Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan dalam Hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,


melainkan ikatan suci (misaqan galiza) yang terkait dengan keyaninan dan
keimanan kepada Allah. Perkawinan merupakan salah satu dimensi
ibadah, untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa
abadi dan apa yang menjadi tujuan dalam perkawinan terwujud. Di dalam
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974  dinyatakan
”Perkawinan ialah lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan  tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”.
Tetapi sering kali terjadi apa yang menjadi tujuan perkawinan
kandas diperjalanan. Perkawinan harus putus ditengah jalan. Sebenarnya
putusnya perkawinan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad
nikah adalah ikatan. Konsekuensinya ia dapat lepas yang kemudian dapat
disebut dengan talak. Makna dasar dari talak itu adalah melepaskan ikatan
atau melepaskan perjanjian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang diatas dapat diambil Rumusan Masalah :

1. Apakah Sebab-sebab Putusnya Ikatan Perkawinan ?


2. Apakah Penyebab Perceraian ?
3. Bagaimana Prosedur dan Tata Cara Perceraian Menurut Fiqih dan
Perundang-Undangan ?
4. Bagaimana Bentuk-Bentuk Perceraian ?
5. Apakah Iddah dan Rujuk dalam perceraian ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Putusnya Perkawinan

Putusnya perkawinan merupakan istilah hukum yang digunakan


dalam UU perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya
hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang
selama hidup sebagai suami isteri.

Penggunaan istilah putusnya perkawinan ini harus dilakukan secara


hati-hati, karena dalam istilah fiqih digunakan kats “bain” yaitu satu
bentuk perceraian yang suami tidak bolek kembali lagi kepada mantan
istrinya kecuali melalui akad nikah yang baru.1

B. Sebab-sebab Putusnya Ikatan Perkawinan

Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal,


antara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap
istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena
sebab-sebab lain.2 Menurut Kompilasi Hukum Islam putusnya hubungan
perkawinan dikarenakan :

1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas putusan pengadilan

Menurut Imam Malik sebab-sebab putusnya perkawinan adalah


talak, khulu’, khiyar/fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, dan dzihar. Imam Syafi’i
menuliskan sebab-sebab putusnya perkawianan adalah talak, khulu’,

1
Elimartati, Bunga Rampai Perkawinan DiIndonesia ( Batusangkar: STAIN Batusangkar
Press, 2013), h. 49.
2
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h.229.

2
fasakh, khiyar, syiqaq, nusyuz, ila’, dzihar, dan li’an. As-Sarakshi juga
menuliskan sebab-sebab perceraian adalah talak, khulu’, ila’, dan dzihar.3

C. Penyebab Perceraian
1. Perzinaan
Yang dimaksud perzinaan Menurut ajaran Islam ialah
bercampurnya pria dengan wanita yang bersetubuh tidak dalam ikatan
perkawinan yang sah, baik hal itu dilakukan antara pria dan wanita
yang sudah atau sedang dalam ikatan perkawinan, maupun antara pria
dan wanita yang belum ada ikatan perkawinan.
2. Tidak memberi nafkah
Apabila suami tidak memberi nafkah zohir bathin kepada isteri
dalam waktu yang lama, artinya suami tidak membeti biaya hidup dan
tidak menggauli isterinya sebagai isteri, sedangkan isteri sudah cukup
sabar menanti-nanti, maka keadaan demikian dapat dijadikan alasan
bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya.
3. Penganiayaan
Apabila tindakan suami melampaui batas, sehingga
membahayakan bagi kehidupan isteri, maka dengan kemufakatan
bersama diantara anggota kerabat, isteri harus berpisah tempat dari
suami dan kerabat berkewajiban mendamaikan dan merukunkan
kembali rumah tangga yang berselisih itu. Kecuali apabila kerabat
sudah tidak berhasil merukunkan mereka kembali, maka terpaksa
diluluskan untuk terjadinya perceraian.
4. Cacat tubuh/kesehatan
Termasuk pengertian cacat tubuh atau terganggunya kesehatan
suami/isteri ialah isteri mandul, suami lemah syahwat (impoten),
berpenyakit berat yang sulit disembuhkan, kurang akal (gila), cacat
tubuh (buta, bisu, dll) dan penyakit yang menyebabkan tidak
mendapat keturunan, sehingga kehidupan rumah tangga menjadi
3
Mardani, Hukum Perkawianan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h.28.

3
terganggu, maka kesemuanya itu dapat merupakan alasan terjadinya
perceraian.
5. Perselisihan
Misalkan Perselisihan dikarenakan penyakit cemburu yang
berlebihlebihan, tidak ada keseimbangan dalam mengurus kehidupan
rumah tangga, bertolak belakang dalam berfikir dan bertindak sebagai
suami isteri karena tidak setaraf, dan lain-lain dan mungkin juga
akibat perselisihan yang menyangkut adat kekerabatan.4

D. Prosedur dan Tata Cara Perceraian Menurut Fiqih dan Perundang-


Undangan

1. Tata Cara Perceraian Menurut Fiqih


Dalam syariat tidak ada dibentangkan suatu prosedur sebelum
terjadinya perceraian, seperti usaha mendamaikannya kembali bilamana
memungkinkan. Tetapi kalau semua upaya untuk merukunkan kembali
dan membentuk hubungan yang baik diantara kedua pasangan hidup
itu. ternyata gagal, dan kedua suami istri itu menggangap tak mungkin
untuk hidup bersama lebih lama lagi, maka tak ada belenggu
memuakkan yang memaksa mereka agar tetap bersama. Mereka boleh
berpisah dengan baik dan masing-masingnya boleh mencari pasangan
lain lagi yang cocok dengan mmembina suatu hubungan perkawinan
yang baru.
Syariat hanya mengizinkan menceraikan seorang atau beberapa
istri dalam keadaan tertentu. Seorang muslim hanya dapat menceraikan
istrinya sebanyak dua kali dan dalam tempo yang berbeda yang
memungkinkan mereka berdamai dan rujuk kembali, namun setelah
semua upaya mendamaikan tak berhasil, maka dalam perceraian ketiga
mereka tak boleh rujuk kembali.

4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya (Bandung : C.V Aditya Bakti, 2003), h. 172-176.

4
Kata cerai boleh diberika secara lisan, atau dalam bentuk tulisan,
tetapi ia harus diketahui oleh beberapa sanksi sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an bahwa bila mereka telah melewati jangka waktu
tertentu maka rujuklah mereka dengan baik atau pisahkan mereka
dengan baik pula, dan panggillah dua orang sanksi lelaki yang adil
diantara kamu sekalian serta menyatakan kesaksiannya atas nama
Allah. Kata apapun yang dipergunakan untuk perceraian itu, namun ia
harus mengandung “tujuan” yang tegas bahwa ikatan perkawinan itu
akan diputuskan.5

Cerai dalam Fiqih disebab karena 4 hal :


a. Kematian
Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui
matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan
sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.
b. Perceraian (talak)
Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan
tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan
tertentu.
c. Khulu’
Putusnya perkawinan atas kehendak si istri melihat sesuatu
yang menghendaki putunya perkawinan, sedangkan si suami
tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya
perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu ini
diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk
memutuskan perkawinan.
d. Fasakh

5
Abdul Rahman I, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996),
h.86-87.

5
Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada istri yang
menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu
dilanjutkan. 6

2. Menurut Perundang-Undangan
a. Cerai Talak (permohonan)
Pasal 129 KHI menyebutkan, “Seseorang yang akan
menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu”
Cerai talak diajukan oleh pihak suami memohon untuk
diizinkan menjatuhkan talak terhadap isterinya disertai dengan
lasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan
sidang untuk keperluan itu. Terhadap n permohonan tersebut
pengadilan agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan,
dan terhadap keputusan tersebut dapat dimintakan upaya hukum
banding dan kasasi. Upaya mendamaikan kedua belah pihak selain
ditempuh sebelum persidangan dimulai, yang disebut dengan
mediasi, setiap kali persidangan tidak tertutup kemungkinan untuk
mendamaikan mereka. Karena biasanya persidangan semacam ini,
tidak bisa diselesaikan dalam satu kali persidangan. Tapi kalau
tetap tidak bisa didamaikan maka pengadilan mengabulkn
permohonan tersebut.

b. Cerai Gugat

6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006) , h.197.

6
Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon
agar pengadilan agama memutuskan perkawinan pengugat. Dalam
perkara gugat dapat mengajukan provisi, begitu pula suami yang
mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi
tentang hal-hal yang sudah diatur. Pemeriksaan cerai gugat,
pengadilan agama sedapat mungkin berupaya untuk mengetahui
jenis pekerjaan dan pendidikan suami, agar dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam menetapkan nafkah.
Apabila tergugat tidak hadir di persidangan dan perkara akan
diputus dengan vestek, pengadilan harus melakukan sidang
pembuktian mengenai yang kebenaran adanya alasan perceraian
yang didalilkan oleh pengungat. 7

E. Bentuk-Bentuk Perceraian

a. Talak
1) Pengertian
Secara bahasa berasal dari kata “ithlaq” yang berarti
melepaskan atau meninggalkan. Menurut istilah syara’ talak yaitu
melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.

2) Dasar hukum talak


Firman Allah dalam surat Thalaq ayat 1 :
      
  
         
          
 
           
 

7
Elimartati, Bunga ..., h. 49.

7
“ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)[1481] dan hitunglah waktu
iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru.”

3) Macam-macam Talak
Apabila talak sudah dapat dielakkan lagi, Islam
mengajurkan agar suami menjatuhkan talak dalam bentuk berikut:
a) Talak Sunni
Ialah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya
dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, yang
kemudian suci itu suami istri tidak mengadakan hubungan
kelamin (bersetubuh).
b) Talak Bid’i
Ialah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya
dalam keadaan suci, yang keadaan suci itu suami istri telah
bersetubuh.
4) Bentuk-bentuk talak
a) Talak Raj’i
Ialah talak satu atau talak dua tanpa iwadh (penebus
talak) yang dibayar istri kepada suami yang dalam masa
iddah suami dapat merujuk kembali (tanpa akad) kepada
istrinya.
b) Talak Bain Sugra
Ialah talak satu atau talak dua disertai dengan iwadh
(penebus talak) dari istri kepada suami yang dengan akad
nikah baru suami dapat kembali kepada bekas istrinya.
c) Talak Bain Kubra

8
Ialah talak tiga (dilakukan sekaligus atau berturut-
turut) suami tidak dapat memperistrikan lagi bekas istrinya
kecuali bekas istrinya tersebut telah kawin dengan laki-laki
lain yang kemudian bercerai setelah mengadakan hubungan
kelamin dan masa iddahnya.8

b. Khulu’
1) Pengertian
Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-’a yang berasal dari
bahasa Arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka
pakaian. Dihubungkannya kata khulu’ dengan perkawinan karena
dalam Al-Qur’an disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 187 :
         
 
         
       
 
        
  
          

         
 
      

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa


bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian
bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115]
dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

8
Mardani, Hukum ..., h.29

9
2) Hukum Khulu’
Khulu’ itu perceraian dengan kehendak istri. Hukumnya
menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari
kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an dan terdapat pula dalam
hadis Nabi; telah berlaku secara umum baik sebelum datangnya
Nabi maupun sesudahnya.
3) Akibat Khulu’
Dalam hal akibat khulu’, terdapat persoalan apakah
perempuan yang menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau
tidak. Imam Malik berpendapat bahwa khulu’ itu tidak dapat
diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung.
Sedangkan Imam Hanafi mengatakan bahwa khulu’ dapat diikuti
dengan talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu
dilakukan dengan segera atau tidak.

c. Fasakh
1) Pengertian
Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha
yang secara etimologi berarti membatalkan. Bila dihubungkan kata
ini dengan perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau
merusak perkawinan.
Dalam arti etimologis ditemukan beberapa rumusan yang
hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam
KBBI, berikut : “Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan
Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat
dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah
terlanjur menyalahi hukum pernikahan.”
2) Dasar Hukum Fasakh
Dalam surat al-Baqarah ayat 280 :
          

     

10
“ dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.”

3) Hukum
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh,
tidak disuruh dan tidak pula dilarang; namun bila melihat kepada
keadaan dan bentuk tertentu hukumnya sesuai dengan keadaan dan
bentuk tertentu itu, yang akan dijelaskan kemudian.9
4) Akibat Fasakh
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan
ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka
hal itu mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.10

d. Zhihar
1) Pengertian
Kata zhihar adalah kata dalam bahasa Arab yang secara arti
kata berarti “punggung”. Digunakan kata “punggung” dan bukan
anggota badan lainnya untuk keperluan zhihar ini karena kata itu
digunakan untuk suatu yang dikendarai atau diracak. Istri dalam
pandangan ini adalah sesuatu yang dipimpin oleh laki-laki, yaitu
suaminya. Yang dipimpin itu disamakan dengan yang diracak,
sehingga lebih tepatlah kata ini digunakan untuk maksud zhihar.
2) Dasar Hukum
Dalam surat al-Mujadilah ayat 2 :
         

        
  
    
“orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri
9
Amir, Hukum ..., h.231- 244.
10
Tihami, Fikih..., h.314.

11
mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita
yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-
sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”

3) Hukum
Ulama sepakat menyatakan bahwa hukum zhihar itu adalah
haram. Yang menjadi dasar dari haram itu dapat dilihat dari 2 segi:
pertama, kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang
menyamakan istrinya dengan ibunya. Kedua, dari segi sanksi dan
ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah terhadap pelakunya
yang melanggar.
4) Akibat
Bila suami telah mengucapkan ucapan zhihar kepada
istrinya dan semuanya telah memenuhi syarat, maka selanjutnya
suami tidak boleh menggauli istrinya sampai ia membayar
kaffarah.

e. Ila’
1) Pengertian
‘ila’ berasal dari bahasa Arab yang secara arti kata berarti
“tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” atau
“sumpah”. Dalam artian definitif terdapat beberapa rumusan yang
hampir atau berdekatan maksudnya.
2) Dasar Hukum
Dalam surat al –Maidah 89
        

        

         
    
       
   
   
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu

12
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh
orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya
agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”

3) Hukum
Dalam pandangan Islam Ila’ tersebut adalah perbuatan
yang terlarang karena menyalahi hakikat dari perkawinan untuk
mendapatkan ketenangan hidup, kasih sayang, dan rahmat. Tentang
tingkat dosa bagi yang melanggar larangan tersebut menurut ulama
Syafi’iyah adalah dosa besar, sedangkan menurut uama lain di
antaranya al-Khathib berpendapat dosa orang yang meng-ila’ istri
itu adalah dosa kecil.
4) Akibat
Bila telah selesai suami mengucapkan ila’ terhadap istrinya,
sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an suami
diberi tenggang waktu selama empat bulan.
f. Li’an
1) Pengertian
Li’an adalah lafaz dalam bahasa Arab yang berasal dari akar
kata laa-a’-na’, yang secara harfiah berarti “saling melaknat”. Cara
ini disebut dalam term li’an karena dalam prosesinya tersebut kata
“laknat” tersebut. Di antara definisi yang mudah dipahami adalah:
“Sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan
dia tidak mampu mendatangkan empat orang sanksi”.
2) Dasar Hukum
      
 

13
        
 
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-
baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”

3) Hukum
Hukum li’an bagi suami yang yakin atau berat dugaannya
akan kebenaran tuduhannya adalah mubah atau boleh. Namun bila
suami tidak kuat dugaannya atas kebenaran tuduhannya itu, maka
hukum li’an itu baginya adalah haram.11
4) Akibat
Pelaksanaan hukum li’an sangat memberatkan dan
menekan perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang sedang
dalam perkara li’an ini. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-
masing, terutama setelah mereka berada dalam ketenangan
berpikir.12

F. Iddah dan Rujuk

1. Iddah
a. Pengertian ‘Iddah
Kata ‘Iddah berasal dari bahasa Arab “Al-‘Adad” berati
bilangan,13 dan dalam Syariat Iddah berarti masa menunggu bagi
wanita setelah ia bercerai dari suaminya, baik cerai hidup maupun
cerai mati, hingga jelas isteri tadi hamil atau tidaknya. Dan
didalam masa itu dia tidak diperbolehkan kawin dengan orang lain
sebelum masa itu habis.
b. Dasar Hukum Iddah
11
Amir, Hukum..., h. 259-293.
12
Tihami, Fikih..., h.317.
13
Abdul, Perkawinan ..., h. 120.

14
       
   
          
  
          
  
      
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah
dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”

c. Macam-macam i’ddah :
1) Cerai Hidup
a) Tidak hamil, apabila isteri yang dicerai itu tidak hamil,
maka ‘iddahnya ialah tiga kali suci (tiga kali haid).
b) Hamil, apabila isteri yang diceraikan itu hamil, maka
‘iddahnya ialah hingga melahirkan kandungannya.

Apabila wanita itu belum haid maka ‘iddahnya tiga


bulan, begitu juga wanita yang tidak haid lagi ‘iddahnya
pun tiga bulan juga. Kecuali apabila isteri itu belum pernah
dikumpuli oleh suaminya maka tidak ada ‘iddah
baginya.

2) Cerai Mati
a) Tidak hamil, apabila isteri yang ditinggalkan mati suaminya
tidak hamil, maka ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari.
b) Hamil, apabila isteri yang ditinggal mati suaminya itu
hamil, maka ‘iddahnya ialah hingga melahirkan
kandungannya.

d. Kewajiban Suami Diwaktu ‘Iddah

15
Bila isteri yang dicerai itu dalam ‘iddah Thalaq Raj’i maka
pada masa ‘iddah ini suami madih diwajibkan :
1) Memberi tempat
2) Memberi nafkah
3) Memberi pakaian terhadap bekas isterinya

Sebab dalam ‘iddah tadi suami masih ada hubungan batin,


karenanya masih diberi kesempatan meruju’ kembali kepada
isterinya, bila dipandang ruju’ lebih baik dari pada berpisah untuk
selama-lamanya. Begitu juga isteri masih dalam masa ‘iddah
Thalaq Bain sedangkan ia hamil, suami masih mempunyai
kewajiban.
Walaupun isteri yang diceraikan tadi masih menerima
nafkah pakaian dan tempat kediaman, didalam waktu ‘iddah, tetapi
bekas suaminya tidak boleh mengadakan hubungan sex dengan
bekas isterinya. Adapun pemberian nafkah tersebut merupakan beban
dan kewajiban suami, bukanlah isteri. Adapun diwaktu ‘iddah Thalaq
Bain karena ditinggal mati suaminya, maka tidak wajib memberi
nafkah.14
2. Ruju’
Ruju’ ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya
yang menyatakan bahwa ia telah meruju’ (kembali) kepada isterinya
yang sudah diceraikannya itu, dengan maksud untuk menjadi suaminya
lagi, sebagaimana sebelum menceraikannya.
Bila seseorang ingin meruju’ kepada bekas isterinya, haruslah
dengan setahu kantor KUA setempat untuk mendapatkan persaksian
dan surat yang sah dari kantor tersebut. Sebab dalam ruju’ ini harus ada
saksi, jadi wajib disaksikan. Dengan syarat bahwa isteri yang diruju’
tadi belum habis waktu ‘iddahnya dari pada thalaq raj’i. Apabila

14
Dja’far Amir, Ilmu Fiqih (Surakarta:C.V Ramadhani, 1986), h.292-296 .

16
seorang suami telah menjatuhkan talaq tiga kali, maka setelah itu ia
tidak boleh ruju’ lagi kepada isterinya.15

Dasar Hukum Rujuk :


         
 
         
   
         
   
         
 
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang
zalim.”

15
Dja’far, Ilmu..., h.284-286.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan yaitu Penyebab


putusnya ikatan perkawinan dikarenakan kematian, perceraian (hidup atau
mati) dan putusan pengadilan. Serta penyebab terjadinya perceraian
dikarenkan perzinaan, tidak memberi nafkah, penganiayaan, cacat tubuh/
kesehatan dan perselisihan. Prosedur dan tata cara perceraian diatur dalam
perundang-undangan serta menurut fiqih, menurut perundang-undangan
tata cara perceraian terbagi menjadi dua yaitu :
1. Cerai talak
2. Cerai gugat
Disamping itu bentuk-bentuk perceraian yaitu talak, khulu’,
fasakh, zhiyar, , ila’, dan li’an. Setiap terjadinya perceraian perempuan
yang diceraikan baik cerai hidup atau pun mati perempuan tersebut harus
melewati masa ’iddah yang merupakan masa menunggu bagi perempuan
tersebut. Tidak tertutup pula pasangan yang akan terjadi perceraian
diantara keduanya untuk ruju’ kembali dan membangun keluarga lagi.

B. Saran

18
Berdasarkan pembahasan yang sudah ada beserta kesimpulan kami
dari penulis berharap kepada pembaca agar pembahasan dalam makalah
ini dapat menambah ilmu pembaca khususnya bagi penulis itu sendiri.

19

Anda mungkin juga menyukai