SYARIAH
Oleh:
Sofyan
Berdasarkan pengertian di atas, dua hal yang perlu menjadi perhatian, yakni:
1. Adanya kepastian tentang kewajiban yang dibebankan kepada auditor sebagai lingkup
tanggung jawab profesinya.
2. Tersedianya cara-cara bagi auditor untuk mewujudkan secara maksimal kemampuan,
pengetahuan, dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya, termasuk perilaku kehati-
hatian yang memadai untuk itu.
B. Kompetensi Wajib Auditor Syari’ah
1. Lingkup Tanggung Jawab Auditing
Menurut Mautz dan Sharaf (1961), sebetulnya jika profesi auditor berani dengan jelas
menerima kewajiban sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat dan sepenuhnya
masuk dalam wilayah tanggung jawabnya, maka peranan profesi ini dalam masyarakat
menjadi semakin jelas. Kejelasan itu dapat diibaratkan dengan penerimaan tanggung
jawab untuk pengobatan penyakit oleh profesi kedokteran atau tanggung jawab
mengungkapkan kriminal oleh profesi kepolisian. Bagi kedua profesi itu berlaku pula
standar-standar internal yang dikembangkan sendiri untuk pelaksanaan fungsinya.
Namun, tidak ada alasan bagi kedua profesi itu untuk menyatakan kegagalan dalam
pengobatan atau pengungkapan kejahatan sebagai hal di luar tanggung jawabnya hanya
karena standar internal yang berlaku telah dipenuhinya. Dengan kata lain, masyarakat
mengharapkan jasa pengungkapan kesalahan informasi dari profesi auditing, sebagaimana
pula mereka mengharapkan pengobatan atau pengungkapan kejahatan dari dokter atau
polisi, bukan sekadar jasa pemenuhan tuntutan standar. Masyarakat tidak bermaksud
sekadar membeli standar.
Mautz dan Sharaf menganjurkan bahwa isi laporan itu cukup memberi pernyataan
sebagai berikut : (terjemahan dengan sedikit modifikasi): “Kami telah menguji dengan
kecermatan profesi informasi (laporan) berikut dan kami dapat menyatakan bahwa
informasi (laporan) dimaksud bebas dari kesalahan yang material.” Laporan audit yang
cukup singkat itu memperlihatkan dengan tegas tanggung jawab auditor, dan tidak lagi
bergelayut pada standar-standar yang dibuatnya untuk sekadar menjadikannya sebagai
tameng.
2. Tindakan Profesional
Setelah lingkup kewajiban auditor menjadi jelas, harus pula tersedia cara-cara baginya
untuk mewujudkan kewajiban itu, yakni dengan mengerahkan secara optimal
pengetahuan, keahlian, dan kecermatan yang diperlukan untuk itu. Untuk itu, auditor
perlu memulainya dengan sikap awal yang dikenal sebagai “professional scepticism”
dalam menghadapi asersi atau laporan yang hendak diauditnya. Dengan “professional
scepticism” dimaksudkan bahwa auditor bersikap kritis untuk mempertanyakan
kebenaran informasi atau laporan yang diauditnya sampai memperoleh bukti-bukti kuat
yang mendukung kebenaran itu.
a. Authoritarianism
Pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan terhadap sumbernya karena
tingkat persuasinya yang memadai, misalnya konfirmasi, rekening koran, atau
pendapat ahli.
b. Mysticism
Prinsip “professional scepticism” ini jangan sampai dikacaukan dengan
beberapa postulat yang berasumsi bahwa asersi tidak mengandung kekeliruan sampai
terbukti sebaliknya, karena prinsip skeptisme profesional hanya menjadi arahan bagi
sikap internal dari auditor, dan bukan memberi Pengetahuan yang didasarkan pada
intuisi, imajinasi, atau pengalaman, seperti dalam hal auditor melakukan scanning
atau reviu analitis.
c. Rationalism
Pengetahuan yang didasarkan pada kemampuan berpikir secara logis,
sebagaimana dipraktekkan oleh auditor ketika melakukan analisis matematik.
d. Empiricism
Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan data yang dihimpun langsung,
seperti yang diperoleh melalui pembuktian dengan pemeriksaan fisik dan pengamatan
dokumen.
e. Pragmatism
Pengetahuan yang didasarkan pada kenyataan tentang apa yang betul-betul
berlangsung dengan efektif, seperti terjadi dalam hal auditor mengestimasi kelayakan
kolektibiltas piutang.
Tentu saja pengetahuan dan keterampilan profesional itu tidak akan diperoleh dengan
mudah dan cepat oleh auditor. Ia memerlukan upaya pendalaman pengetahuan melalui
pengenalan lingkungan maupun karakteristik objek informasi yang diauditnya. Selain itu,
auditor juga memerlukan latihan dan pengalaman lapangan untuk mengasah
kemampuannya sehingga dapat menemukan kebenaran tentang perihal informasi yang
menjadi tanggung jawab atestasinya.
1. Standar Auditing
2. Standar Atestasi
3. Standar Jasa Akuntansi dan Review
4. Standar Jasa Konsultansi
5. Standar Pengendalian Mutu
D. Kode Etik dan Komitmen Profesi Akuntan Publik
Dasar pemikiran yang melandasi penyusunan kode etik dan standar setiap profesi
adalah kebutuhan dari profesi untuk dipercaya oleh masyarakat dalam hal mutu jasa yang
diberikan oleh profesi. Terkait dengan profesi auditor, pada umumnya tidak semua
pengguna jasa audit memahami hal‐hal yang berkaitan dengan auditanng. Mereka yang
memahami auditanng adalah kalangan profesi itu sendiri. Oleh karena itu, profesi tersebut
perlu mengatur dan menetapkan ukuran mutu yang harus dicapai oleh para auditornya.
Aturan yang ditetapkan oleh profesi ini menyangkut aturan perilaku, yang disebut dengan
kode etik, yang mengatur perilaku auditor sesuai dengan tuntutan profesi dan organisasi
pengawasan serta standar audit yang merupakan ukuran mutu minimal yang harus dicapai
auditor dalam menjalankan tugas auditnya. Apabila aturan ini tidak dipenuhi berarti
auditor tersebut bekerja di bawah standar dan dapat dianggap melakukan malpraktik.
Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa profesi juga harus dijaga. Karena itu
setiap profesi harus membangun dan melaksanakan program jaminan mutu. Program ini
harus dilakukan dalam upaya pemenuhan standar audit yang mengharuskan auditor
menggunakan keahlian profesional dengan cermat dan saksama. Program jaminan mutu
harus diciptakan untuk mempertahankan profesionalisme dan kepercayaan masyarakat
terhadap mutu jasa audit. Program jaminan mutu untuk masing‐masing APIP dapat
dibangun sendiri sesuai dengan karakteristik APIP yang bersangkutan. Sebagai contoh,
langkah‐langkah pengendalian mutu dalam penugasan audit di lingkungan BPKP, sebagai
bagian dari program jaminan mutu, dituangkan dalam 12 (dua belas) formulir kendali
mutu (KM‐1 s.d. KM‐12) sebagaimana ditetapkan Surat Edaran Kepala BPKP Nomor
SE‐448/K/1990 tanggal 11 September 1990. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri
dari tiga bagian:
1. Prinsip Etika,
Bagi seorang auditor, komitmen profesi mutlak diperlukan berkaitan dengan loyalitas
individu terhadap organisasi dalam melaksanakan tugas dan menaati norma aturan dan
kode etik profesi akuntan publik. Hal ini dikatakan mutlak karena dengan adanya
kesadaran untuk mematuhi aturan dan kode etik profesi, maka akan akan mengurangi
timbulnya konflik internal pada diri auditor tersebut apabila dihadapkan pada suatu
kondisi dilema etis sehingga profesionalisme dari auditor dapat selalu dijaga. Wibowo
dalam Trisnaningsih, 2003: 201 mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara
pengalaman internal auditor dengan komitmen profesionalisme, lama berkerja hanya
mempengaruhi pandangan profesionalisme hubungan dengan sesama profesi, keyakinan
terhadap peraturan profesi dan pengabdian pada profesi.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.depokpos.com/2021/11/kompetensi-auditor-syariah-2/ Diakses pada tanggal
11 Oktober 2022
https://123dok.com/article/konsep-kecermatan-profesional-konsep-dasar-
auditing.z132n1pq Diakses pada tanggal 11 Oktober 2022
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Profesional_Akuntan_Publik Diakses pada tanggal
11 Oktober 2022
https://text-id.123dok.com/document/7qv9xd00y-komitmen-profesi-akuntan-publik.html
Diakses pada tanggal 11 Oktober 2022