Anda di halaman 1dari 30

PRINSIP DASAR DAN SISTEM OPERASIONAL

BANK SYARIAH
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Perbankan Syariah
Dosen Pengampu: Santi Yustini, SE., M.Ak.

Disusun oleh:

Ahmad Rizky Naufal 11180850000009


Diflah Haula Nabiya 11180850000013
Zulfa Fadlullah 11180850000073
Aisyah Nurullah 11180850000082
Tasya Anindita 11180850000088

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH 5B
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa senantiasa
tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan para
sahabatnya.

Makalah yang berjudul “Prinsip Dasar dan Sistem Operasional Bank Syariah”
dalam penyusunan tugas ini, kami telah berusaha sebaik yang kami bisa. Namun tentu
saja, makalah ini tidak luput dari kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun, agar penyusunan makalah ini menjadi lebih baik.

Dalam pembuatan makalah ini kami mendapatkan dukungan dari berbagai


pihak. Untuk itu kami ingin mengucapakan rasa terima kasih kepada :

1. Santi Yustini, SE., M.Ak. selaku dosen mata kuliah Akuntansi Perbankan
Syariah
2. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan, baik secara moril maupun
materil kepada kami, dan
3. Rekan-rekan seperjuangan yang telah memberikan dukungan kepada kami

Kami berharap semoga penyusunan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya sebagai referensi untuk digunakan dalam pemnbelajaran terkait dan
penulis pada khususnya sebagai pembelajaran dalam penyusunan makalah analisis.

Tangerang, 13 September 2020

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................ii

Daftar Isi................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................. 4


1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penulisan........................................................................................ 5
BAB II ISI
2.1 Definisi Lembaga Keuangan Syariah.......................................................... 6
2.2 Larangan terhadap Transaksi yang Mengandung Barang atau Jasa yang
Diharamkan
......................................................................................................................
7
2.3 Larangan terhadap Transaksi yang Diharamkan Sistem dan Prosedur
Perolehan Keuntungannya
......................................................................................................................
8
2.4 Larangan terhadap Transaksi yang Tidak Sah Akadnya..............................13
2.5 Definisi, Asas, dan Tujuan Bank Syariah....................................................14
2.6 Fungsi Bank Syariah....................................................................................15
2.7 Sistem Operasional Bank Syariah................................................................16
2.8 Prinsip-Prinsip dalam Penghimpunan Dana Bank Syariah..........................18
2.9 Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah.......................................................22
2.10 Prinsip-Prinsip dalam Pelaksanaan Fungsi Jasa Keungan Perbankan.........24
2.11 Studi Kasus .................................................................................................25
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................................27
3.2 Saran.............................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prinsip syariah harus diperhatikan dalam pengelolaan suatu bank syariah.
Prinsip tersebut mengacu pada prinsip-prinsip hukum muamalah yang dapat
dijadikan sebagai landasan untuk memahami berbagai transaksi yang dilarang
dalam agama Islam terkait dengan aktivitas ekonomi antar-individu. Bank
syariah memiliki system operasional yang meliputi aspek penghimpunan dan
penyaluran dana. Sistem operasional pada bank syariah perlu dipahami sebagai
landasan untuk memahami model interaksi antara bank dengan nasabah yang
tidak bertentangan dengan syariah.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai:
1. Apa definisi lembaga keuangan syariah?
2. Apa saja larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa
yang diharamkan?
3. Bagaimana larangan terhadap transaksi yang diharamkan sistem dan
prosedur perolehan keuntungannya?
4. Bagaimana larangan terhadap transaksi yang tidak sah akadnya?
5. Apa definisi, asas, dan tujuan Bank Syariah?
6. Apa saja fungsi Bank Syariah?
7. Bagaimana system operasional Bank Syariah?
8. Apa saja prinsip-prinsip dalam penghimpunan dana Bank Syariah?
9. Apa saja prinsip penyaluran dana Bank Syariah?
10. Apa saja prinsip-prinsip dalam pelaksanaan fungsi jasa keungan perbankan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui definisi lembaga keuangan syariah
2. Untuk mengetahui larangan terhadap transaksi yang mengandung barang
atau jasa yang diharamkan

4
3. Untuk mengetahui larangan terhadap transaksi yang diharamkan sistem dan
prosedur perolehan keuntungannya
4. Untuk mengetahui larangan terhadap transaksi yang tidak sah akadnya
5. Untuk mengetahui definisi, asas, dan tujuan Bank Syariah
6. Untuk mengetahui fungsi Bank Syariah
7. Untuk mengetahui system operasional Bank Syariah
8. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam penghimpunan dana Bank Syariah
9. Untuk mengetahui prinsip penyaluran dana Bank Syariah
10. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam pelaksanaan dungsi jasa keuangan
perbankan.

1.4 Manfaat Penulisan


Kami berharap makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana dalam
pendalaman materi dan wadah untuk menyampaikan hasil bacaan dalam
bentuk tulisan. Selain itu, semoga pembaca juga dapat menjadikan makalah
ini sebagai sumber pengetahuan, informasi, dan referensi.

5
BAB II
ISI

2.1 Definisi Lembaga Keuangan Syariah


Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menurut Dewan Syariah Nasional (DSN)
adalah lembaga keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang
mendapat izin operasional sebagai lembaga keuangan syariah (DSN-MUI, 2003).
Lembaga Keuangan Syariah adalah badan usaha yang kegiatannya di bidang
keuangan syariah dan asetnya berupa aset-aset keuangan maupun non keuangan
berdasarkan prinsip syariah. Dan ada yang mengartikan sebagai berikut lembaga
keuangan syariah adalah badan usaha yang kekayaan utamanya berbentuk aset
keuangan, memberikan kredit dan menanamkan dananya dalam surat berharga.
Serta menawarkan jasa keuangan lain seperti: simpanan, asuransi, investasi,
pembiayaan, dll. Berdasarkan prinsip syariah dan tidak menyalahi dewan syariah
nasional.

Definisi ini menegaskan bahwa suatu LKS harus memenuhi dua unsur, yaitu
unsur kesesuaian dengan syariah Islam dan unsur legalitas operasi sebagai
lembaga keuangan.

Unsur kesesuaian suatu LKS dengan syariah Islam secara tersentralisasi


diatur oleh DSN, yang diwujudkan dalam berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga tersebut. Adapun unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan
diatur oleh berbagai institusi yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin
operasi. Beberapa institusi tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai institusi yang berwenang


mengatur dan mengawasi Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat,
asuransi, dan pasar modal.
2. Kantor Menteri Koperasi sebagai institusi yang berwenang mengatur
dan mengawasi koperasi termasuk BMT.

6
Fatwa-fatwa DSN biasanya bersifat umum untuk semua LKS, termasuk
Bank syariah. Adapun fatwa tersebut mengacu pada prinsip-prinsip hukum
muamalah yang dirumuskan oleh mayoritas ulama. Beberapa prinsip dalam
hukum muamalah adalah sebagai berikut.
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang
ditentukan lain oleh Alquran dan Sunah Rasul (prinsip mubah).
2. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa mengandung unsur-
unsur paksaan (prinsip sukarela).
3. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat
dan menghindarkan mudarat dalam hidup masyarakat (prinsip
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat).
4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari
unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam
kesempitan (prinsip keadilan).

2.2 Larangan terhadap Transaksi yang Mengandung Barang atau Jasa yang
Diharamkan

Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang


diharamkan sering dikaitkan dengan prinsip muamalah, yaitu keharusan
menghindar dari kemudaratan. Al Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW,
sebagai sumber hukum dalam menentukan keharaman suatu barang atau jasa ,
menyatakan secara ekslisit berbagai jenis bahan yang dinyatakan haram untuk
dimakan, diminum maupun dipakai oleh seorang muslim. Di antaranya adalah
meminum khamar (minuman keras) dan menggunakan bangkai, atau hewan yang
dilarang seperti babi, binatang bertaring untuk dimakan atau dipakai untuk
kosmetik. Al Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW juga secara eklisit
melarang dilakukannya berbagai jenis atau tindakan antara lain tindakan
prostitusi, mempertontonkan aurat, merusak akidah, menganiaya orang lain dan
sebagainya.

7
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi
makanan, minuman dan tindakan yang secara substansi sama dengan barang atau
jasa yang secara eksplisit dilarang Al Qur'an dan As-Sunnah. Dalam hal ini,
mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang sama dengan zat yang
diharamkan dalam Al Qur'an dan Sunnah Nabi.

Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram


zatnya tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan
yang terkait dengan aktivitas pengadaan jasa, produksi makanan, minuman dan
bahan konsumsi lain yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Dalam
pemberian pembiayaan, bank syariah dituntut untuk selalu memastikan kehalalan
jenis usaha yang dibantu pembiayaannya oleh bank syariah. Dengan demikian,
pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha yang
bergerak di bidang peternakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi
dan lainnya yang diharamkan.

2.3 Larangan terhadap Transaksi yang Diharamkan Sistem dan Prosedur


Perolehan Keuntungannya

Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama Islam juga melarang
transaksi yang diharamkan sistem dan prosedur perolehan keuntungannya.
Beberapa hal yang masuk kategori transaksi yang diharamkan karena sistem dan
prosedur perolehan keuntungan adalah:

1. Tadlis (ketidaktauan satu pihak)

Transaksi yang mengandung suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh
salah satu pihak. Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari empat hal
pokok dalam hal jual beli berikut:

a) Kuantitas
Salah satu pihak (pejual) misalnya mengurangi takaran barang yang
telah disepakati antara penjual dan pembeli.
b) Kualitas

8
Dalam hal kualitas, misalnya salah satu pihak (penjual) mengetahui
bahwa barang yang dijual memiliki cacat yang sekiranya diketahui
oleh pembeli, maka harga jual barang akan berkurang sesuai nilai
barang sebenarnya.
c) Harga
Praktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan
ketidaktauan pembeli tentang harga pasar, sehingga dapat menjual
produknya dengan harga tinggi.
d) Waktu Penyerahan
Praktik tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual dengan
menutupi kemampuan dalam menyerahkan barang yang sebenarnya
lebih lambat dari yang ia janjikan.

2. Gharar (ketidaktahuan kedua pihak)


Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khatr (pertaruhan)
sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah meyatakan al-gharar adalah
yang tidak jelas hasilnya (majhul al-aqibah). Sehingga menurut Syaikh
As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah
(ketidakjelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Dari
penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung
ketidakjelasan; perubahan, atau perjudian. Dalam masalah jual beli,
mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan
jual beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan
di dalamnya.
Jenis-Jenis Gharar:
Dilihat dari peristiwanya, jual beli gharar yang diharamkan bisa ditinjau
dari tiga sisi, yaitu:
a) Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum) , seperti jual beli habal
al habalah (janin dari hewan ternak).

9
b) Jual beli barang yang tidak jelas (majhul) , baik yang mutlak,
seperti pernyataan seseorang: “saya menjual barang dengan harga
seribu rupiah,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau
seperti ucapan seseorang: ”aku jual mobil ku ini kepadamu dengan
harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau
bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang:
“aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”. Namun ukuran
tanahnya tidak diketahui.
c) Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan. Seperti jual
beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri.
Ketidakjelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad
jual belinya.
Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti
segenggam dinar. Sedangkan ketidakjelasan pada barang, yaitu
sebagaimana dijelaskan diatas. Adapun ketidakjelasan pada akad, seperti
menjual dengan harga 10 dinar bila kontan dan 20 dinar bila diangsur,
tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Selain gharar yang diharamkan, ada pula gharar yang diperbolehkan
atau dimaafkan. Ibnu Qayyim juga mengatakan: “Tidak semua gharar
menjadi sebab pengharaman. Gharar , apabila ringan (sedikit) atau tidak
mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan
akad jual beli. Karena, gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi
rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang
tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya.
Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak
sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat lepas darinya.”
Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar
yang ringan, atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya
kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi
menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada hajat

10
untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali
dengan susah, atau ghararnya ringan.
Diluar gharar yang diharamkan dan yang diperbolehkan , terdapat
gharar yang masil diperselisihkan para ulama. Para ulama sepakat
tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih
berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan
sebagian mereka, diantarnaya Imam Malik, mengandung gharar-nya
ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan
menjual, sehingga memperbolehkannya. Sebagian yang lain,
diantaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, memandang gharar-nya
besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya sehingga
mengharamkannya.
Transaksi gharar memiliki kemiripan dengan tadlis. Dalam tadlis,
ketiadaan informasi terjadi pada salah satu pihak, sedangkan dalam
gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah pihak yang
bertransaksi jual beli.
a) Kuantitas
Misalnya pembelian seluruh hasil panen ketidak pohon atau
tanaman belum menunjukkan hasilnya. Dalam hal ini, pada saat jual
beli, baik penjual atau pembeli tidak tahu berapa kuantitas hasil
panen yang akan diperjualbelikan.
b) Kualitas
Misalnya penjualan sapi yang masih dalam perut induknya. Kedua
belah pihak, baik pembeli maupun penjual, tidak mengetahui
bagaimana kualitas sapi itu nantinya ketika lahir.
c) Harga
Gharar dalam hal harga dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak
pasti mengenai harga yang dipakai dalam jual beli yang disepakati.
d) Waktu penyerahan

11
Gharar dalam hal waktu penyerahan dapat terjadi jika kedua belah
pihak tidak tahu kapan barang akan diserahterimakan.

3. Bai’ Ikhtikar (rekayasa pasar dalam pasokan)


Merupakan bentuk lain dari transaksi jual beli yang dilarang oleh syariah
Islam. Ikhtikar adalah mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan
cara menimbun.

4. Bai’ Najasy (rekayasa pasar dalam permintaan)


Tindakan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak
permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk akan naik.
Upaya menciptakan permintaan-permintaan palsu antara lain:
a) Penyebaran isu yang dapat menarik orang lain untuk membeli
barang
b) Melakukan order pembelian semu untuk memunculkan efek
psikologis orang lain untuk membeli dan bersaing dalam harga
c) Melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta sentimen pasar.

5. Maysir (judi)
Ulama dan fuqaha mendefinisikan maysir (judi atau gambling) sebagai
sebuah permainan dimasa satu pihak akan memperoleh keuntungan
sementara pihak lainnya akan menderita kerugian. (Ibnu Qudama: Al
Mughni, 13/408).
Kata maysir dalam arti harfiahnya adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja.
Oleh karena itu disebut berjudi. Prinsip berjudi itu adalah terlarang, baik
itu terlihat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau
tidak berperan sama sekali. Dalam berjudi kita menggantungkan
keuntungan hanya pada keberuntungan semata, bahkan sebagian orang
yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang

12
semestinya kita tidak dapatkan atau menghilangkan suatu kesempatan.
Kata azlam dalam bahasa arab yang digunakan dalam Al-Qur’an juga
berarti praktek perjudian. Sementara itu maysir, menggunakan segala
bentuk harta dengan maksud untuk memperoleh suatu keuntungan
misalnya, lotre, bertaruh, atau berjudi dan sebagainya. Judi pada
umumnya dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk
taruhan, undian, atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk
perjudian adalah haram dalam Islam.

6. Riba
Secara bahasa, riba bermakna tambahan, tumbuh atau membesar.
Definisi riba yang dirumuskan oleh Imam Sarakhsi dalam Mabsur juz
XII, hlm.1009: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi
bisnis tanpa adanya padanan (iwas) yang dibenarkan syariah atas
penambahan tersebut.” Riba dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai
bunga uang. Ada banyak sekali literatur yang memberikan arti dari riba.
Secara sederhana, kita dapat mengartikan riba sebagai tambahan
pendapatan yang tidak sah. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan
pengertian riba sebagia pelepas uang, lintah darat, bunga uang, dan rente.
Sedangkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
disebutkan bahwa: “Riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah
(batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak
sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam
transaki pinjam meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima
Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman
karena berjalannya waktu (nasi’ah).

2.4 Larangan Terhadap Transaksi yang Tidak Sah Akadnya


Adapun akad menurut istilah adalah ketertarikan keinginan diri dengan
keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen yang

13
diisyaratkan. Hukum fiqih menyatakan bahwa akad yang sah harus dipenuhi,
sedang akad yang tidak sah tidak boleh dipenuhi.
Rukun-rukun akad sebagai berikut:
a) Adanya dua pihak atau lebih yang saling terikad dengan akad.
b) Adanya sesuatu yang diikat dengan akad, yakni barang yang dijual
dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan
sejenisnya.
c) Adanya pengucapan akad berupa ungkapan serah terima (ijab qabul).

2.5 Definisi, Asas, dan Tujuan Bank Syariah


Bank syariah terdiri dari dua kata, yaitu Bank dan syariah. Kata Bank
Bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan
dari dua pihak, yaitu pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan
dana. Kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian
berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpangan
dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesui dengan
hukum islam.
Bank Syariah menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
Pasal 2 UU Perbankan Syariah menyebutkan bahwa bank syariah berasaskan
pada tiga prinsip utama yaitu Prinsip Syariah, Demokrasi Ekonomi, dan Prinsip
Kehati-hatian. Dalam penjelasan atas UU Perbankan Syariah, dijelaskan bahwa
Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan
usaha yang tidak mengandung unsur:
1. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-
meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas

14
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasi’ah);
2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi
dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
5. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.
Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi
syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan
kemanfaatan. Sedang Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah
pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan
yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Selain sebagai bentuk pengejewantahan sistem ekonomi Islam, bank syariah
bertujuan sebagai bagian dari sistem perekonomian bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional. Pasal 3 UU Perbankan Syariah disebutkan:
“Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan
kesejahteraan rakyat.”

2.6 Fungsi Bank Syariah


Bank syariah memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi bisnis dan fungsi
sosial. Fungsi bisnis bank syariah berupa penghimpunan dana masyarakat dalam
bentuk simpanan dan penyalurannya dalam bentuk pembiayaan. Tujuan dari
fungsi bisnis adalah untuk mendapatkan keuntungan (profit). Sedangkan fungsi
sosial bank syariah berupa menghimpun dan menyalurkan dana ZISWAF.
Sebagaimana tercantum dalam UU Perbankan Syariah pasal 4 :

15
1. Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat.
2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk
lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,
infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat.
3. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal
dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir)
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
4. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.7 Sistem Operasional Bank Syariah


Secara umum bank syariah berfungsi sebagai penggerak perekonomian
suatu negara melalui transaksi keuangan dengan mengimplementasikan prinsip-
prinsip syariah dalam operasionalnya. Salah satu hal yang paling dihindari yaitu
praktek simpan-pinjam yang berbasis bunga (interest), hal ini bertujuan untuk
menjaga kesetaraan, keadilan, serta keseimbangan antara keuntungan di dunia
dan akhirat guna mewujudkan kemasalahatan bersama. Karena bisnis syariah
maupun bank syariah haruslah berdasarkan prinsip syariah, sehingga islam
mengajarkan untuk mencari harta dengan cara yang baik dan halal, maka dalam
kegiatan usahanya tidak boleh mengandung unsur: riba, gharar, maisir, haram,
dan batil (Antonio, 2001: 12).
Sitem operasional bank syariah meliputi aspek penghimpunan dana dan
penyaluran dana. Hal ini sesuai dengan fungsi utama bank syariah yaitu sebagai
lembaga keuangan dengan fungsi utamanya menghimpun dan menyalurkan dana
kepada orang atau lembaga yang membutuhkan dengan system tanpa bunga
(Suhendi, 1997: 27). Terkait dengan asas operasional bank syariah sendiri
berdasarkan pada pasal 2 UU Nomor 21 Tahun 2008, disebutkan bahwa
perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip

16
syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. System operasional bank
syariah dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Pertama, system operasional bank syariah dimulai dari kegiatan
penghimpunan dana dari masyarakat. Penghimpunan dana ini dapat dilakukan
dengan skema investasi maupun skema titipan. Jadi, dalam penghimpunan dana
dengan skema investasi, pihak nasabah sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan
pihak bank sendiri berperan sebagai pengelola dana atau biasa disebut dengan
mudharib. Sedangkan pada penghimpunan dana dengan skema titipan, bank
syariah hanya berperan sebagai penerima titipan.
Kedua, dana yang diterima oleh bank syariah selanjutnya akan disalurkan
kepada berbagai pihak, seperti mitra investasi, pengelola investasi, pembeli
barang, dan penyewa barang maupun jasa yang disediakan oleh bank syariah.
Pada saat barang disalurkan dalam bentuk investasi, bank syariah berperan
sebagai pemilik dana. Pada saat barang disalurkan dalam bentuk jual beli, bank
syariah berperan sebagai penjual, dan pada saat disalurkan dalam pengadaan
objek sewa, maka bank syariah berperan sebagai pemberi sewa. Ketika pihak
bank menawarkan barang maupun jasa yang akan disalurkan ke pihak tertentu,
maka barang maupun jasa yang akan ditawarkan dengan disertai akad yang
sesuai dengan ketentuan syariah dan disetuji oleh kedua pihak.
Ketiga, dari penyaluran dana berbagai pihak ini, bank syariah selanjutnya
menerima pendapatan berupa bagi hasil dan investasi, margin dari jual beli dan
fee dari sewa dan berbagai jenis pendapatan yang diperoleh dari instrument
penyaluran dana lain yang dibolehkan secara syariah.
Keempat, pendapatan yang diterima dari kegiatan penyaluran dana
selanjutnya dibagikan kepada nasabah pemilik dana atau penitip dana.
Penyaluran dana kepada nasabah pemilik dana ini harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan atau perjanjian dengan porsi bagi hasil yang telah disepakati.
Kelima, selain melaksanakan aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran
dana, bank syariah dalam operasionalnya juga memberikan jasa keuangan seperti
jasa ATM, transfer, letter of credit (LC), bank garansi, dan lain sebagainya. Oleh

17
karena jasa yang diberikan ini tanpa penggunaan dana dari pihak nasabah maka
pendapatan seutuhnya dapat dimiliki oleh pihak bank syariah tanpa harus dibagi
(Yaya, 2009: 51).
Dari ilustrasi diatas dapat disimpulkan bahwa system operasional dalam
bank syariah terdiri atas system penghimpunan dana, penyaluran dana, dan
penyedia jasa keuangan. Jika dibandingkan antara system operasional bank
syariah dan bank konvensional, perbedaanya terletak pada mekanisme perolehan
keuntungan.

2.8 Prinsip-prinsip dalam Penghimpunan Dana Bank Syariah


Bank sebagai salah satu lembaga keuangan memiliki peranan yaitu sebagai
penghimpun dana dari masyarakat. Kemudian dan yang dihimpun disalurkan
kembali kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha ataupun yang
lainya. Kegiatan menghimpun dana disebut juga dengan isitilah funding dan
kegiatan penyaluran dana disebut financing/lending.
Penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh bank konvensional
maupun syariah dilakukan dengan menggunakan instrument tabungan, deposito,
dan giro yang secara total biasa disebut dengan dana pihak ketiga. Akan tetapi,
pada bank syariah, klasifikasi penghimpunan dana bank syariah tidak didasarkan
pada nama instrument tersebut melainkan berdasarkan pada prinsip yang
digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), prinsip dana
yang digunakan dalam bank syariah ada dua, yaitu prinsip wadiah dan prinsip
mudharabah (Yaya, 2009: 52). Lebih lanjut menurut Wirdyaningsih (2005)
membagi penghimpunan dana dalam prinsip yang meliputi: giro wadiah atau
titipan, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah.
1. Penghimpunan Dana dengan Prinsip Wadiah
Wadiah berarti titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu
maupun badan hokum yang harus dijaga dan dikembalikan oleh yang
penerima titipan, kapanpun si penitip menghendaki. Wadiah sendiri
dibagi menjadi dua, yaitu wadiah yad-dhamanah dan wadiah yad-

18
amanah. Wadiah yad-dhamanah adalah titipan yang selama belum
dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan.
Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan, maka
seluruhnya menjadi hak penerima titipan. Menurut Firdaus (2005) pada
akad wadiah yad-dhamanah ini pihak yang dititipi bertanggung jawab
terhadap kehilangan atau kerusakan barang maupun uang yang
dititipkan dan penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang
dapat memanfaatkan barang tersebut. Sedangkan wadiah yad-amanah
adalah penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan
tersebut sampai si penitip mengambil kembali titipanya (Yaya, 2009:
52). Menurut Firdaus (2005) wadiah yad-amanah orang yang dititipi
barang (wadi') tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan
yang terjadi barang titipan selama bukan akibat dari kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan dalam pemeliharaan barang titipan
(karena sebab-sebab factor diluar kemampuannya). Hal ini dikemukakan
dalam sebuah Hadis Rasulullah: "jaminan pertanngungjawaban tidak
diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan
penerima titipan yang tidak lalai. Namun terdapat biaya titipan yang
dapat dibebankan kepada pihak penitip sebagai biaya penitipan.
Dalam tabungan wadiah, bank dan nasabah tidak boleh
mensyaratkan pembagian hasil keuntungan atas pemanfaatan harta
tersebut. Namun bank diperbolehkan memberikan bonus (fee) kepada
pemilik harta titipan (nasabah) selama tidak disyaratkan dimuka.
Dengan kata lain, pemberian bonus merupakan kebijakan bank yang
bersifat sukarela. Berdasarkan fatwa DSN tentang tabungan wadiah,
baik giro wadiah maupun tabungan wadiah sifatnya adalah titipan yang
bias diambil kapanpun oleh penitip tanpa adanya imbalan yang
disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat
sukarela dari pihak bank (Yaya, 2009: 52).
2. Penghimpunan Dana dengan Prinsip Mudharabah

19
Mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis kerja sama usaha
dimana pihak pertama menyediakan dana dan pihak kedua bertanggung
jawab atas pengelolaan usaha. Pihak yang menyediakan dana biasa
disebut dengan shahibul maal, sedangkan pihak yang mengelola usaha
disebut dengan mudharib. Keuntungan hasil usaha dibagikan sesuai
dengan dengan nisbah bagi hasil yang disepakati bersama sejak awal.
Akan tetapi, jika terjadi kerugian , shahibul maal akan kehilangan
sebagian imbalan dari hasil kerjanya selama usaha masih berjalan
(Yaya, 2009: 53).
Penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah dibagi atas dua
skema yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Dalam mudharabah muthlaqah, menjelaskan bahwa kedudukan bank
syariah adalah sebagai mudharib (pihak yang mengelola dana)
sedangkan nasabah adalah shahibul maal (pemilik dana). Artinya pihak
shahibul maal memberi kuasa penuh kepada mudharib untuk
menjalankan usaha tanpa adanya batasan apapun terkait usaha tersebut,
seperti jenis uasaha, tempat, pemasok, dan konsumen usaha.
Selanjutnya, hasil usaha yang diperoleh bank dibagi antara bank dengan
nasabah dengan nisbah yang sudah disepakati dimuka. Sedangkan dalam
mudharabah muqoyyadah, pihak shahibul maal memberi batasan kepada
mudharib dalam pengelolaan dana berupa jenis usaha, tempat, pemasok,
maupun konsumen. Mudharabah muqayyadah biasa disebut dengan
investasi terikat. Dalam mudharabah muqayyadah, kedudukan bank
hanya sebagai agen. Bank sebagai agen dalam hal ini hanya menerima
fee. (Yaya, 2009: 53).
Pada dasarnya pada semua bentuk kegiatan penghimpunan dana
bank syariah (tabungan, giro, deposito) dapat menggunakan prinsip
mudharabah muthlaqah. Dalam praktiknya, untuk semua keperluan
kegiatan tabungan, giro, dan deposito, perbankan syariah di Indonesia

20
umumnya menggunakan prinsip mudharabah muthlaqah (Yaya, 2009:
54).
a) Tabungan Mudharabah
Tabungan mudharabah adalah simpanan yang penarikanya
hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang telah
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang
dipersamakan dengan itu. Insentif pada tabungan mudharabah
adalah berupa bagi hasil yang wajib diberikan oleh bank jika
memperoleh keuntungan pada setiap periode yang disepakati
(biasanya 1 bulan) kepada nasabah dengan nisbah yang sudah
disepakati. Pada tabungan mudharabah ini pengembalian dana
tidak dijamin dikembalikan semua karena terkait dengan
prinsip mudharabah yang menyatakan bahwa kerugian usaha
ditanggung seluruhnya oleh shahibul maal selama kerugian
tersebut tidak disebabkan karena kelalaian pihak mudharib
(Yaya, 2009: 54).
Adapun perbedaan antara tabungan wadiah dengan tabungan
mudharabah yaitu pada waktu penarikan. Penarikan dalam
tabungan wadiah dapat dilakukan sewaktu-waktu, biasanya
menggunakan akses ATM atau melalui teller bank atau juga
melalui agen-agen tertentu. Sedangkan pada tabungan
mudharabah hanya dapat dilakukan pada periode atau waktu
tertentu.
b) Deposito Mudharabah
Deposito mudharabah adalah simpanan dana dengan skema
pemilik dana mempercayakan dananya untuk dikelola oleh
bank dengan hasil yang diperoleh dibagi antara pemilik dana
dan bank dengan nisbah yang disepakati di awal. Dalam
transaksi deposito mudharabah, bank wajib memberitahukan
kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberian

21
keuntungan dana serta risiko yang timbul dari deposito
tersebut. Periode penyimpanan dana ini biasanya didasarkan
pada periode bulan. Deposito mudharabah hanya dapat ditarik
sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Adapun
pembayaran kepada pemilik dana dapat dilakukan dengan du
acara yaitu, dilakukan setiap ulang tanggal pembukaan deposito
atau dapat juga dilakukan setiap akhir bulan atau awal bulan
berikutnya tanpa memperhatikan tanggal pembukaan deposito.
(Yaya, 2009: 55).

2.9 Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah


Perbankan syariah menjalankan fungsi yang sama dengan perbankan
konvensional, yaitu sebagai lembaga intermediasi (penyaluran), dari nasabah
pemilik dana (shahibul mal) dengan nasabah yang membutuhkan dana. Namun,
nasabah dana dalam bank syariah diperlakukan sebagai investor dan/atau penitip
dana. Dana tersebut disalurkan perbankan syariah kepada nasabah pembiayaan
untuk beragam keperluan, baik produktif (investasi dan modal kerja) maupun
konsumtif. Dari pembiayaan tersebut, bank syariah akan memperoleh bagi
hasil/marjin yang merupakan pendapatan bagi bank syariah. Jadi, nasabah
pembiayaan akan membayar pokok + bagi hasil/marjin kepada bank syariah.
Pokok akan dikembalikan sepenuhnya kepada nasabah dana sedangkan bagi
hasil/marjin akan dibagi hasilkan antara bank syariah dan nasabah dana, sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati.
Prinsip penyaluran dana Bank Syariah dilakukan dengan menggunakan
beberapa skema, antara lain yaitu: Skema jual beli, skema investasi, dan skema
sewa. Selanjutnya, skema jual beli dibagi lagi kepada beberapa jenis, yaitu jual
beli salam, murabahah, dan istishna. Begitu juga dengan skema investasi yang
dibagi kepada investasi mudharabah dan investasi musyarakah. Yang terakhir
yaitu skema sewa yang dibagi kepada dua jenis, yaitu ijarah dan ijarah muntahiya
bittamlik (IMBT).

22
Skema-skema Produk Perbankan Syariah
Dalam operasionalnya, bank syariah menggunakan beberapa skema yang
bersesuaian dengan syariah sebagaimana dijelaskan sbb:
Penghimpunan dana:

a) Wadiah (titipan)

Dengan skema wadiah, nasabah menitipkan dananya kepada bank


syariah. Nasabah memperkenankan dananya dimanfaatkan oleh bank
syariah untuk beragam keperluan (yang sesuai syariah). Namun bila
nasabah hendak menarik dana, bank syariah berkewajiban untuk
menyediakan dana tersebut. Umumnya skema wadiah digunakan dalam
produk giro dan sebagian jenis tabungan.

b) Mudharabah (investasi)

Dengan skema mudharabah, nasabah menginvestasikan dananya kepada


bank syariah untuk dikelola. Dalam skema ini, BSB berfungsi sebagai
manajer investasi bagi nasabah dana. Nasabah mempercayakan
pengelolaan dana tersebut untuk keperluan bisnis yang menguntungkan
(dan sesuai syariah). Hasil keuntungan dari bisnis tersebut akan dibagi
hasilkan antara nasabah dana dengan BSB sesuai nisbah yang telah
disepakai di muka.

Penyaluran dana:
Penyaluran dana Bank Syariah dilakukan dengan menggunakan tiga skema,
yaitu
1. Prinsip Jual Beli
Prinsip Jual Beli terdiri atas tiga,yaitu
a) Jual beli dengan skema murabahah

23
Jual beli dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Skema ini dapat digunakan oleh
bank untuk nasabah yang bersangkutan tidak memiliki uang pada saat
pembelian.
b) Jual beli dengan skema salam
Jual beli yang pelunasannya dilakukan terlebih dahulu oleh pembeli
sebelum barang pesanan diterima. Skema ini dapat digunakan oleh
bank untuk nasabah yang memiliki cukup dana, sedang yang
bersangkutan kurang memiliki bargaining power dengan penjual
dibanding sekiranya pembelian barang dilakukan oleh bank.
c) Jual beli dengan skema Istishna’
Jual beli yang didasarkan atas penugasan oleh pembeli kepada
penjual yang juga produsen untuk menyediakan barang atau suatu
produk sesuai dengan spesifikasi yang diisyaratkan pembeli dan
menjualnya dengan harga yang disepakati.
2. Prinsip Sewa
Prinsip sewa terdiri atas dua skema, yaitu:
a) Sewa dengan skema Ijarah
Transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa
untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.
Transaksi sewa dengan skema Ijarah bank adalah pemilik objek
sewa, sedangkan nasabah adalah penyewa.
b) Sewa dengan skema Muntahiya Bittamik
Transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa
untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disediakannya
dengan opsi perpindahan hak milik pada saat tertentu sesuai dengan
akad sewa.
2.10 Prinsip-Prinsip dalam Pelaksanaan Fungsi Jasa Keuangan Perbankan
Prinsip-prinsip dalam Pelaksanaan Fungsi Jasa Keuangan Perbankan
Pelaksanaan fungsi jasa keuangan perbankan dapat menggunakan prinsip

24
prinsip transaksi syariah yang etalah difatwakan oleh DSN. Beberapa prinsip itu
adalah:
1. Wakalah
Penyerahan, pendelegasian. atau pemberian mandat. Konteks muamalah
wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang (muwakkil) kepada
yang lain dalam hal – hal yang diwakilkan.
2. Kafalah
Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung
3. Hawalah
Pengalihan utang dari orang yang berhutang (muhil) kepada oranglain
yang menanggungnya (muhal’alaib)
4. Sharf
Prinsip yang digunakan dalam transaksi jual beli mata uang, baik antar
mata uang sejenis ataupun antar mata uang berlainan jenis.
5. Ijarah
Prinsip yang sangat banyak digunakan dalam pelaksanaan fungsijasa
keuangan bank syariah. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan barang
atau manfaat disebut sewa menyewa.

2.11 Studi Kasus


Setelah mengetahui mengenai prinsip-prinsip dan system operasional bank
syariah, apakah bank syariah di Indonesia selama ini telah menjalankan
kegiatannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah? Dan apakah bank syariah
tersebut dalam melakukan kegiatannya pernah melanggar prinsip syariah?
Berdasarkan jurnal milik Ade Sofyan Mulazid yang membahas studi kasus
pada Bank Syariah Mandiri, Jakarta, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
Bank Indonesia dan Dewan Pengawas Syariah telah melaksanakan pengawasan
terhadap kepatuhan syariah kepada Bank Syariah Mandiri. Kepatuhan syariah itu
sendiri telah dilaksanakan oleh seluruh jajaran Bank Syariah Mandiri secara

25
normatif sesuai dengan prinsip-prinsip kepatuhan, budaya kepatuhan, manajemen
resiko dan kode etik kepatuhan Bank Syariah Mandiri. Tetapi, pelaksanaan audit
internal di Bank Syariah Mandiri belum berjalan sesuai prinsip syariah. Karena,
masih ditemukannya paktik fraud, contohnya pada kasus pembiayaan fiktif Bank
Syariah Mandiri Kantor Cabang Sudirman Bogor. Dimana tiga pegawai Bank
Syariah Mandiri Bogor tersebut pemberian fasilitas pembiayaan kredit fiktif
terhadap 197 nasabah fiktif senilai Rp 102 miliar dan berpotensi mengalami
kerugian negara sebesar Rp 59 miliar.

26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lembaga Keuangan Syariah adalah badan usaha yang kegiatannya di bidang
keuangan syariah dan asetnya berupa aset-aset keuangan maupun non keuangan
berdasarkan prinsip syariah. Unsur kesesuaian suatu LKS dengan syariah Islam
secara tersentralisasi diatur oleh DSN, yang diwujudkan dalam berbagai fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut.
Bank Syariah menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Sitem operasional bank syariah
meliputi aspek penghimpunan dana dan penyaluran dana. Hal ini sesuai dengan
fungsi utama bank syariah yaitu sebagai lembaga keuangan dengan fungsi
utamanya menghimpun dan menyalurkan dana kepada orang atau lembaga yang
membutuhkan dengan system tanpa bunga

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dalam menambah ilmu mengenai prinsip-prinsip dan
system operasional bank syariah.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahim, Ahim, Rizal yaya, Aji Erlangga Martawireja. 2018. Akuntansi


Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat

Mohammad Firdaus, dkk, Konsep dan Implementasi Bank Syariah, Yakarta,


Renainsan, 2005

Wirdyaningsih, (2005) Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana


Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Terori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2001

Yaya Rizal, Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009

Aliffanti, Dewi. 2014. Analisis Kinerja Keuangan Perbankan Syariah Sebelum dan
Sesudah Krisis Global Menggunakan Metode Camels Periode 2005-2012.
Undergraduate Thesis, STIE Perbanas Suarabaya. Hal 14.

ekituntas.com/2019/03/prinsip-prinsip-penyaluran-dana-bank.html diakses pada 12


September 2020

https://www.syariahbukopin.co.id/id/syariah/sistem-syariah diakses pada 12


September

https://www.syariahpedia.com/2019/09/asas-tujuan-dan-fungsi-bank-
syariah.html#:~:text=Pasal%202%20UU%20Perbankan%20Syariah,%2C%20dan
%20prinsip%20kehati%2Dhatian diakses pada 13 September 2020

https://nasional.kompas.com/read/2013/10/23/1501396/Beri.Kredit.Fiktif.Rp.102.Mil
iar.Tiga.Pegawai.BSM.Bogor.Ditangkap#:~:text=JAKARTA%2C
%20KOMPAS.com%20%2D%20Tiga,fiktif%20senilai%20Rp%20102%20miliar
diakses pada 14 September 2020

28
29
30

Anda mungkin juga menyukai