BANK SYARIAH
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Perbankan Syariah
Dosen Pengampu: Santi Yustini, SE., M.Ak.
Disusun oleh:
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa senantiasa
tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Makalah yang berjudul “Prinsip Dasar dan Sistem Operasional Bank Syariah”
dalam penyusunan tugas ini, kami telah berusaha sebaik yang kami bisa. Namun tentu
saja, makalah ini tidak luput dari kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun, agar penyusunan makalah ini menjadi lebih baik.
1. Santi Yustini, SE., M.Ak. selaku dosen mata kuliah Akuntansi Perbankan
Syariah
2. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan, baik secara moril maupun
materil kepada kami, dan
3. Rekan-rekan seperjuangan yang telah memberikan dukungan kepada kami
Kami berharap semoga penyusunan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya sebagai referensi untuk digunakan dalam pemnbelajaran terkait dan
penulis pada khususnya sebagai pembelajaran dalam penyusunan makalah analisis.
Kelompok 1
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prinsip syariah harus diperhatikan dalam pengelolaan suatu bank syariah.
Prinsip tersebut mengacu pada prinsip-prinsip hukum muamalah yang dapat
dijadikan sebagai landasan untuk memahami berbagai transaksi yang dilarang
dalam agama Islam terkait dengan aktivitas ekonomi antar-individu. Bank
syariah memiliki system operasional yang meliputi aspek penghimpunan dan
penyaluran dana. Sistem operasional pada bank syariah perlu dipahami sebagai
landasan untuk memahami model interaksi antara bank dengan nasabah yang
tidak bertentangan dengan syariah.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai:
1. Apa definisi lembaga keuangan syariah?
2. Apa saja larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa
yang diharamkan?
3. Bagaimana larangan terhadap transaksi yang diharamkan sistem dan
prosedur perolehan keuntungannya?
4. Bagaimana larangan terhadap transaksi yang tidak sah akadnya?
5. Apa definisi, asas, dan tujuan Bank Syariah?
6. Apa saja fungsi Bank Syariah?
7. Bagaimana system operasional Bank Syariah?
8. Apa saja prinsip-prinsip dalam penghimpunan dana Bank Syariah?
9. Apa saja prinsip penyaluran dana Bank Syariah?
10. Apa saja prinsip-prinsip dalam pelaksanaan fungsi jasa keungan perbankan?
4
3. Untuk mengetahui larangan terhadap transaksi yang diharamkan sistem dan
prosedur perolehan keuntungannya
4. Untuk mengetahui larangan terhadap transaksi yang tidak sah akadnya
5. Untuk mengetahui definisi, asas, dan tujuan Bank Syariah
6. Untuk mengetahui fungsi Bank Syariah
7. Untuk mengetahui system operasional Bank Syariah
8. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam penghimpunan dana Bank Syariah
9. Untuk mengetahui prinsip penyaluran dana Bank Syariah
10. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam pelaksanaan dungsi jasa keuangan
perbankan.
5
BAB II
ISI
Definisi ini menegaskan bahwa suatu LKS harus memenuhi dua unsur, yaitu
unsur kesesuaian dengan syariah Islam dan unsur legalitas operasi sebagai
lembaga keuangan.
6
Fatwa-fatwa DSN biasanya bersifat umum untuk semua LKS, termasuk
Bank syariah. Adapun fatwa tersebut mengacu pada prinsip-prinsip hukum
muamalah yang dirumuskan oleh mayoritas ulama. Beberapa prinsip dalam
hukum muamalah adalah sebagai berikut.
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang
ditentukan lain oleh Alquran dan Sunah Rasul (prinsip mubah).
2. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa mengandung unsur-
unsur paksaan (prinsip sukarela).
3. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat
dan menghindarkan mudarat dalam hidup masyarakat (prinsip
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat).
4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari
unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam
kesempitan (prinsip keadilan).
2.2 Larangan terhadap Transaksi yang Mengandung Barang atau Jasa yang
Diharamkan
7
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi
makanan, minuman dan tindakan yang secara substansi sama dengan barang atau
jasa yang secara eksplisit dilarang Al Qur'an dan As-Sunnah. Dalam hal ini,
mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang sama dengan zat yang
diharamkan dalam Al Qur'an dan Sunnah Nabi.
Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama Islam juga melarang
transaksi yang diharamkan sistem dan prosedur perolehan keuntungannya.
Beberapa hal yang masuk kategori transaksi yang diharamkan karena sistem dan
prosedur perolehan keuntungan adalah:
Transaksi yang mengandung suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh
salah satu pihak. Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari empat hal
pokok dalam hal jual beli berikut:
a) Kuantitas
Salah satu pihak (pejual) misalnya mengurangi takaran barang yang
telah disepakati antara penjual dan pembeli.
b) Kualitas
8
Dalam hal kualitas, misalnya salah satu pihak (penjual) mengetahui
bahwa barang yang dijual memiliki cacat yang sekiranya diketahui
oleh pembeli, maka harga jual barang akan berkurang sesuai nilai
barang sebenarnya.
c) Harga
Praktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan
ketidaktauan pembeli tentang harga pasar, sehingga dapat menjual
produknya dengan harga tinggi.
d) Waktu Penyerahan
Praktik tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual dengan
menutupi kemampuan dalam menyerahkan barang yang sebenarnya
lebih lambat dari yang ia janjikan.
9
b) Jual beli barang yang tidak jelas (majhul) , baik yang mutlak,
seperti pernyataan seseorang: “saya menjual barang dengan harga
seribu rupiah,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau
seperti ucapan seseorang: ”aku jual mobil ku ini kepadamu dengan
harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau
bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang:
“aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”. Namun ukuran
tanahnya tidak diketahui.
c) Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan. Seperti jual
beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri.
Ketidakjelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad
jual belinya.
Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti
segenggam dinar. Sedangkan ketidakjelasan pada barang, yaitu
sebagaimana dijelaskan diatas. Adapun ketidakjelasan pada akad, seperti
menjual dengan harga 10 dinar bila kontan dan 20 dinar bila diangsur,
tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Selain gharar yang diharamkan, ada pula gharar yang diperbolehkan
atau dimaafkan. Ibnu Qayyim juga mengatakan: “Tidak semua gharar
menjadi sebab pengharaman. Gharar , apabila ringan (sedikit) atau tidak
mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan
akad jual beli. Karena, gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi
rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang
tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya.
Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak
sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat lepas darinya.”
Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar
yang ringan, atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya
kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi
menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada hajat
10
untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali
dengan susah, atau ghararnya ringan.
Diluar gharar yang diharamkan dan yang diperbolehkan , terdapat
gharar yang masil diperselisihkan para ulama. Para ulama sepakat
tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih
berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan
sebagian mereka, diantarnaya Imam Malik, mengandung gharar-nya
ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan
menjual, sehingga memperbolehkannya. Sebagian yang lain,
diantaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, memandang gharar-nya
besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya sehingga
mengharamkannya.
Transaksi gharar memiliki kemiripan dengan tadlis. Dalam tadlis,
ketiadaan informasi terjadi pada salah satu pihak, sedangkan dalam
gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah pihak yang
bertransaksi jual beli.
a) Kuantitas
Misalnya pembelian seluruh hasil panen ketidak pohon atau
tanaman belum menunjukkan hasilnya. Dalam hal ini, pada saat jual
beli, baik penjual atau pembeli tidak tahu berapa kuantitas hasil
panen yang akan diperjualbelikan.
b) Kualitas
Misalnya penjualan sapi yang masih dalam perut induknya. Kedua
belah pihak, baik pembeli maupun penjual, tidak mengetahui
bagaimana kualitas sapi itu nantinya ketika lahir.
c) Harga
Gharar dalam hal harga dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak
pasti mengenai harga yang dipakai dalam jual beli yang disepakati.
d) Waktu penyerahan
11
Gharar dalam hal waktu penyerahan dapat terjadi jika kedua belah
pihak tidak tahu kapan barang akan diserahterimakan.
5. Maysir (judi)
Ulama dan fuqaha mendefinisikan maysir (judi atau gambling) sebagai
sebuah permainan dimasa satu pihak akan memperoleh keuntungan
sementara pihak lainnya akan menderita kerugian. (Ibnu Qudama: Al
Mughni, 13/408).
Kata maysir dalam arti harfiahnya adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja.
Oleh karena itu disebut berjudi. Prinsip berjudi itu adalah terlarang, baik
itu terlihat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau
tidak berperan sama sekali. Dalam berjudi kita menggantungkan
keuntungan hanya pada keberuntungan semata, bahkan sebagian orang
yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang
12
semestinya kita tidak dapatkan atau menghilangkan suatu kesempatan.
Kata azlam dalam bahasa arab yang digunakan dalam Al-Qur’an juga
berarti praktek perjudian. Sementara itu maysir, menggunakan segala
bentuk harta dengan maksud untuk memperoleh suatu keuntungan
misalnya, lotre, bertaruh, atau berjudi dan sebagainya. Judi pada
umumnya dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk
taruhan, undian, atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk
perjudian adalah haram dalam Islam.
6. Riba
Secara bahasa, riba bermakna tambahan, tumbuh atau membesar.
Definisi riba yang dirumuskan oleh Imam Sarakhsi dalam Mabsur juz
XII, hlm.1009: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi
bisnis tanpa adanya padanan (iwas) yang dibenarkan syariah atas
penambahan tersebut.” Riba dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai
bunga uang. Ada banyak sekali literatur yang memberikan arti dari riba.
Secara sederhana, kita dapat mengartikan riba sebagai tambahan
pendapatan yang tidak sah. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan
pengertian riba sebagia pelepas uang, lintah darat, bunga uang, dan rente.
Sedangkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
disebutkan bahwa: “Riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah
(batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak
sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam
transaki pinjam meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima
Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman
karena berjalannya waktu (nasi’ah).
13
diisyaratkan. Hukum fiqih menyatakan bahwa akad yang sah harus dipenuhi,
sedang akad yang tidak sah tidak boleh dipenuhi.
Rukun-rukun akad sebagai berikut:
a) Adanya dua pihak atau lebih yang saling terikad dengan akad.
b) Adanya sesuatu yang diikat dengan akad, yakni barang yang dijual
dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan
sejenisnya.
c) Adanya pengucapan akad berupa ungkapan serah terima (ijab qabul).
14
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasi’ah);
2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi
dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
5. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.
Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi
syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan
kemanfaatan. Sedang Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah
pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan
yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Selain sebagai bentuk pengejewantahan sistem ekonomi Islam, bank syariah
bertujuan sebagai bagian dari sistem perekonomian bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional. Pasal 3 UU Perbankan Syariah disebutkan:
“Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan
kesejahteraan rakyat.”
15
1. Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat.
2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk
lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,
infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat.
3. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal
dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir)
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
4. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
16
syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. System operasional bank
syariah dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Pertama, system operasional bank syariah dimulai dari kegiatan
penghimpunan dana dari masyarakat. Penghimpunan dana ini dapat dilakukan
dengan skema investasi maupun skema titipan. Jadi, dalam penghimpunan dana
dengan skema investasi, pihak nasabah sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan
pihak bank sendiri berperan sebagai pengelola dana atau biasa disebut dengan
mudharib. Sedangkan pada penghimpunan dana dengan skema titipan, bank
syariah hanya berperan sebagai penerima titipan.
Kedua, dana yang diterima oleh bank syariah selanjutnya akan disalurkan
kepada berbagai pihak, seperti mitra investasi, pengelola investasi, pembeli
barang, dan penyewa barang maupun jasa yang disediakan oleh bank syariah.
Pada saat barang disalurkan dalam bentuk investasi, bank syariah berperan
sebagai pemilik dana. Pada saat barang disalurkan dalam bentuk jual beli, bank
syariah berperan sebagai penjual, dan pada saat disalurkan dalam pengadaan
objek sewa, maka bank syariah berperan sebagai pemberi sewa. Ketika pihak
bank menawarkan barang maupun jasa yang akan disalurkan ke pihak tertentu,
maka barang maupun jasa yang akan ditawarkan dengan disertai akad yang
sesuai dengan ketentuan syariah dan disetuji oleh kedua pihak.
Ketiga, dari penyaluran dana berbagai pihak ini, bank syariah selanjutnya
menerima pendapatan berupa bagi hasil dan investasi, margin dari jual beli dan
fee dari sewa dan berbagai jenis pendapatan yang diperoleh dari instrument
penyaluran dana lain yang dibolehkan secara syariah.
Keempat, pendapatan yang diterima dari kegiatan penyaluran dana
selanjutnya dibagikan kepada nasabah pemilik dana atau penitip dana.
Penyaluran dana kepada nasabah pemilik dana ini harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan atau perjanjian dengan porsi bagi hasil yang telah disepakati.
Kelima, selain melaksanakan aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran
dana, bank syariah dalam operasionalnya juga memberikan jasa keuangan seperti
jasa ATM, transfer, letter of credit (LC), bank garansi, dan lain sebagainya. Oleh
17
karena jasa yang diberikan ini tanpa penggunaan dana dari pihak nasabah maka
pendapatan seutuhnya dapat dimiliki oleh pihak bank syariah tanpa harus dibagi
(Yaya, 2009: 51).
Dari ilustrasi diatas dapat disimpulkan bahwa system operasional dalam
bank syariah terdiri atas system penghimpunan dana, penyaluran dana, dan
penyedia jasa keuangan. Jika dibandingkan antara system operasional bank
syariah dan bank konvensional, perbedaanya terletak pada mekanisme perolehan
keuntungan.
18
amanah. Wadiah yad-dhamanah adalah titipan yang selama belum
dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan.
Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan, maka
seluruhnya menjadi hak penerima titipan. Menurut Firdaus (2005) pada
akad wadiah yad-dhamanah ini pihak yang dititipi bertanggung jawab
terhadap kehilangan atau kerusakan barang maupun uang yang
dititipkan dan penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang
dapat memanfaatkan barang tersebut. Sedangkan wadiah yad-amanah
adalah penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan
tersebut sampai si penitip mengambil kembali titipanya (Yaya, 2009:
52). Menurut Firdaus (2005) wadiah yad-amanah orang yang dititipi
barang (wadi') tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan
yang terjadi barang titipan selama bukan akibat dari kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan dalam pemeliharaan barang titipan
(karena sebab-sebab factor diluar kemampuannya). Hal ini dikemukakan
dalam sebuah Hadis Rasulullah: "jaminan pertanngungjawaban tidak
diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan
penerima titipan yang tidak lalai. Namun terdapat biaya titipan yang
dapat dibebankan kepada pihak penitip sebagai biaya penitipan.
Dalam tabungan wadiah, bank dan nasabah tidak boleh
mensyaratkan pembagian hasil keuntungan atas pemanfaatan harta
tersebut. Namun bank diperbolehkan memberikan bonus (fee) kepada
pemilik harta titipan (nasabah) selama tidak disyaratkan dimuka.
Dengan kata lain, pemberian bonus merupakan kebijakan bank yang
bersifat sukarela. Berdasarkan fatwa DSN tentang tabungan wadiah,
baik giro wadiah maupun tabungan wadiah sifatnya adalah titipan yang
bias diambil kapanpun oleh penitip tanpa adanya imbalan yang
disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat
sukarela dari pihak bank (Yaya, 2009: 52).
2. Penghimpunan Dana dengan Prinsip Mudharabah
19
Mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis kerja sama usaha
dimana pihak pertama menyediakan dana dan pihak kedua bertanggung
jawab atas pengelolaan usaha. Pihak yang menyediakan dana biasa
disebut dengan shahibul maal, sedangkan pihak yang mengelola usaha
disebut dengan mudharib. Keuntungan hasil usaha dibagikan sesuai
dengan dengan nisbah bagi hasil yang disepakati bersama sejak awal.
Akan tetapi, jika terjadi kerugian , shahibul maal akan kehilangan
sebagian imbalan dari hasil kerjanya selama usaha masih berjalan
(Yaya, 2009: 53).
Penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah dibagi atas dua
skema yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Dalam mudharabah muthlaqah, menjelaskan bahwa kedudukan bank
syariah adalah sebagai mudharib (pihak yang mengelola dana)
sedangkan nasabah adalah shahibul maal (pemilik dana). Artinya pihak
shahibul maal memberi kuasa penuh kepada mudharib untuk
menjalankan usaha tanpa adanya batasan apapun terkait usaha tersebut,
seperti jenis uasaha, tempat, pemasok, dan konsumen usaha.
Selanjutnya, hasil usaha yang diperoleh bank dibagi antara bank dengan
nasabah dengan nisbah yang sudah disepakati dimuka. Sedangkan dalam
mudharabah muqoyyadah, pihak shahibul maal memberi batasan kepada
mudharib dalam pengelolaan dana berupa jenis usaha, tempat, pemasok,
maupun konsumen. Mudharabah muqayyadah biasa disebut dengan
investasi terikat. Dalam mudharabah muqayyadah, kedudukan bank
hanya sebagai agen. Bank sebagai agen dalam hal ini hanya menerima
fee. (Yaya, 2009: 53).
Pada dasarnya pada semua bentuk kegiatan penghimpunan dana
bank syariah (tabungan, giro, deposito) dapat menggunakan prinsip
mudharabah muthlaqah. Dalam praktiknya, untuk semua keperluan
kegiatan tabungan, giro, dan deposito, perbankan syariah di Indonesia
20
umumnya menggunakan prinsip mudharabah muthlaqah (Yaya, 2009:
54).
a) Tabungan Mudharabah
Tabungan mudharabah adalah simpanan yang penarikanya
hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang telah
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang
dipersamakan dengan itu. Insentif pada tabungan mudharabah
adalah berupa bagi hasil yang wajib diberikan oleh bank jika
memperoleh keuntungan pada setiap periode yang disepakati
(biasanya 1 bulan) kepada nasabah dengan nisbah yang sudah
disepakati. Pada tabungan mudharabah ini pengembalian dana
tidak dijamin dikembalikan semua karena terkait dengan
prinsip mudharabah yang menyatakan bahwa kerugian usaha
ditanggung seluruhnya oleh shahibul maal selama kerugian
tersebut tidak disebabkan karena kelalaian pihak mudharib
(Yaya, 2009: 54).
Adapun perbedaan antara tabungan wadiah dengan tabungan
mudharabah yaitu pada waktu penarikan. Penarikan dalam
tabungan wadiah dapat dilakukan sewaktu-waktu, biasanya
menggunakan akses ATM atau melalui teller bank atau juga
melalui agen-agen tertentu. Sedangkan pada tabungan
mudharabah hanya dapat dilakukan pada periode atau waktu
tertentu.
b) Deposito Mudharabah
Deposito mudharabah adalah simpanan dana dengan skema
pemilik dana mempercayakan dananya untuk dikelola oleh
bank dengan hasil yang diperoleh dibagi antara pemilik dana
dan bank dengan nisbah yang disepakati di awal. Dalam
transaksi deposito mudharabah, bank wajib memberitahukan
kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberian
21
keuntungan dana serta risiko yang timbul dari deposito
tersebut. Periode penyimpanan dana ini biasanya didasarkan
pada periode bulan. Deposito mudharabah hanya dapat ditarik
sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Adapun
pembayaran kepada pemilik dana dapat dilakukan dengan du
acara yaitu, dilakukan setiap ulang tanggal pembukaan deposito
atau dapat juga dilakukan setiap akhir bulan atau awal bulan
berikutnya tanpa memperhatikan tanggal pembukaan deposito.
(Yaya, 2009: 55).
22
Skema-skema Produk Perbankan Syariah
Dalam operasionalnya, bank syariah menggunakan beberapa skema yang
bersesuaian dengan syariah sebagaimana dijelaskan sbb:
Penghimpunan dana:
a) Wadiah (titipan)
b) Mudharabah (investasi)
Penyaluran dana:
Penyaluran dana Bank Syariah dilakukan dengan menggunakan tiga skema,
yaitu
1. Prinsip Jual Beli
Prinsip Jual Beli terdiri atas tiga,yaitu
a) Jual beli dengan skema murabahah
23
Jual beli dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Skema ini dapat digunakan oleh
bank untuk nasabah yang bersangkutan tidak memiliki uang pada saat
pembelian.
b) Jual beli dengan skema salam
Jual beli yang pelunasannya dilakukan terlebih dahulu oleh pembeli
sebelum barang pesanan diterima. Skema ini dapat digunakan oleh
bank untuk nasabah yang memiliki cukup dana, sedang yang
bersangkutan kurang memiliki bargaining power dengan penjual
dibanding sekiranya pembelian barang dilakukan oleh bank.
c) Jual beli dengan skema Istishna’
Jual beli yang didasarkan atas penugasan oleh pembeli kepada
penjual yang juga produsen untuk menyediakan barang atau suatu
produk sesuai dengan spesifikasi yang diisyaratkan pembeli dan
menjualnya dengan harga yang disepakati.
2. Prinsip Sewa
Prinsip sewa terdiri atas dua skema, yaitu:
a) Sewa dengan skema Ijarah
Transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa
untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.
Transaksi sewa dengan skema Ijarah bank adalah pemilik objek
sewa, sedangkan nasabah adalah penyewa.
b) Sewa dengan skema Muntahiya Bittamik
Transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa
untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disediakannya
dengan opsi perpindahan hak milik pada saat tertentu sesuai dengan
akad sewa.
2.10 Prinsip-Prinsip dalam Pelaksanaan Fungsi Jasa Keuangan Perbankan
Prinsip-prinsip dalam Pelaksanaan Fungsi Jasa Keuangan Perbankan
Pelaksanaan fungsi jasa keuangan perbankan dapat menggunakan prinsip
24
prinsip transaksi syariah yang etalah difatwakan oleh DSN. Beberapa prinsip itu
adalah:
1. Wakalah
Penyerahan, pendelegasian. atau pemberian mandat. Konteks muamalah
wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang (muwakkil) kepada
yang lain dalam hal – hal yang diwakilkan.
2. Kafalah
Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung
3. Hawalah
Pengalihan utang dari orang yang berhutang (muhil) kepada oranglain
yang menanggungnya (muhal’alaib)
4. Sharf
Prinsip yang digunakan dalam transaksi jual beli mata uang, baik antar
mata uang sejenis ataupun antar mata uang berlainan jenis.
5. Ijarah
Prinsip yang sangat banyak digunakan dalam pelaksanaan fungsijasa
keuangan bank syariah. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan barang
atau manfaat disebut sewa menyewa.
25
normatif sesuai dengan prinsip-prinsip kepatuhan, budaya kepatuhan, manajemen
resiko dan kode etik kepatuhan Bank Syariah Mandiri. Tetapi, pelaksanaan audit
internal di Bank Syariah Mandiri belum berjalan sesuai prinsip syariah. Karena,
masih ditemukannya paktik fraud, contohnya pada kasus pembiayaan fiktif Bank
Syariah Mandiri Kantor Cabang Sudirman Bogor. Dimana tiga pegawai Bank
Syariah Mandiri Bogor tersebut pemberian fasilitas pembiayaan kredit fiktif
terhadap 197 nasabah fiktif senilai Rp 102 miliar dan berpotensi mengalami
kerugian negara sebesar Rp 59 miliar.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lembaga Keuangan Syariah adalah badan usaha yang kegiatannya di bidang
keuangan syariah dan asetnya berupa aset-aset keuangan maupun non keuangan
berdasarkan prinsip syariah. Unsur kesesuaian suatu LKS dengan syariah Islam
secara tersentralisasi diatur oleh DSN, yang diwujudkan dalam berbagai fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut.
Bank Syariah menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Sitem operasional bank syariah
meliputi aspek penghimpunan dana dan penyaluran dana. Hal ini sesuai dengan
fungsi utama bank syariah yaitu sebagai lembaga keuangan dengan fungsi
utamanya menghimpun dan menyalurkan dana kepada orang atau lembaga yang
membutuhkan dengan system tanpa bunga
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dalam menambah ilmu mengenai prinsip-prinsip dan
system operasional bank syariah.
27
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Terori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2001
Yaya Rizal, Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009
Aliffanti, Dewi. 2014. Analisis Kinerja Keuangan Perbankan Syariah Sebelum dan
Sesudah Krisis Global Menggunakan Metode Camels Periode 2005-2012.
Undergraduate Thesis, STIE Perbanas Suarabaya. Hal 14.
https://www.syariahpedia.com/2019/09/asas-tujuan-dan-fungsi-bank-
syariah.html#:~:text=Pasal%202%20UU%20Perbankan%20Syariah,%2C%20dan
%20prinsip%20kehati%2Dhatian diakses pada 13 September 2020
https://nasional.kompas.com/read/2013/10/23/1501396/Beri.Kredit.Fiktif.Rp.102.Mil
iar.Tiga.Pegawai.BSM.Bogor.Ditangkap#:~:text=JAKARTA%2C
%20KOMPAS.com%20%2D%20Tiga,fiktif%20senilai%20Rp%20102%20miliar
diakses pada 14 September 2020
28
29
30