Anda di halaman 1dari 45

SILABUS MATAKULIAH FILASAFAT HUKUMISLAM

FAKULTAS SYARIAH-IAIN BATUSANGKAR


SMTR.GANJIL/III/2 sks/ 2020/2021

DRS. H. EMRIZAL
I. TUJUAN
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Landasan Filosofis Hukum
Islam serta mengaplikasikannya dalam pengembangan Hukum Islam. Sehngga diketahui
bahwa Hukum Islam mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan
merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam.

II. TOPIK INTI


1. pengertian, ruang lingkup dan kegunaan filsafat hukum islam
2. Pertumbuhan dan perkembangan filsfat hukum islam
3. Metode pengembangan filsafat hukum islam
4. Asumsi-Asumsi dasar tentang filsafat hukum Islam
5. Hubungan Filsafat hukum Islam dengan Ilmu-ilmu Islam lainnya
6. Perbandingan Filsafat Hukum Islam dengan aliran filsafat hukum lainnya
7. Hukum Islam,manusia, kekuasaan Allah dan tujuan Allah menciptakan hukum
8. Sumber dan dasar Filsafat Hukum Islam (naqli, aqli, hissi, taqriry dan Kasyfiy)
9. Asas, prinsip dan tujuan hukum Islam
10. kaedah-kaedah hukum islam
11. Etika dan estetika hukum islam
12. Karakteristik hukum islam : universalitas (al-’am – ijmaliy), partikularitas(tafshiliy),
elastisitas (tadrijiy), dan estetis (tahsiniy)
13. Hukum islam, masyarakat dan negara
14. Proses pembentukan dan penerapan hukum islam
15. Filsafat ibadah dalam hukum islam.

III. REFERENSI
A. BUKU WAJIB
1. Fathurrahman Jamil : Filsafat Hukum Islam
2. Juhaya S. Praja : Filsafat Hukum Islam
3. Ali al-Fasi : Maqashid al-Syari’ah wa makarimuha
4. Ahmad Raisuni : Maqashid al-Syari’ah ‘Inda as-Syathibiy
5. Tahrir ‘Asyur : Maqashid al-Syari’ah
6. Shubhi Mahmashani : Falsafah at-Tasyri’ al-Islamiy
7. T.M.Hasbi ash-Shiddieqi : Filsafat Hukum Islam
B. Buku Anjuran
1. Abu Ishaq as- Syathibiy : Al-Muwafaqat fi Ushuli as-Syari’ah
2. Muhammad adib Shalih : Takhrij al-Ushul ala al-Furu’
3. Syah Waliyullah ad-Dahlawiy : Hujjatullah al-Balighah
4. Departemen agama : Filsafat Hukum Islam.

FILSAFAT HUKUM ISLAM


BAB. I
PENDAHULUAN

Filsafat merupakan suatu ilmu yang dianggap sebagai akar dari ilmu-ilmu yang
berkembang di dunia, dikarenakan filsafat merupakan ilmu yang paling tua dan satu-satunya
ilmu yang ada pada saat itu.

Banyak orang yang mempelajari filsafat berakhir dengan kejenuhan dan kebingungan.
Ada yang beranggapan bahwa dengan kejenuhan dan kebingungan itu mereka merasa telah
selesai belajar filsafat. Padahal tidak demikian adanya, sebab kejenuhan dan kebingungan itu
terjadi lebih pada eksperesi dan cara menikmati objek kajian yang dihadapi. Bila mempelajari
filsafat diiringi dengan seni dan strategi yang cantik dalam menikmatinya, seseorang akan
merasakan kenikmatan logika dan tata fikir yang luar biasa, karena dengan filsafat akan
ditemukan sesuatu jawaban bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, semua memungkinkan
dalam menciptakan berbagai kemungkinan.

Filsafat dilahirkan oleh orang-orang yang punya pandangan yang berbeda , seperti :
Tidak begitu percaya dengan segala yang ada dan yang dilihatnya, Penasaran dan kagum atas
semua yang ada ditumpahkan dengan mempertanyakan segala sesuatu dan , ragu atas semua
yang ada. Hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan: apa, bagaimana, dari mana, mengapa, dan
untuk apa ?. Sebagai contoh : Ketika manusia melihat genagan air, mncul pertanyaan apa itu
air ? Bagaimana air itu diciptakan ? Dari mana asalnya air ? Mengapa sifat air itu demikian, dan
untuk apa air itu ada pada alam manusia ? Dapatkah pertanyaan itu dijawab secara filosofis ?

Segala sesuatu memiliki hakikat dan hakikat segala sesuatu adalah sesuatu itu sendiri.
Logika fenomenologis inilah yang didambakan oleh setiap orang yang bergaul dengan filsafat.
Segala sesuatu memungkinkan untuk dianalisis karena alat fikir manusia tidak terbatas. Akal
yang terletak dalam batok kepala dan urat saraf manusia dapat disambungkan dengan qalbu dan
hati nurani yang berbuah rasa. Oleh sebab itu sesukar apapun masalah yang dihadapi, manusia
akan memiliki kemampuan untuk memecahkannya. Kegiatan itu akan berujung menjadi cara
berfikir filosofis. Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa filsafat adalah mather of
science. Hal itu berpengaruh lagi kepada bahwa semua ilmu selalu digandengkan dengan filsafat,
seperti filsafat sejarah, filsafat ekonomi, filsafat politik, filsafat sosial, filsafat pendidikan,
filsafat hukum dan tidak ketinggalan, ada pula filsafat hukum Islam.

Ketika kata ” Filsafat” menyintuh ranah hukum Islam, Kajiannya tidak akan sama
dengan kajian filsafat secara umum, ia harus mengacu pada pandangan hukum yang bersifat
Teologis, karena hukum Islam itu diciptakan punya maksud dan tujuan yang telah ditetapkan
Tuhan untuk kebahagiaan manusia di dunia(yang bersifat sementara) dan kebahagiaan di akhirat
(yang bersifat kekal abadi). Hal inilah yang membedakan kajian ”Filsafat Hukum Islam ”
dengan filsafat hukum lainnya (yang hanya berusaha mencari kedamaian di dunia (sementara)
berdasarkan logika rasional dan empirik semata.
Filsafat pada intinya berbicara tentang hakikat sesuatu secara mendasar, sehingga
membicarakan tentang Filsafat Hukum Islam, selalu akan membicarakan perihal hukum islam
dalam tataran yang cukup mendasar. Fenomena yang melibatkan filsafat dalam Hukum Islam
adalah bagaimana Hukum Islam (syari’ah) itu secara konkrit dapat diaplikasikan oleh situasi dan
kondisi suatu masyarakat secara nyata. Demikian itulah yang sebenarnya menjadi tujuan utama
Al-Qur’an, yaitu tegaknya sebuah tata sosial yang bermoral, adil, dan dapat survive di muka
bumi. Problem yang timbul kemudian adalah: Adakah kemampuan komunitas masyarakat dalam
memahami atau menafsirkan teks-teks hukum islam yang berlaku tersebut dapat menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Tujuan hukum Islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat rahman dan rahim Tuhan
kepada semua makhluk-Nya (rahmatan lil ’alamina) sebagai inti dari syari’at Islam. Dengan
tujuan syari’at Islam inilah dapat terciptanya kedamaian, terwujudnya keadilan kepada semua
orang (sebagai sifat yang sangat mulia di mata Tuhan), dan merupakan suatu jalan untuk
mencapai taqwa setelah beriman kepada Allah Swt.
Untuk bisa menegakkan itu semua, hukum Islam harus siap menghadapi kejadian atau
yang disebut dengan kasus kontemporer sebagai dampak dari perkembangan peradaban manusia
dalam segala hal. Untuk itu Filsafat hukum Islam mutlak diperlukan. Dengan tegak dan
berhasilnya Filsafat Hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa Hukum Islam mampu memberikan
jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta
alam.
Pemahaman konvensional semata (pemahaman yang mengikuti kebiasaan umum yang
lazim digunakan dalam masyarakat dengan dasar kesepakatan) terhadap sumber dan ajaran
Islam sudah kurang relevan untuk konteks sekarang, karenanya perlu dicari dengan metode
pemahaman baru, misalnya hermeneutika(mempelajari tentang interpretasi makna, menafsirkan,
memberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan al-Quran). Namun
demikian, persoalannya adalah, sebagai suatu ‘produk impor’, Mungkinkah hermeneutika dapat
menggantikan metode pemahaman konvensional terhadap sumber dan ajaran Islam, terutama
metode tafsir/pemahaman teks ajaran, terutama Alquran? Selanjutnya, jika dapat diganti dengan
hermeneutika, persoalan-persoalan apakah yang akan terjadi?.
Kaidah hukum yang tercantum dalam aturan Hukum Islam dapat mencakup antara lain:
siapa berkewajiban apa, terhadap siapa berkenaan dengan apa dan atas dasar apa, atau, siapa
berhak atas apa, dan berdasarkan itu siapa yang harus melakukan perbuatan apa. Hal-hal tersebut
bukanlah sesuatu yang sederhana, ketika hal itu melibatkan penafsiran manusia terhadap sesuatu
teks aturan hukum, bahkan aturan hukum tersebut bukanlah buatan manusia itu sendiri dan
diyakini berasal dari Tuhan (Allah) dengan perantaraan RasulNya, sedang pada sisi lainnya
manusia pada dasarnya diberi kebebasan bahkan didorong dengan ketentuan adanya keutamaan
dalam melakukan penafsiran pada setiap diri manusia.

Pembahasan filsafat hukum Islam bukan membahas materi filsafat, melainkan materi hukum
Islam yang dikaji secara filosofis. Muatan filsafat yang terkandung dalam filsafat Hukum Islam
bertumpu pada empat tujuan mendasar, yaitu :

1. Agar landasan Filsafat Hukum Islam yang berkaitan dengan ubudiyah, mu’amalah,
siyasah, dan jinayah dapat dipahami secara mendalam.
2. Semua aspek yang berkaitan dengan hukum Islam hakikatnya ditemukan melalui
pemahaman ontologis;
3. Asal muassal hukum Islam secara epistimologis dapat dilukiskan secara rasional,
sistematis dan radikal; dan
4. Fungsionalisasi hukum secara pragmatis maupun realistis merupakan bagian dari prilaku
umat Islam yang menjalankan kaidah-kaidah normatif dalam hukum Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian, Ruang Lingkup dan Kegunaan Filsafat Hukum Islam

A. Pengertian Filsafat Hukum Islam

Sebelum mengemukakan pengertian Filsafat Hukum Islam, lebih dulu akan


dikemukan tentang pengertian Filsafat itu sendiri. Dalam hal ini ada dua tinjauan yaitu
Filsafat secara etimologis dan Filsafat secara terminologis.
1). Secara etimologis
Dalam Dictionary of Philosophy, Filsafat berasal dari dua kata yaitu :Philos dan
Sphia. Philos artinya cinta, sedangkan sophia artinya kebijaksanaan.(William L.Reese,
1980 :431). Menurut Abdul Rajak dan Isep Zainal arifin (2002: 23), secara etimologis
filsafat dapat diartikan sebagai: (1) cinta pada kebijaksanaan (love of wisdom) (2) cinta
pada kepandaian atau ilmu pengetahuan, (3) cinta pada kebenaran, (4) keinginan yang
mendalam untuk mencari atau mendapatkan kebijaksanaan, kebenaran, kepandaian atau
ilmu pengetahuan dan, (5) keinginan untuk pandai, bijak dan sebagainya dalam konteks
yang sama.
Sutarjo Mira Miharja (2006: 9) mengatakan bahwa secara etimologis filsafat berasal
dari bahasa Inggris dan bahsa Yunani. Dalam Bahasa Inggris ,yaitu Philosophi,
sedangkan dalam bahasa Yunani dikenal dengan Philein atau Philos dan sofein atau
sophi artinya mencari kebenaran atau kebijaksanaan
Jadi, secara harfiah filsafat atau falsafat mempunyai arti cinta / mencintai
kebijaksanaan (hubbul hikmah) atau sahabat pengetahuan. Dalam penggunaannya,
.ketiga kata (filsafat, falsafat, falasifah) dapat dipakai

2). Secara Terminolgis


Juhya S. Praja (1997:1)mengemukakan beberapa pengertian tentang filsafat sebagai
berikut:
a) Plato (427 SM-347 SM ) Filosof Yunani, (Murid dari Aristoteles), mengatakan
bahwa filsafat adalah pengtahuan tntang segala yang ada, ilmu yang beminat
mencapai kebenaran yang asli.
b) Aristoteles (381 SM-322 SM) mengatakan Filsafat adalah ilmu yang meliputi
kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu, metafisika, logika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika.
c) Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 SM) seorang politikus dan ahli pidato Romawi
merumuskan flsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang Maha Agung dan
usaha-usaha untuk mencapainya.
d) Al-Farabi (w 950 M) seorang filosof Muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang
sebenarnya;
e) Immanuel Kant (1724 M-1804 M) dijuluki sebagai raksasa pemikir Barat,
mengatakan bahwa Filsafat adalah ilmu pokok dari segala pengetahuan yang
meliputi empat persoalan yaitu :
(1) Apakah yang dapat kita ketahui ? pertanyaan ini dijawab oleh Metafisika.
(2) Apakah yang boleh kita kerjakan ? pertanyaan ini dijawab oleh Etika.
(3) Apakah manusia itu ? pertanyaan ini djawab oleh Antropologi
(4) Sampai dimanakah pengharapan kita ? pertnyaan ini dijawab oleh Agama.
f) .C. Mulder, Filsafat adalah cara berfikir secara ilmiah dengan mempunyai sifat-sifat
:sebagai berikut
.Menentukan sasaran pemikiran (Gegenstand) tertentu .)1(
.Bertanya terus sampai batas terakhir sedalam-dalamnya (radikal) .)2(
.Selalu mempertanggung jawabkan dengan bukti-bukti .)3(
.Harus sistematik .)4(
g) Harun Nasution mengatakan bahwa intisari filsafat adalah berfikir menurut tata tertib
(logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi dogma dan agama) dan dengan
sedalam-dalamnya sehingga sampai kedasar –dasar persoalan.

Jadi untuk merumuskan sebuah pengertian tentang Filsafat hukum Islam, kunci
utamanya ialah memahami lebih dulu tentang dua term yaitu : " Filsafat dan
Hikmah". Pentingnya mengetahui kedua term ini karena para pengkaji filsafat
hukum islam ini kadang-kadang menggunakan kata filsafat dan hikmah dalam arti
yang sama dan kadang kala menggunakannya dalam arti yang berbeda. Sebagai
contoh : Ahmad Al-Jurjawi menggunakan istilah :Hikmah al-Tasyri' wa
Falsafatuhu dan Dr. Shubhi Mahmashaniy menggunakan Istilah : Falsafah al-
Tasyri' al-Islamiy. Di samping itu istilah teknis yang banyak dipakai dalam kajian
hukum Islam di Indonesia kerap kali menimbulkan kerancuan dalam penggunaannya.
Untuk menghindari kerancuan tersebut, diperlukan penjelasan definisi dari istilah-
istilah tersebut. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan diperkenalkan lebih dahulu
istilah-istilah yang banyak digunakan dalam kajian hukum islam. Istilah-istilah
tersebut ialah : Tasyri', syari'ah, Fiqh atau Ilmu al-Syari'ah, hikmah dan Filsafat
hukum Islam.

(a) Tasyri', kata tasyri' berasal dari kata syarra'a yaitu membuat jalan raya yaitu
suatu jalan besar yang menjadi jalan utama. Dengan demikian kata tasyri' berarti
pembuatan jalan raya. Kemudian, kata tasyri' ini digunakan oleh para ahli hukum
islam dalam arti pembentukan garis-garis besar hukum islam dan pembentukan
teori-teori hukum islam. Oleh sebab itu term Tasyri' berarti pembentukan hukum
islam secara sistematis; pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum
praktis. Dengan demikian, dalam term tasyri' terkandung dua unsur yaitu unsur
wahyu dan unsur akal yang telah bekerja dalam menggali hukum-hukum yang
disebut jtihad
.
(b)Syari'ah, kata syari'ah dalam bahasa arab berarti " tempat air minum yang selalu
menjadi tempat tujuan, baik tujuan manusia maupun binatang". Kemudian term ini
digunakan dalam arti sumber air dalam arti sumber kehidupan yang dapat menjamin
kehidupan manusia, kaik kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Kemudian
dalam hukum islam term syari'ah ini berarti hukum-hukum dan tata aturan yang
disampaikan Allah kepada hamba-hambanya. Dengan demikian, Syar'ah dalam
pengertian ini adalah wahyu baik yang matluw ( al-Quran) maupun yang ghairu
matluw(Sunnah). Dalam pengertian wahyu ini,, maka syariah merupakan sumber
hukum Islam yang tidak akan pernah berubah. Akan tetapi, kadang kala syariah
berkonotasi sumber hukum tetap tetapi dapat berkembang sehingga sumber hukum
Islam menjadi : Al-Quran, Hadis, Ijma, 'Ijtihad (berupa qiyas dan dalil-dalil). Oleh
sebab itu, dikenallah istilah syariat dalam artian sempit (al-Quran dan Sunnah) dan
syariat dalam artian lapang (al-Quran, Sunnah, Ijmak dan qiyas, dan adillah ).
Berdasarkan pengertian inilah kiranya Syekh Mahmud Syaltut mendefinisikan
syariat sebagai berikut :
‫ هي النظم الىت ش رعها اهلل او ش رح اص وهلا ليأخـذ االنس ان هبا نفسه ىف‬:‫والش ريعة‬
‫ وعالقته‬,‫ وعالقته ب الكون‬,‫عالقته بربه وعالقته باخيه املس لم وعالقته باخيـه االنس ان‬
.‫باحلياة‬
Artinya: Syari'at ialah hukum-hukum yang digariskan Allah, atau dasar-dasar hukum
yang digariskan Allah agar manusia dapat mempedomaninya dalam hubungannya
dengan Tuhannya, hubungannya sesame saudara muslim, hubungannya dengan Alam
dan hubungannya dengan kehidupan.

(c) Fiqh atau Ilmu syari'ah. Dalam bahasa Arab Fiqh berarti faham, pengertian atau
pengetahuan. Fiqh dalam pengertian ini tercantum dalam Firman Allah surat at-
Taubah,ayat 87 :
ِ ِ‫ضوا بِأَ ْن ي ُكونُوا مع الْ َخوال‬
)87( ‫ف َوطُبِعَ َعلَى ُقلُوبِ ِه ْم َف ُه ْم اَل َي ْف َق ُهو َن‬ ُ ‫َر‬
َ ََ َ
Artinya: mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang(anak-anak,
wanita dan orang lemah)dan hati mereka telah dikunci mati maka mereka tidak
mengetahui (kebahagian beriman dan berijtihad).

Fiqh dalam tradisi ahli-ahli hukum Islam sama dengan istilah 'Ilmu al-
syari'ah yaitu pengetahuan tentang syari'at; pengetahuan tentang hukum-hukum
perbuatan mukallaf secara terinci berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan sunnah
dengan cara istinbath al-ahkam yakni penggalian penjelasan dan penerapan hukum.
Penggunaan istilah fiqh pada awalnya mencakup hukum-hukum agama secara
keseluruhan, baik hukum-hukum yang berkenaan dengan keyakinan('aqa'id),
maupun yang berkenaan dengan hukum-hukum praktis ('amaliah) dan akhlaq. Oleh
karena itu dijumpai istilah al-Fiqh al-Akbar dan al-Fiqh al-Asghar. Kedua istilah
ini mulai diperkenalkan oleh Abu Hanifah. Al-Fiqh al-Akbar berkonotasi ushul al-
din yang kemudian dikenal pula dengan nama ilmu tauhid, ilmu kalam, 'ilmu
'aqa'id dan 'aqidah. Adapun al-fiqh al-ashghar, berkonotasi Ushul al-Fiqh yakni
dasar-dasar pembinaan fiqh atau metodologi hukum Islam.

Seiring dengan perkembangan Islam ke berbagai belahan dunia, term Fiqh pun
berkembang hingga digunakan untuk nama-nama bagi sekelompok hukum-hukum
yang bersifat praktis. Dalam peraturan perundang-undangan Islam dan system
hukum Islam, fiqh didefinisikan sebagi berikut :
‫االحكام الشـرعية الىت حيـتاج ىف اسـتـنـباطها اىل تامل و فهم واجتهاد‬
Artinya : Hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan syari'ah yaitu hokum-hukum yang
penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman atau pengetahuan,
dan Ijtihad.
Hasbi sh-Shiddiqie : Koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at
Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (fikih)
Amir Syarifuddin: Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam” (syari’ah dan fikih)
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa fiqh lebih luas dari sekedar paham.
Fiqh berarti paham dan mengerti dengan kehendak Allah SWT dengan segala
firman-Nya. Namun demikian, karena peringkat kamampuan dan martabat manusia
tidak sama, maka kemampuan memahami kehendak dan wahyu Allah berbeda-beda
pula. Inilah sebabnya Fiqh identik dengan 'Ilmu syari'ah. Sebagaimana suatu ilmu
mempunyai tingkat kebenaran yang relative atau zanniy, maka fiqh pun sifatnya
adalah relative atau zanniy.
(d). Hikmah
Sedangkan kata Hikmah, dalam bahsa arab berarti besi kekang yaitu besi
dalam pengendalian binatang. Kata hikmah dalam pengertin kendali ini pun dapat
diartikan sebagai pengendali dan pengekang manusia yang memilikinya untuk tidak
berkehendak , berbuat dan berbudi pekerti yang rendah dan tercela. Sipemilik
hikmah harus berbuat, berkehendak, dan berbudi pekerti mulia dan terpuji.
Mustafa Abd al-Raziq, hikmah seperti yang disebut dalam al-Qur’an menjadikan
orang yang memiliki hikmah sebagai orang yang mulia dan berwibawa. Juhaya S.
Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan UNISBA, 1995) hlm. 2.
Hikmah difahami pula sebagai paham yang mendalam tentang agama. Hikmah
dalam berdakwah sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam Surat an-Nahl:125
berarti keterangan (burhan) yang kuat yang dapat menimbulkan keyakinan.
Muhammad Rasyid Ridla: Hikmah adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu
dan mengenal hakikat apa yang terdapat dalam sesuatu tersebut, mengenai faidah dan
manfaatnya. Pengetahuan tentang hakikat tersebut menjadi pendorong atau motive
untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas tentang filsafat dan hikmah dapat
dipahami bahwa : Intisari filsafat ialah berfikir secara mendalam tentang sesuatu,
mengetahui apa, bagaimana, mengapa, dan nilai-nilai dari seseuatu itu. Sedangkan
Intisari hikmah adalah memahami wahyu secara mendalam dengan yang ada pada
diri manusia sehingga mendorong orang yang mengetahuinya untuk beramal dan
bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu.

(e). Penggunaan kata Filsafat dalam Kajian Hukum Islam


Fuad Ahwani dan Mustafa Abdul Raziq : Filosof muslim menggunakan kata
hikmah sama dengan kata filsafat, dan kata hakim sama dengan kata filosof.
Fuqoha menggunakan kata hikmah untuk makna asrar al-ahkam (rahasia-rahasia
hukum)
Al-Raghib berkata:
‫اصابة احلق بالعلم والعقل‬
“Hikmah yaitu memperoleh kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal.“
Dapat dipahami bahwa kata falsafah identik dengan hikmah. Sehingga apabila
disebut Filsafat Hukum Islam, maka terbersitlah dalam pikiran akan Hikmah Hukum
Islam. Para ahli Filsafat Islam menamakan kitab-kitab sejarah para filosof dengan
Akhbar al-Hukama’, seperti nama kitab yang disusun oleh al-Qaftani, dan Tarikh
Hukama’ al-Islam oleh al-Baihaqi.
Namun demikian, apa yang dimaksudkan dengan kata falsafah pada masa itu
dengan kata filsafat yang dikehendaki pada masa sekarang telah mengalami
penyempitan makna. Kata falsafah pada masa dahulu memiliki arti demikian
longgar, yaitu semua hikmah yang bisa didapatkan dengan menggunakan akal dan
ilmu. Sedangkan kata filsafat yang dikehendaki pada masa sekarang merupakan salah
satu disiplin ilmu yang telah mapan. Dalam arti yang terakhir inilah istilah filsafat
dalam frase Filsafat Hukum Islam dimaksudkan.

Pengertian Filsafat Hukum Islam

Setelah mengetahui beberapa istilah yang berhubungan dengan kajian filsafat


hukum Islam dapat dipahami bahwa Filsafat Hukum Islam merupakan filsafat khusus
dan obyeknya tertentu, yaitu hukum Islam, filsafat yang menganalisis hukum Islam
secar a metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar,
.atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya
Hal itulah barangkali yang membuat para ahli di bidang hukum Islam kesulitan
mmemberikan definisi tentang Filsafat Hukum Islam. Namun demikian, masih ada
beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pemikir Filsafat Hukum Islam sebagai
berikut :

1). Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah,
sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum Islam.
2) Menurut D.C. Mulder: Filsafat Hukum Islam adalah: “Pemikiran secara ilmiah,
sistematik, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang Hukum Islam.
3) Ada juga para ahli filsafat yang berpendapat bahwa : Filsafat Hukum Islam
adalah : upaya pemikiran manusia secara maksimal untuk memahami
rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum Tuhan, dengan tidak
meragukan substansi hukum itu sendiri sebagaimana pendekatan filsafat
hukum pada umumnya.

Kendati begitu sulitnya mendefinisikan tentang Filsafat Hukum Islam, setidak-


tidaknya dengan memahami beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para pemikir
tentang Tasyri', syari'ah, Fiqh atau Ilmu al-Syari'ah, hikmah dan Filsafat hukum
Islam, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa: Filsafat hukum Islam adalah :
pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan tujuan hukum Islam baik yang
menyangkut materinya maupun proses penetapannya”, atau filsafat yang
digunakan untuk memancarkan, menguatkan dan memelihara hukum Islam
sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi,
yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya yang digali secara ilmiah,
sistematis, dapat dipertanggung jawabkan dan radikal tentang hukum Islam.
Dengan filsafat ini, hukum Islam akan benar-benar “cocok sepanjang masa di semesta
alam (saalihun likulli zamaan wa makaan).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Filsafat Hukum Islam
memiliki beberapa unsur yang sangat spesifik sebagai berikut:

Pertama,
Filsafat Hukum Islam merupakan hasil pemikiran manusia. Dengan kata lain, ia
berangkat dari akal pikiran manusia. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara Filsafat
dan filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu Shari‘ah secara metodologis seperti Usul al-
Fiqh dan al-Qawa‘id al-Fiqhiyah. Dimana kedua ilmu yang disebut terakhir ini
berangkat dari wahyu.
Kedua,
Seluruh kajian dalam Filsafat Hukum Islam itu, tidak pernah meragukan substansi
hukum yang telah ditetapkan oleh Hukum Islam. Secara lebih gamblang, hal ini dibahas
dalam salah satu kajian Filsafat Hukum Islam, yaitu mengenai hak ekat hukum Islam
sebagai Hukum Tuhan yang sudah tentu memenuhi tujuan-tujuan hukum.

B. Ruang Lingkup Kajian Filsafat Hukum Islam

Para ahli filsafat hukum islam, membagi ruang lingkup kajian Filsafat Hukum
Islam kepada dua rumusan, yaitu : Objek teoritis (Falsafah Tasyri) dan objek Praktis
.(Falsafah Syariah). Inilah yang menjadi ruang lingkup Filsafat Hukum Islam
- Objek Teoritis (Falsafah Tasyri’) : Fasafah yang memancarkan hukum islam atau
menguatkannya dan memeliharanya. Artinya Filsafat bertugas membicarakan hakikat dan
tujuan hukum islam yang mencakup lima hal :
1. Da’aim al- Ahkam ( Dasar-Dasar Hukum Islam )
2. Mabadi al-Ahkam ( Prinsip-Prinsip Hukum Islam )
3. Ushul al-Ahkam ( Pokok-Pokok Hukum Islam ) atau mashadir al-ahkam ( Sumber-
Sumber Hukum Islam )
4. Maqasid al-Ahkam ( Tujuan -Tujuan Hukum Islam )
5. Qawa’id al-Ahkam ( Kaidah-Kaidah Hukum Islam

- Objek Praktis (Falsafat Syari’ah): Filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi


hukum Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan sebagainya. Filsafat ini
bertugas membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian
Falsafat Syari’ah adalah:

1. Asrar al-Ahkam ( Rahasia-Rahasia Hukum Islam )


2. Khasha al- Ahkam ( Ciri-Ciri Khas Hukum Islam )
3. Mahasin al-Ahkam atau Mazaya al-Ahkam ( Keutamaan-Keutamaan Hukum Islam )
4. Thawabi al-Ahkam ( Karakteristik Hukum Islam )

3. Kegunaan (manfaat) Studi Filsafat Hukum Islam

a Kajian Filsafat Hukum Islam akan memberikan pengetahuan hukum Islam seara utuh
kepada ahli hukum yang mengkajinya. Filsafat Hukum Islam diperlukan bagi
pengkajian mendalam setiap cabang ilmu hukum islam. Pegkajian filsafat hukum Islam
memungkinkan memberikan pemahaman Islam secara menyeluruh (kaffah) dengan
keterkaitan dan hubungan yang terjalin dengan ilmu-ilmu lainnya dalam Islam, baik
ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu tasawuf, ilmu Alquran dan ilmu Hadits, .
b Kajian Filsafat Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia, makna,
hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu fiqh. Sehingga kita melaksanakan
ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan pengertian dan kesadaran yang tinggi.
Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai ketaatan dan disiplin yang tinggi
dalam melaksanakan hukum Seorang yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan
mempelajari Filsafat Hukum Islam, akan semakin memahami di mana letak ketinggian
dan keindahan ajaran Islam, sehingga menimbulkan rasa cinta yang mendalam kepada
Sumber Tertinggi Hukum yaitu Allah Swt., kepada sesama manusia, kepada alam, dan
kepada lingkungan di mana ia hidup.
c. Kajia Filsafat Hukum Islam memantapkan keyakinan umat Islam akan keagungan
Hukum Islam  dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain (hukum produk
manusia). Dimana hukum Islam bisa dibuktikan bukan hanya lebih benar dan unggul,
dengan nilai-nilai keadilan yang diciptakannya, melainkan juga lebih terhormat dan
beradab dendibandingkan dengan hukum-hukum produk manusia yang cenderung
sangat subjektif..
Keyakinan yang mantap itu menumbuhkan rasa taat hukum yang hampir tanpa
“paksaan”. Umat Islam mentaati hukum bukan karena terpaksa, namun karena rasa
cinta, karena ia berasal dari Allah Swt. Yang Maha Adil dan aha Pengasih . Ia taat
kepada hukum karena keyakinan bahwa hukum dibuat sebagai perwujudan cinta Tuhan
kepada makhluk-Nya.
Dengan kata lain, kajian filsafat sangat berperan dalam beberapa hal, yaitu :
1) Menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum yang tidak kering bagi
perundang-undangan dunia
2) Memberikan landasan bagi politik hukum. Yaitu penerapan hukum Islam agar
mencapai tujuannya yang paling mendekati kemaslahatan umat manusia dan
menjauhkan dari kerusakan.
3) Menjadi kerangka metodologi dalam memahami makna tekstual dan
kontekstual dari teks suci .
4) Menjadi landasan untuk memahami argumen hukum dalam menghadapi
perubahan situasi dan kondisi.

2. Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam


Pertumbuhan dan perkembangan filsafatHukum Islam secara garis besarnya dapat
dibagi kepada beberapa periode sebagai berikut :
a.      Periode Nabi Muhammad saw (610 M – 632 M )
b.      Periode khulafaur rasidin (penyempurnaan hukum Islam) ( 632 M – 662 M )
c.      Periode pembukuan & kemajuan ( abad VII  M-X  M )
d.      periode kelesuan pemikiran ( abad X M-XIX M )
e.      periode kebangkitan ( XIX M sampai sekarang )

add. Periode Nabi Muhammad Saw.


Pertumbhan/Pemibinaan Filsafat Hukum Islam pada hakikatnya seiring dengan
pertumbuhan Hukum Islam itu sendiri. Karena kajian Filsafat Hukum Islam bertumpu
kepada Sumber utama hukum islam yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Terhadap segala
permasalahan yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin
diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menemukan ketentuan
hukum. Dalil yang menjadi landasan berijtihad adalah hadist Nabi Saw. ketika mengutus
Mu’adz ibn Jabal ke Yaman sebagai berikut:

‫ث ُم َع ا ًذا اِىَل‬ ِ ‫اب مع ا َذ ب ِن جب ٍل اَ َّن رس و َل‬


َ ‫اهلل لَ َّما اََر َاد اَ ْن َيْب َع‬ ُْ َ َ َ ْ َ ُ ‫ص َح‬
ِ ْ َ‫ص ِمن أ‬ ‫مِح‬
ْ ِ ْ ‫س م ْن اَ ْه ِل‬
ِ ٍ َ‫عن ان‬ ْ
ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
ْ ‫ فَ امَل ْجتَ ْد يِف‬: ‫ قَ َال‬.‫ اَقْض ي بكتَ اب اهلل‬: ‫ض اءٌ؟ قَ َال‬ َ َ‫ك ق‬ َ ‫ف َت ْقض ى ا َذا عُ ِر‬
َ َ‫ض ل‬ َ ‫ َكْي‬: ‫اْليَ َم ِن قَ َال‬
ِ ‫اهلل والَ يِف كِتاَ ِب‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
: ‫ال‬ َ َ‫اهلل؟ ق‬ ْ َ ‫ فَامَلْ جَت ْد يِف ْ ُسنَّة َر ُس ْول‬: ‫ قَ َال‬.‫ فَب ُسنَّة َر ُس ْول اهلل‬: ‫كتاَب اهلل؟ قَ َال‬
ِ ‫هلل اْل ِذي وفْ ق رس و ِل‬ ِ ‫ اْحلم ِد‬: ‫ال‬ ِ ِ
‫اهلل‬ ََُْ َ ْ َ َ َ‫ص ْد َرهُ َو ق‬ َ ‫ب َر ُس ْول الله‬ َ ‫ض َر‬ َ َ‫َجتَ ِه ْد َرأْيِ ْي َوالَ الُ ْو ف‬
ْ‫أ‬
ِ ‫لِمايرضى رسو ِل‬
.‫اهلل‬ ْ ُ َ َ َْ َ
” Diriwayatkan dari sekelompok penduduk Homs, shahabat Mu’az Ibn Jabal, bahwa
Rasulullah Saw. ketika bermaksud untuk mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, ”
apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya? ”Mu’adz
menjawab, ”saya akan memutuskannya berdasarkan al-quran.” Nabi menjawab lagi, jika kasus
tidak anda temukan dalam al-quran” muadaz menjawab,” saya akan memutuskannya
berdasarkan sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya, ”jika kasus tidak terdapat dalam
Al-Quran dan Sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab ,” aku akan berijtihad seksama.” Kemudian
Rasulullh menepuk-nepuk dada Mu’adz dengan tangannya, seraya berkata: segala puji bagi
Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulllah kepda jalan yang diridhai-Nya.
” ( HR.Abu Dawud ).
Jadi, berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang
padahakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu direstui oleh Rasulullah. Bahkan lebih
jelas lagi Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran atau berpikir falsafi
itu sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan. Allah berfirman:

ِ ‫اص حياةٌ يا أُويِل األَلْب‬ ِ


)179 : ‫)البقرة‬179( ‫اب لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقو َن‬َ َ ََ ِ ‫ص‬ َ ‫َولَ ُك ْم يِف الْق‬
” Dan dalam qishsah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertaqwa. ” ( QS. Al- Baqarah : 179 )

Ayat di atas menunjukan bahwa mempergunakan akal pikiran untuk menangkap


ma’na yang terkandung dalam syari’ah sesuai dengan petunjuk al-Quran termasuk yang
dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syri’ah atau hukum islam melahirkan
filsafat hukum islam.

Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad diatas merupakan awal lahirnya filsafat
hukum islam. Pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu.
Pemikiran falsafi atau ijtihad yang salah segera dibetulkan dengan datangnya wahyu. Akan
tetapi, ketika Rasulullah wafat dan wahyu pun telah usai, maka akal dengan pemikiran
falsafinya berperan, baik perkara yang ada nashnya maupun tidak ada nashnya.

Permasalahan yang timbul setelah Rasulullah wafat ialah mengenai siapa yang
memegang tapuk kepemimpinan bagi umat islam. Terhadap permasalahan yang tidak ada
nashnya itu memerlukan pemikiran mendalam tentang kreteria apa yang diambil untuk
menentukan pengganti Muhammad. Apakah kreterianya berupa jasa, yaitu jasa kaum
Anshor yang menerima Muhammad beserta rombongannya dan menyelamatkan agama
dari tekanan kaum kafir di mekkah, ataukah pengorbanan, yaitu pengorbanan kaum
Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad berhijrah dengan meninggalkan keluarga dan
harta kekeyaan demi menyelamatkan agama Islam. Pemikiran yang mendalam tentang
kreteria pemimpin tersebut merupakan pemikiran falsafi.

Sedangkan pemikiran Falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya bermula pada
khulafaurrasyidin, terutama Umar Ibn Khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi
pencuri, meniadakan zakat bagi muallaf dan lain-lain yang dilakukan umar berdasarkan
kesesuaian zaman dan demi menegakkan keadilan yang menjadi asas hukum Islam,
merupakan contoh penerapan hukum berdasarkan akal manusia.

Hukum diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kesejahtraan masyarakat,


sementara masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu pengertian dan
pelaksanaan hukum harus sesuai dengan keadaan yang ada. Artinya, asas dan prinsip
hukum tidaklah berubah, tetapi cara penerapannya harus disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat, perubahan suasana, dan perubahan keperluan hidup.
Singkatnya penerapan hukum harus dapat menegakan kemaslahatan dan keadilan yang
menjadi tujuan dari hukum Islam.

Untuk lebih jelasnya pertumbuhan ini hanya terjadi pada periode Nabi yang terbagi
kepada :
1) Masa Nabi di Makkah (610 M-623 M). Agama islam sebagai “induk” hukum islam
muncul di semenanjung Arab. Daerah yang sangat panas, penduduknya selalu berpindah-
pindah dan alam yang begitu keras memberntuk manusia-manusia yang individualistis
serta hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis Patrilineal, yang saling
bertentangan. Ikatan anggota klen berdasarkan pertalian darah dan pertalian adat. Susunan
klen yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya.Hukum yang dibangun
Nabi adalah hukum yang berkaitan aqidah (menyemblih hewan atas nama Allah dan
melarang menyemblih atas nama berhala atau lainnya) dan hukum yang berkaitan dengan
akhlaq ( melarang terjadinya permusuhan antara sesama mukmin).
2) Masa Nabi di Madinah . setelah Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah,
dianggap telah memutuskan hubungan dengan klen yang asli, karena itu pula diperangi
oleh anggota klen asalnya. Pada masa ini, kedudukan Nabi Muhammad sangat
penting, terutama bagi ummat islam. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa pengakuan terhadap kerasulan Nabi
Muhammad.Saw.
Konsekuensinya ummat islam harus mengikuti firman–firman Tuhan yang
terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang dicatat dalam kitab-kitab
hadist. Melalui wahyuNya Allah menegaskan posisi Muhammad dalam rangka agama
islam, yaitu :
a) Kami mengutus Nabi Muhammad sebagai untuk menjadi rahmat bagi alam semesta
(Q.s.21:107).
b) Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah RasulNya (Q.s.4:59).
c) Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (Q.s.4:80).
d) Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.s.33:21).
Waktu Nabi Muhammad masih hidup tugas untuk mengembangkan dan
menafsirkan hukum itu terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan, perbuatan,
sikap diam yang disebut sunnah. Dengan mempergunakan Al Qur’an sebagai norma
dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan setiap masalah yang timbul pada
masanya dengan sebaik-baiknya.
Add. . Perode khulafaurrasyidin
1) Masa Khulafaur Rasyidin dan sahabat pada umumnya ( masa penyempurnaan
Hukum Islam ( 632 M – 662 M )
Dengan wafatnya nabi Muhammad, maka berhentilah wahyu yang turun dan
demikian halnya dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad sebagi utusan Allah Swt.
tidak mungkin tergantikan, tetapi tugas Beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan
Kepala Negara harus dilanjutkan oleh seorang khalifah dari kalangan sahabat Nabi
Muhammad Saw. .
Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan Negara.
Memiliki hak memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menajaga keamanan
dan batas Negara, menegakkan keadilan dan kebenaran, berusaha agar semua lembaga
Negara memisahakan antara yang baik dan tidak baik, melarang hal-hal yang tercela
menurut Al Qur’an, mengawaasi jalannya pemerintahan, menarik pajak sebagai sumber
keuangan Negara dan tugas pemerintahan lainnya.
Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq.( Masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam karena
dijadikan model atau contoh di generasi-generasi berikutnya. Pada masa pemerintahan Abu
Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat
Qur’an yang telah ditulis dizaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma
dan tulang-tulang unta dan menghimpunnya dalam satu naskah.
Khalifah kedua yaitu Umar Bin Khatab yang melanjutkan usaha Abu Bakar
meluaskan daerah. Kekuasaan Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak dan Persia. Contoh
ijthad Umar adalah: Menurut (Q.S.5:38) orang yang mencuri, diancam dengan hukuman
potong tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat
disemenanjung Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri tersebut tidak
dilaksanakan oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan darurat dan
kemaslahatan jiwa masyarakat yang sangat terkenal dengan argumen subyektif sosiologis.
Umar Bin Khaththab: Memutuskan hukum dengan melihat roh syari’ah. Muhammad
Iqbal (1873-1938) pernah menyatakan “apakah hukum Islam dapat berkembang?” Ia
menjawb sendiri, “bisa, asalkan dunia Islam mau memasuki jiwa Umar. Kontroversi Ijtihad
Umar Membatasi kebolehan menikahi wanita ahlul kitab karena khawatir menikahi dengan
wanita muslimah akan kurang disukai. Tidak memberikan zakat kepada muallaf karena
pertimbangan kemuliaanIslam.
Faktor-faktor pendorong dalam putusan Umar : Beradaptasi dengan tantangan baru,
karena perubahan sosial, ekonomi, dan demografi. Karakteristik Mazhab Umar:
Mengutamakan ra’yu daripada sunnah Menekankan aspek maqasid asy-syari’ah
Khalifah ketiga yaitu Usman bin Affan menggantikan Umar bin Khattab. Pada masa
pemerintahan ini terjadi nepotisme pada separoh akhir kekuasaannya karena
kelemahannya. Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam diteruskan ke barat sampai
ke Maroko, ke timur menuju India dan ke utara bergerak kearah konstantinopel. Usman
menyalin dan membuat Al Qur’an standar yang disebut modifikasi al Qur’an yang dikenal
dengan Mushhaf ‘Utsmaniy.
Khalifah ke empat adalah Ali Bin Abi Thalib yang merupakan menantu dan
keponakan Nabi Muhammad. Semasa pemerintahanya Ali tidak dapat berbuat banyak
untuk mengembangkan hukum Islam karena keadaan Negara tidak stabil. Tumbuh bibit-
bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada perang saudara
yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok. Namun pasa masa Khulafaurrasyidin
ini telah terbentuk Ijtihad perorangan yang menjadi Ijmak (seperti mengumpulkan dan
menulikan Al-quran dalam satu Mushaf, yang kemudian dikenal dengan Mushaf
‘Utsmaniy dan jtihad perorangan yang membentuk Qiyas. Dalam masa inilah disebut
dengan penyempurnaan sumber hukum Islam (al-Quran, Sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas).

b. Masa Tabi’in dan tabi’ tabi’in (Pembukuan dan KemajuanHukum Islam) (Abad
VII-X M)
dimasa awal tabi’in, Islam dikenal fikih (fikih mencakup semua ajaran Islam).
Dimasa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis
suci islam, muncul berbagai teori yang masih dianut dan digunakan oleh umat islam
sampai sekarang. Banyak faktor yang memungkinkan pengembangan pada periode ini,
yaitu :
1) Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan asal usul,
adat istiadat dan berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk dapat menentukan itu
maka ditentukanlah kaidah atau norma bagi suatu perbuatan tertentu guna
memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat.
2) Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan untuk
membangun serta mengembangkan hukum fiqih Islam.

3) Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum
dalam masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada periode ini lahir
penilaian mengenai baik buruknya mengenai perbuatan yang dilakukan oleh
manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-khamsah.

Pada abad ke VIII (delapan) Masehi bersamaan dengan abad ke -2 Hijriyah,


pemikir muslim menemukan filsafat Yunani di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.
Para pemikir Muslim sangat mengahrgai pemikiran filsafat Yunani selama tidak
bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Mereka menggali karya filsafat Yunani seperti
Plato, Aristoteles, Pitagoras, Demokritos dan Platinus. Kemudian mereka sesuaikan
dengan ajran Islam atau syari’at Islam. Akhirnya terbangnlan corak filsafat baru yaitu
filsafat Islam atau filsafat Klasik Islam. Semuanya adalah tokoh-tokoh Muslim antara
lain : Al-Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibn Miskawaihi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu
Tufail, dan Ibnu Rusyd.

Khusus dalam masalah fikih yang bersentuahan dengan filsafat telah melahirkan
beberapa ulama terkemuka

Imam Syafi’i (150-204 H.) Tokoh yang terkenal dengan qaul qodim
(pendapatnya ketika di Irak) dan qaul jadidnya (pendapatnya ketika di Mesir). Qaul
qadim cendrung lebih rasional sedangkan qaul jadid lebih bersifat naqli (hadis.).Secara
metodologis perubahan atas suatu pemikiran merupakan realitas dinamis dalam
pemikiran hukum Syafi’i yang sangat terkait dengan keadaan ruang dan waktu.
Penelitian Filsafat Hukum Islam ditekankan pada maqasid as-Syari’ah.

Al-Juwaini, menyakatakan seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum


Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah dan
larangan-larangan-Nya. Maqasid Syari’ah menurut Juwaini dibagi pada lima bagian;
daruriyyat, hajjah al-ammah, makramah, hal-hal yang tidak termasuk daruriyah dan
hajjiyah, dan hal yang tidak termasuk pada daruri, hajjah al-ammah dan makramat.

Al-Ghazali adalah murid dari Al-Juwaini. Melanjutkan pemikiran al-Juwaini.


Maqasid Syari’ah diletakkan dalam konteks illat dalam qiyas maupun dalam konteks
istislah. Masalahat ialah memelihara maksud syari’ (pembuat hukum). Maslahat itu
menurut al-Gazali ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Tujuan ini diletakkan dalam dlaruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyah.

Izz al-Din Ibnu ‘Abd Salam, dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-
Anam, masalahat diletakkan dalam konteks dar’ul mafasid wa jalbul manafi’
(menghindari mafsadat menarik manfaat). Maslahat di dunia tidak bisa dilepaskan dari
daruriyah, hajjiyyat, tatimmat atau taklimat. Taklif bermuara pada kemaslahatan
manusia baik di dunia maupun di akirat

Abu Ishaq Al-Syatibi (730-790 H.) dalam kitabnya al-Muwafaqat menyatakan


bahwa tujuan Alah SWT. Mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan
manusia. Ia membagi peringkat kemaslahatan kepada dharuriyat, hajjiyat dan
tahsiniyyat.Dharuriyyat (musti) bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan
esensial itu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.Hajjiyat, (diperlukan)
tidak termasuk esensial tapi merupakan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia
dari kesulitan dalam kehidupannya baik di dunia maupun diakhirat.Tahsiniyat (pujian),
sifatnya emnunjang peningkatn martabat seseorang baik kehidupan di dunia maupun
akhirat.

Najmuddin Al-Thufi (657-716 H.) Pemikirannya tentang maslahah bertolak dari


hadis ‫ار‬ ِ ‫ض َر َر َواَل‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫( اَل‬tidak boleh memadartkan dan tidak boleh pula memeadaratkan.
(HR. Hakim, Daruqutni, Ibnu Majjah dan Ahmad Bin Hambal). Inti seluruh ajaran
Islam yang termuat dalam nash adalah maslahah bagi manusia. Seluruh kemaslahatan
itu disyari’atkan. Setiap maslahat tidak pelu mendapatkan dukungan dari nash.
Maslahatmerupakan dalil paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam
menentukan hukum syara.

Prinsip Masalahat dalam pemikitan al-Thufi meliputi: Akal bebas menentukan


kemasalahat dan kemadaratan, khususnya dalam bidang muamalah dan adat.Maslahah
merupakan dalil mandiri dalam menentukan hukum. Maslahah hanya berlaku dalam
masalah muamalah Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Apabila nash
atau ijma bertentangan dengan maslahah didahulukan maslahah engn cara takhsis dan
bayan.
c. Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X-XI-XIX M).
Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari sumbernya
yang asli tapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam
mashabnya masing-masing. Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam masa ini
adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip
atau ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al Qur’an dan sunah, tetapi pikirannya
ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imamnya
saja.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam dimasa
itu adalah ;
1) Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa Negara
baru.
2). Ketidakstabilan politik.
3) Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan merosotnya
kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
4). Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian perkembangan hukum
Islam pada periode ini menjadi lesu.1

E. Masa Kebangkitan Kembali ( Abad XIX sampai sekarang ).


Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran Islam telah
bangkit kembali, timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut yang telah membawa
kemunduran hukum islam. Pada abad ke XIV telah timbul seorang mujtahid besar yang
menghembuskan udara baru dalam perkembangan hukum Islam yang bernama Ibnu
Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al Jaujiyyah walau pola pemikiran mereka
dilanjutkan pada abad ke XVII oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab yang terkenal dengan
gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Gerakan ini oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH dalam
bukunya. Hukum Islam, disebutkan sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali
kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal dahulu.

Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum Islam,
sesungguhnya pada masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul beberapa ahli yang
ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan dan
perkembangan masyarakat. Sebagai contoh pada abad ke 14 telah lahir seorang mujtahid
besar yang menghembuskan udara segar dan baru dalam dunia pemikiran agama dan
hukum. Mujtahid besar tersebut adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu
Qoyyim Al-Jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17
oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi
yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia).
Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan
khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam
sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan,
kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan
sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik
serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka

1 Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977.
hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang
mendalaminya secara serius.
Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga orang tersebut di
atas, dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897) terutama di lapangan
politik. Jamaluddin Al-Afgani inilah yang memasyhurkan ayat Al-Qur’an : Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih
dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri (Q.S. Ar-Ra’du (13) : 11). Ayat ini
dipakainya untuk menggerakan kebangkitan ummat Islam yang pada umumnya dijajah
oleh bangsa Barat pada waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran ummat Islam itu
pada dasarnya adalah disebabkan penjajahan Barat.
Oleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah penjajahan Barat terhadap
dunia Islam, maka Al-Afgani berpendapat bahwa agar ummat Islam dapat maju kembali,
maka penyebab utamanya itu yang dalam hal ini adalah penjajahan Barat harus
dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk itulah maka Al-Afgani menelorkan ide monumentalnya
yang sangat terkenal sampai dengan saat ini, yaitu Pan Islamisme, artinya persatuan
seluruh ummat Islam.
Persoalannya sekarang adalah apakah pemikiran Al-Afgani tentang Pan Islamisme
ini masih relevan sampai dengan saat ini ataukah tidak. Artinya apakah pemikiran Al-
Afgani ini masih cocok untuk diterapkan dalam dunia Islam yang nota bene nasionalisme
masing-masing negara sudah menguat dan mengental ditambah tidak seluruhnya negara-
negara muslim negaranya berdasarkan Islam. Penulis menilai bahwa ide yang dilontarkan
oleh Al-Afgani ini adalah relevan pada masanya, namun demikian masih perlu
diterjemahkan ulang (diperbaharui substansinya) pada masa kini. Sebab menurut penulis
persatuan dunia Islam sebagaimana layaknya sebuah negara Islam Internasional tidak
memungkinkan untuk dilaksanakan lagi, tetapi persatuan ummat Islam dalam arti bersatu
untuk memberantas pengaruh negatif dari negara-negara Barat dan adanya kesepakatan
bersama untuk saling bantu membantu dalam memberantas kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan adalah sesuatu hal yang mutlak dan sangat diperlukan oleh dunia Islam
saat ini
Cita-cita ataupun ide besar Al-Afgani tersebut mempengaruhi pemikiran
Muhammad Abduh (1849-1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Muhammad
Rasyid Ridha (1865-1935). Pikiran-pikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid
Ridha mempengaruhi pemikiran ummat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-
pikiran Abduh ini sangat kental diikuti oleh antara lain Gerakan Sosial dan Pendidikan
Muhammadiyah yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912.
Hanya saja pikiran-pikiran Al-Afgani yang diikuti oleh Gerakan Sosial dan Pendidikan
Muhammadiyah itu lebih banyak pada substansi daripada konsep Pan Islamisme, bukan
pada pendirian negara islam internasionalnya.2

b. Perkembangan Filsafat Hukum Islam


Kegiatan penelitian terhadap Penelitian hukum Islam (Maqasid al-Sya’riah) telah
dilakukan oleh para ahli Ushul fiqh terdahulu.
1). al-Juwaini, dapat dikatakan ahli ushul fiqh pertama yang menekankan
pentingnya memahami maqasid sya’riah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas
menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam
islam, sebelum ia dapat memahami betul tujuan Allah menetapkan perintah-
perintah dan larangan-larangan-Nya . Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut
Maqasid as-Sya’riah itu dalam kaitannya dengan Pembahasan illat pada masalah
qias. Menurut pendapatnya, dalam kaitannya dengan illat, ashl. Tujuan dapat
dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: kelompok Daruriyyat, al-Hajat al-
Amanat, danMakramat (yang terakhir, dalam istilah lain disebut Tahsiniyyat).

Kerangka berpikir al-juwaini di atas dikembangkan oleh muridnya al-ghazali.


Dalam kitabnya Syifa al-Ghali. al-Ghazali menjelaskan maksud syariat dalam
kaitannya dengan pembahasan al-Munasabat al-Mashlahiyyat dalam qiyas,
sementara dalam kitabnya yang lain ia memebicarakannya dalam pembahasan
Istishlah. Mashlahat, baginya adalah memelihara maksud al-Syari, pembuat hukum.
Kemudian ia memerinci Maslhahat itu menjadi lima, yaitu: Memelihara agama,
jiwa, akal keturunan dan harta. Kelima aspek mashlahat ini menurut al-Ghazali,
berada pada peringatan yang berbeda, bila ditinjau dari segi tujuannya, yaitu
peringkat daruriyya, hajiat dan tahsiniyyat. Dari sini teori makhasid al-Syariah
susah kelihatan bentuknya.

2) Ahli fiqh yang berikutnya : Izz al-Din Ibn Abd al-Salim dari kalangan
mazhab Syafii Ia membahas secara khusus aspek utama Maqasid al- Syariah,
Dalam kitabnya Qowaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Ia lebih banyak
mengelaborasi hakikat maslahat yang diejawantahkan dalam bentuk Dar-u al-
Mafasid wa jalbu al-Manafi’ (menghindari mafsadat dan menarikmanfaat ).
Baginya Mashlahat dunyawiyyat tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu:
daruriyyat, hijayyat, dan tatimmat atau takmillat. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa
taklif bermuara pada kemaslahat manusia, baik di dunia maupun diakhirat. dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba
mengembangkan inti mashlahat yang menjadi pembahasan dalam Maqashid al-
Syariah.

3) Dalam pandangan ahli fiqh lain, dijelaskan tentang pembahasan mashlahat


yang menjadi bagian sangat penting karena tujuan Allah mengsyariatkan hukumnya
adalah untuk kemashlahatan manusia. Oleh karena itu taklif dalam bidang hukum
harus bermuara pada tujuan-tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama
sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahat menjadi tiga peringkat, yaitu:
Daruriyyat, Hajiyyat, Tahsiniyyat. Yang dimaksud dengan mashlahat baginya

2 Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42.
adalah memelihara lima aspek utama, yaitu: Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan
Harta.

DAFTAR PUSTAKA ®
1. Al – Qur`an dan Terjemahannya, Depag RI.
2. Chotib, Ahmad, Falsafat Hukum Islam, Fakultas Syari`ah IAIN Jakarta, Surabaya :
1989.
3. Endang Saifuddin Anshari, M.A., Ilmu, Filsafat dan Agama cet. VII, Surabaya, Bina
Ilmu : 1987.
4. Al – Ghazali, Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad, al-Mustashfa Min `ilmi
Al-Ushul,t.t.: Nur al-Saqafat al-Islamiyyat, t.th.
5. __________, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhilwa Masalik al-Ta`lil,
Baghdad, Matba`at al-Irsyad, 1971.
6. Harun Nasution, Prof. Dr. Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
7. Harjono, Anwar, Drs. SH., Hukum Islam Keluasan Dan Keagungannya, Jakarta :
Bulan Bintang.
8. Djamili, Fathurrahman, Dr. MA. Filsafat Hukum Islam, jakarta:
LogosWacanaIlmu,1997S

4. Metode Pengembangan Filsafat Hukum Islam

Peranan Filsafat Hukum Islam dalam menalar hukum dapat diterangkan sebagai berikut:

a. .Filsafat Hukum Islam sebagai Kajian Filsafat

Filsafat Hukum Islam merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat.  Sehingga
wajar, seluruh isi atau konten Filsafat Hukum Islam dibahas melalui pendekatan filsafat
yang amat identik dengan akal sebagai sarananya. Dengan demikian, metode atau cara
kerja Filsafat Hukum Islam adalah metode atau cara kerja akal. Dan sesuai dengan
karakter akal yang abadi dalam proses perkembangan, demikian pula halnya dengan
semua kajian filsafat.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dengan mempelajari Filsafat Hukum
Islam ini, kita akan diantarkan menuju kesadaran yang tinggi dalam menghayati makna
perintah dan larangan agama. Hal ini disebabkan, karena ia melihat perintah dan
larangan itu bukan dari segi halal dan haram, namun dari segi hikmah atau falsafah yang
terkandung dalam perintah dan larangan itu.
Tidak salah lagi, kajian Filsafat Hukum Islam ini mampu menambah kemantapan
seorang muslim dalam menjalankan syariat agamanya. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan bahwa kajian Filsafat Hukum Islam juga bisa mengantarkan seorang
muslim menuju keraguan abadi dalam menjalankan perintah dan larangan agama,
sebagaimana halnya semakin banyak kita saksikan dimana-mana.
Filsafat sebagai “metode” telah banyak membantu kaum muslim meyakini
ketepatan hukum Islam dalam hal mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki. Namun
filsafat sebagai “hasil” telah banyak pula memakan korban, baik dari kalangan sisi
lahiriah manusia, namun juga membahas hukum dari sisi lain manusia, yaitu sisi
batiniah (ruhiyah).
Selain itu, orang yang mempelajari Filsafat Hukum Islam diharapkan bukan
hanya memahami rahasia-rahasia di balik perintah dan larangan hukum, namun juga
mampu menghayati rahasia-rahasia itu ketika mengamalkan perintah atau menghindari
larangan tersebut.

b. Filsafat Hukum Islam Sebagai Kajian Filsafat Hukum

Filsafat Hukum Islam merupakan salah satu cabang Filsafat Hukum secara umum.
Oleh karena itu, kajian terhadap Filsafat Hukum Barat atau Timur sudah sewajarnya –
atau seharusnya- dilakukan terlebih dahulu sebelum memasuki kajian Filsafat Hukum
Islam. Sehingga kita memiliki pengetahuan dasar akan kedudukan Filsafat Hukum Islam
di antara Filsafat Hukum pada umumnya
Berdasarkan fakta tersebut, Filsafat Hukum Islam sejak kemunculannya diarahkan
untuk menjembatani orang-orang yang telah memiliki pemahaman yang matang tentang
filsafat hukum secara umum – baik para akademisi maupun para praktisi- menuju
pengetahuan Hukum Islam, dengan tetap memahaminya sesuai wawasan mereka
semula.
Adapun isi dari Filsafat Hukum adalah kajian-kajian yang telah dipelajari dan
dikembangkan oleh orang Islam sejak dalam waktu yang sudah cukup lama kajian-
kajian itu berhubungan dengan :Usul al-Fiqh, Qawa’id Fiqhiyah, Qawa’id Usuliyah,
dan ilmu-ilmu metodologis yang lain.

c. Filsafat Hukum Islam Sebagai Kajian Keislaman

Filsafat Hukum Islam merupakan salah satu ilmu keislaman, di mana ilmu
keislaman ini telah tumbuh dan berkembang sejak lebih dari empat belas abad yang
lalu. Sebagai kajian keislaman, ia memiliki wilayah kajian yang amat luas, seluas kajian
hukum Islam itu sendiri. Ia bukan hanya membahas hukum dari sisi lahiriah manusia,
namun juga membahas hukum dari sisi lain manusia, yaitu sisi batiniah (ruhiyah).
Selain itu, orang yang mempelajari Filsafat Hukum Islam diharapkan bukan
hanya memahami rahasia-rahasia di balik perintah dan larangan hukum, namun juga
mampu menghayati rahasia-rahasia itu ketika mengamalkan perintah atau menghindari
larangan tersebut.

1. Asumsi-asumsi dasar Filsafat hukum Islam

2. Hubungan Filsafat hukum Islam dengan Ilmu-ilmu Islam


lainnya

3. Perbandingan Filsafat Hukum Islam dengan filsafat hukum


lainnya.

Sebelum membicarakan lebih jauh tentang perbedaan Filsafat Hukum Islam dengan
aliran –aliran Filsafat Hukum lainnya, disini akan dikemukakan lebih dulu
pandangan fakar hukum tentang filsafat hukum.

Utrech, seorang fakar hukum berkebangsaan Belanda, mengatakan bahwa filsfat


hukum menyangkut; persoalan-persoalan adanya hukum, tujuan berlakunya hukum dan
persoalan keadilan. Oleh karena itu menurutnya, filsafat hukum berusaha memberi
jawaban atas pertanyaa-pertanyaan, seperti apakah hukum itu? apa sebabnya kita
mentaati hukum: apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk menilai baik buruknya
hukum itu?

Filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum. Jika ahli hukum menyatakan bahwa kita
dapat membedakan pelaku tindak kejahatan yang harus dituntut
pertanggungjawabannya atas tindakannya dan yang tidak dapat dituntut pertanggung
jawabannya, maka filosof hukum mempertanyakan; mengapa kita membuat perbedaan
tersebut, apakah hal itu disimpulkan secara konsisten dari berbagai kasus yang berbeda-
beda atau hanyalah justifikasi belaka . Soerjojno Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982) hlm. 24

Adapun perbedaan pendekatan filsafat dalam Hukum Islam dengan filsafat hukum pada
umumnya terletak pada perbedaan substansi hukum itu sendiri.

Hukum Islam merupakan hukum wahyu, sedangkan hukum pada umumnya adalah hasil
pemikiran manusia semata.

Hukum Islam merupakan hukum yang berangkat, berjalan dan berakhir pada tujuan
wahyu. Ia ada dan memiliki kekuatan berdasarkan wahyu. Ia memberikan perintah dan
larangan berdasarkan wahyu. Dengan demikian, apa yang dianggap benar adalah apa
yang dianggap benar oleh wahyu. Apa yang dianggap keliru, adalah apa yang
disalahkan oleh wahyu. Adapun akal adalah sarana pendukung untuk memahami atau
memikirkan operasional hukum.
Ketika hukum Islam menyatakan bahwa babi adalah haram, alasannya adalah karena al-
Qur’an sebagai himpunan wahyu melarangnya. Demikian pula ketika Islam menyatakan
bahwa perzinahan itu haram, alasannya karena al-Qur’an melarangnya. Babi dan
perzinahan adalah haram kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun menurut hukum
Islam, meskipun secara akal babi dan perzinahan sebenarnya bisa mendatangkan
keuntungan yang banyak bagi manusia.

Sedangkan hukum pada umumnya (hukum non-Islam) adalah hasil pemikiran manusia
semata. Karena ia merupakan hasil manusia, sementara hasil pemikiran manusia bisa
terpengaruh oleh zaman dan makan, maka hukum tersebut juga bisa berbeda-beda bagi
manusia yang hidup di daerah dan waktu yang berbeda.

Ketika dahulu hubungan sesama jenis (homoseksual) dianggap sesuatu yang salah dan
melanggar batas kewajaran, maka perbuatan itu dilarang (diharamkan) dan pelakunya
memperoleh hukuman. Namun ketika sekarang perbuatan itu dianggap sesuatu yang
wajar –karena sudah banyak orang melakukannya secara terang-terangan bahkan
menjadi kebanggaan- dan bisa dibenarkan, maka ia tidak lagi dilarang. Justru
sebaliknya, orang yang menentang perbuatan itu dianggap telah melanggar hak asasi
orang lain yang ingin atau gemar melakukannya.

Yang amat menarik –entah karena benar-benar hasil pemikiran murni atau iming-iming
duniawi, klau ada sebagian orang Islam yang mengatasnamakan kebebasan berpikir,
memberanikan diri secara bersama-sama untuk menghalalkan perilaku homoseksual.
Misalnya, mereka mendukung perilaku tersebut dengan mencoba mengotak-atik
wahyu dengan logika mereka. Dengan demikian, mereka bukan lagi menggunakan akal
sebagai sarana untuk memahami wahyu, melainkan telah menggunakan akal untuk
“mengakali” wahyu. Sebenarnya orang-orang seperti itu bukanlah para ahli hukum
Islam yang sebenarnya. Melainkan mereka adalah para pemulung besi tua yang hendak
membuat pesawat tempur anti radar (semacam B-12) atau yang semisalnya. Tentu saja
usaha mereka hanya akan menjadi bahan tertawaan orang lain, apalagi para pakar di
bidangnya.

Filsafat Hukum Islam secara teoritis tidaklah berbeda dengan filsafat hukum. Namun
memiliki perbedaan dari aspek ontologis dan sumber hukum.

Aliran-aliran Filsafat Hukum Lainnya.

Adalah reflektif teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan
merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum. Ia ditujukan untuk
merefleksikan hukum dalam keumumannya. Dua hal yang menjadi perhatian filsafat
hukum yaitu : (1) Apa yang menjadi landasan kekuatan hukum yang mengikat. (2) Atas
dasar apa hukum dapat dinilai keadilannya.

Teori Ilmu Hukum

Muncul karena terjadinya “kelesuan” diantara filsafat hukum yang dianggap


terlalu abstrak dan spekulatif, sementara dogmatik hukum dipandang terlalu konkret
terkait ruang dan waktu. Teori Ilmu Hukum bertujuan untuk memperoleh pemahaman
yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin mengenai bahan hukum
yang tersaji dalam kegiatan yuridis di dalam kenyataan masyarakat. Objek telaahnya
adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum,
metode dalam hukum, dan kritik ideologis terhadap hukum.

Beberapa Aliran Filsafat Hukum

Teori Ilmu Hukum

 Muncul karena terjadinya “kelesuan” diantara filsafat hukum yang dianggap terlalu
abstrak dan spekulatif, sementara dogmatik hukum dipandang terlalu konkret terkait
ruang dan waktu. Teori Ilmu Hukum bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin mengenai bahan hukum yang
tersaji dalam kegiatan yuridis di dalam kenyataan masyarakat. Objek telaahnya adalah
gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode
dalam hukum, dan kritik ideologis terhadap hukum.

 A. Aliran (Mazhab) Imperatif. (Positivisme) Hukum adalah perintah (command) dari


penguasa atau kekuasaan yang berdaulat (souvereign). Hukum positif adalah peraturan
untuk melakukan perbuatan yang berlaku umum, yang diberikan oleh golongan yang
secara politis kedudukannya lebih tinggi (political superior) kepada golongan yang
secara politis kedudukannya lebih rendah (political inferior).Tokoh : John Austin

B.     Mazhab Sejarah     Hukum itu ditentukan secara historis, berubah menurut waktu
dan tempat. Mazhab sejarah menitik beratkan pada jiwa bangsa (volkgeist), sehingga
hukum melalui proses yang perlahan-lahan sama halnya dengan bahasa. Sumber hukum
adalah perasaan keadilan yang instingtif yang dimiliki setiap bangsa. Jiwa bangsa yang
sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu menghasilkan hukum
positif.Tokoh : Friedrich Carl von Savigny

C.     Mazhab Sosiologis   Hukum merupakan hasil pertentangan-pertentangan dan


hasil perimbangan (balance) antara kekuatan-kekuatan sosial, cita-cita sosial, institusi
sosial, perkembangan ekonomi, pertentangan dan perimbangan kepentingan-
kepentingan golongan-golongan atau klas-klas dalam masyarakat. Hukum adalah suatu
gejala masyarakat, bukan norma tetapi kebiasaan-kebiasaan manusia yang menjelma
dalam perbuatan atau perilaku di dalam masyarakat. Mazhab sosiologis disebut mazhab
hukum bebas karena hakim bebas untuk menggali sumber-sumber hukum yang terdapat
dalam masyarakat yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuatan-perbuatan dan adat.

Berlakunya hukum tergantung pada penerimaan masyarakat dan tiap golongan


menciptakan sendiri-sendiri bagi golongan itu masing-masing suatu hukum yang hidup
(living law). Tokoh : Eugen Ehrlich

D.    Mazhab Fungsional     Hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma


abstrak atau merupakan suatu tertib hukum saja tetapi juga merupakan suatu proses
untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling saling
bertentangan dan juga merupakan alat untuk menjamin pemuasan-pemuasan kebutuhan-
kebutuhan semaksimal mungkin, dengan menimbulkan pergeseran (friction) yang
seminimal mungkin. Fungsi hukum adalah melakukan “social engineering” yaitu alat
sosial dalam masyarakat. Di dalam melakukan “social engineering,” hukum harus
dikembangkan terus menerus agar selalu sesuai/selaras dengan nilai-nilai sosial yang
berubah-ubah.Tokoh : Roscoe Pound.
E.     Mazhab Hukum AlamSejarah hukum alam merupakan sejarah usaha umat
manusia untuk menemukan keadilan yang mutlak beserta kegagalan-kegagalan dalam
usaha tersebut. Sejak ribuan tahun lalu sampai sekarang ini ide tentang hukum alam
selalu timbul sebagai suatu perwujudan dari usaha manusia untuk menemukan hukum
yang lebih tinggi dari hukum positif. Pada suatu waktu tertentu ide tentang hukum alam
timbul dengan kuat, pada saat yang lain ide ini diabaikan tetapi bagamanapun juga ide
tentang hukum alam tidak pernah lenyap. Hukum alam dipandang sebagai hukum yang
berlaku universal dan abadi. Thomas Aquinas berpendapat bahwa di samping kebenaran
wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya, ada pengetahuan yang tidak dapat
ditembus oleh akal, dan itulah diperlukan iman. Ada dua pengetahuan : 1. pengetahuan
alamiah berpangkal pada akal, 2. pengetahuan iman bersumber pada wahyu ilahi.

F.      Realisme Aliran ini meninggalkan hukum yang abstrak kepada pekerjaan-
pekerjaan yang praktis untuk menyelesaikan praktik-praktik dalam masyarakat. Hukum
berubah-ubah dan diciptakan pengadilan, hukum sebagai sarana mencapai tujuan
sosial.Aliran ini berpandangan bahwa masyarakat lebih cepat berubah daripada hukum

Aliran-Aliran Filsafat Hukum

Sepanjang sejarah hukum mulai dari zaman yunani atau romawi hingga dewasa
ini kita dihadapkan dengan berbagai teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri
telah terbukti bahwa hukum berkembang dalam masyarakat, ³Ibi ius ibi societas´
dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-
aliran filsafat hukum adalahsebagai berikut:
a. Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut: Mazhab
formalitas, Mazhab sejarah dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran
sociological yurisprudence dan Aliran realism hukum.
b. Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai
berikut;Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme,
Teori hukum murni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan
sosiologis.
c. Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengaruh saja adalah
sebagai berikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah,
Sociological jurisprudence, Pragmatic legal realism.
Adapun berbagai teori tentang hukum sebagai berikut:
1. Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang bersumber
dari Tuhan, ilsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh: teori plato/ aristoteles
dan Thomas Aquino.
a. Teori Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami
tentram
b. Teori Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum
positif) teori dualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia
adalah majikan dari alam
c. Teori Thomas Aquino : ³Summa Theologica´ dan ³De Regimene Principum´.
Membagi asas

-Hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:


i. Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir
dan bersifat mutlak.
ii. Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan
dapat berubah menurut tempat dan waktu.
d. Immanuel Kant mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu
tentang kodrat dan kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi,
yang tersusun atas kategori kategori pikiran, yang terdiri atas empat komponen
dasar, yaitu kualitet, kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi dibatasi ruang dan
waktu. Kebebasan adalah lapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah
moralitas, yaitu kebebasan normativeetis dari manusia, yang menampilkan ideal
kepribadian manusia.
Hukum Alam Irasional
Filsafat Thomas Aquinas mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat
kebenaran akal. Adanya pengetahuan yang tidak ditembus aleh akal dan untuk itulah
diperlukan iman. Dengan demikian, menurut Aquinas, ada dua pengetahuan yang
berjalan bersama-sama, yaitupengetahuan alamiah dan pengetahuan iman.
Mengenai pembagian hukum, Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas
dengan menyatakan ada empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu:
1. lex aeterna (hukum rasioTuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera
manusia),
2. lex divina (hukum rasio Tuhan yang bisa ditangkap oleh pancaindera manusia),
3. lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lexaeterna ke dalam rasio manusia)
dan
4. lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupanmanusia di dunia).
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak
zaman dulu sampai abad pertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam
merupakan sebagai substansi (isi) yaitu berisikan norma-norma, peraturan-peraturan
yang dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi manusia. Hukum alam menganggap
pentingnya hubungan antara hukum dan moral.
2. Aliran Hukum Positifisme
Aliran Positifisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal yang harus
dipisahkan. Dan aliran ini dikenal adanya dua sub aliran yang terkenal yaitu;
a. Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsur penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
-Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini
berada di luar bidang hukum.
-Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ada
pengaruhnya pada masyarakat.
-Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan
mazhab sejarah.
-Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan
politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan
tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan cirri-ciri
positivism, adalah sebagiberikut, yaitu:
- Hukum adalah perintah manusia (command of human being).
- Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya.
- Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis.
- System hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup dan di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
b. Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan ajaran
hukum murni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu idiologis, yaitu
mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan
dikatakan murni karena hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis
yaitu anasir etis, sosiologis,politis, dan sejarah. Maka menurut Hans Kelsen hukum
itu berada dalam dunia ³sollen´dan bukan dalam dunia ³sain´. Sifatnya adalah
hipotetis, lahir karena kemauan dan akal manusia.
Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya). Dan John Austin
mengemukakan ada dua bentuk hukum, adalah sebagai berikut; Positif law dan
Positif morality.
3. Aliran Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipeloporiFriedrich Carl von Savigny (Volk geist) hukum
kebiasaansumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan
berkembang bersama samadengan masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di
dunia ini terdapat banyak bangsa dantiap-tiap bangsa memiliki ³volksgeist´ jiwa rakyat.
Dia berpendapat hukum semua hukumberasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan
bukan berasal dari pembentukan undang undang.
4. Aliran Sociological Yurisprudence
Sociological Yurisprudence (living law) dipelopori Eugen Ehrlich (german) tapi
berkembang diAmerika Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang dibuat agar
memperhatikan hukum yanghidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis.
Mengakui sumber hukum formalbaik undang undang maupun bukan undang undang
asal. Dipengaruhi oleh aliran positifsosiologis dan August Comte yang orientasinya
sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yanghidup di dalam masyarakat. Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik
akal maupunpengalaman.
5. Aliran Pragmatic Legal Realism
Aliran Pragmatic Legal Realism dipelopori oleh Roscoe Pound konsep hukumnya
( Law as a tool of social engineering ) sub aliran positivisme hukum Wiliam James dan
Dewey mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau
akal sebagai sumberhukum. Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan bukan
aliran dalam filsafat hukum,tetapi merupakan suatu gerakan ³movement´ dalam cara
berfikir tentang hukum.
6. Aliran Antropolitica Yurisprudence
- Northrop dan Mac Dougall. Northrop mengutarakan pendapatnya bahwa hukum
mencerminkan nilai sosial budaya
- Mac dougall dan Values system mengutarakan pendapatnya bahwa hukum
mengandung sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja
7. Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham dan
mengutarakanpendapatnya memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk
mendapatkankebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan (hukum
itu harus bermanfaatbagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia). Merupakan aliran
yang meletakkan dasar dasarekonomi bagi pemikiran hukum, prinsip utamanya adalah
tujuan dan evaluasi hukum.Bentham dan Jhon Stuart Mill memiliki pendapat yang
sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang
yang dapat mencerminkan keadilan bagisemua individu.

4. Hukum Islam,manusia, kekuasaan Allah dan tujuan Allah


menciptakan hukum
5. Sumber dan dasar Filsafat Hukum Islam (naqli, aqli, hissi,
taqriry dan Kasyfiy)

6. Asas, prinsip dan tujuan hukum Islam

.A . Asas Hukum Islam

Kata asas berasal dari bahasa Arab, yang artinya : dasar, alas, fundamen. Sedangkan
Asas Hukum Islam ialah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan hukum
.Islam
: Adapun asas-asas hukum Islam itu antara lain

Meniadakan kesempitan dan kesukaran. Islam memberikan kelonggaran/kemudahan .1


(dispensasi) kepada umat Islam (hukum rukhshah) pada saat mengahadapi keadaan
.darurat (terpaksa) atau hajat (keadaan yang memerlukan kelonggaran
Sedikit Pembebanan.Islam itu bisa dilaksanakan tanpa banyak kesulitan, juga tidak .2
banyak menyita tenaga dan waktu, baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah
.mu’amalah
Bertahap dalam menetapkan hukum.Asas ini dapat terlihat ditetapkannya hukum-hukum .3
dalam ibadah, seperti : Kewajiban Shalat yang semula hanya 2 kali, yakni shalat pagi 2
raka’at dan sore 2 raka’at. Kemudian setelah memasyarakat, barulah diperntahkan shalat
.5 kali dalam waktu sehari semalam
Sejalan dengan Kepentingan / Kemaslahatan Umat Manusia. Pembentukan dan .4
pembinaan hukum Islam itu sejalan dengan kemaslahatan umat Manusia. Oleh karena
itu, sebagian hukum Islam ada yang dinasakh (dihapus/diubah). Seperti halnya yang
tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 106 yang artinya : “Apa saja ayat
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
”.yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya
Mewujudkan Keadilan Manusia menurut pandangan Islam adalah sama, baik dihadpan .5
Allah maupun dihadapan hukum. Tidak ada perbedaan karena keturunan, pangkat,
.kekayaan, atau kedudukan sosialnya

: Keadilan sendiri terbagi kedalam 3 macam yang antara lain


a). Keadilan Hukum ialah sistem hukum yang berlaku harus seragam (unifikasi) untuk
;seluruh warga Negara tanpa ada diskriminasi
b).Keadilan Sosial ialah memberi kesempatan yang sama terhadap setiap orang untuk
bekerja menurut kemampuan dan keahliannya, dan bagi mereka yang belum mampu
bekerja karena masih dibawah umur atau bagi mereka yang sudah tak mampu
bekerja karena sudah lanjut usianya atau cacat fisik dan mental dan sebagainya, maka
;mereka harus diberi bantuan untuk kebutuhan hidupnya
c).Keadilan dalam Pemerintahan ialah semua warga Negara mempunyai kedudukan
yang sama di dalam Pemerintahan, tidak ada diskriminasi kerena perbedaan bahasa,
.suku bangsa dan sebagainya

B. Prinsip-Prinsip Hukum Islam


Kata Prinsip berarti asas yakni kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berfikir,
bertindak dan sebagainya. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum Islam ialah
: cita-cita yang menjadi pokok dasar dan landasan hukum Islam, yang antara lain
Tauhid. Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa), ialah yang menghimpun seluruh   .1
.umat manusia kepada Tuhan Yang Maha esa
.Berkomunikasi Langsung.Berkomunikasi langsung dengan Allah tanpa perantara .2
Menghargai Fungsi Akal Menghargai fungsi akal, sehingga seseorang menjadi .3
mukallaf (dibebani kewajiban) atau tidak tergantung kepada sehat/tidaknya akal
.pikirannya
Menyempurnakan Iman.Menyempurnakan akidah/iman dengan akhlak yang .4
.mulia yang dapat membersihkan jiwa dan meluruskan kepribadian seorang
Menjadikan Kewajiban untuk Membersihkan Jiwa.Menjadikan segala macam .5
beban (kewajiban) agama demi memperbaiki dan mensucikan jiwa manusia dan
.bukan untuk menghancurkan dan menundukkan badan
Memperhatikan Kepentingan Agama dan Dunia.Memperhatikan kepentingan .6
.agama dan dunia dalam membuat hukum
Persamaan dan Keadilan.Prinsip persamaan dan Keadilan, yang memperlakukan .7
semua manusia sama dihadapan Allah, dan diahadapan hukum dan pemerintahan.
Tidak ada diskriminasi karena perbedaan bangsa, suku, bangsa, bahasa, jenis
.kelamin, agama dan kepercayaan, adat-istiadat, dan sebagainya
Amar, Ma’ruf Nahi Munkar. Prinsip amar ma’ruf (mengajak kebaikan) dan nahi .8
.munkar (mencegah kejahatan)
Musyawarah.Prinsip Musyawarah merupakan sdalah satu prinsip hukum Islam .9
yang penting, karena melalui musyawarah para ulama dapat mencapai,
kesepakatan mengenai hukum suatu masalah, yang disebut ijma’ bayani dan ijma
.itu merupakan salah satu sumber hukum Islam yang penting
Toleransi.Prinsip toleransi yang menjamin kemerdekaan dan kebebasan beragama .10
dan kepercayaan, dan menjamin kebebasan beribadah menurut agama dan
.kepercayaan masing-masing
Kemerdekaan dan Kebebasan.Prinsip kemerdekaan dan kebebasan, baik mengenai .11
.keyakinan/kepercayaan, kehendak, pendapat/pikiran
Hidup Gotong royong.Prinsip hidup gotong royong dalam masyarakat, dan dengan  .)12
prinsip ini, Islam mewajibkan orang kaya mengeluarkan zakat harta bendanya
untuk diberikan kepada mustahiq-nya, terutama fakir miskin. Zakat itu merupakan
hak fakir miskin dan mustahiqin lainnya, sehingga kalau si kaya tidak mau
memberikan zakatnya, Pemerintah berhak mengambilnya secara paksa untuk
.diteruskan kepada para mustahiqnya

C. Tujuan Hukum Islam


Sudah merupakan kesepakatan ulama bahwa tujuan diciptakannya hukum Islam adalah
untuk kemaslahatan manusia. Tujuan Hukum Islam dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu :
1. Dari segi Syari’ (pembuat Hukum Islam) yaitu Allah dan Rasul. Tujuannya adalah :
  Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat primer, skunder dan tersier.
  Untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
2. Dari segi Manusia sebagai subyek hukum (pelaku hukum) tujuannya adalah :Untuk
Tercapainya keridhoan Allah Swt dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
 Kepentingan Primer, meliputi :
   Pemeliharaan Agama
Hal tersebut merupakan tujuan utama dalam hukum Islam sebab agama merupakan
pedoman hidup manusia yang memiliki komponen akidah, sariah dan akhlak maka
hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut seseorang dan menjamin
kemerdekan seseorang untuk beribadah menurut keyakinan agamanya.

  Pemeliharaan Jiwa
Hukum islam wajib memlihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya dan hukum islam melarang pembunuhan (surat 17 ayat 33)
  Pemeliharaan Akal
Dengan mempergunakan akalnya menusia dapat berpikir tentang Allah, alam
semesta dan dirinya sehingga manusia dapat mengembangkan IPTEK, oleh sebab
itu hukum islam melarang meminum minuman yang memabukan atau Khamar (Q.S :
5 ayat 90) dan menghukum setiap perbuatan yang merusak akal manusia.
   Pemeliharaan Keturunan
Agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelangsungan keturunan dapat diteruskan
maka pemeliharaan keturunan wajib dilaksanakan dan hal tersebut tercermin dalam
hubungan darah menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi (Q.S : 4 ayat 11)
    Pemeliharaan Harta
Harta merupakan pemberian Tuhan kepada manusia dengan tujuan agar dapat
mempertahankan hidup dan kelangsungan hidupnya, oleh karena itu hukum islam
melindungi manusia untuk ;
Mempertahankan harta
Melindungi kepentingan harta seseorang masyarakat dan negara dari penipuan (QS
4:29), penggelapan (QS.4:58), perampaan (QS.5:33), pencurian (QS.5:38), peralihan
harat seseorang setelah meninggal dunia (waris), peralihan harta sebelum
meninggal dunia (wakaf atau hibah), kejahatan-kejahatan harta orang lain baik
perdata maupun pidana.

Hukum Islam adalah hasil dari proses metode ijtihad (fikih) dalam mengistinbath
hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadis. Oleh karena itu, Allah menurunkan
hukum kepada manusia untuk mengatur tatanan kehidupan social sekaligus menegakkan
keadilan. Di samping itu juga, hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusia,
tanpa adanya hukum, maka manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa
.menghiraukan kebebasan orang lain
Tujuan Hukum Islam disyari’atkan ialah untuk mencapai kepada jalan yang lurus
guna keselamatan dan kebahagian hidup dengan jalan mengambil segala yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak segala yang mudharat (kerugian) dan yang
.membawa pada kemaslahatan (manfaat) umat manusia

6. kaedah-kaedah hukum islam


7. Etika dan estetika hukum islam

8. Karakteristik hukum islam

( universalitas (al-’am – ijmaliy), partikularitas(tafshiliy),


elastisitas (tadrijiy), dan estetis (tahsiniy)

Abstrak

Memfokuskan perhatian terhadap suatu karakter hukum islam tidaklah mudah bila kesan
pertama yang harus ditunjukkan adalah berpikir objektif. Walaupun harus diakui, realitas
subyektifitas pemahaman terhadap karakter bergantung dari sudut mana orang menilainya.
Seperti hal seseorang memperhatikan karakter manusia, ia akan menilai karakter-karakter umum
pada manusia dan yang khusus pada masing-masing. Demikian juga akan terjadi pada penilaian
orang terhadap karakter hukum apapun juga termasuk menyangkut karakter hukum Islam.

Karakter untuk suatu pengertian yang umum dan bebas adalah ciri khas tertentu yang
memungkinkan perbedaan dengan yang lainnya. Oleh karena ciri khas dapat dipastikan beberapa
yang menyifatinya menunjuk karakter yangs esungguhnya dari hukum Islam. Landasan picu
untuk menyatakan suatu karakter hukum adalah data faktual menyangkut hukum Islam, di
samping keterikatan bahasan-bahasan dimaksud banyak bersifat abstrak sesuai dengan model
filsafat hukum Islam.

Karakteristik Hukum Islam itu dapat dijabarkan sebagai berikut :


A.      Ijmali (Universalitas)
Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku
bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping
bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok untuk setiap
zaman).3[1] Misalnya pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam
sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadits) mengenai masalah yang sedang berkembang
3
pada abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu qiyas dan sebagainya
kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang telah ada dengan mengambil
persamaan illatnya. Ini berarti hukum Islam itu dapat menjawab segala tantangan zaman.
Sebenarnya hukum pada setiap perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam Al-Qur’an dan
hanya kita sebagai manusia apakah bisa menggunakan akal kita untuk berijtihad dalam
mengambul suatu putusan hukum tersebut.

Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut
terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam
semesta termasuk manusia.4[2] Firman Allah SWT ;

9. Hukum islam, masyarakat dan negara


10. Proses pembentukan dan penerapan hukum islam
11. Filsafat ibadah dalam hukum islam.

12. Hubungan Filsafat Hukum Islam dengan ilmu-ilmu islam


lainnya
13.

Add. Da’aim al- Ahkam ( Dasar-Dasar Hukum Islam )


 
Sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah terhadap segala
masalah yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin
diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menentukan ketentuan
hukum. Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang
pada hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui oleh Rasulullah SAW, bahkan
Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran falsafi itu sangat perlu
.memaham dalam berbagai persoalan

Filsafat telah ada pada Zaman Rasulullah SAW, saat Muadz ditugaskan sebagai
Hakim sekaligus seorang guru ke Negeri Yaman, Rasulullah SAW, bertanya kepada Mu’az
: . . . . . “ Dengan dasar apa kamu memutusakan perkara wahai Muadz?” Mu'adz r.a.
menjawab,: "Aku akan berijtihad mengoptimalkan akal pikiranku.". . . .Rasulullah saw.
pun membenarkan ucapan Mu'adz seraya berkata, "Segala puji hanya bagi Allah yang telah
".memberikan petunjuk-Nya kepada utusan Rasul-Nya

Add. Mabadi al-Ahkam ( Asas-asa dan Prinsip-Prinsip Hukum Islam )

.Asas Hukum Islam


Kata asas berasal dari bahasa Arab, yang artinya : dasar, alas, fundamen.
Sedangkan Asas Hukum Islam ialah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau
.tumpuan hukum Islam
: Adapun asas-asas hukum Islam itu antara lain
.Meniadakan kesempitan dan kesukaran     .1

4
Islam memberikan kelonggaran/kemudahan (dispensasi) kepada umat Islam (hukum
rukhshah) pada saat mengahadapi keadaan darurat (terpaksa) atau hajat (keadaan yang
.memerlukan kelonggaran
.Sedikit Pembebanan      .2
Islam itu bisa dilaksanakan tanpa banyak kesulitan, juga tidak banyak menyita tenaga
.dan waktu, baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah mu’amalah
.Bertahap dalam menetapkan hukum    .3
Asas ini dapat terlihat ditetapkannya hukum-hukum dalam ibadah, seperti : Kewajiban
Shalat yang semula hanya 2 kali, yakni shalat pagi 2 raka’at dan sore 2 raka’at.
Kemudian setelah memasyarakat, barulah diperntahkan shalat 5 kali dalam waktu
.sehari semalam
.Sejalan dengan Kepentingan / Kemaslahatan Umat Manusia    .4
Pembentukan dan pembinaan hukum Islam itu sejalan dengan kemaslahatan umat
Manusia. Oleh karena itu, sebagian hukum Islam ada yang dinasakh (dihapus/diubah).
Seperti halnya yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 106 yang
artinya : “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
”.dengannya
Mewujudkan Keadilan    .5
Manusia menurut pandangan Islam adalah sama, baik dihadpan Allah maupun
dihadapan hukum. Tidak ada perbedaan karena keturunan, pangkat, kekayaan, atau
.kedudukan sosialnya
: Keadilan sendiri terbagi kedalam 3 macam yang antara lain
a. Keadilan Hukum ialah sistem hukum yang berlaku harus seragam (unifikasi) untuk
;seluruh warga Negara tanpa ada diskriminasi
b. Keadilan Sosial ialah memberi kesempatan yang sama terhadap setiap orang untuk
bekerja menurut kemampuan dan keahliannya, dan bagi mereka yang belum
mampu bekerja karena masih dibawah umur atau bagi mereka yang sudah tak
mampu bekerja karena sudah lanjut usianya atau cacat fisik dan mental dan
;sebagainya, maka mereka harus diberi bantuan untuk kebutuhan hidupnya
c.  Keadilan dalam Pemerintahan ialah semua warga Negara mempunyai kedudukan
yang sama di dalam Pemerintahan, tidak ada diskriminasi kerena perbedaan bahasa,
.suku bangsa dan sebagainya
 
Kata Prinsip berarti asas yakni kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berfikir,
bertindak dan sebagainya. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum Islam ialah cita-
: cita yang menjadi pokok dasar dan landasan hukum Islam, yang antara lain
.Tauhid    .1
Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa), ialah yang menghimpun seluruh umat manusia
.kepada Tuhan Yang Maha esa
.Berkomunikasi Langsung. Berkomunikasi langsung dengan Allah tanpa perantara    .2
Menghargai Fungsi Akal    .3
Menghargai fungsi akal, sehingga seseorang menjadi mukallaf (dibebani kewajiban)
.atau tidak tergantung kepada sehat/tidaknya akal pikirannya
.Menyempurnakan Iman   .4
Menyempurnakan akidah/iman dengan akhlak yang mulia yang dapat membersihkan
.jiwa dan meluruskan kepribadian seorang
.Menjadikan Kewajiban untuk Membersihkan Jiwa   .5
Menjadikan segala macam beban (kewajiban) agama demi memperbaiki dan
.mensucikan jiwa manusia dan bukan untuk menghancurkan dan menundukkan badan
.Memperhatikan Kepentingan Agama dan Dunia    .6
.Memperhatikan kepentingan agama dan dunia dalam membuat hukum
.Persamaan dan Keadilan    .7
Prinsip persamaan dan Keadilan, yang memperlakukan semua manusia sama dihadapan
Allah, dan diahadapan hukum dan pemerintahan. Tidak ada diskriminasi karena
perbedaan bangsa, suku, bangsa, bahasa, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, adat-
.istiadat, dan sebagainya
.Amar, Ma’ruf Nahi Munkar    .8
.Prinsip amar ma’ruf (mengajak kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kejahatan)
.Musyawarah   .9
Prinsip Musyawarah merupakan sdalah satu prinsip hukum Islam yang penting, karena
melalui musyawarah para ulama dapat mencapai, kesepakatan mengenai hukum suatu
masalah, yang disebut ijma’ bayani dan ijma itu merupakan salah satu sumber hukum
.Islam yang penting
.Toleransi.10
Prinsip toleransi yang menjamin kemerdekaan dan kebebasan beragama dan
kepercayaan, dan menjamin kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaan
.masing-masing
.Kemerdekaan dan Kebebasan.11
Prinsip kemerdekaan dan kebebasan, baik mengenai keyakinan /kepercayaana
.kehendak, pendapat/pikiran
.Hidup Gotong royong.12
Prinsip hidup gotong royong dalam masyarakat, dan dengan prinsip ini, Islam
mewajibkan orang kaya mengeluarkan zakat harta bendanya untuk diberikan kepada
mustahiq-nya, terutama fakir miskin. Zakat itu merupakan hak fakir miskin dan
mustahiqin lainnya, sehingga kalau si kaya tidak mau memberikan zakatnya,
Pemerintah berhak mengambilnya secara paksa untuk diteruskan kepada para
.mustahiqnya

Objek Praktis (Falsafat Syari’ah) : Filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi hukum
Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan sebagainya. Filsafat ini bertugas
membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian Falsafat
Syari’ah adalah:

1. Asrar al-Ahkam ( Rahasia-Rahasia Hukum Islam )


2. Khasha al- Ahkam ( Ciri-Ciri Khas Hukum Islam )
3. Mahasin al-Ahkam atau Majaya al-Ahkam ( Keutamaan-Keutamaan Hukum Islam )
4. Thawabi al-Ahkam ( Karakteristik Hukum Islam )

Pembahasan filsafat hukum Islam dalam hal ini, bukan membahas materi filsafat,
melainkan materi hukum Islam yang dikaji secara filosofis. Muatan filsafat yang
terkandung dalam filsafat Hukum Islam bertumpu pada empat tujuan mendasar, yaitu :

1. Agar landasan Filsafat Hukum Islam yang berkaitan dengan ubudiyah, mu’amalah,
siyasah, dan jinayah dapat dipahami secara mendalam.
2. Semua aspek yang berkaitan dengan hukum Islam hakikatnya ditemukan melalui
pemahaman ontologis;
3. Asal muassal hukum Islam secara epistimologis dapat dilukiskan secara rasional,
sistematis dan radikal; dan
4. Fungsionalisasi hukum secara pragmatis maupun realistis merupakan bagian dari
prilaku umat Islam yang menjalankan kaidah-kaidah normatif dalam hukum Islam.
c. Kegunaan Filsafat Hukum Islam

a.

Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam

A. Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam

Secara prinsip, filsafat hukum Islam bersumber kepada Alquran dan Sunnah, maka
pertumbuhan filsafat hukum Islam akan seiring dengan pertumbuhan hukum islam itu sendiri
kendati secara term ilmiah istilah filsafat itu baru ditemukan pada masa terjadinya
persintuhan budaya Yunani dengan Islam pada abad ke-dua Hijriyah.
Pandangan seperti ini akan didukung lagi dengan konsep ijtihad yang sangat menghargai
penggunaan akal sehat untuk mendapatkan suatu keputusan hukum. Seperti yang terjadi pada
masa Rasulullah Saw. ketika mengutus Mu'az bin Jabal ke Yaman.

‫ور َك أَْنبَأَنَا َع ْب ُد اللَّ ِه بْ ُن َج ْع َف ٍر‬َ ُ‫س ِن بْ ِن ف‬ َ ‫ْح‬َ ‫ أَ ْخَب َرنَا أَبُو بَ ْك ٍر ُم َح َّم ُد بْ ُن ال‬-
ُ‫يب َح َّد َثنَا أَبُو َد ُاو َد الطَّيَالِ ِس ُّى َح َّد َثنَا ُش ْعبَة‬ ٍ ِ‫ص َب َهانِ ُّى َح َّد َثنَا يُ ونُس بْ ُن َحب‬
ُ ْ َ‫األ‬
‫اب‬ِ ‫َص َح‬ ْ ‫ِّث َع ْن أ‬ ُ ‫ث بْ َن َع ْم ٍرو يُ َحد‬ َ ‫ْحا ِر‬
َ ‫ت ال‬ ُ ‫ال َس ِم ْع‬َ َ‫الث َق ِف ُّى ق‬
َّ ‫أَ ْخَب َرنِى أَبُو َع ْو ٍن‬
‫ص لى اهلل‬- ‫ول اللَّ ِه‬ َّ ‫ أ‬: ‫اذ‬ ٍ ‫ال م َّرةً َعن مع‬ ِ ٍِ
َ ‫َن َر ُس‬ َُ ْ َ َ َ‫ال َوق‬ َ َ‫ص ق‬ َ ‫ُم َع اذ م ْن أ َْه ِل ح ْم‬
‫ض‬ َ ‫ض ى إِ َذا َع َر‬ ِ ‫ف َت ْق‬َ ‫« َك ْي‬: ُ‫ال لَ ه‬ َ َ‫ث ُم َع ا ًذا إِلَى الْيَ َم ِن ق‬ َ ‫ لَ َّما َب َع‬-‫عليه وس لم‬
‫اب‬ِ َ‫« فَ ِإ ْن لَ ْم تَ ِج ْدهُ فِى كِت‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫اب اللَّ ِه‬ ِ َ‫ض ى بِ ِكت‬ ِ ْ‫ أَق‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.» ‫ض اءٌ؟‬ َ َ‫ك ق‬َ َ‫ل‬
«: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.-‫ص لى اهلل عليه وس لم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ِ ‫ض ى بِس ن َِّة ر ُس‬
َ ُ
ِ ْ‫ أَق‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.» ‫اللَّ ِه؟‬
: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫َجتَ ِه ُد بِ َرأْيِى الَ آلُو‬ ْ ‫ أ‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.» ‫ول اللَّ ِه‬ ِ ‫فَ ِإ ْن لَم تَ ِج ْدهُ فِى ُس ن َِّة ر ُس‬
َ ْ
‫ول اللَّ ِه‬ِ ‫ول ر ُس‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ق‬ َّ
‫ف‬ ‫و‬ ‫ى‬ ‫ذ‬ِ َّ‫« الْحم ُد للَّ ِه ال‬: ‫ال‬ ‫ق‬ ‫و‬ ‫ى‬ ِ
‫ر‬ ‫د‬ ‫ص‬ ‫ى‬ ِ‫ض رب بِي ِد ِه ف‬
َ َ ُ َ ََ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ‫ف‬
.» ‫ول اللَّ ِه‬َ ‫ضى َر ُس‬ ِ ‫لِما ير‬
ُْ َ
Hal ini sama dengan pola filsafat mencari sebuah kebenaran yaitu menggunakan akal dan
fikiran yang sehat. Pemikiran Falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya bermula pada
masa Umar Ibn al-Khattab yang dikenal dalam berbagai istilah seperti Umar dan perubahan
hukum, Pembaharuan hukum Umar bin Khattab. Filsafat Hukum: Pola Berpikir Dari
Bawah ke Atas (Induktif)
Filsafat Islam

Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah
perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf
muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun
kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila
dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.'

1.contoh Hkm Islam secara sitematis dan metodis


2. Contoh berfikir menggunakan akal
3. Kepala Negara itu Wanita
4. Filsafat dalam perkawinan
5. Hukum Islam tidak relevan lagi dengan kondisi hari ini.

‫اهلل صلى اهلل‬ ِ ‫ول‬ ِ ‫ال لََق ْد َن َف َعنِي اللَّهُ بِ َكلِم ٍة َس ِم ْع ُت َها ِم ْن ر ُس‬ َ َ‫َع ْن أَبِي بَ ْك َر َة ق‬
َ َ
‫ْج َم ِل فَأُقَاتِ َل‬
َ ‫اب ال‬ ِ ‫َص َح‬ ْ ‫ْح َق بِأ‬ َ ‫ت أَ ْن أَل‬ُ ‫ْج َم ِل َب ْع َد َما كِ ْد‬
َ ‫عليه وس لم أَيَّ َام ال‬
ِ ‫ول‬
‫س قَ ْد‬ َ ‫َن أ َْه َل فَ ا ِر‬ َّ ‫اهلل ص لى اهلل عليه وس لم أ‬ َ ‫ لَ َّما َبلَ َغ َر ُس‬: ‫ال‬ َ َ‫َم َع ُه ْم ق‬
َ ِ‫ال لَ ْن ُي ْفل‬
.ً‫ح َق ْو ٌم َولَّ ْوا أ َْم َر ُه ُم ْام َرأَة‬ َ َ‫ت كِ ْس َرى ق‬ َ ‫َملَّ ُكوا َعلَْي ِه ْم بِْن‬

‫ض َوبِ َما أَْن َف ُق وا‬ َ ‫َّل اللَّهُ َب ْع‬


ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى َب ْع‬ ‫ض‬ ‫ف‬
َ ‫ا‬‫م‬ ِ‫ال َق َّو ُامونَ َعلَى النِّس ِاء ب‬ُ ‫ا ِّلر َج‬
َ َ َ
‫ِم ْن أ َْم َوالِ ِه ْم‬

Prinsip :
1. Tauhid
2. Keadilan/keseimbangan atau mederat
3. amar makruf nahi mungkar
4. Kemerdekan dan kebebasan
5. persamaan/ egalitet
6. tolong menolong
7. toleransi/ rukun dandamai

Tujuan Hukum
a. tujun pokok (darurat )
b. tujuan sekunder (hajiat)
c. tujuan tertier ( tahsiniyat)

asas-asas hukum Islam


a. bidang jinayah
‫‪al-qawaid Fiqhiyah :‬‬

‫دورة القواعد الفقهية‪:‬‬


‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬
‫الحمد هلل الذي خلق الخلق لعبادته‪ ،‬وأنزل عليهم كتبا فيها شرائع‪ ،‬وأرسل‬
‫إليهم رسال يبينون لهم ما أنزل اهلل تبارك وتعالى لهم‪ ,‬والصالة والسالم على‬
‫مستقيما‪ ،‬وبعد‪:‬‬
‫ً‬ ‫من بعثه اهلل هاديًا وبشيرا‪ ،‬وداعيًا إلى اهلل بإذنه وصراطًا‬
‫فإن أعظم الكتب التي أُنزلت هذا القرآن‪ ،‬الذي جعله اهلل تبارك وتعالى حاكما‬
‫على الكتب ومهيمنا عليها ومصدقا لما بين يديه من الكتب‪ ,‬ومقصود إنزال‬
‫هذا الكتاب هو (عبادة) اهلل تبارك وتعالى وحده‪ ,‬وأن نعبده على المنهاج‬
‫والطريقة التي يريدها اهلل تبارك وتعالى‪ ,‬وإذا كان األمر كذلك فإن المقصود‬
‫إ ًذا هو معرفة الحكم الشرعي والعمل به‪ ,‬وقد أنعم اهلل على هذه األمة بأن‬
‫حفظ اهلل لها دينها‪ ,‬ومن أنواع هذا الحفظ تعدد الطرق والوسائل التي يعرف‬
‫بها الحكم الشرعي ويضبط‪ ،‬ولذلك تنوعت العلوم الشرعية وتعددت‪ ,‬ولكن‬
‫هدفها واحد؛ وهو الوصول إلى الحكم الذي يريده اهلل تبارك وتعالى منا‪.‬‬
‫فمن وسائل معرفة الحكم الفقه وهو‪( :‬معرفة) األحكام الشرعية العملية بأدلتها‬
‫التفصيلية‪ ,‬وفيه تنثر الفروع الفقهية بأدلتها التفصيلة‪.‬‬
‫ومن وسائل معرفة الحكم الشرعي وضبطه أصول الفقه الذي يراد به معرفة‬
‫الطرق اإلجمالية التي يتوصل بها إلى معرفة الحكم الشرعي‪.‬‬
‫ومن وسائل ضبط الحكم الشرعي والتعرف عليه أيضا‪ :‬القواعد الفقهية‪,‬‬
‫فالقاعدة الفقهية جزء ال يتجزأ من منظومة األحكام الشرعية‪.‬‬
‫وفي هذه الدورس سنتعرف على القواعد الكلية الخمس الكبرى‪ ،‬ولكن سنبدأ‬
‫أوال بمقدمة تشتمل على أربعة عناصر‪:‬‬
‫العنصر األول‪ :‬تعربف القاعدة الفقهية‪.‬‬
‫العنصر الثاني‪ :‬أهمية القواعد الفقهية‪.‬‬
‫العنصر الثالث‪ :‬دليلية القواعد الفقهية‪.‬‬
‫العنصر الرابع‪ :‬نذكر تطبيقا على القاعدة الفقهية لنعرف كيفية االستفادة منها‪.‬‬
‫ثم سنشرع في شرح القواعد الفقهية الخمس الكبرى وما يتفرع عنها من‬
‫القواعد‪.‬‬
‫أوال‪ :‬تعريف القاعدة الفقهية‪.‬‬
‫أما القاعدة الفقهية من حيث اللغة فهي‪ :‬أساس الشيء؛ ولذلك سميت قواعد‬
‫البيت بذلك ألنها أساسه‪ ،‬وعليها يبنى البيت‪.‬‬
‫وهذه القاعدة منسوبة للفقه أي أنها يبنى عليها حكم فقهي‪ ،‬أو هي حكم فقهي‬
‫كلي‪.‬‬
‫وأما في االصطالح‪ :‬فإن القاعدة عند أهل العلوم كلها هي القضية الكلية‪ ،‬أو‬
‫األمر الكلي الذي ينطبق على جزئيات‪.‬‬
‫وما من علم إال وفيه قواعد هي كاألساس له وتبنى على هذه القواعد الفروع‬
‫المتشعبة من هذا العلم‪.‬‬
‫وبناء على ذلك إذا أردنا أن نعرف القاعدة الفقهية نستطيع أن نقول‪:‬‬
‫هي حكم كلي فقهي‪.‬‬
‫أو‪ :‬قضية كلية فقهية‪.‬‬
‫أو‪ :‬حكم عام‪.‬‬
‫فقولنا‪ :‬حكم‪ ,‬الحكم هو‪ :‬إثبات أمر ألمر أو نفيه عنه‪.‬‬
‫وأما في االصطالح‪ :‬فهو خطاب اهلل تعالى المتعلق بأفعال المكلفين اقتضاء أو‬
‫وضعا‪.‬‬
‫ووصف القاعدة بأنها حكم معناه أن فيها إثبات أمر ألمر أو نفيه عنه‪ ،‬فما من‬
‫قاعدة إال فيها إثبات شيء لشيء أو نفيه عنه‪.‬‬
‫وقولنا‪ :‬كلي يخرج الجزئي‪ ,‬و الكلي هو ما يشمل أنوعا كثيرة‪ ،‬وأما الجزئي‬
‫فهو الذي ال يتناول إال شخصا معينا أو نوعا معينا‪.‬‬
‫وأما قولنا‪ :‬فقهي‪ ،‬فهو وصف لهذا الحكم؛ ألنه متعلق بعلم الفقه‪.‬‬
‫ومن خالل هذا التعريف نفهم أن القاعدة الفقهية يراد بها وضع تصور كلي‬
‫لمسألة معينة‪ ,‬وهذا ٍ‬
‫كاف في معرفة القاعدة الفقهية؛ ألن من يستمع لهذا‬
‫التعريف يستطيع أن يتعرف على القاعدة الفقهية‪ ،‬ويعرف مرادنا بها‪.‬‬

‫ثانيًا‪ :‬أهمية القواعد الفقهية‪.‬‬


‫لعلي أشير باختصار إلى ثالث فوائد هي كاألمور الكلية ألهمية القواعد‬
‫الفقهية‪:‬‬
‫‪ -1‬ضبط المسائل الفقهية واستحضارها في الذهن؛ وذلك أن القاعدة تعطي‬
‫تصورا مجمال كليا للفروع المندرجة تحتها فإذا فهمت القاعدة وأتقنتها‬
‫ً‬
‫حصل لك تصور كلي للفروع التي يمكن أن تندرج تحتها‪ ,‬وضبط الفروع‬
‫الفقهية متعذر لكن ضبط هذه القواعد ممكن؛ ألنها ألفاظ مختصرة وتشمل‬
‫معاني كلية‪ ،‬ولكن هذا ال يعني أننا إذا عرفنا هذه القاعدة استغنينا بذلك عن‬
‫دراسة الفروع الفقهية‪ ,‬فبعض الناس يظن أنه إذا أتقن القواعد الفقهية فليس‬
‫بحاجة إلى دراسة الفقه‪ ،‬وهذا ليس بصحيح؛ ألن القاعدة تحتاج لكي تثبت‬
‫في الذهن و تتسع دائرة معرفتك بها أن يكون عندك عدد من الفروع الفقهية‪,‬‬
‫وكلما استكثرت من الفروع الفقهية كلما ازداد فقهك بالقاعدة ومعرفتك‬
‫بصور تطبيقها فأنت كلما تصورت النظائر والفروع قويت معرفتك بالقاعدة‬
‫الفقهية التي تندرج تحتها هذه الفروع‪ ,‬وتتفرع (عن) هذه الفائدة فائدة أخرى‬
‫وهي أن الفروع الفقهية المتناثرة تجتمع عندك بطريقة أخرى‪ ,‬فنحن نعرف أن‬
‫الفقه مقسم على أبواب؛ كالطهارة ثم الصالة ثم الصيام إلخ‪ ,‬فحينما تضبط‬
‫القواعد الفقهية تعود مرة أخرى لتنظّم ترتيب الفروع الفقهية بناء على هذه‬
‫القاعدة؛ فأنت إذا عرفت قاعدة العادة مح ّكمة؛ فإن هذه القاعدة تكون في‬
‫ذهنك مثل الباب المتعلق بالعوائد ‪-‬يعني بالعادات‪ -‬فيندرج تحتها فروع في‬
‫الطهارة وفروع في الصالة وفروع في الصيام وفروع في المعامالت المالية‬
‫وفروع في القضاء‪ ,‬فالفروع الفقهية المتناثرة بين أبواب فقهية متعددة تتبلور‬
‫في ذهنك وتجتمع في صورة قاعدة كلية‪ ،‬وهذا ال شك يعين على ضبط‬
‫الفروع الفقهية‪ ،‬ويعين على الفائدة الثانية وهي‪:‬‬
‫‪ -2‬التعرف على مقاصد الشريعة وعلل األحكام ومآخذها‪ ,‬فالقاعدة في‬
‫الغالب تشتمل على معنى كلي‪ ،‬وتشتمل على علة‪ ،‬وتشتمل على مقصد من‬
‫مقاصد الشريعة‪ ،‬هذا في الغالب وال يلزم من ذلك أن تكون القاعدة كذلك‪,‬‬
‫ومن أمثلة ذلك‪ :‬المشقة تجلب التيسر‪ ,‬وقاعدة ال ضرر وال ضرار‪ ،‬وقاعدة‬
‫سد الذرائع‪ ،‬أو قاعدة الوسائل أحكام المقاصد‪ ,‬وإذا فهم اإلنسان مقاصد‬
‫وح َكمه ومآخذه حصلت له ملكة فقهية جيدة‪.‬‬ ‫الشارع ِ‬
‫‪ -3‬القدرة على استنباط األحكام الشرعية‪ ،‬ومعرفة مآخذ الفقهاء في‬
‫صحيحا‪ ،‬ومعرفة‬
‫ً‬ ‫فهما‬
‫إصدارهم لألحكام‪ ،‬وهذا ال يتيسر إال بفهم القاعدة ً‬
‫حدودها وضوابطها وشروطها‪ ،‬ثم بعد ذلك تنزيلها على الواقع الذي تريد أن‬
‫تحكم فيه‪ ,‬وسأعود مرة أخرى في الفقرة الرابعة ألضرب مثااًل على هذه‬
‫القضية‪.‬‬
‫ثالثًا‪ :‬دليلية القواعد الفقهية‪.‬‬
‫معنى قولنا دليلية القواعد الفقهية‪ :‬أي أن القاعدة الفقهية هل تصلح أن تكون‬
‫دليال نستند إليها في إصدار األحكام ؟‬
‫مما يذكره بعض المؤلفين في القواعد الفقهية أنها ال تصلح أن تكون دليال‬
‫للفروع الفقهية‪ ,‬فال بد أن نبين أن هذه الكلمة ليست صوابا بإطالق‪ ،‬كما أن‬
‫قولهم القاعدة الفقهية دليل شرعي أيضا ليست صوابا بإطالق‪ ،‬وهذا يتبين بما‬
‫يلي‪:‬‬
‫أوال‪ :‬القاعدة الفقهية تنقسم من حيث االتفاق واالختالف إلى قسمين ‪:‬‬
‫القسم األول قواعد متفق عليها‪ ,‬فهذه حجة وتستند في حجيتها إلى اإلجماع‪.‬‬
‫القسم الثاني قواعد مختلف فيها‪ ,‬فهذه ينظر إليها من حيث دليلها الذي ثبتت‬
‫به ‪.‬‬
‫ثانيا‪ :‬القاعدة الفقهية تنقسم من حيث صياغتها إلى قسمين‪:‬‬
‫القسم األول‪ :‬ما تكون صياغتها نصا شرعيا؛ أي أنها مصوغة بنص شرعي‪،‬‬
‫وذلك مثل‪:‬‬
‫ال ضرر وال ضرار‪ ,‬الخراج بالضمان‪ ،‬وغيرهما من القواعد‪ ،‬فهذه حجة؛ ألنها‬
‫هي لفظ الشارع نفسه‪ ،‬ولفظ الشارع حجة‪.‬‬
‫القسم الثاني‪ :‬ما كانت مصوغة بألفاظ الفقهاء‪ ،‬مثل المشقة تجلب التيسير‪،‬‬
‫ومثل العادة محكمة‪ ،‬ومثل من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه‪,‬‬
‫والوسائل لها أحكام المقاصد‪ ,‬وأغلب القواعد الفقهية من هذا النوع‪ ,‬فهذا‬
‫صحيحا كانت القاعدة‬
‫ً‬ ‫نصا‬
‫النوع ننظر إلى مستنده ما هو‪ ,‬فإذا كان مستنده ً‬
‫الفقهية دليال ومستندا يستند إليه في إصدار األحكام‪ ,‬وأما إذا كانت هذه‬
‫القاعدة مذهبية يراد بها فقط ضبط فروع المذهب؛ فإنها ال تصلح أن تكون‬
‫دليال ومستندا يعتمد عليه‪ ،‬ولكنها تصلح ألهل المذهب ولمن يريد أن يعرف‬
‫أحكام هذا المذهب فتنضبط عنده الفروع الفقهية لهذا المذهب‪ ,‬وأما إذا أراد‬
‫أن يستدل بها فال بد أن يتحقق من مستندها‪ ،‬ولذلك نحن قلنا في تعريف‬
‫القاعدة‪ :‬بأنها حكم كلي‪ ،‬والحكم يحتاج إلى دليل لكي يثبت‪ ,‬وأضرب مثاال‬
‫على ذلك بقاعدة‪:‬‬
‫[ما قارب الشيء أخذ حكمه] هذه قاعدة فقهية‪ ,‬هي محل نزاع بين أهل‬
‫العلم‪ ،‬فمنهم من يرى أن الشيء إذا قارب شيئا ما يأخذ حكمه‪ ،‬ومنهم من ال‬
‫يرى ذلك‪ ,‬مثال ذلك‪ :‬إذا لبس المصلي ثوبا يستر عورته وهو واقف‪ ،‬ولكنه‬
‫إذا ركع ظهرت العورة‪ ،‬فهل تنعقد الصالة بهذا الثوب؟ ثم إذا ركع بطلت أو‬
‫ال تنعقد من األصل؟‬
‫فإذا قلنا‪ :‬ما قارب الشيء أخذ حكمه‪ ،‬قلنا‪ :‬ال تنعقد الصالة؛ ألن الركوع‬
‫مقارب للوقوف‪ ،‬ومن حين ركوعه ستبطل صالته‪.‬‬
‫وإذا قلنا‪ :‬أن ما قارب الشيء ال يأخذ حكمه‪ ،‬وإنما يكون له حكم نفسه‪ ،‬فإن‬
‫صالته واق ًفا تكون صحيحة‪ ،‬فإذا ركع بطلت صالته‪.‬‬
‫فهذه القاعدة ال تصلح أن تكون مستندا الستنباط األحكام إال إذا صحت‬
‫عندك وثبتت‪.‬‬
‫ولكن إذا قلنا أنها ال تصلح أن تكون مستندا الستنباط األحكام فال يعني أنها‬
‫تلتغي فائدتها‪ ،‬بل تكون فيها فائدة من جهة ضبط الفروع ومعرفة مآخذ‬
‫الفقهاء‪.‬‬
Filsafa Hukum Islam

Jelaskanlah hal-hal berikut :

1. pengertian, ruang lingkup dan kegunaan filsafat hukum islam


2. Pertumbuhan dan perkembangan filsfat hukum islam
3. Metode pengembangan filsafat hukum islam
4. Asumsi-asumsi dasar tentang filsafat hukum Islam
5. Hubungan Foilsafat hukum Islam dengan Ilmu-ilmu Islam lainnya

Anda mungkin juga menyukai