Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH MANAJEMEN RISIKO

KESEPAKATAN BASEL
Dosen Pengampuh : Ahmad Dzul Ilmi Syarifuddin, M.M

Disusun Oleh:

Kelompok 1
Nur Hikma Nawir (19.2900.008)
Ummu Aulia (19.2900.040)
Andi Rani Fitria Ningsih (19.2900.054)

PRODI MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata’ala karena berkah dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Kesepakatan Basel.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Risiko.

Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah
ini memberikan informasi bagi kita semua terutama mahasiswa-mahasiswa dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Parepare, 2 Oktober 2021

Penyusun,

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN.....................................................................................................................2
A. Sejarah Kesepakatan Basel............................................................................................2
B. IFSB Mengenai Manajemen Risiko...............................................................................3
C. Basel I..................................................................................................................................4
1. Latar belakang basel 1.....................................................................................................4
2. Kesepakatan basel I.........................................................................................................7
D. BASEL II..............................................................................................................................8
1. Kesepakatan basel II........................................................................................................8
2. Regulasi Tiga Pilar Kesepakatan Basel II.................................................................11
E. BASEL III...............................................................................................................................13
BAB 3 PENUTUP.............................................................................................................................14
A. Kesimpulan.......................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................16

ii
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu anggota forum G-20 serta forum-forum


internasional lainnya, seperti Financial Stability Board (FSB), Basel
Committee on Banking Supervision (BCBS) telah memberikan
komitmennya untuk mengadopsi rekomendasi yang dihasilkan oleh forum-
forum tersebut. Sejalan dengan itu, OJK di dalam melaksanakan tugas-
tugasnya tidak terlepas dalam upaya mengadopsi berbagai rekomendasi
tersebut, Dalam melakukan proses adopsi dari berbagai rekomendasi
tersebut. Kerangka Basel II (Pilar 1, Pillar 2, Pillar 3) di indonesia telah di
implementasikan secara penuh sejak Desember 2012. Kerangka Basel III
juga telah diimplementasikan di indonesia untuk standar permodalan dan
likuiditas, menyusul beberapa standar lainnya yang akan diterapkan sesuai
dengan tenggat waktu yang ditetapkan BCBS.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kesepakatan basel
2. Bagaimana IFSB mengenai manajemen risiko
3. Bagaimana kesepakatan basel I
4. Bagaimana kesepakatan basel II
5. Bagaimana kesepakatan basel III

C. Tujuan
1. Mengetahui bagaimana sejarah kesepakatan basel
2. Mengetahui bagaimana IFSB mengenai manajemen risiko
3. Mengetahui bagaimana kesepakatan basel I
4. Mengetahui bagaimana kesepakatan basel II
5. Mengetahui bagaimana kesepakatan basel III

1
BAB 2 PEMBAHASAN

A. Sejarah Kesepakatan Basel

Basel merupakan peraturan tentang perbankan yang menjadi acuan dalm


praktik perbankan internasional. Regulasi ini diterbitkan sebagai kesepakatan
negara-negara yang bergabung dalam Basel Committee in Banking Supervision
(BCBS). BCBS ini didirikan pada tahun 1974 oleh negara-negara G10 yang
bertujuan untuk:

1. Menciptakan peraturan bersama untuk memperkuat stabilitas dan kesehatan


system perbankan internasional.
2. Menciptakan kerangka system yang adil dalam mengukur kecukupan modal
secara internasional.
3. Mendapatkan kerangka yang konsisten untuk mengurangi ketidaksamaan
kompetisi antar bank yang juga berada di tingkat internasional.

I droes (2006:35) menjelaskan awal mula peraturan basel dibentuk atas dasar
melemahnya peran regulasi keuangan bank sentral. Dimana fungsi bank sentral
sebagai lender of the last resort membuat perbankan mempercayakan
sepenuhnya kepada bank sentral dalam mengatasi setiap permasalahan yang
terjadi, baik pada sektor likuiditas maupun solvency. Maksud sederhananya
adalah karena kewajiban untuk menjadi lender of last resort, maka bank sentral
disuatu negara akan bangkrut apabila mengalami krisis likuiditas secara
bersamaan dan berkesinambungan.

Sejak pertengahan dekade 1970an, pendekatan “pengawasan dengan prinsip


kehati-hatian” (prudential supervisor) mulai dipertimbangkan setiap melakukan
regulasi. Dimana dasar pertimbangan untuk menggeser pendekatan regulasi dan
lender of last redsort kepada prudential supervisor adalah sebagai berikut:

1. Perbankan secara signifikan harus memperkirakan performanya berdasarkan


hasil (return) yang hendak dicapai dan resiko yang akan ditanggung untuk
mencapai tujuannya (return). Nah bank sentral disini bertugas untuk
menciptakan regulasi yang sesuai dengan kebutuhan industri perbankan itu
sendiri. Maksud regulasi disini ialah penetapan standar mengenai risiko yng
diambil.
2. Peningkatan globalisasi dari pasar uang, pasar modal, dan komoditas secara
internasional sangat membutuhkan norma prudential yang berlaku secara
internasional dan dapat diimplementasikan secara konsisten. Maka dari itu
harus memperhatikan penetapan standar minim dalam kesepakatan kontrak
dan hukum memperhatikan standar minim dan kesepakatan kontrak dan
hukum kepalilitan, akuntansi dan standar audit, serta persyaratan
keterbukaan (disclosure).

2
Dengan adanya pendekatan dan prinsip diatas, diharapkan kepada
seluruh bank agar dapat mengevaluasi dan mempertimbangkan setiap
kegiatan usaha yang akan dilakukan agar dapat mengelola risiko yang timbul
dan mengurangi beban bank sentral sebagai lender of last resort sehingga
dapat terhindar kebangkrutan jika terjadi krisis likuiditas (Idroes,2006:36)

Terciptanya keseragaman regulasi secara internasional ini menjadi


acuan regulator tiap negara dan menjadi dasar munculnya kesepakatan basel
(Basel Accord). Kesepakatan basel yang di evaluasi secara terus menerus
yang sesuai dengan perkembangan industri perbankan diharapkan dapat
menjawab kebutuhan yang mendasari pembuatan regulasi oleh bank sentral
setiap negara (Idroes,2006:7)

B. IFSB Mengenai Manajemen Risiko


Manajemen risiko berkaitan erat dengan teori intermediasi keuangan.
Yang dimana risiko manajemen adalah fungsi utama dari perantara
keuangan, manajemen risiko ini sangat penting dalam industri. Mengapa
demikian? Keberhasilan lembaga keuangan tergantung pada efisiensi,
dimana mereka dapat mengelola risikonya. Maka manajemen risiko adalah
salah satu faktor penting dalam memberikan hasil yang terbaik kepada
pemegang saham. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan bank syariah,
prinsip kehatia=-hatian pada manajemen risiko seperti yang ditetapkan oleh
Badan Layanan Keuangan Islam (IFSB) pada tahun 2005 menunjukkan
pentingnya prsktik manajemen risiko.
Secara umum risiko manajemen harus mencakup identifikasi,
pengukuran, pemantauan, pengendalian, dan pelaporan risiko. IFSB (2005)
juga menetapkan dewan yang tepat dan manajemen senior yang melakukan
pengawasan untuk mengindentifikasi, memantau, mengukur, mengontrol, dan
melaporkan relevan kategori risiko.

Menurut jorion dan khoury risiko muncul ketika lebih dari satu
kemungkinan hasil (out-come), dan hasil yang paling akhir tidak dapat
diketahui risikonya atau dapat didefinisikan sebagai perubahan atau
perbedaan hasil yang tidak diharapkan. Risiko dapat diklasifikasikan dengan
berbagai cara, risiko dapat dibedakan menjadi dua yaitu risiko bisnis dan
risiko finansial. Dimana risiko ini muncul secara alami berdasarkan dari
aktifitas bisnis yang dijalankan, sedangkan risiko finansial mmuncul dari
kemungkinan kerugian dalam pasar keuangan seperti akibat adanya
perubahan pada variabel-variabel keuangan.

Manajemen risiko yang efesien sangat penting untuk mengurangi


semua tekanan risiko. IFSB (Islamic Financial Service Board) telah membuat
sesuatu yang berisi prinsip-prinsip untuk manajemen risiko. Prinsip yang telah

3
dibuat IFSB ini harus diikuti oleh bank islam untuk mengurangi risiko yang
akan mereka hadapi.
Adapun prinsip IFSB (Islamic Financial Service Board) atas manajemen risiko
adalah sebagi berikut:
1. Institusi keuangan islam harus memiliki proses untuk menghilangkan
semua elemen manajemen risiko termasuk risiko identifikasi, pengukuran,
mitigasi, monitoring, pelaporan, dan kontrol.
2. Institusi keuangan islam harus menjamin sebuah sistem pengendalian
yang mencukupi dengan pemeriksaan yang sesuai. Dalam hal ini, (1)
harus sesuai dengan aturan syariah, (2) sesuai dengan peratuan dan
kebajikan prosedur internal, (3) melakukan penyatuan proses manajemen
risiko.
3. Institusi keuangan islam harus menjamin kualitas dan pelaporan risiko
akan tersedia untuk pemegang wewenang pengaturan.
4. Institusi keuangan islam harus memberikan informasi terbuka yang sesuai
dan tepat waktu bagi pemegang investaso, sehingga investor dapat
memperkirakan risiko potensial dan upah atas investasi mereka dan juga
untuk melindungi bunga mereka atas keputusan dalam melakukan proses.

C. Basel I
Basel I (Basel Capital Accord) tahun 1988

1. Latar belakang basel 1

the Basel Committee for Banking Supervision (BCBS) memiliki dua tujuan
fundamental yaitu untuk memperkuat kerangka dasar budaya (soundness)
dan stabilitas atas sistem perbankan internasional. Selain itu, BCBS juga
ingin menciptakan kerangka dasar yang konsisten tidak memihak (fair) bagi
bank-bank diberbagai negara dengan sumber daya yang berbeda dan aktif
menjalan kegiatan operasional perbankam secara operasional. Kerangka
dasar tersebut diharapkan akan menjadi acuan untuk mengurangi
kesenjangan daya saing antar bank-bank yang menjalankan kegiatan
operasionalnya.

Maka dari itu BCBS mewujudkan tujuan tersebut dengan membentuk dan
mempuikasikan Basel Capital Accord pada tahun 1998 atau dikenal sebagai
Basel I. Tujuan utama dari Basel I ini untuk menciptakan adanya metodologi
standar untuk menghitung kebutuhan modal bank berdasarkan risiko yang
dihadapi oleh bank. Basel I tersebut hanya membahas tentang perhitungan
kebutuhan modal untuk menutup risiko kredit, yang diasumsikan sudah cukup
untuk menutup berbagai jenis risiko lainnya.

Dua konsep penting yang mendasar pada perhitungan kecukupan


kebutuhan modal minimum adalah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR)

4
atau risk-weighted aset (RWA) dan rasio kecukupan penyediaan modal
minimum (KPMM) atau capital adequacy ratio (CAR).

Pada tahun 1970an dan 1980an sebelum memasuki periode liberisasi


keuangan, regulasi yang di lakukam terfokus pada:

1. Pemberian izin untuk mendirikan sebuah lembaga keuangan

2. Adanya pembatasan yang tegas terkait aktivitas yang diperbolehkan

dan tidak diperbolehkan kepada masing-masing institusi

keuangan;

3. Definisi dari rasio-rasio pada neraca dan persyaratan giro wajib

minimum atau menjaga tingkat aktiva yang harus disediakan

dalam obligasi pemerintah.

Jika kita membandingkan dengan industri keuangan saat ini regulasi


pada masa tersebut lebih menekan atau terfokus pada norma boleh dan tidak
boleh kegiatan untuk dilakukan oleh lembaga keuangan yang bersifat
dinamis. Regulisi yang berlaku ini lebih memperlihatkan otoritas bank sentral
dalam industri keuangan. Namun jika terdapat masalah pada individu industry
keuangan, maka masalah tersebut akan dikembalikan kepada Bank Sentral
selaku lender of last resort.

Dalam perkembangan pasar keungan dan liberisasi yanh


menyebabkan pengendalian yang dilakukan oleh bank sentral harus
mempertimbangkan meskipun terdapat jaringan pengaman yang disediakan
oleh fungsi lender of last resort telah diberikan namun, akan membuat peran
dalam regulasi keuangan bank sentral semakim lemah. Jika fungsi regulasi
tersebut melemah akibat perbankan menyandarkan sepenuhnya pada fungsi
lender of last resort bank sentral dalam mengatasi krisis likuiditas serta krisis
solvency. Selain itu, dalam "tata dunia baru" fungsi sebagai lender of last
resort saja jelas tidak mencukupi. Berdasarkan analogi sederhana yang
diberikan adalah karena kewajiban untuk menjadi lender of the last resort
Bank Sentral suatu Negara akan bangkrut apabila terjadi krisis likuiditas
secara bersamaan dan berkesinambungan. Jalan keluar dari masalah ini
mulai terpikirkan sejak pertengan decade 1970an, pendekatan "pengawasan
dengan prinsip kehati hatian" (prudential supervisor) mulai dipertimbangkan
dengan melakukan regulasi.

Dasar dalam pertimbangan ini untuk menggeser pendekatan regulasi dari


lender of last resort menjadi prudential supervisor adalah sebagai berikut:

5
1. Perbankan secara signifikan mengukur sendiri performanya berdasrkan
hasil (return) yang ingin dicapai dan risiko yang akan ditanggung untuk
mencapai sebuah return.

Tugas bank sentral adalah menciptakan regulasi yang sesuai dengan


kebutuhan industry perbankan. Nah regulasi yang dimaksud adalah
penetapan dalam standar risiko yang diambil oleh bank dan persyarat-
persyaratan dalam dalam penyediaan modal atas risiko yang diambil.
Regulasi tersebut akan memberikan ruang gerak untuk bank sentral agar
lebih kreatif dalam menemukan peluang dalam menjalankan aktivutasnya.

Adapun batasan yang diberlakukan yaitu jika bank menjalankan


aktivitas yang lebih besar atau lebih banyak maka modal yang disediakan
sebagai pengangga aktivitas juga harus lebih banyak. Regulasi tersebut akan
menurunkan beban pada bank sentral sebagai lender of the last resort karena
masing-masing harus mempertanggungjawabkan secara operasional atas
setiap risiko yang diambil dalam menjalankan aktivitas.

2. Peningkatan globalisasi dari pasar uang, pasar modal, serta pasar


komoditas secara

internasional sangat membutuhkan norma prudential yang dapat


berlaku secara internasional serta dapat diimplementasikan secara konsisten.
Maka dari itu, perlu memperhatikan dalam menetapkan regulasi di suatu
negara, untuk itu terdapat unsur-unsur yang perlu diperhatikan yaitu:
penetapan standar minimum dalam kesepakatan menetapkan kontrak dan
hukum kepailitan, akuntansi dan standar audit, serta peesyaratan
keterbukaan (dispute) dalam melakukan transaksi internasional dapat
direduksi.

Adanya keseragaman regulasi secara internasional untuk dijadikan


sebagai acuan bagi regulator pada masing-masing negara yang menjadi
kebetuhan. Pemikiran tersebut kemudian yanh menjadi dasar muncul
kesepakatan Basel (Basel Accord).

Pada awalnha kesepakatam basel tidaklah sempurna, dilakukan


evaluasi secara terus menurus sesuai dengan perkembangan industry
perbankan. Perbankan yang diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan
yang mendasari pembuatan regulasi oleh

Bank Sentral pada tiap-tiap Negara. Dalam membuat regulasi bank sentral
perlu mempertimbangkan agar regulasi tersebut bekerja dengan baik di
lingkup local maupun internasional. Nah, agar regulasi dapat bekerja dengan
baik di lingkup local maka bank sentral perlu merujuk pada kebijakan makro
pemeritah. Sedangkan jika regulasi diharapkan dapat bekerja sesuai dengan

6
standar internasional, maka Bank Sentral dapat merujuk kepada
kesepakatan Basel.

2. Kesepakatan basel I
Komite Basel (The Basel Committee) untuk pengawasan perbankan
dicetuskan pada tahun 1974. Dalam pembentukan komite basel telah
diprakarsai oleh gubernur bank sentral the Group of Ten (G10), yang fokus
pada regulasi dan praktek pengawasan perbankan.

Nama basel di ambil dari nama sebuah kota di Swiss tempat para
gubernur bank sentral berkumpul dan menjadikan nama kota tersebut
sebagai nama kelompok dan kemudian menjadi nama bagi produk-produk
kesepakatan yang dihasilkannya.

Komite Basel terdiri dari perwakilan Bank Sentral dan pengawas Perbankan
G10 ditambah Spanyol dan Luxembourg. Nama G10 sendiri sebenarnya
cukup unik karena terdiri dari 11 negara.

Adapun Negara-negara yang termasuk dalam G10 adalah:

1. Amerka Serikat

2. Belanda

3. Belgia

4. Inggris

5. Italia

6. Jepang

7. Jerman

8. Kanada

9. Prancis

10. Swedia

11. Swiss

Dengan demikian komite basel terdiri dari 13 negara, dengan komposisi 11


anggota G10 di tambah dengan Spanyol dan Luxembourg.

Metodologi pertama yang ditetapkan oleh komite basel yaitu dilakukan


dalam penghitungan besarnya “modal berdasarkan resiko” (risk-based
capital) dari suatu Bank yang perlu disediakan. Dan untuk pertama kali komite

7
basel mempublikasikan “Kesepakatan Basel Pertama” (the first Basel Capital
Accord) pada 1988.

Terdapat 3 tujuan dalam mengembangkan kesepakatan basel 1:

1. Meningkatkan kekuatan dan stabilitas dari sistem Perbankan internasional.

2. Untuk menciptakan kerangka pengukuran kecukupan modal dari Bank-


bank yang aktif secara internasional.

3. Untuk membentuk kerangka yang dapat diaplikasikan secara konsisten


dengan berpandangan untuk mengurangi

“ketidaksetaraan dalam persaingan” (competitive inequalities) antara Bank-


bank yang aktif secara internasional.

Pada saat pertama kali membuat kesepakatan Basel, dalam


kesepakatan Basel I hanya mencakup resiko kredit (credit risk).
Modal yang harus disediakan hanya dikaitkan dengan resiko kredit dan modal
yang dikaitkan dengan resiko kredit sesuai dengan perkembangan dan
pertimbangan pemikiran pada saat kesepakatan pertama dibuat.

Dalam mengukur kecukupan modal risiko kredit didasari dengan beberapa


kalkulasi yang terdiri dari:

1. Bobot resiko aktiva dan bobot resiko

2. Penyesuaian dengan resiko kredit

3. Target rasio modal dan kalkulasi konsumsi modal yang memenuhi syarat

4. Kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat

5. Struktur modal

D. BASEL II
1. Kesepakatan basel II

Pada tahun 1999 komite basel meningkatkan kerjasama dengan bank


utama dari negara-negara anggota untuk mengembangkan kesepakatan
modal (capital accord) yang baru dengan tujuan utamanya yaitu untuk
mengarahkan semua risiko perbankan ke dalam suatu kerangka pemikiran
kecukupan modal secara menyeluruh. Kesepakatan baru yg ditetapkan
dikenal dengan nama kesepaktan basel II.

Dalam prakteknya, basel II adalah sebuah kerangka yang menawarkan


sebuah standar baru untuk menetapkan persyaratan modal minimum bagi

8
organisasi yang aktif secara internasional disiapkan oleh komite. Basel II ini
dibentuk dan dikembangkan untuk menggantikan Basel I (1988).

Pada basel II, modal digunakan untuk menutup risiko kredit, ditentukan
dengan menggunakan metode standar (SA), metode Internal Rating Based
Foundation (IRBF) dan Advanced (IRBA).

Dasar dalam pertimbangan komite basel untuk membuat kesepakatan


Basel II yaitu peningkatan penggunaan metode kuantitatif oleh bank untuk
mengukur dan melaporkan risiko kredit pada portofolio aktiva.

Pemikiran komite Basel dalam rangka untuk mengembangkan


kesepakatan basel II yaitu seiring dengan berkembangnya penggunaan
internal model maka perlu ditetapkan aturan yang jelas tentang:

1. Pengggunaan jenis model perhitungan modal berdasarkan resiko kredit


yang diizinkan dalam perhitungan kewajiban

penyediaan modal minimum. Terdapat 2 pilihan untuk menentukan model,


yaitu:

- Model portofolio penuh (full portfolio models) yaitu penerapan teknik option
pricing, dimana model portofoluo penuh ini merupakan karya Robert Metson
dalam penetapan harga dan pengukuran risiko option portofolio.

- Model Pemeringkatan (grading models) yaitu kalkulasi dilakukan berdasar


pada individual obligor dan dimana risiko portofolio secara sederhana didapat
dengan penjumlahan total risiko indivudual. Model pemeringkatan ini
dilakukan secara meluas oleh lembaga pemeringkatan kredit seperti
Standard and Poor’s dan Moody’s Investors Service Rating.

Karena istilah credit grade dan credit rating dapat saling menggantikan, maka
kesepakatan Basel II menggunakan istilah grade untuk definisi ini.

2. Perluasan teknik kuantitatif terhadap risiko operasional. Dalam teknil


kuantitatif ini dapat mencakup risiko-risiko lain yang dimasukkan dalam risiko
operasional. Terdapat perbedaan pendapat tetang risiko lain, apakah akan
dimasukkan ke dalam risiko operasional atau tidak. Dari perbedaan pendapat
itu maka komite Basel memutuskan:

a. Memasukkan resiko operasional sebagai ukuran kuantitatif dalam


pendekatan pilar I;

b. Resiko operasional didefinisikan secara lebih luas yang mencakup tentang


mengeluarkan resiko reputasi, bisnis, dan strategik; dan

c. Untuk fokus pada pilar I model untuk resiko kredit pada teknik
pemeringkatan kredit (credit grading technique).

9
Komite Basel menggunakan pendekatan konsulatif untuk memastikan bahwa
regulasi yang baru harus berdampak postif. Dimulai dengan makalah
konsulatif kemudiam diikuti periode konsulatif dan revisi.

Periode konsulatif ini meliputi serangkaian Studi Dampak Kuantitatif


(Quantitative Impact Studies), yang dimana sejumlah bank mengestimasi
dampak dari implementasi kesepaktan berdasarakan masalah konsatif.
pendekatan konsulatif tersebut dilakukan agar bank merasa yakin bahwa
kesepakatam yang telah dibuat adalah benar.

Dalam kesepakatan basel II menghubhngkan modal bank secara


langsung kepada risiko yang ditanggungnya. Basel II mencoba mencapai
tujuan-tujuan berikut ini:

1. Menggunakan tiga pilar yang saling menguatkan untuk keseimbangan


antara modal yang sesuai persyaratan dengan modal yang ekonomis;

2. Mendorong integrasi pengukuran resiko kedalam proses manajemen;

3. Mencapai sensitivitas resiko kredit yang lebih tinggi;

4. Menciptakan fleksibilitas dalam memilih pendekatan dalam penetapan


modal sesuai dengan persyaratan;

5. Membuat metoda pengukuran resiko yang dinamis dalam penetapan modal


sesuai dengan persyaratan;

6. Mengadopsi teknik perhitungan resiko yang lebih canggih untuk diterapkan;

7. Menerapkan tambahan modal eksplisit bagi resiko operasional dan resiko


lain-lain, dan kemudian mengurangi kebutuhan akan

cadangan modal; dan

8. Menjaga agar persaingan kebutuhan ekuitas antara Bank dan lembaga


keuangan lain.

Selain itu, kesepakatan basel II memberikan varians yang lebih besar


dalam pemenuhuan modal antar bank yanh berbeda bisnisnya, dari ritel
hingga korporat, regulasi yang lebih kompleks antar bank dengan bank
sentral yang dimana menyediakan berbagai macam peraturan tetang
kecukupan modal yang dapat diikuti, serta mempertemukan

kebutuhan antara modal yang dipersyaratkan dengan modal ekonomis,


dan memperkenalkan banyak konsep canggih sebagai pondasi perubahan
regulasi masa depan.

Dalam hal-hal kesepakatan basel II dapat terlaksana karena basel II


mengizinkan bank untuk menggunakan pringkat internal dan konsep modal

10
ekonomis untuk mengukur modal yang sesuai persyaratan bagi resiko kredit,
menetapkan tambahan modal spesifik terhadap resiko operasional dan
mengizinkan Bank-bank terpilih untuk menggunakan cara canggih atau tidak
dalam mengukurnya, serta mewajibkan setiap bank untuk mempublikasikan
informasi resiko sebagai dasar penilaian harga saham dan peringkat kredit.

2. Regulasi Tiga Pilar Kesepakatan Basel II

• pilar 1, kewajiban penyediaan modal minimum:

Dalam pilar satu, bank diminta mengkalkulasikan modal minimum untuk risiko
kredit, risiko pasar, dan risiko operasional yang dihitung dengan pendekatan,
sbg:

Resiko kredit dihitung dengan:

Pilar 1 mengatur perhitungan modal untuk menutup risiko kredit, risiko pasar
trading book dan risiko operasional.

1. Pendekatan standar (the standardized approach)

2. Pendekatan berdasarkan pemeringkat internal (the internal rating-based


approach) yang terdiri dari dasar (foundation) dan lanjutan (advanced).

Resiko pasar dihitung dengan :

1. Pendekatan standar (the standardized approach),

2. Pendekatan model internal (the internal model approach).

Resiko pasar dihitung dengan :

1. Pendekatan standar (the standardized approach),

2. Pendekatan model internal (the internal model approach).

Resiko operasional dihitung dengan:

1. Pendekatan indikator dasar (the basic standardized approach),

2. Pendekatan standar (the standardized approach),

3. Pendekatan pengukuran lanjutan (the advanced measurement approach).

• Pilar II – Tinjauan Berdasarkan Regulasi

Dalam pilar 2 mengatur bagaimana bank harus mengelola dengan baik risiko
lain yang belum diperhitungkan pada pilar 1, misalnya kebutuhan modal untuk
menutup risiko suku bunga dalam banking book dan risiko konsentrasi kredit.

11
Pilar II adalah proses tinjauan berdasarkan regulasi (supervisory
review) yang diformalkan oleh pembuat kebijakan yang didasarkan pada
praktek terbaik yang berlangsung. Konsep-konsep tinjaun ini didasarkan pada
regulasi yang telah ada secara implisit pada basel I yang dimaksudkan untuk
membentuk standar minimum yang dapat diadaptasi oleh bank by bank basis.
Dalam pilar II tinjauan pengawasannya sangat mirip dengan pengawasan
berdasarkan resiko saat ini oleh Federal Reserve Board di US dan Financial
Services Authority di UK.

Dalam pilar II mengandung tiga area utama yang tidak dicakup pada pilar I.
Ketiga area tersebut adalah:

1. Resiko konsentrasi kredit yang tidak dipertimbangkan di pilar I. Risiko ini


tekait dgn konsentrasi kredit yang berikan oleh bank, apakah terfokus pada
satu nasabar besar, suatu kelompok besar atau pada satu industry

2. Resiko suku bunga pada buku Bank (interest rate in the Banking book)
yaitu risiko yang terkait pengaruh suku bunga terhadap aktiva produktif serta
kewajiban bank.

3. Resiko-resiko lain seperti resiko reputasi, resiko bisnis, resiko strategis,


serta segala resiko yang bisa saja muncul dalam menjalankan kegiatan Bank.

Aspek penting dalam pilar ke II ini yaitu menilai kepatuhan dengan standari
minimjm yang telah ditetapkan dalam kwajiban penyediaan modal pilar I

• Pilar III - Keterbukaan

Pilar III adalah pilar disiplin pasar. Menurut The Bank for International
Settlement (BIS) mendeskripsikan disiplin pasar sebagai mekanisme
pengelolaan (governance) eksternal dan internal di ekonomi pasar bebas
yang meniadakan intervensi langsung Pemerintah.
Pilar III mengatur kewajiban bank untuk mempublikasikan pengelolaan
perbankan dalam laporan tahunan, surat kabar, web perusahaan, dan
sebagainya. Proses ini selarasa dengan prinsip market dicipline dalam hal
transparansi kepada masyarakat. Selain itu, Pilar III dirancang juga untuk
membantu para pemegang saham Bank dan analis pasar, membawa
transparansi pada hal-hal:

1. Portfolio aktiva Bank, dan

2. Profil resikonya.

12
E. BASEL III

Pada sekitar tahun 2008 Amerika Serikat mengalami keterprukan


industry perbankan pada krisis global. Hal tersebur menandakan bahwa Basel
II tidak bisa atau tidak cukup untuk memperhitungkan risiko pada saat krisis
terjadi. Dalam Proses stress testing yang dilakukan sesuai pedoman pada
Basel II tidak cukup untuk menutup kondisi stress yang terjadu pada tahun
tersebut. Maka dari itu, BCBS mengungkapkam bahwa perlu untuk
menyempurnakan ketentuan basel II, maka dibuatlah ketentuan baru yang
lebih pruden disebut dengan Basel III.

Basel III, dipublikasikan secara formal pada bulan sepetember 2010


yang pada saat itu disebut dengan basel 2.5 yang menjelaskan metode baru
perhitungan ATMR risiko pasar pada bulan Desember tahun yang sama
disepakati disebut dengan Basel III bersamaan dengan perubahan lainnya
seperti perubahan terkait dengan pemodalan dan perubahan rasion likuiditas.

Pada intinya Basel III mangatur 3 point utama, yaitu:

1. Perubahan peraturan permodalan, yaitu:

a. Definisi baru dari modal yang dapat diperhitungkan pada perhitungan CAR
(Capital Adequacy Ratio), yaitu modal Tier 1 sekarang lebih banyak
mengandalkan modal equity, dan membatasi penggunaan modal quasi equity
(hybrid capital).

b. Bank harus menyediakan cadangan modal yang disebut dengan buffer


sehingga nantinya minimum CAR naik melebihi dari yang ditetapkan
sebelumnya, yaitu 8%.

c. Perhitungan leverage ratio yaitu modal dibagi dengan total aset (on dan off
balance sheet).

2. Perubahan perhitungan ATMR khususnya pada eksposur risiko pasar.

3. Ketentuan mengenai kewajiban bank mengelola risiko likuiditas dengan


menyiapkan dana likuid dan dana stabil sesuai dengan formula:

a. LCR (Liquidity Coverage Ratio) untuk pengendalian risiko likuiditas jangka


pendek.

b. NSFR (Net Stable Funding Ratio) untuk pengendalian risiko likuiditas


jangka panjang.

13
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan

Basel merupakan peraturan tentang perbankan yang menjadi acuan dalm


praktik perbankan internasional. Regulasi ini diterbitkan sebagai kesepakatan
negara-negara yang bergabung dalam Basel Committee in Banking
Supervision (BCBS). BCBS ini didirikan pada tahun 1974 oleh negara-negara
G10 yang bertujuan untuk:

1. Menciptakan peraturan bersama untuk memperkuat stabilitas dan


kesehatan system perbankan internasional.
2. Menciptakan kerangka system yang adil dalam mengukur kecukupan
modal secara internasional.
3. Mendapatkan kerangka yang konsisten untuk mengurangi ketidaksamaan
kompetisi antar bank yang juga berada di tingkat internasional.
 Basel I

Komite Basel (The Basel Committee) untuk pengawasan perbankan


dicetuskan pada tahun 1974. Dalam pembentukan komite basel telah
diprakarsai oleh gubernur bank sentral the Group of Ten (G10), yang
fokus pada regulasi dan praktek pengawasan perbankan.

Nama basel di ambil dari nama sebuah kota di Swiss tempat para
gubernur bank sentral berkumpul dan menjadikan nama kota tersebut
sebagai nama kelompok dan kemudian menjadi nama bagi produk-produk
kesepakatan yang dihasilkannya.

Komite Basel terdiri dari perwakilan Bank Sentral dan pengawas


Perbankan G10 ditambah Spanyol dan Luxembourg. Nama G10 sendiri
sebenarnya cukup unik karena terdiri dari 11 negara.

 Basel II

Pada tahun 1999 komite basel meningkatkan kerjasama dengan bank


utama dari negara-negara anggota untuk mengembangkan kesepakatan
modal (capital accord) yang baru dengan tujuan utamanya yaitu untuk
mengarahkan semua risiko perbankan ke dalam suatu kerangka pemikiran
kecukupan modal secara menyeluruh. Kesepakatan baru yg ditetapkan
dikenal dengan nama kesepaktan basel II.

Dalam prakteknya, basel II adalah sebuah kerangka yang menawarkan


sebuah standar baru untuk menetapkan persyaratan modal minimum bagi
organisasi yang aktif secara internasional disiapkan oleh komite. Basel II
ini dibentuk dan dikembangkan untuk menggantikan Basel I (1988).

14
Pada basel II, modal digunakan untuk menutup risiko kredit, ditentukan
dengan menggunakan metode standar (SA), metode Internal Rating
Based Foundation (IRBF) dan Advanced (IRBA).

Dasar dalam pertimbangan komite basel untuk membuat kesepakatan


Basel II yaitu peningkatan penggunaan metode kuantitatif oleh bank untuk
mengukur dan melaporkan risiko kredit pada portofolio aktiva.

 Basel III

Pada sekitar tahun 2008 Amerika Serikat mengalami keterprukan industry


perbankan pada krisis global. Hal tersebur menandakan bahwa Basel II
tidak bisa atau tidak cukup untuk memperhitungkan risiko pada saat krisis
terjadi. Dalam Proses stress testing yang dilakukan sesuai pedoman pada
Basel II tidak cukup untuk menutup kondisi stress yang terjadu pada tahun
tersebut. Maka dari itu, BCBS mengungkapkam bahwa perlu untuk
menyempurnakan ketentuan basel II, maka dibuatlah ketentuan baru yang
lebih pruden disebut dengan Basel III.

Basel III, dipublikasikan secara formal pada bulan sepetember 2010 yang
pada saat itu disebut dengan basel 2.5 yang menjelaskan metode baru
perhitungan ATMR risiko pasar pada bulan Desember tahun yang sama
disepakati disebut dengan Basel III bersamaan dengan perubahan lainnya
seperti perubahan terkait dengan pemodalan dan perubahan rasion
likuiditas.

15
DAFTAR PUSTAKA

A. Basri, I. (2008). Manajemen Risiko Lembaga Keuangan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Adrianto, W. (2010). Analisa Pengaruh. Jakarta: Universitas Indonesia.

Dendawijaya, L. (2009). Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Indroes, F. (2008). Manajemen Risiko Perbankan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Indroes, F. N. (2019). Manajemen. Depok: Rajawali Pers.

Kasmir. (2008). Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rivai Veithzal, R. I. (2013). Islamic Risk Management For Islamic Bank. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Zaini, Z. (2015). Manajemen Risiko. jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

16

Anda mungkin juga menyukai