PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas putusan pengadilan
1
Elimartati, Bunga Rampai Perkawinan DiIndonesia ( Batusangkar: STAIN Batusangkar
Press, 2013), h. 49.
2
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h.229.
2
fasakh, khiyar, syiqaq, nusyuz, ila’, dzihar, dan li’an. As-Sarakshi juga
menuliskan sebab-sebab perceraian adalah talak, khulu’, ila’, dan dzihar.3
C. Penyebab Perceraian
1. Perzinaan
Yang dimaksud perzinaan Menurut ajaran Islam ialah
bercampurnya pria dengan wanita yang bersetubuh tidak dalam ikatan
perkawinan yang sah, baik hal itu dilakukan antara pria dan wanita
yang sudah atau sedang dalam ikatan perkawinan, maupun antara pria
dan wanita yang belum ada ikatan perkawinan.
2. Tidak memberi nafkah
Apabila suami tidak memberi nafkah zohir bathin kepada isteri
dalam waktu yang lama, artinya suami tidak membeti biaya hidup dan
tidak menggauli isterinya sebagai isteri, sedangkan isteri sudah cukup
sabar menanti-nanti, maka keadaan demikian dapat dijadikan alasan
bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya.
3. Penganiayaan
Apabila tindakan suami melampaui batas, sehingga
membahayakan bagi kehidupan isteri, maka dengan kemufakatan
bersama diantara anggota kerabat, isteri harus berpisah tempat dari
suami dan kerabat berkewajiban mendamaikan dan merukunkan
kembali rumah tangga yang berselisih itu. Kecuali apabila kerabat
sudah tidak berhasil merukunkan mereka kembali, maka terpaksa
diluluskan untuk terjadinya perceraian.
4. Cacat tubuh/kesehatan
Termasuk pengertian cacat tubuh atau terganggunya kesehatan
suami/isteri ialah isteri mandul, suami lemah syahwat (impoten),
berpenyakit berat yang sulit disembuhkan, kurang akal (gila), cacat
tubuh (buta, bisu, dll) dan penyakit yang menyebabkan tidak
mendapat keturunan, sehingga kehidupan rumah tangga menjadi
3
Mardani, Hukum Perkawianan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h.28.
3
terganggu, maka kesemuanya itu dapat merupakan alasan terjadinya
perceraian.
5. Perselisihan
Misalkan Perselisihan dikarenakan penyakit cemburu yang
berlebihlebihan, tidak ada keseimbangan dalam mengurus kehidupan
rumah tangga, bertolak belakang dalam berfikir dan bertindak sebagai
suami isteri karena tidak setaraf, dan lain-lain dan mungkin juga
akibat perselisihan yang menyangkut adat kekerabatan.4
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya (Bandung : C.V Aditya Bakti, 2003), h. 172-176.
4
Kata cerai boleh diberika secara lisan, atau dalam bentuk tulisan,
tetapi ia harus diketahui oleh beberapa sanksi sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an bahwa bila mereka telah melewati jangka waktu
tertentu maka rujuklah mereka dengan baik atau pisahkan mereka
dengan baik pula, dan panggillah dua orang sanksi lelaki yang adil
diantara kamu sekalian serta menyatakan kesaksiannya atas nama
Allah. Kata apapun yang dipergunakan untuk perceraian itu, namun ia
harus mengandung “tujuan” yang tegas bahwa ikatan perkawinan itu
akan diputuskan.5
5
Abdul Rahman I, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996),
h.86-87.
5
Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada istri yang
menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu
dilanjutkan. 6
2. Menurut Perundang-Undangan
a. Cerai Talak (permohonan)
Pasal 129 KHI menyebutkan, “Seseorang yang akan
menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu”
Cerai talak diajukan oleh pihak suami memohon untuk
diizinkan menjatuhkan talak terhadap isterinya disertai dengan
lasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan
sidang untuk keperluan itu. Terhadap n permohonan tersebut
pengadilan agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan,
dan terhadap keputusan tersebut dapat dimintakan upaya hukum
banding dan kasasi. Upaya mendamaikan kedua belah pihak selain
ditempuh sebelum persidangan dimulai, yang disebut dengan
mediasi, setiap kali persidangan tidak tertutup kemungkinan untuk
mendamaikan mereka. Karena biasanya persidangan semacam ini,
tidak bisa diselesaikan dalam satu kali persidangan. Tapi kalau
tetap tidak bisa didamaikan maka pengadilan mengabulkn
permohonan tersebut.
b. Cerai Gugat
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006) , h.197.
6
Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon
agar pengadilan agama memutuskan perkawinan pengugat. Dalam
perkara gugat dapat mengajukan provisi, begitu pula suami yang
mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi
tentang hal-hal yang sudah diatur. Pemeriksaan cerai gugat,
pengadilan agama sedapat mungkin berupaya untuk mengetahui
jenis pekerjaan dan pendidikan suami, agar dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam menetapkan nafkah.
Apabila tergugat tidak hadir di persidangan dan perkara akan
diputus dengan vestek, pengadilan harus melakukan sidang
pembuktian mengenai yang kebenaran adanya alasan perceraian
yang didalilkan oleh pengungat. 7
E. Bentuk-Bentuk Perceraian
a. Talak
1) Pengertian
Secara bahasa berasal dari kata “ithlaq” yang berarti
melepaskan atau meninggalkan. Menurut istilah syara’ talak yaitu
melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.
7
Elimartati, Bunga ..., h. 49.
7
“ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)[1481] dan hitunglah waktu
iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru.”
3) Macam-macam Talak
Apabila talak sudah dapat dielakkan lagi, Islam
mengajurkan agar suami menjatuhkan talak dalam bentuk berikut:
a) Talak Sunni
Ialah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya
dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, yang
kemudian suci itu suami istri tidak mengadakan hubungan
kelamin (bersetubuh).
b) Talak Bid’i
Ialah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya
dalam keadaan suci, yang keadaan suci itu suami istri telah
bersetubuh.
4) Bentuk-bentuk talak
a) Talak Raj’i
Ialah talak satu atau talak dua tanpa iwadh (penebus
talak) yang dibayar istri kepada suami yang dalam masa
iddah suami dapat merujuk kembali (tanpa akad) kepada
istrinya.
b) Talak Bain Sugra
Ialah talak satu atau talak dua disertai dengan iwadh
(penebus talak) dari istri kepada suami yang dengan akad
nikah baru suami dapat kembali kepada bekas istrinya.
c) Talak Bain Kubra
8
Ialah talak tiga (dilakukan sekaligus atau berturut-
turut) suami tidak dapat memperistrikan lagi bekas istrinya
kecuali bekas istrinya tersebut telah kawin dengan laki-laki
lain yang kemudian bercerai setelah mengadakan hubungan
kelamin dan masa iddahnya.8
b. Khulu’
1) Pengertian
Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-’a yang berasal dari
bahasa Arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka
pakaian. Dihubungkannya kata khulu’ dengan perkawinan karena
dalam Al-Qur’an disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 187 :
8
Mardani, Hukum ..., h.29
9
2) Hukum Khulu’
Khulu’ itu perceraian dengan kehendak istri. Hukumnya
menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari
kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an dan terdapat pula dalam
hadis Nabi; telah berlaku secara umum baik sebelum datangnya
Nabi maupun sesudahnya.
3) Akibat Khulu’
Dalam hal akibat khulu’, terdapat persoalan apakah
perempuan yang menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau
tidak. Imam Malik berpendapat bahwa khulu’ itu tidak dapat
diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung.
Sedangkan Imam Hanafi mengatakan bahwa khulu’ dapat diikuti
dengan talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu
dilakukan dengan segera atau tidak.
c. Fasakh
1) Pengertian
Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha
yang secara etimologi berarti membatalkan. Bila dihubungkan kata
ini dengan perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau
merusak perkawinan.
Dalam arti etimologis ditemukan beberapa rumusan yang
hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam
KBBI, berikut : “Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan
Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat
dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah
terlanjur menyalahi hukum pernikahan.”
2) Dasar Hukum Fasakh
Dalam surat al-Baqarah ayat 280 :
10
“ dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.”
3) Hukum
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh,
tidak disuruh dan tidak pula dilarang; namun bila melihat kepada
keadaan dan bentuk tertentu hukumnya sesuai dengan keadaan dan
bentuk tertentu itu, yang akan dijelaskan kemudian.9
4) Akibat Fasakh
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan
ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka
hal itu mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.10
d. Zhihar
1) Pengertian
Kata zhihar adalah kata dalam bahasa Arab yang secara arti
kata berarti “punggung”. Digunakan kata “punggung” dan bukan
anggota badan lainnya untuk keperluan zhihar ini karena kata itu
digunakan untuk suatu yang dikendarai atau diracak. Istri dalam
pandangan ini adalah sesuatu yang dipimpin oleh laki-laki, yaitu
suaminya. Yang dipimpin itu disamakan dengan yang diracak,
sehingga lebih tepatlah kata ini digunakan untuk maksud zhihar.
2) Dasar Hukum
Dalam surat al-Mujadilah ayat 2 :
“orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri
9
Amir, Hukum ..., h.231- 244.
10
Tihami, Fikih..., h.314.
11
mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita
yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-
sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
3) Hukum
Ulama sepakat menyatakan bahwa hukum zhihar itu adalah
haram. Yang menjadi dasar dari haram itu dapat dilihat dari 2 segi:
pertama, kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang
menyamakan istrinya dengan ibunya. Kedua, dari segi sanksi dan
ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah terhadap pelakunya
yang melanggar.
4) Akibat
Bila suami telah mengucapkan ucapan zhihar kepada
istrinya dan semuanya telah memenuhi syarat, maka selanjutnya
suami tidak boleh menggauli istrinya sampai ia membayar
kaffarah.
e. Ila’
1) Pengertian
‘ila’ berasal dari bahasa Arab yang secara arti kata berarti
“tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” atau
“sumpah”. Dalam artian definitif terdapat beberapa rumusan yang
hampir atau berdekatan maksudnya.
2) Dasar Hukum
Dalam surat al –Maidah 89
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
12
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh
orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya
agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
3) Hukum
Dalam pandangan Islam Ila’ tersebut adalah perbuatan
yang terlarang karena menyalahi hakikat dari perkawinan untuk
mendapatkan ketenangan hidup, kasih sayang, dan rahmat. Tentang
tingkat dosa bagi yang melanggar larangan tersebut menurut ulama
Syafi’iyah adalah dosa besar, sedangkan menurut uama lain di
antaranya al-Khathib berpendapat dosa orang yang meng-ila’ istri
itu adalah dosa kecil.
4) Akibat
Bila telah selesai suami mengucapkan ila’ terhadap istrinya,
sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an suami
diberi tenggang waktu selama empat bulan.
f. Li’an
1) Pengertian
Li’an adalah lafaz dalam bahasa Arab yang berasal dari akar
kata laa-a’-na’, yang secara harfiah berarti “saling melaknat”. Cara
ini disebut dalam term li’an karena dalam prosesinya tersebut kata
“laknat” tersebut. Di antara definisi yang mudah dipahami adalah:
“Sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan
dia tidak mampu mendatangkan empat orang sanksi”.
2) Dasar Hukum
13
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-
baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
3) Hukum
Hukum li’an bagi suami yang yakin atau berat dugaannya
akan kebenaran tuduhannya adalah mubah atau boleh. Namun bila
suami tidak kuat dugaannya atas kebenaran tuduhannya itu, maka
hukum li’an itu baginya adalah haram.11
4) Akibat
Pelaksanaan hukum li’an sangat memberatkan dan
menekan perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang sedang
dalam perkara li’an ini. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-
masing, terutama setelah mereka berada dalam ketenangan
berpikir.12
1. Iddah
a. Pengertian ‘Iddah
Kata ‘Iddah berasal dari bahasa Arab “Al-‘Adad” berati
bilangan,13 dan dalam Syariat Iddah berarti masa menunggu bagi
wanita setelah ia bercerai dari suaminya, baik cerai hidup maupun
cerai mati, hingga jelas isteri tadi hamil atau tidaknya. Dan
didalam masa itu dia tidak diperbolehkan kawin dengan orang lain
sebelum masa itu habis.
b. Dasar Hukum Iddah
11
Amir, Hukum..., h. 259-293.
12
Tihami, Fikih..., h.317.
13
Abdul, Perkawinan ..., h. 120.
14
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah
dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
c. Macam-macam i’ddah :
1) Cerai Hidup
a) Tidak hamil, apabila isteri yang dicerai itu tidak hamil,
maka ‘iddahnya ialah tiga kali suci (tiga kali haid).
b) Hamil, apabila isteri yang diceraikan itu hamil, maka
‘iddahnya ialah hingga melahirkan kandungannya.
2) Cerai Mati
a) Tidak hamil, apabila isteri yang ditinggalkan mati suaminya
tidak hamil, maka ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari.
b) Hamil, apabila isteri yang ditinggal mati suaminya itu
hamil, maka ‘iddahnya ialah hingga melahirkan
kandungannya.
15
Bila isteri yang dicerai itu dalam ‘iddah Thalaq Raj’i maka
pada masa ‘iddah ini suami madih diwajibkan :
1) Memberi tempat
2) Memberi nafkah
3) Memberi pakaian terhadap bekas isterinya
14
Dja’far Amir, Ilmu Fiqih (Surakarta:C.V Ramadhani, 1986), h.292-296 .
16
seorang suami telah menjatuhkan talaq tiga kali, maka setelah itu ia
tidak boleh ruju’ lagi kepada isterinya.15
15
Dja’far, Ilmu..., h.284-286.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
18
Berdasarkan pembahasan yang sudah ada beserta kesimpulan kami
dari penulis berharap kepada pembaca agar pembahasan dalam makalah
ini dapat menambah ilmu pembaca khususnya bagi penulis itu sendiri.
19