ِفى اأْل َر‬
َ َ‫هُ َو الَّ ِذى خَ ل‬
‫َوهُ َو بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِ ْي ٌم‬
Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu.

Contoh: Makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dll adalah halal selama tidak
ada dalil/bukti yang melarangnya.
Hal ini senada dengan kaidah fiqih:
 “Pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya boleh sampai ada dalil yang
mengharamkannya”
b.      Istishab Baro’ah Asliyah: ”Pada dasarnya setiap orang terbebas dari
tuntutan/kesalahan selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya”. Hal ini
senada dengan kaidah fiqih:
“pada prinsipnya semua orang terbebas dari tuntutan”   
c.       Istishab Hukmi: “Pada dasarnya hukum segala sesuatu tetap berlaku selama tidak
ada bukti yang mengubahnya”. Contoh: seseorang yang memiliki sebidang tanah,
maka tanah tersebut masih tetap dihukumi miliknya, selama tidak ada bukti bahwa
tanah tersebut telah dijual ataupun dihibahkan. Hal ini senada dengan kaidah fiqih:
“pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya tetap selama tidak ada bukti yang
mengubahnya”
* Macam Istishab di atas, no.; 1, 2 dan 3, seluruh ulama sepakat dapat dijadikan
sebagai landasan hukum.
d.      Istishab Wasfi: “Pada dasarnya sifat dari segala sesuatu masih berlaku sebelum ada
bukti yang mengubahnya”. Contoh: Air yang diketahui bersih tetap dihukumi
bersih selama tidak ada bukti bahwa iar tersebut najis.
* Khusus Macam Istishab no. 4 ini terjadi perbedaan pendapat antar Ulama:
1)      Madzhab Syaf’i dan Hanbali: Dapat dijadikan sebagai landasan hukum secara
mutlak.
2)      Madzhab Hanafi dan Maliki: Perlu pemilahan. Sebab kaidah ini hanya berlaku
untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan haknya
yang baru.
6.     Saddud Dzari’ah
1.      Pengertian Saddud Dzari’ah
Saad secara bahasa: “menutup”, sedangkan dzarī’ah: “jalan yang menghubungkan
kepada suatu tujuan, baik yang mengandung suatu kemafsadahan maupun
mengandung suatu kemaslahatan, berupa perbuatan ataupun perkataan”.
2.      Dasar Hukum Saddud Dzari’ah
a.       Al Quran

‫وال تسبّوا الّذين يدعون من دون هللا فيسبّوا هللا عدوا بغير علم كذلك زيّنّا لك ّل أ ّمة‬
‫عملهم ث ّم إلى ربّهم ّمرجعهم فينبئهم بما كانوا يعملون‬
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (Q.S. Al
An’am: 108)
ّ
‫زينتهن‬ ‫وال يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من‬
“...dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan...”. (Q.S. An Nur: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya
tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-laki lain untuk
mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk
menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
b.      Hadits
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-
Nya. Barang siapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan
terjerumus ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada
perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan
kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu.
3.      Obyek Saddud Dzari’ah
a.       Suatu bagian dimana umat sepakat melarangnya; contoh, Menjual anggur kepada
pembuat minuman keras, menggali sumur dibelakang pintu rumah dalam keadaan
gelap dengan tujuan agar orang yang masuk rumah akan terjerumus kedalamnya.
Perbuatan ini dilarang.
b.      Suatu bagian dimana umat sepakat tidak melarangnya, misalnya, pelarangan
terhadap penanaman anggur yang dikhawatirkan akan digunakan untuk membuat
khomr, sesungguhnya tak seorangpun melarang hal itu, karena didalam penanaman
anggur tersebut terdapat manfaat yang banyak, oleh sebab itu tidak boleh melarang
penanaman anggor ini hanya karena dikhawatirkan akan dibuat khomr.
c.       Suatu bagian yang diperselisihkan, Apakah suatu hal dapat merupakan sebuah
dzarī’ah yang dapat mendatangkan sebuah kerusakan atau tidak?. misalnya, jual
beli ājal, jual beli ini secara dhohir sah, namun ketika melihat hakikat dan
bathinnya, jual beli macam ini menjembatani terhadap terjadinya riba.

7.    Madzhab Sahabi


1.      Pengertian Madzhab Sahabi
Madzhab shohabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus di
mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan Hadis”.
Sedangkan yang dimaksud dengan “sahabat” adalah “Setiap orang Islam yang
hidup bergaul bersama Nabi dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu
dari Rasul”.[10] Para sahabat tersebut antara lain: Umar bin Khottob, Ali bin Abi
Tholib, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Aisyah dll.
2.      Penilaian Ulama’ tentang Madzhab Sahabi
Hanafiah, Malikiah, Syafiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sahabat dapat dijadikan
pegangan generasi sesudahnya.
Mu’tazilah, Syiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sajabat tidak dapat dijadikan sebagai
pegangan generasi sesudahnya.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Istihsan ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama
menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat. Macam-macamnya adalah
Istihsan Sunnah, Istihsan Ijma’, dan Istihsan Dlarurat.
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah.
Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat atau madharat. Adapun mursalah yaitu secara khusus tidak
dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan.
‘Urf  adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka
menjadikan tradisi. Macam- macam Urf ada dua yaitu ‘Urf shahihah (‘Urf shahih ‘am
dan ‘Urf  shahih khas) serta ‘Urf fasidah .
Syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Tuhan kepada
umat-umat sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk
disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu. Macam- macam Syar’u Man
Qoblana ada dua yaitu yang masih dipakai dan yang ditinggalkan.
Istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau meniadakan
sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya”. Istishab
terbagi menjadi 4 (empat) macam: Istishab ibahah ashliyah, Istishab Baro’ah Asliyah,
Istishab Hukmi, dan Istishab Wasfi.
Saad al-Dzarī’ah adalah: “Setiap sesuatu yang menghubungkan kepada sesuatu
yang dilarang, yang mengandung kemafsadatan dan kemadhorotan”. Obyek Saddud
Dzari’ah yaitu suatu bagian dimana umat sepakat melarangnya, sepakat tidak
melarangnya, dan suatu bagian yang diperselisihkan.
Madzhab shahabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus
di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan Hadis”. Penilaian
Ulama’ tentang Madzhab Sahabi yaitu Hanafiah, Malikiah, Syafiah dan sebagian
Hanabilah: fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan generasi sesudahnya. Dan
Mu’tazilah, Syiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sajabat tidak dapat dijadikan sebagai
pegangan generasi sesudahnya.
DAFTAR PUSTAKA

http://dzuro.blogspot.com. (2021, 14 April). Sumber hukum islam yang mukhtalaf. Di akses


pada 19 April 2021, dari http://dzuro.blogspot.com/2014/10/hukum-mukhtalaf.html

http://rahmad175.blogspot.com. (2021, 14 April). Sumber Hukum Mukftalaf. Di akses pada 19


April 2021,dari http://rahmad175.blogspot.com/2013/10/sumber-hukum-islam-yang-
mukhtalaf.html

Anda mungkin juga menyukai