DRS. H. EMRIZAL
I. TUJUAN
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Landasan Filosofis Hukum
Islam serta mengaplikasikannya dalam pengembangan Hukum Islam. Sehngga diketahui
bahwa Hukum Islam mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan
merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam.
III. REFERENSI
A. BUKU WAJIB
1. Fathurrahman Jamil : Filsafat Hukum Islam
2. Juhaya S. Praja : Filsafat Hukum Islam
3. Ali al-Fasi : Maqashid al-Syari’ah wa makarimuha
4. Ahmad Raisuni : Maqashid al-Syari’ah ‘Inda as-Syathibiy
5. Tahrir ‘Asyur : Maqashid al-Syari’ah
6. Shubhi Mahmashani : Falsafah at-Tasyri’ al-Islamiy
7. T.M.Hasbi ash-Shiddieqi : Filsafat Hukum Islam
B. Buku Anjuran
1. Abu Ishaq as- Syathibiy : Al-Muwafaqat fi Ushuli as-Syari’ah
2. Muhammad adib Shalih : Takhrij al-Ushul ala al-Furu’
3. Syah Waliyullah ad-Dahlawiy : Hujjatullah al-Balighah
4. Departemen agama : Filsafat Hukum Islam.
Filsafat merupakan suatu ilmu yang dianggap sebagai akar dari ilmu-ilmu yang
berkembang di dunia, dikarenakan filsafat merupakan ilmu yang paling tua dan satu-satunya
ilmu yang ada pada saat itu.
Banyak orang yang mempelajari filsafat berakhir dengan kejenuhan dan kebingungan.
Ada yang beranggapan bahwa dengan kejenuhan dan kebingungan itu mereka merasa telah
selesai belajar filsafat. Padahal tidak demikian adanya, sebab kejenuhan dan kebingungan itu
terjadi lebih pada eksperesi dan cara menikmati objek kajian yang dihadapi. Bila mempelajari
filsafat diiringi dengan seni dan strategi yang cantik dalam menikmatinya, seseorang akan
merasakan kenikmatan logika dan tata fikir yang luar biasa, karena dengan filsafat akan
ditemukan sesuatu jawaban bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, semua memungkinkan
dalam menciptakan berbagai kemungkinan.
Filsafat dilahirkan oleh orang-orang yang punya pandangan yang berbeda , seperti :
Tidak begitu percaya dengan segala yang ada dan yang dilihatnya, Penasaran dan kagum atas
semua yang ada ditumpahkan dengan mempertanyakan segala sesuatu dan , ragu atas semua
yang ada. Hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan: apa, bagaimana, dari mana, mengapa, dan
untuk apa ?. Sebagai contoh : Ketika manusia melihat genagan air, mncul pertanyaan apa itu
air ? Bagaimana air itu diciptakan ? Dari mana asalnya air ? Mengapa sifat air itu demikian, dan
untuk apa air itu ada pada alam manusia ? Dapatkah pertanyaan itu dijawab secara filosofis ?
Segala sesuatu memiliki hakikat dan hakikat segala sesuatu adalah sesuatu itu sendiri.
Logika fenomenologis inilah yang didambakan oleh setiap orang yang bergaul dengan filsafat.
Segala sesuatu memungkinkan untuk dianalisis karena alat fikir manusia tidak terbatas. Akal
yang terletak dalam batok kepala dan urat saraf manusia dapat disambungkan dengan qalbu dan
hati nurani yang berbuah rasa. Oleh sebab itu sesukar apapun masalah yang dihadapi, manusia
akan memiliki kemampuan untuk memecahkannya. Kegiatan itu akan berujung menjadi cara
berfikir filosofis. Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa filsafat adalah mather of
science. Hal itu berpengaruh lagi kepada bahwa semua ilmu selalu digandengkan dengan filsafat,
seperti filsafat sejarah, filsafat ekonomi, filsafat politik, filsafat sosial, filsafat pendidikan,
filsafat hukum dan tidak ketinggalan, ada pula filsafat hukum Islam.
Ketika kata ” Filsafat” menyintuh ranah hukum Islam, Kajiannya tidak akan sama
dengan kajian filsafat secara umum, ia harus mengacu pada pandangan hukum yang bersifat
Teologis, karena hukum Islam itu diciptakan punya maksud dan tujuan yang telah ditetapkan
Tuhan untuk kebahagiaan manusia di dunia(yang bersifat sementara) dan kebahagiaan di akhirat
(yang bersifat kekal abadi). Hal inilah yang membedakan kajian ”Filsafat Hukum Islam ”
dengan filsafat hukum lainnya (yang hanya berusaha mencari kedamaian di dunia (sementara)
berdasarkan logika rasional dan empirik semata.
Filsafat pada intinya berbicara tentang hakikat sesuatu secara mendasar, sehingga
membicarakan tentang Filsafat Hukum Islam, selalu akan membicarakan perihal hukum islam
dalam tataran yang cukup mendasar. Fenomena yang melibatkan filsafat dalam Hukum Islam
adalah bagaimana Hukum Islam (syari’ah) itu secara konkrit dapat diaplikasikan oleh situasi dan
kondisi suatu masyarakat secara nyata. Demikian itulah yang sebenarnya menjadi tujuan utama
Al-Qur’an, yaitu tegaknya sebuah tata sosial yang bermoral, adil, dan dapat survive di muka
bumi. Problem yang timbul kemudian adalah: Adakah kemampuan komunitas masyarakat dalam
memahami atau menafsirkan teks-teks hukum islam yang berlaku tersebut dapat menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Tujuan hukum Islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat rahman dan rahim Tuhan
kepada semua makhluk-Nya (rahmatan lil ’alamina) sebagai inti dari syari’at Islam. Dengan
tujuan syari’at Islam inilah dapat terciptanya kedamaian, terwujudnya keadilan kepada semua
orang (sebagai sifat yang sangat mulia di mata Tuhan), dan merupakan suatu jalan untuk
mencapai taqwa setelah beriman kepada Allah Swt.
Untuk bisa menegakkan itu semua, hukum Islam harus siap menghadapi kejadian atau
yang disebut dengan kasus kontemporer sebagai dampak dari perkembangan peradaban manusia
dalam segala hal. Untuk itu Filsafat hukum Islam mutlak diperlukan. Dengan tegak dan
berhasilnya Filsafat Hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa Hukum Islam mampu memberikan
jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta
alam.
Pemahaman konvensional semata (pemahaman yang mengikuti kebiasaan umum yang
lazim digunakan dalam masyarakat dengan dasar kesepakatan) terhadap sumber dan ajaran
Islam sudah kurang relevan untuk konteks sekarang, karenanya perlu dicari dengan metode
pemahaman baru, misalnya hermeneutika(mempelajari tentang interpretasi makna, menafsirkan,
memberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan al-Quran). Namun
demikian, persoalannya adalah, sebagai suatu ‘produk impor’, Mungkinkah hermeneutika dapat
menggantikan metode pemahaman konvensional terhadap sumber dan ajaran Islam, terutama
metode tafsir/pemahaman teks ajaran, terutama Alquran? Selanjutnya, jika dapat diganti dengan
hermeneutika, persoalan-persoalan apakah yang akan terjadi?.
Kaidah hukum yang tercantum dalam aturan Hukum Islam dapat mencakup antara lain:
siapa berkewajiban apa, terhadap siapa berkenaan dengan apa dan atas dasar apa, atau, siapa
berhak atas apa, dan berdasarkan itu siapa yang harus melakukan perbuatan apa. Hal-hal tersebut
bukanlah sesuatu yang sederhana, ketika hal itu melibatkan penafsiran manusia terhadap sesuatu
teks aturan hukum, bahkan aturan hukum tersebut bukanlah buatan manusia itu sendiri dan
diyakini berasal dari Tuhan (Allah) dengan perantaraan RasulNya, sedang pada sisi lainnya
manusia pada dasarnya diberi kebebasan bahkan didorong dengan ketentuan adanya keutamaan
dalam melakukan penafsiran pada setiap diri manusia.
Pembahasan filsafat hukum Islam bukan membahas materi filsafat, melainkan materi hukum
Islam yang dikaji secara filosofis. Muatan filsafat yang terkandung dalam filsafat Hukum Islam
bertumpu pada empat tujuan mendasar, yaitu :
1. Agar landasan Filsafat Hukum Islam yang berkaitan dengan ubudiyah, mu’amalah,
siyasah, dan jinayah dapat dipahami secara mendalam.
2. Semua aspek yang berkaitan dengan hukum Islam hakikatnya ditemukan melalui
pemahaman ontologis;
3. Asal muassal hukum Islam secara epistimologis dapat dilukiskan secara rasional,
sistematis dan radikal; dan
4. Fungsionalisasi hukum secara pragmatis maupun realistis merupakan bagian dari prilaku
umat Islam yang menjalankan kaidah-kaidah normatif dalam hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian, Ruang Lingkup dan Kegunaan Filsafat Hukum Islam
Jadi untuk merumuskan sebuah pengertian tentang Filsafat hukum Islam, kunci
utamanya ialah memahami lebih dulu tentang dua term yaitu : " Filsafat dan
Hikmah". Pentingnya mengetahui kedua term ini karena para pengkaji filsafat
hukum islam ini kadang-kadang menggunakan kata filsafat dan hikmah dalam arti
yang sama dan kadang kala menggunakannya dalam arti yang berbeda. Sebagai
contoh : Ahmad Al-Jurjawi menggunakan istilah :Hikmah al-Tasyri' wa
Falsafatuhu dan Dr. Shubhi Mahmashaniy menggunakan Istilah : Falsafah al-
Tasyri' al-Islamiy. Di samping itu istilah teknis yang banyak dipakai dalam kajian
hukum Islam di Indonesia kerap kali menimbulkan kerancuan dalam penggunaannya.
Untuk menghindari kerancuan tersebut, diperlukan penjelasan definisi dari istilah-
istilah tersebut. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan diperkenalkan lebih dahulu
istilah-istilah yang banyak digunakan dalam kajian hukum islam. Istilah-istilah
tersebut ialah : Tasyri', syari'ah, Fiqh atau Ilmu al-Syari'ah, hikmah dan Filsafat
hukum Islam.
(a) Tasyri', kata tasyri' berasal dari kata syarra'a yaitu membuat jalan raya yaitu
suatu jalan besar yang menjadi jalan utama. Dengan demikian kata tasyri' berarti
pembuatan jalan raya. Kemudian, kata tasyri' ini digunakan oleh para ahli hukum
islam dalam arti pembentukan garis-garis besar hukum islam dan pembentukan
teori-teori hukum islam. Oleh sebab itu term Tasyri' berarti pembentukan hukum
islam secara sistematis; pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum
praktis. Dengan demikian, dalam term tasyri' terkandung dua unsur yaitu unsur
wahyu dan unsur akal yang telah bekerja dalam menggali hukum-hukum yang
disebut jtihad
.
(b)Syari'ah, kata syari'ah dalam bahasa arab berarti " tempat air minum yang selalu
menjadi tempat tujuan, baik tujuan manusia maupun binatang". Kemudian term ini
digunakan dalam arti sumber air dalam arti sumber kehidupan yang dapat menjamin
kehidupan manusia, kaik kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Kemudian
dalam hukum islam term syari'ah ini berarti hukum-hukum dan tata aturan yang
disampaikan Allah kepada hamba-hambanya. Dengan demikian, Syar'ah dalam
pengertian ini adalah wahyu baik yang matluw ( al-Quran) maupun yang ghairu
matluw(Sunnah). Dalam pengertian wahyu ini,, maka syariah merupakan sumber
hukum Islam yang tidak akan pernah berubah. Akan tetapi, kadang kala syariah
berkonotasi sumber hukum tetap tetapi dapat berkembang sehingga sumber hukum
Islam menjadi : Al-Quran, Hadis, Ijma, 'Ijtihad (berupa qiyas dan dalil-dalil). Oleh
sebab itu, dikenallah istilah syariat dalam artian sempit (al-Quran dan Sunnah) dan
syariat dalam artian lapang (al-Quran, Sunnah, Ijmak dan qiyas, dan adillah ).
Berdasarkan pengertian inilah kiranya Syekh Mahmud Syaltut mendefinisikan
syariat sebagai berikut :
هي النظم الىت ش رعها اهلل او ش رح اص وهلا ليأخـذ االنس ان هبا نفسه ىف:والش ريعة
وعالقته, وعالقته ب الكون,عالقته بربه وعالقته باخيه املس لم وعالقته باخيـه االنس ان
.باحلياة
Artinya: Syari'at ialah hukum-hukum yang digariskan Allah, atau dasar-dasar hukum
yang digariskan Allah agar manusia dapat mempedomaninya dalam hubungannya
dengan Tuhannya, hubungannya sesame saudara muslim, hubungannya dengan Alam
dan hubungannya dengan kehidupan.
(c) Fiqh atau Ilmu syari'ah. Dalam bahasa Arab Fiqh berarti faham, pengertian atau
pengetahuan. Fiqh dalam pengertian ini tercantum dalam Firman Allah surat at-
Taubah,ayat 87 :
ِ ِضوا بِأَ ْن ي ُكونُوا مع الْ َخوال
)87( ف َوطُبِعَ َعلَى ُقلُوبِ ِه ْم َف ُه ْم اَل َي ْف َق ُهو َن ُ َر
َ ََ َ
Artinya: mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang(anak-anak,
wanita dan orang lemah)dan hati mereka telah dikunci mati maka mereka tidak
mengetahui (kebahagian beriman dan berijtihad).
Fiqh dalam tradisi ahli-ahli hukum Islam sama dengan istilah 'Ilmu al-
syari'ah yaitu pengetahuan tentang syari'at; pengetahuan tentang hukum-hukum
perbuatan mukallaf secara terinci berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan sunnah
dengan cara istinbath al-ahkam yakni penggalian penjelasan dan penerapan hukum.
Penggunaan istilah fiqh pada awalnya mencakup hukum-hukum agama secara
keseluruhan, baik hukum-hukum yang berkenaan dengan keyakinan('aqa'id),
maupun yang berkenaan dengan hukum-hukum praktis ('amaliah) dan akhlaq. Oleh
karena itu dijumpai istilah al-Fiqh al-Akbar dan al-Fiqh al-Asghar. Kedua istilah
ini mulai diperkenalkan oleh Abu Hanifah. Al-Fiqh al-Akbar berkonotasi ushul al-
din yang kemudian dikenal pula dengan nama ilmu tauhid, ilmu kalam, 'ilmu
'aqa'id dan 'aqidah. Adapun al-fiqh al-ashghar, berkonotasi Ushul al-Fiqh yakni
dasar-dasar pembinaan fiqh atau metodologi hukum Islam.
Seiring dengan perkembangan Islam ke berbagai belahan dunia, term Fiqh pun
berkembang hingga digunakan untuk nama-nama bagi sekelompok hukum-hukum
yang bersifat praktis. Dalam peraturan perundang-undangan Islam dan system
hukum Islam, fiqh didefinisikan sebagi berikut :
االحكام الشـرعية الىت حيـتاج ىف اسـتـنـباطها اىل تامل و فهم واجتهاد
Artinya : Hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan syari'ah yaitu hokum-hukum yang
penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman atau pengetahuan,
dan Ijtihad.
Hasbi sh-Shiddiqie : Koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at
Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (fikih)
Amir Syarifuddin: Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam” (syari’ah dan fikih)
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa fiqh lebih luas dari sekedar paham.
Fiqh berarti paham dan mengerti dengan kehendak Allah SWT dengan segala
firman-Nya. Namun demikian, karena peringkat kamampuan dan martabat manusia
tidak sama, maka kemampuan memahami kehendak dan wahyu Allah berbeda-beda
pula. Inilah sebabnya Fiqh identik dengan 'Ilmu syari'ah. Sebagaimana suatu ilmu
mempunyai tingkat kebenaran yang relative atau zanniy, maka fiqh pun sifatnya
adalah relative atau zanniy.
(d). Hikmah
Sedangkan kata Hikmah, dalam bahsa arab berarti besi kekang yaitu besi
dalam pengendalian binatang. Kata hikmah dalam pengertin kendali ini pun dapat
diartikan sebagai pengendali dan pengekang manusia yang memilikinya untuk tidak
berkehendak , berbuat dan berbudi pekerti yang rendah dan tercela. Sipemilik
hikmah harus berbuat, berkehendak, dan berbudi pekerti mulia dan terpuji.
Mustafa Abd al-Raziq, hikmah seperti yang disebut dalam al-Qur’an menjadikan
orang yang memiliki hikmah sebagai orang yang mulia dan berwibawa. Juhaya S.
Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan UNISBA, 1995) hlm. 2.
Hikmah difahami pula sebagai paham yang mendalam tentang agama. Hikmah
dalam berdakwah sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam Surat an-Nahl:125
berarti keterangan (burhan) yang kuat yang dapat menimbulkan keyakinan.
Muhammad Rasyid Ridla: Hikmah adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu
dan mengenal hakikat apa yang terdapat dalam sesuatu tersebut, mengenai faidah dan
manfaatnya. Pengetahuan tentang hakikat tersebut menjadi pendorong atau motive
untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas tentang filsafat dan hikmah dapat
dipahami bahwa : Intisari filsafat ialah berfikir secara mendalam tentang sesuatu,
mengetahui apa, bagaimana, mengapa, dan nilai-nilai dari seseuatu itu. Sedangkan
Intisari hikmah adalah memahami wahyu secara mendalam dengan yang ada pada
diri manusia sehingga mendorong orang yang mengetahuinya untuk beramal dan
bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu.
1). Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah,
sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum Islam.
2) Menurut D.C. Mulder: Filsafat Hukum Islam adalah: “Pemikiran secara ilmiah,
sistematik, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang Hukum Islam.
3) Ada juga para ahli filsafat yang berpendapat bahwa : Filsafat Hukum Islam
adalah : upaya pemikiran manusia secara maksimal untuk memahami
rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum Tuhan, dengan tidak
meragukan substansi hukum itu sendiri sebagaimana pendekatan filsafat
hukum pada umumnya.
Pertama,
Filsafat Hukum Islam merupakan hasil pemikiran manusia. Dengan kata lain, ia
berangkat dari akal pikiran manusia. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara Filsafat
dan filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu Shari‘ah secara metodologis seperti Usul al-
Fiqh dan al-Qawa‘id al-Fiqhiyah. Dimana kedua ilmu yang disebut terakhir ini
berangkat dari wahyu.
Kedua,
Seluruh kajian dalam Filsafat Hukum Islam itu, tidak pernah meragukan substansi
hukum yang telah ditetapkan oleh Hukum Islam. Secara lebih gamblang, hal ini dibahas
dalam salah satu kajian Filsafat Hukum Islam, yaitu mengenai hak ekat hukum Islam
sebagai Hukum Tuhan yang sudah tentu memenuhi tujuan-tujuan hukum.
Para ahli filsafat hukum islam, membagi ruang lingkup kajian Filsafat Hukum
Islam kepada dua rumusan, yaitu : Objek teoritis (Falsafah Tasyri) dan objek Praktis
.(Falsafah Syariah). Inilah yang menjadi ruang lingkup Filsafat Hukum Islam
- Objek Teoritis (Falsafah Tasyri’) : Fasafah yang memancarkan hukum islam atau
menguatkannya dan memeliharanya. Artinya Filsafat bertugas membicarakan hakikat dan
tujuan hukum islam yang mencakup lima hal :
1. Da’aim al- Ahkam ( Dasar-Dasar Hukum Islam )
2. Mabadi al-Ahkam ( Prinsip-Prinsip Hukum Islam )
3. Ushul al-Ahkam ( Pokok-Pokok Hukum Islam ) atau mashadir al-ahkam ( Sumber-
Sumber Hukum Islam )
4. Maqasid al-Ahkam ( Tujuan -Tujuan Hukum Islam )
5. Qawa’id al-Ahkam ( Kaidah-Kaidah Hukum Islam
a Kajian Filsafat Hukum Islam akan memberikan pengetahuan hukum Islam seara utuh
kepada ahli hukum yang mengkajinya. Filsafat Hukum Islam diperlukan bagi
pengkajian mendalam setiap cabang ilmu hukum islam. Pegkajian filsafat hukum Islam
memungkinkan memberikan pemahaman Islam secara menyeluruh (kaffah) dengan
keterkaitan dan hubungan yang terjalin dengan ilmu-ilmu lainnya dalam Islam, baik
ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu tasawuf, ilmu Alquran dan ilmu Hadits, .
b Kajian Filsafat Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia, makna,
hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu fiqh. Sehingga kita melaksanakan
ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan pengertian dan kesadaran yang tinggi.
Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai ketaatan dan disiplin yang tinggi
dalam melaksanakan hukum Seorang yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan
mempelajari Filsafat Hukum Islam, akan semakin memahami di mana letak ketinggian
dan keindahan ajaran Islam, sehingga menimbulkan rasa cinta yang mendalam kepada
Sumber Tertinggi Hukum yaitu Allah Swt., kepada sesama manusia, kepada alam, dan
kepada lingkungan di mana ia hidup.
c. Kajia Filsafat Hukum Islam memantapkan keyakinan umat Islam akan keagungan
Hukum Islam dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain (hukum produk
manusia). Dimana hukum Islam bisa dibuktikan bukan hanya lebih benar dan unggul,
dengan nilai-nilai keadilan yang diciptakannya, melainkan juga lebih terhormat dan
beradab dendibandingkan dengan hukum-hukum produk manusia yang cenderung
sangat subjektif..
Keyakinan yang mantap itu menumbuhkan rasa taat hukum yang hampir tanpa
“paksaan”. Umat Islam mentaati hukum bukan karena terpaksa, namun karena rasa
cinta, karena ia berasal dari Allah Swt. Yang Maha Adil dan aha Pengasih . Ia taat
kepada hukum karena keyakinan bahwa hukum dibuat sebagai perwujudan cinta Tuhan
kepada makhluk-Nya.
Dengan kata lain, kajian filsafat sangat berperan dalam beberapa hal, yaitu :
1) Menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum yang tidak kering bagi
perundang-undangan dunia
2) Memberikan landasan bagi politik hukum. Yaitu penerapan hukum Islam agar
mencapai tujuannya yang paling mendekati kemaslahatan umat manusia dan
menjauhkan dari kerusakan.
3) Menjadi kerangka metodologi dalam memahami makna tekstual dan
kontekstual dari teks suci .
4) Menjadi landasan untuk memahami argumen hukum dalam menghadapi
perubahan situasi dan kondisi.
Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad diatas merupakan awal lahirnya filsafat
hukum islam. Pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu.
Pemikiran falsafi atau ijtihad yang salah segera dibetulkan dengan datangnya wahyu. Akan
tetapi, ketika Rasulullah wafat dan wahyu pun telah usai, maka akal dengan pemikiran
falsafinya berperan, baik perkara yang ada nashnya maupun tidak ada nashnya.
Permasalahan yang timbul setelah Rasulullah wafat ialah mengenai siapa yang
memegang tapuk kepemimpinan bagi umat islam. Terhadap permasalahan yang tidak ada
nashnya itu memerlukan pemikiran mendalam tentang kreteria apa yang diambil untuk
menentukan pengganti Muhammad. Apakah kreterianya berupa jasa, yaitu jasa kaum
Anshor yang menerima Muhammad beserta rombongannya dan menyelamatkan agama
dari tekanan kaum kafir di mekkah, ataukah pengorbanan, yaitu pengorbanan kaum
Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad berhijrah dengan meninggalkan keluarga dan
harta kekeyaan demi menyelamatkan agama Islam. Pemikiran yang mendalam tentang
kreteria pemimpin tersebut merupakan pemikiran falsafi.
Sedangkan pemikiran Falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya bermula pada
khulafaurrasyidin, terutama Umar Ibn Khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi
pencuri, meniadakan zakat bagi muallaf dan lain-lain yang dilakukan umar berdasarkan
kesesuaian zaman dan demi menegakkan keadilan yang menjadi asas hukum Islam,
merupakan contoh penerapan hukum berdasarkan akal manusia.
Untuk lebih jelasnya pertumbuhan ini hanya terjadi pada periode Nabi yang terbagi
kepada :
1) Masa Nabi di Makkah (610 M-623 M). Agama islam sebagai “induk” hukum islam
muncul di semenanjung Arab. Daerah yang sangat panas, penduduknya selalu berpindah-
pindah dan alam yang begitu keras memberntuk manusia-manusia yang individualistis
serta hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis Patrilineal, yang saling
bertentangan. Ikatan anggota klen berdasarkan pertalian darah dan pertalian adat. Susunan
klen yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya.Hukum yang dibangun
Nabi adalah hukum yang berkaitan aqidah (menyemblih hewan atas nama Allah dan
melarang menyemblih atas nama berhala atau lainnya) dan hukum yang berkaitan dengan
akhlaq ( melarang terjadinya permusuhan antara sesama mukmin).
2) Masa Nabi di Madinah . setelah Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah,
dianggap telah memutuskan hubungan dengan klen yang asli, karena itu pula diperangi
oleh anggota klen asalnya. Pada masa ini, kedudukan Nabi Muhammad sangat
penting, terutama bagi ummat islam. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa pengakuan terhadap kerasulan Nabi
Muhammad.Saw.
Konsekuensinya ummat islam harus mengikuti firman–firman Tuhan yang
terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang dicatat dalam kitab-kitab
hadist. Melalui wahyuNya Allah menegaskan posisi Muhammad dalam rangka agama
islam, yaitu :
a) Kami mengutus Nabi Muhammad sebagai untuk menjadi rahmat bagi alam semesta
(Q.s.21:107).
b) Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah RasulNya (Q.s.4:59).
c) Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (Q.s.4:80).
d) Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.s.33:21).
Waktu Nabi Muhammad masih hidup tugas untuk mengembangkan dan
menafsirkan hukum itu terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan, perbuatan,
sikap diam yang disebut sunnah. Dengan mempergunakan Al Qur’an sebagai norma
dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan setiap masalah yang timbul pada
masanya dengan sebaik-baiknya.
Add. . Perode khulafaurrasyidin
1) Masa Khulafaur Rasyidin dan sahabat pada umumnya ( masa penyempurnaan
Hukum Islam ( 632 M – 662 M )
Dengan wafatnya nabi Muhammad, maka berhentilah wahyu yang turun dan
demikian halnya dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad sebagi utusan Allah Swt.
tidak mungkin tergantikan, tetapi tugas Beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan
Kepala Negara harus dilanjutkan oleh seorang khalifah dari kalangan sahabat Nabi
Muhammad Saw. .
Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan Negara.
Memiliki hak memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menajaga keamanan
dan batas Negara, menegakkan keadilan dan kebenaran, berusaha agar semua lembaga
Negara memisahakan antara yang baik dan tidak baik, melarang hal-hal yang tercela
menurut Al Qur’an, mengawaasi jalannya pemerintahan, menarik pajak sebagai sumber
keuangan Negara dan tugas pemerintahan lainnya.
Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq.( Masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam karena
dijadikan model atau contoh di generasi-generasi berikutnya. Pada masa pemerintahan Abu
Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat
Qur’an yang telah ditulis dizaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma
dan tulang-tulang unta dan menghimpunnya dalam satu naskah.
Khalifah kedua yaitu Umar Bin Khatab yang melanjutkan usaha Abu Bakar
meluaskan daerah. Kekuasaan Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak dan Persia. Contoh
ijthad Umar adalah: Menurut (Q.S.5:38) orang yang mencuri, diancam dengan hukuman
potong tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat
disemenanjung Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri tersebut tidak
dilaksanakan oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan darurat dan
kemaslahatan jiwa masyarakat yang sangat terkenal dengan argumen subyektif sosiologis.
Umar Bin Khaththab: Memutuskan hukum dengan melihat roh syari’ah. Muhammad
Iqbal (1873-1938) pernah menyatakan “apakah hukum Islam dapat berkembang?” Ia
menjawb sendiri, “bisa, asalkan dunia Islam mau memasuki jiwa Umar. Kontroversi Ijtihad
Umar Membatasi kebolehan menikahi wanita ahlul kitab karena khawatir menikahi dengan
wanita muslimah akan kurang disukai. Tidak memberikan zakat kepada muallaf karena
pertimbangan kemuliaanIslam.
Faktor-faktor pendorong dalam putusan Umar : Beradaptasi dengan tantangan baru,
karena perubahan sosial, ekonomi, dan demografi. Karakteristik Mazhab Umar:
Mengutamakan ra’yu daripada sunnah Menekankan aspek maqasid asy-syari’ah
Khalifah ketiga yaitu Usman bin Affan menggantikan Umar bin Khattab. Pada masa
pemerintahan ini terjadi nepotisme pada separoh akhir kekuasaannya karena
kelemahannya. Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam diteruskan ke barat sampai
ke Maroko, ke timur menuju India dan ke utara bergerak kearah konstantinopel. Usman
menyalin dan membuat Al Qur’an standar yang disebut modifikasi al Qur’an yang dikenal
dengan Mushhaf ‘Utsmaniy.
Khalifah ke empat adalah Ali Bin Abi Thalib yang merupakan menantu dan
keponakan Nabi Muhammad. Semasa pemerintahanya Ali tidak dapat berbuat banyak
untuk mengembangkan hukum Islam karena keadaan Negara tidak stabil. Tumbuh bibit-
bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada perang saudara
yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok. Namun pasa masa Khulafaurrasyidin
ini telah terbentuk Ijtihad perorangan yang menjadi Ijmak (seperti mengumpulkan dan
menulikan Al-quran dalam satu Mushaf, yang kemudian dikenal dengan Mushaf
‘Utsmaniy dan jtihad perorangan yang membentuk Qiyas. Dalam masa inilah disebut
dengan penyempurnaan sumber hukum Islam (al-Quran, Sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas).
b. Masa Tabi’in dan tabi’ tabi’in (Pembukuan dan KemajuanHukum Islam) (Abad
VII-X M)
dimasa awal tabi’in, Islam dikenal fikih (fikih mencakup semua ajaran Islam).
Dimasa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis
suci islam, muncul berbagai teori yang masih dianut dan digunakan oleh umat islam
sampai sekarang. Banyak faktor yang memungkinkan pengembangan pada periode ini,
yaitu :
1) Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan asal usul,
adat istiadat dan berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk dapat menentukan itu
maka ditentukanlah kaidah atau norma bagi suatu perbuatan tertentu guna
memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat.
2) Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan untuk
membangun serta mengembangkan hukum fiqih Islam.
3) Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum
dalam masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada periode ini lahir
penilaian mengenai baik buruknya mengenai perbuatan yang dilakukan oleh
manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-khamsah.
Khusus dalam masalah fikih yang bersentuahan dengan filsafat telah melahirkan
beberapa ulama terkemuka
Imam Syafi’i (150-204 H.) Tokoh yang terkenal dengan qaul qodim
(pendapatnya ketika di Irak) dan qaul jadidnya (pendapatnya ketika di Mesir). Qaul
qadim cendrung lebih rasional sedangkan qaul jadid lebih bersifat naqli (hadis.).Secara
metodologis perubahan atas suatu pemikiran merupakan realitas dinamis dalam
pemikiran hukum Syafi’i yang sangat terkait dengan keadaan ruang dan waktu.
Penelitian Filsafat Hukum Islam ditekankan pada maqasid as-Syari’ah.
Izz al-Din Ibnu ‘Abd Salam, dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-
Anam, masalahat diletakkan dalam konteks dar’ul mafasid wa jalbul manafi’
(menghindari mafsadat menarik manfaat). Maslahat di dunia tidak bisa dilepaskan dari
daruriyah, hajjiyyat, tatimmat atau taklimat. Taklif bermuara pada kemaslahatan
manusia baik di dunia maupun di akirat
Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum Islam,
sesungguhnya pada masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul beberapa ahli yang
ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan dan
perkembangan masyarakat. Sebagai contoh pada abad ke 14 telah lahir seorang mujtahid
besar yang menghembuskan udara segar dan baru dalam dunia pemikiran agama dan
hukum. Mujtahid besar tersebut adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu
Qoyyim Al-Jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17
oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi
yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia).
Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan
khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam
sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan,
kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan
sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik
serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka
1 Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977.
hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang
mendalaminya secara serius.
Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga orang tersebut di
atas, dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897) terutama di lapangan
politik. Jamaluddin Al-Afgani inilah yang memasyhurkan ayat Al-Qur’an : Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih
dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri (Q.S. Ar-Ra’du (13) : 11). Ayat ini
dipakainya untuk menggerakan kebangkitan ummat Islam yang pada umumnya dijajah
oleh bangsa Barat pada waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran ummat Islam itu
pada dasarnya adalah disebabkan penjajahan Barat.
Oleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah penjajahan Barat terhadap
dunia Islam, maka Al-Afgani berpendapat bahwa agar ummat Islam dapat maju kembali,
maka penyebab utamanya itu yang dalam hal ini adalah penjajahan Barat harus
dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk itulah maka Al-Afgani menelorkan ide monumentalnya
yang sangat terkenal sampai dengan saat ini, yaitu Pan Islamisme, artinya persatuan
seluruh ummat Islam.
Persoalannya sekarang adalah apakah pemikiran Al-Afgani tentang Pan Islamisme
ini masih relevan sampai dengan saat ini ataukah tidak. Artinya apakah pemikiran Al-
Afgani ini masih cocok untuk diterapkan dalam dunia Islam yang nota bene nasionalisme
masing-masing negara sudah menguat dan mengental ditambah tidak seluruhnya negara-
negara muslim negaranya berdasarkan Islam. Penulis menilai bahwa ide yang dilontarkan
oleh Al-Afgani ini adalah relevan pada masanya, namun demikian masih perlu
diterjemahkan ulang (diperbaharui substansinya) pada masa kini. Sebab menurut penulis
persatuan dunia Islam sebagaimana layaknya sebuah negara Islam Internasional tidak
memungkinkan untuk dilaksanakan lagi, tetapi persatuan ummat Islam dalam arti bersatu
untuk memberantas pengaruh negatif dari negara-negara Barat dan adanya kesepakatan
bersama untuk saling bantu membantu dalam memberantas kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan adalah sesuatu hal yang mutlak dan sangat diperlukan oleh dunia Islam
saat ini
Cita-cita ataupun ide besar Al-Afgani tersebut mempengaruhi pemikiran
Muhammad Abduh (1849-1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Muhammad
Rasyid Ridha (1865-1935). Pikiran-pikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid
Ridha mempengaruhi pemikiran ummat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-
pikiran Abduh ini sangat kental diikuti oleh antara lain Gerakan Sosial dan Pendidikan
Muhammadiyah yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912.
Hanya saja pikiran-pikiran Al-Afgani yang diikuti oleh Gerakan Sosial dan Pendidikan
Muhammadiyah itu lebih banyak pada substansi daripada konsep Pan Islamisme, bukan
pada pendirian negara islam internasionalnya.2
2) Ahli fiqh yang berikutnya : Izz al-Din Ibn Abd al-Salim dari kalangan
mazhab Syafii Ia membahas secara khusus aspek utama Maqasid al- Syariah,
Dalam kitabnya Qowaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Ia lebih banyak
mengelaborasi hakikat maslahat yang diejawantahkan dalam bentuk Dar-u al-
Mafasid wa jalbu al-Manafi’ (menghindari mafsadat dan menarikmanfaat ).
Baginya Mashlahat dunyawiyyat tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu:
daruriyyat, hijayyat, dan tatimmat atau takmillat. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa
taklif bermuara pada kemaslahat manusia, baik di dunia maupun diakhirat. dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba
mengembangkan inti mashlahat yang menjadi pembahasan dalam Maqashid al-
Syariah.
2 Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42.
adalah memelihara lima aspek utama, yaitu: Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan
Harta.
DAFTAR PUSTAKA ®
1. Al – Qur`an dan Terjemahannya, Depag RI.
2. Chotib, Ahmad, Falsafat Hukum Islam, Fakultas Syari`ah IAIN Jakarta, Surabaya :
1989.
3. Endang Saifuddin Anshari, M.A., Ilmu, Filsafat dan Agama cet. VII, Surabaya, Bina
Ilmu : 1987.
4. Al – Ghazali, Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad, al-Mustashfa Min `ilmi
Al-Ushul,t.t.: Nur al-Saqafat al-Islamiyyat, t.th.
5. __________, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhilwa Masalik al-Ta`lil,
Baghdad, Matba`at al-Irsyad, 1971.
6. Harun Nasution, Prof. Dr. Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
7. Harjono, Anwar, Drs. SH., Hukum Islam Keluasan Dan Keagungannya, Jakarta :
Bulan Bintang.
8. Djamili, Fathurrahman, Dr. MA. Filsafat Hukum Islam, jakarta:
LogosWacanaIlmu,1997S
Peranan Filsafat Hukum Islam dalam menalar hukum dapat diterangkan sebagai berikut:
Filsafat Hukum Islam merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat. Sehingga
wajar, seluruh isi atau konten Filsafat Hukum Islam dibahas melalui pendekatan filsafat
yang amat identik dengan akal sebagai sarananya. Dengan demikian, metode atau cara
kerja Filsafat Hukum Islam adalah metode atau cara kerja akal. Dan sesuai dengan
karakter akal yang abadi dalam proses perkembangan, demikian pula halnya dengan
semua kajian filsafat.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dengan mempelajari Filsafat Hukum
Islam ini, kita akan diantarkan menuju kesadaran yang tinggi dalam menghayati makna
perintah dan larangan agama. Hal ini disebabkan, karena ia melihat perintah dan
larangan itu bukan dari segi halal dan haram, namun dari segi hikmah atau falsafah yang
terkandung dalam perintah dan larangan itu.
Tidak salah lagi, kajian Filsafat Hukum Islam ini mampu menambah kemantapan
seorang muslim dalam menjalankan syariat agamanya. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan bahwa kajian Filsafat Hukum Islam juga bisa mengantarkan seorang
muslim menuju keraguan abadi dalam menjalankan perintah dan larangan agama,
sebagaimana halnya semakin banyak kita saksikan dimana-mana.
Filsafat sebagai “metode” telah banyak membantu kaum muslim meyakini
ketepatan hukum Islam dalam hal mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki. Namun
filsafat sebagai “hasil” telah banyak pula memakan korban, baik dari kalangan sisi
lahiriah manusia, namun juga membahas hukum dari sisi lain manusia, yaitu sisi
batiniah (ruhiyah).
Selain itu, orang yang mempelajari Filsafat Hukum Islam diharapkan bukan
hanya memahami rahasia-rahasia di balik perintah dan larangan hukum, namun juga
mampu menghayati rahasia-rahasia itu ketika mengamalkan perintah atau menghindari
larangan tersebut.
Filsafat Hukum Islam merupakan salah satu cabang Filsafat Hukum secara umum.
Oleh karena itu, kajian terhadap Filsafat Hukum Barat atau Timur sudah sewajarnya –
atau seharusnya- dilakukan terlebih dahulu sebelum memasuki kajian Filsafat Hukum
Islam. Sehingga kita memiliki pengetahuan dasar akan kedudukan Filsafat Hukum Islam
di antara Filsafat Hukum pada umumnya
Berdasarkan fakta tersebut, Filsafat Hukum Islam sejak kemunculannya diarahkan
untuk menjembatani orang-orang yang telah memiliki pemahaman yang matang tentang
filsafat hukum secara umum – baik para akademisi maupun para praktisi- menuju
pengetahuan Hukum Islam, dengan tetap memahaminya sesuai wawasan mereka
semula.
Adapun isi dari Filsafat Hukum adalah kajian-kajian yang telah dipelajari dan
dikembangkan oleh orang Islam sejak dalam waktu yang sudah cukup lama kajian-
kajian itu berhubungan dengan :Usul al-Fiqh, Qawa’id Fiqhiyah, Qawa’id Usuliyah,
dan ilmu-ilmu metodologis yang lain.
Filsafat Hukum Islam merupakan salah satu ilmu keislaman, di mana ilmu
keislaman ini telah tumbuh dan berkembang sejak lebih dari empat belas abad yang
lalu. Sebagai kajian keislaman, ia memiliki wilayah kajian yang amat luas, seluas kajian
hukum Islam itu sendiri. Ia bukan hanya membahas hukum dari sisi lahiriah manusia,
namun juga membahas hukum dari sisi lain manusia, yaitu sisi batiniah (ruhiyah).
Selain itu, orang yang mempelajari Filsafat Hukum Islam diharapkan bukan
hanya memahami rahasia-rahasia di balik perintah dan larangan hukum, namun juga
mampu menghayati rahasia-rahasia itu ketika mengamalkan perintah atau menghindari
larangan tersebut.
Sebelum membicarakan lebih jauh tentang perbedaan Filsafat Hukum Islam dengan
aliran –aliran Filsafat Hukum lainnya, disini akan dikemukakan lebih dulu
pandangan fakar hukum tentang filsafat hukum.
Filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum. Jika ahli hukum menyatakan bahwa kita
dapat membedakan pelaku tindak kejahatan yang harus dituntut
pertanggungjawabannya atas tindakannya dan yang tidak dapat dituntut pertanggung
jawabannya, maka filosof hukum mempertanyakan; mengapa kita membuat perbedaan
tersebut, apakah hal itu disimpulkan secara konsisten dari berbagai kasus yang berbeda-
beda atau hanyalah justifikasi belaka . Soerjojno Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982) hlm. 24
Adapun perbedaan pendekatan filsafat dalam Hukum Islam dengan filsafat hukum pada
umumnya terletak pada perbedaan substansi hukum itu sendiri.
Hukum Islam merupakan hukum wahyu, sedangkan hukum pada umumnya adalah hasil
pemikiran manusia semata.
Hukum Islam merupakan hukum yang berangkat, berjalan dan berakhir pada tujuan
wahyu. Ia ada dan memiliki kekuatan berdasarkan wahyu. Ia memberikan perintah dan
larangan berdasarkan wahyu. Dengan demikian, apa yang dianggap benar adalah apa
yang dianggap benar oleh wahyu. Apa yang dianggap keliru, adalah apa yang
disalahkan oleh wahyu. Adapun akal adalah sarana pendukung untuk memahami atau
memikirkan operasional hukum.
Ketika hukum Islam menyatakan bahwa babi adalah haram, alasannya adalah karena al-
Qur’an sebagai himpunan wahyu melarangnya. Demikian pula ketika Islam menyatakan
bahwa perzinahan itu haram, alasannya karena al-Qur’an melarangnya. Babi dan
perzinahan adalah haram kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun menurut hukum
Islam, meskipun secara akal babi dan perzinahan sebenarnya bisa mendatangkan
keuntungan yang banyak bagi manusia.
Sedangkan hukum pada umumnya (hukum non-Islam) adalah hasil pemikiran manusia
semata. Karena ia merupakan hasil manusia, sementara hasil pemikiran manusia bisa
terpengaruh oleh zaman dan makan, maka hukum tersebut juga bisa berbeda-beda bagi
manusia yang hidup di daerah dan waktu yang berbeda.
Ketika dahulu hubungan sesama jenis (homoseksual) dianggap sesuatu yang salah dan
melanggar batas kewajaran, maka perbuatan itu dilarang (diharamkan) dan pelakunya
memperoleh hukuman. Namun ketika sekarang perbuatan itu dianggap sesuatu yang
wajar –karena sudah banyak orang melakukannya secara terang-terangan bahkan
menjadi kebanggaan- dan bisa dibenarkan, maka ia tidak lagi dilarang. Justru
sebaliknya, orang yang menentang perbuatan itu dianggap telah melanggar hak asasi
orang lain yang ingin atau gemar melakukannya.
Yang amat menarik –entah karena benar-benar hasil pemikiran murni atau iming-iming
duniawi, klau ada sebagian orang Islam yang mengatasnamakan kebebasan berpikir,
memberanikan diri secara bersama-sama untuk menghalalkan perilaku homoseksual.
Misalnya, mereka mendukung perilaku tersebut dengan mencoba mengotak-atik
wahyu dengan logika mereka. Dengan demikian, mereka bukan lagi menggunakan akal
sebagai sarana untuk memahami wahyu, melainkan telah menggunakan akal untuk
“mengakali” wahyu. Sebenarnya orang-orang seperti itu bukanlah para ahli hukum
Islam yang sebenarnya. Melainkan mereka adalah para pemulung besi tua yang hendak
membuat pesawat tempur anti radar (semacam B-12) atau yang semisalnya. Tentu saja
usaha mereka hanya akan menjadi bahan tertawaan orang lain, apalagi para pakar di
bidangnya.
Filsafat Hukum Islam secara teoritis tidaklah berbeda dengan filsafat hukum. Namun
memiliki perbedaan dari aspek ontologis dan sumber hukum.
Adalah reflektif teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan
merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum. Ia ditujukan untuk
merefleksikan hukum dalam keumumannya. Dua hal yang menjadi perhatian filsafat
hukum yaitu : (1) Apa yang menjadi landasan kekuatan hukum yang mengikat. (2) Atas
dasar apa hukum dapat dinilai keadilannya.
Muncul karena terjadinya “kelesuan” diantara filsafat hukum yang dianggap terlalu
abstrak dan spekulatif, sementara dogmatik hukum dipandang terlalu konkret terkait
ruang dan waktu. Teori Ilmu Hukum bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin mengenai bahan hukum yang
tersaji dalam kegiatan yuridis di dalam kenyataan masyarakat. Objek telaahnya adalah
gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode
dalam hukum, dan kritik ideologis terhadap hukum.
B. Mazhab Sejarah Hukum itu ditentukan secara historis, berubah menurut waktu
dan tempat. Mazhab sejarah menitik beratkan pada jiwa bangsa (volkgeist), sehingga
hukum melalui proses yang perlahan-lahan sama halnya dengan bahasa. Sumber hukum
adalah perasaan keadilan yang instingtif yang dimiliki setiap bangsa. Jiwa bangsa yang
sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu menghasilkan hukum
positif.Tokoh : Friedrich Carl von Savigny
F. Realisme Aliran ini meninggalkan hukum yang abstrak kepada pekerjaan-
pekerjaan yang praktis untuk menyelesaikan praktik-praktik dalam masyarakat. Hukum
berubah-ubah dan diciptakan pengadilan, hukum sebagai sarana mencapai tujuan
sosial.Aliran ini berpandangan bahwa masyarakat lebih cepat berubah daripada hukum
Sepanjang sejarah hukum mulai dari zaman yunani atau romawi hingga dewasa
ini kita dihadapkan dengan berbagai teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri
telah terbukti bahwa hukum berkembang dalam masyarakat, ³Ibi ius ibi societas´
dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-
aliran filsafat hukum adalahsebagai berikut:
a. Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut: Mazhab
formalitas, Mazhab sejarah dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran
sociological yurisprudence dan Aliran realism hukum.
b. Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai
berikut;Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme,
Teori hukum murni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan
sosiologis.
c. Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengaruh saja adalah
sebagai berikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah,
Sociological jurisprudence, Pragmatic legal realism.
Adapun berbagai teori tentang hukum sebagai berikut:
1. Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang bersumber
dari Tuhan, ilsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh: teori plato/ aristoteles
dan Thomas Aquino.
a. Teori Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami
tentram
b. Teori Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum
positif) teori dualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia
adalah majikan dari alam
c. Teori Thomas Aquino : ³Summa Theologica´ dan ³De Regimene Principum´.
Membagi asas
Kata asas berasal dari bahasa Arab, yang artinya : dasar, alas, fundamen. Sedangkan
Asas Hukum Islam ialah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan hukum
.Islam
: Adapun asas-asas hukum Islam itu antara lain
Pemeliharaan Jiwa
Hukum islam wajib memlihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya dan hukum islam melarang pembunuhan (surat 17 ayat 33)
Pemeliharaan Akal
Dengan mempergunakan akalnya menusia dapat berpikir tentang Allah, alam
semesta dan dirinya sehingga manusia dapat mengembangkan IPTEK, oleh sebab
itu hukum islam melarang meminum minuman yang memabukan atau Khamar (Q.S :
5 ayat 90) dan menghukum setiap perbuatan yang merusak akal manusia.
Pemeliharaan Keturunan
Agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelangsungan keturunan dapat diteruskan
maka pemeliharaan keturunan wajib dilaksanakan dan hal tersebut tercermin dalam
hubungan darah menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi (Q.S : 4 ayat 11)
Pemeliharaan Harta
Harta merupakan pemberian Tuhan kepada manusia dengan tujuan agar dapat
mempertahankan hidup dan kelangsungan hidupnya, oleh karena itu hukum islam
melindungi manusia untuk ;
Mempertahankan harta
Melindungi kepentingan harta seseorang masyarakat dan negara dari penipuan (QS
4:29), penggelapan (QS.4:58), perampaan (QS.5:33), pencurian (QS.5:38), peralihan
harat seseorang setelah meninggal dunia (waris), peralihan harta sebelum
meninggal dunia (wakaf atau hibah), kejahatan-kejahatan harta orang lain baik
perdata maupun pidana.
Hukum Islam adalah hasil dari proses metode ijtihad (fikih) dalam mengistinbath
hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadis. Oleh karena itu, Allah menurunkan
hukum kepada manusia untuk mengatur tatanan kehidupan social sekaligus menegakkan
keadilan. Di samping itu juga, hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusia,
tanpa adanya hukum, maka manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa
.menghiraukan kebebasan orang lain
Tujuan Hukum Islam disyari’atkan ialah untuk mencapai kepada jalan yang lurus
guna keselamatan dan kebahagian hidup dengan jalan mengambil segala yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak segala yang mudharat (kerugian) dan yang
.membawa pada kemaslahatan (manfaat) umat manusia
Abstrak
Memfokuskan perhatian terhadap suatu karakter hukum islam tidaklah mudah bila kesan
pertama yang harus ditunjukkan adalah berpikir objektif. Walaupun harus diakui, realitas
subyektifitas pemahaman terhadap karakter bergantung dari sudut mana orang menilainya.
Seperti hal seseorang memperhatikan karakter manusia, ia akan menilai karakter-karakter umum
pada manusia dan yang khusus pada masing-masing. Demikian juga akan terjadi pada penilaian
orang terhadap karakter hukum apapun juga termasuk menyangkut karakter hukum Islam.
Karakter untuk suatu pengertian yang umum dan bebas adalah ciri khas tertentu yang
memungkinkan perbedaan dengan yang lainnya. Oleh karena ciri khas dapat dipastikan beberapa
yang menyifatinya menunjuk karakter yangs esungguhnya dari hukum Islam. Landasan picu
untuk menyatakan suatu karakter hukum adalah data faktual menyangkut hukum Islam, di
samping keterikatan bahasan-bahasan dimaksud banyak bersifat abstrak sesuai dengan model
filsafat hukum Islam.
Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut
terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam
semesta termasuk manusia.4[2] Firman Allah SWT ;
Filsafat telah ada pada Zaman Rasulullah SAW, saat Muadz ditugaskan sebagai
Hakim sekaligus seorang guru ke Negeri Yaman, Rasulullah SAW, bertanya kepada Mu’az
: . . . . . “ Dengan dasar apa kamu memutusakan perkara wahai Muadz?” Mu'adz r.a.
menjawab,: "Aku akan berijtihad mengoptimalkan akal pikiranku.". . . .Rasulullah saw.
pun membenarkan ucapan Mu'adz seraya berkata, "Segala puji hanya bagi Allah yang telah
".memberikan petunjuk-Nya kepada utusan Rasul-Nya
4
Islam memberikan kelonggaran/kemudahan (dispensasi) kepada umat Islam (hukum
rukhshah) pada saat mengahadapi keadaan darurat (terpaksa) atau hajat (keadaan yang
.memerlukan kelonggaran
.Sedikit Pembebanan .2
Islam itu bisa dilaksanakan tanpa banyak kesulitan, juga tidak banyak menyita tenaga
.dan waktu, baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah mu’amalah
.Bertahap dalam menetapkan hukum .3
Asas ini dapat terlihat ditetapkannya hukum-hukum dalam ibadah, seperti : Kewajiban
Shalat yang semula hanya 2 kali, yakni shalat pagi 2 raka’at dan sore 2 raka’at.
Kemudian setelah memasyarakat, barulah diperntahkan shalat 5 kali dalam waktu
.sehari semalam
.Sejalan dengan Kepentingan / Kemaslahatan Umat Manusia .4
Pembentukan dan pembinaan hukum Islam itu sejalan dengan kemaslahatan umat
Manusia. Oleh karena itu, sebagian hukum Islam ada yang dinasakh (dihapus/diubah).
Seperti halnya yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 106 yang
artinya : “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
”.dengannya
Mewujudkan Keadilan .5
Manusia menurut pandangan Islam adalah sama, baik dihadpan Allah maupun
dihadapan hukum. Tidak ada perbedaan karena keturunan, pangkat, kekayaan, atau
.kedudukan sosialnya
: Keadilan sendiri terbagi kedalam 3 macam yang antara lain
a. Keadilan Hukum ialah sistem hukum yang berlaku harus seragam (unifikasi) untuk
;seluruh warga Negara tanpa ada diskriminasi
b. Keadilan Sosial ialah memberi kesempatan yang sama terhadap setiap orang untuk
bekerja menurut kemampuan dan keahliannya, dan bagi mereka yang belum
mampu bekerja karena masih dibawah umur atau bagi mereka yang sudah tak
mampu bekerja karena sudah lanjut usianya atau cacat fisik dan mental dan
;sebagainya, maka mereka harus diberi bantuan untuk kebutuhan hidupnya
c. Keadilan dalam Pemerintahan ialah semua warga Negara mempunyai kedudukan
yang sama di dalam Pemerintahan, tidak ada diskriminasi kerena perbedaan bahasa,
.suku bangsa dan sebagainya
Kata Prinsip berarti asas yakni kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berfikir,
bertindak dan sebagainya. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum Islam ialah cita-
: cita yang menjadi pokok dasar dan landasan hukum Islam, yang antara lain
.Tauhid .1
Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa), ialah yang menghimpun seluruh umat manusia
.kepada Tuhan Yang Maha esa
.Berkomunikasi Langsung. Berkomunikasi langsung dengan Allah tanpa perantara .2
Menghargai Fungsi Akal .3
Menghargai fungsi akal, sehingga seseorang menjadi mukallaf (dibebani kewajiban)
.atau tidak tergantung kepada sehat/tidaknya akal pikirannya
.Menyempurnakan Iman .4
Menyempurnakan akidah/iman dengan akhlak yang mulia yang dapat membersihkan
.jiwa dan meluruskan kepribadian seorang
.Menjadikan Kewajiban untuk Membersihkan Jiwa .5
Menjadikan segala macam beban (kewajiban) agama demi memperbaiki dan
.mensucikan jiwa manusia dan bukan untuk menghancurkan dan menundukkan badan
.Memperhatikan Kepentingan Agama dan Dunia .6
.Memperhatikan kepentingan agama dan dunia dalam membuat hukum
.Persamaan dan Keadilan .7
Prinsip persamaan dan Keadilan, yang memperlakukan semua manusia sama dihadapan
Allah, dan diahadapan hukum dan pemerintahan. Tidak ada diskriminasi karena
perbedaan bangsa, suku, bangsa, bahasa, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, adat-
.istiadat, dan sebagainya
.Amar, Ma’ruf Nahi Munkar .8
.Prinsip amar ma’ruf (mengajak kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kejahatan)
.Musyawarah .9
Prinsip Musyawarah merupakan sdalah satu prinsip hukum Islam yang penting, karena
melalui musyawarah para ulama dapat mencapai, kesepakatan mengenai hukum suatu
masalah, yang disebut ijma’ bayani dan ijma itu merupakan salah satu sumber hukum
.Islam yang penting
.Toleransi.10
Prinsip toleransi yang menjamin kemerdekaan dan kebebasan beragama dan
kepercayaan, dan menjamin kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaan
.masing-masing
.Kemerdekaan dan Kebebasan.11
Prinsip kemerdekaan dan kebebasan, baik mengenai keyakinan /kepercayaana
.kehendak, pendapat/pikiran
.Hidup Gotong royong.12
Prinsip hidup gotong royong dalam masyarakat, dan dengan prinsip ini, Islam
mewajibkan orang kaya mengeluarkan zakat harta bendanya untuk diberikan kepada
mustahiq-nya, terutama fakir miskin. Zakat itu merupakan hak fakir miskin dan
mustahiqin lainnya, sehingga kalau si kaya tidak mau memberikan zakatnya,
Pemerintah berhak mengambilnya secara paksa untuk diteruskan kepada para
.mustahiqnya
Objek Praktis (Falsafat Syari’ah) : Filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi hukum
Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan sebagainya. Filsafat ini bertugas
membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian Falsafat
Syari’ah adalah:
Pembahasan filsafat hukum Islam dalam hal ini, bukan membahas materi filsafat,
melainkan materi hukum Islam yang dikaji secara filosofis. Muatan filsafat yang
terkandung dalam filsafat Hukum Islam bertumpu pada empat tujuan mendasar, yaitu :
1. Agar landasan Filsafat Hukum Islam yang berkaitan dengan ubudiyah, mu’amalah,
siyasah, dan jinayah dapat dipahami secara mendalam.
2. Semua aspek yang berkaitan dengan hukum Islam hakikatnya ditemukan melalui
pemahaman ontologis;
3. Asal muassal hukum Islam secara epistimologis dapat dilukiskan secara rasional,
sistematis dan radikal; dan
4. Fungsionalisasi hukum secara pragmatis maupun realistis merupakan bagian dari
prilaku umat Islam yang menjalankan kaidah-kaidah normatif dalam hukum Islam.
c. Kegunaan Filsafat Hukum Islam
a.
Secara prinsip, filsafat hukum Islam bersumber kepada Alquran dan Sunnah, maka
pertumbuhan filsafat hukum Islam akan seiring dengan pertumbuhan hukum islam itu sendiri
kendati secara term ilmiah istilah filsafat itu baru ditemukan pada masa terjadinya
persintuhan budaya Yunani dengan Islam pada abad ke-dua Hijriyah.
Pandangan seperti ini akan didukung lagi dengan konsep ijtihad yang sangat menghargai
penggunaan akal sehat untuk mendapatkan suatu keputusan hukum. Seperti yang terjadi pada
masa Rasulullah Saw. ketika mengutus Mu'az bin Jabal ke Yaman.
ور َك أَْنبَأَنَا َع ْب ُد اللَّ ِه بْ ُن َج ْع َف ٍرَ ُس ِن بْ ِن ف َ ْحَ أَ ْخَب َرنَا أَبُو بَ ْك ٍر ُم َح َّم ُد بْ ُن ال-
ُيب َح َّد َثنَا أَبُو َد ُاو َد الطَّيَالِ ِس ُّى َح َّد َثنَا ُش ْعبَة ٍ ِص َب َهانِ ُّى َح َّد َثنَا يُ ونُس بْ ُن َحب
ُ ْ َاأل
ابِ َص َح ْ ِّث َع ْن أ ُ ث بْ َن َع ْم ٍرو يُ َحد َ ْحا ِر
َ ت ال ُ ال َس ِم ْعَ َالث َق ِف ُّى ق
َّ أَ ْخَب َرنِى أَبُو َع ْو ٍن
ص لى اهلل- ول اللَّ ِه َّ أ: اذ ٍ ال م َّرةً َعن مع ِ ٍِ
َ َن َر ُس َُ ْ َ َ َال َوق َ َص ق َ ُم َع اذ م ْن أ َْه ِل ح ْم
ض َ ض ى إِ َذا َع َر ِ ف َت ْقَ « َك ْي: ُال لَ ه َ َث ُم َع ا ًذا إِلَى الْيَ َم ِن ق َ لَ َّما َب َع-عليه وس لم
ابِ َ« فَ ِإ ْن لَ ْم تَ ِج ْدهُ فِى كِت: ال َ َ ق.اب اللَّ ِه ِ َض ى بِ ِكت ِ ْ أَق: ال َ َ ق.» ض اءٌ؟ َ َك قَ َل
«: ال َ َ ق.-ص لى اهلل عليه وس لم- ول اللَّ ِه ِ ض ى بِس ن َِّة ر ُس
َ ُ
ِ ْ أَق: ال َ َ ق.» اللَّ ِه؟
: ال َ َ ق.َجتَ ِه ُد بِ َرأْيِى الَ آلُو ْ أ: ال َ َ ق.» ول اللَّ ِه ِ فَ ِإ ْن لَم تَ ِج ْدهُ فِى ُس ن َِّة ر ُس
َ ْ
ول اللَّ ِهِ ول ر ُس س ر ق َّ
ف و ى ذِ َّ« الْحم ُد للَّ ِه ال: ال ق و ى ِ
ر د ص ى ِض رب بِي ِد ِه ف
َ َ ُ َ ََ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َف
.» ول اللَّ ِهَ ضى َر ُس ِ لِما ير
ُْ َ
Hal ini sama dengan pola filsafat mencari sebuah kebenaran yaitu menggunakan akal dan
fikiran yang sehat. Pemikiran Falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya bermula pada
masa Umar Ibn al-Khattab yang dikenal dalam berbagai istilah seperti Umar dan perubahan
hukum, Pembaharuan hukum Umar bin Khattab. Filsafat Hukum: Pola Berpikir Dari
Bawah ke Atas (Induktif)
Filsafat Islam
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah
perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf
muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun
kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila
dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.'
اهلل صلى اهلل ِ ول ِ ال لََق ْد َن َف َعنِي اللَّهُ بِ َكلِم ٍة َس ِم ْع ُت َها ِم ْن ر ُس َ ََع ْن أَبِي بَ ْك َر َة ق
َ َ
ْج َم ِل فَأُقَاتِ َل
َ اب ال ِ َص َح ْ ْح َق بِأ َ ت أَ ْن أَلُ ْج َم ِل َب ْع َد َما كِ ْد
َ عليه وس لم أَيَّ َام ال
ِ ول
س قَ ْد َ َن أ َْه َل فَ ا ِر َّ اهلل ص لى اهلل عليه وس لم أ َ لَ َّما َبلَ َغ َر ُس: ال َ ََم َع ُه ْم ق
َ ِال لَ ْن ُي ْفل
.ًح َق ْو ٌم َولَّ ْوا أ َْم َر ُه ُم ْام َرأَة َ َت كِ ْس َرى ق َ َملَّ ُكوا َعلَْي ِه ْم بِْن
Prinsip :
1. Tauhid
2. Keadilan/keseimbangan atau mederat
3. amar makruf nahi mungkar
4. Kemerdekan dan kebebasan
5. persamaan/ egalitet
6. tolong menolong
7. toleransi/ rukun dandamai
Tujuan Hukum
a. tujun pokok (darurat )
b. tujuan sekunder (hajiat)
c. tujuan tertier ( tahsiniyat)