Anda di halaman 1dari 20

RIBA DAN IMPLIKASINYA DALAM KEUANGAN SYARIAH

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah


Manajemen Keuangan Syariah
Dosen pengampu :
Elfa Septi Hanani, S.E., M.S.E.I

Disusun oleh kelompok 5 :


1. Fatikha Amalia (12402173139)
2. Novi Nihayatul Laili (12402173176)
3. Diki Pradana (12402173279)

KELAS 5-D
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji Syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufiq serta
hidayah-Nya, Sehingga kita bisa menyelesaikan penulisan Makalah yang berjudul “Riba dan
Implikasinya dalam Keuangan Syariah ”.Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, Yang telah memberikan penerang dan Ilmu Pengetahuan kepada
umatnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Elfa Septi Hanani S.E., M.SEI selaku dosen
mata kuliah Manajemen Keuangan Syariah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini di dalamnya terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa adanya saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini di
waktu yang akan datang.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Tulungagung, 05 September 2019

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. RumusanMasalah .................................................................................................... 1
C. Tujuan ...................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Alasan Riba dilarang .............................................................................................. 2


B. Sejarah Riba ............................................................................................................ 4
C. Pengertian Bunga dan Riba .................................................................................... 5
D. Jenis-Jenis Riba dan Hukumnya ............................................................................. 7
E. Riba dan Masalah Keuangan .................................................................................. 9
F. Bunga Bank dan Riba ........................................................................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 17
B. Saran ...................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya adalah
dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai merugikan dan
menyengsarakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah sistem riba yang
mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ada ganti atau imbalan yang disyaratkan
bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi/akad.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke
berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan
dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih
tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang
kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa riba dilarang?
2. Bagaimana sejarah riba?
3. Bagaimana pengertian bunga dan riba?
4. Bagaimana jenis-jenis riba dan hukumnya?
5. Bagaimana riba dan masalah dalam keuangan?
6. Bagaimana bunga bank dan riba?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui alasan riba dilarang
2. Untuk mengetahui sejarah riba
3. Untuk mengetahui pengertian bunga dan riba
4. Untuk mengetahui jenis-jenis riba dan hukumnya
5. Untuk mengetahui riba dan masalah keuangan
6. Untuk mengetahui bunga bank dan riba

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Alasan Riba Dilarang


Al-Razi mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba yaitu:
1. Riba merupakan perampasan hak milik orang lain tanpa memberikan nilai imbangan. Nabi
Muhammad SAW menyatakan bahwa harta seseorang haram bagi yang lain, begitu pula
darahnya. Sebagian ulama menolak pendapat mayoritas ini dengan menyatakan bahwa riba
halal bagi pihak kreditor sebagai imbalan atas penggunaan uang dan keuntungan yang diperoleh
debitur dari uang itu. Seandainya uang itu ada di tangan kreditor, ia dapat memperoleh
keuntungan dengan menginvestasikannya dalam suatu bisnis. Namun, perlu diingat bahwa
keuntungan dalam bisnis tidaklah pasti. Dengan demikian, jumlah tambahan yang diperoleh
kreditor sebagai pengganti untuk sesuatu yang tidak pasti merupakan suatu tindak kejahatan
kepada debitur.
2. Riba dilarang karena menghalangi orang dari keikutsertaan dalam profesi aktif. Orang kaya,
jika ia mendapat penghasilan dari riba, akan bergantung pada cara gampang dapat uang dan
tidak mau bekerja keras atau mencari uang dengan berdagang atau kerja. Keadaan itu tentu saja
menghambat kemajuan dan kemakmuran.
3. Kontrak riba memunculkan ketegangan dalam hubugan antara sesama manusia. Jika riba
diharamkan, seseorang tidak akan kesulitan memberi dan mengembalikan pinjaman. Jika riba
dibolehkan, orang-orang yang mengalami desakan kebutuhan akan meminjam meskipun
dengan tingkat bunga yang sangat tinggi sehingga hal itu akan mengakibatkan perpecahan dan
perselisihan serta menjerumuskan masyarakat dalam kemiskinan.
4. Kontrak riba merupakan sarana yang dipergunakan orang kaya untuk mendapatkan keuntungan
dari modal/ tindakan ini haram dan bertentangan dengan keadilan dan persamaan.
Konsekuensinya yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin.
5. Keharaman riba dinyatakan oleh Al-Quran dan manusia tidak mesti mengetahui alasannya. Kita
harus menghindarinya karena haram meskipun kita tidak tahu alasannya

2
Bagi mayoritas ulama, poin yang terakhir sudah cukup. Makna dan jangkauan riba serta
sifatnya yang merusak telah dijelaskan dalam al-Quran (al-Baqarah: 225). Pelarangan itu tidak
boleh diragukan, karena ayat “Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
menyuguhkan makna yang sangat jelas.Suatu dalil tekstual yang jelas tidak memerlukan klarifikasi
lebih jauh.Karena al-Quran telah menyatakan bahwa hanya modal yang harus diambil, tidak ada
alternative selain menafsirkan riba sesuai arahan ayat tersebut.Bagaimanapun keadaannya,
pemberi pinjaman tidak berhak menerima tambahan apa pun di luar pokok pinjaman.1

Riba diharamkan karena mengandung akibat negatif yang sangat besar, diantaranya :

1. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan menghabiskan seluruh semanagat
kerja atau saling tolong-menolong. Adapun semua agama, terutama islam sangay menyeru
perbuatan saling tolong menolong dan mengecam orang-orang yang mengutamakan
kepentingan sendiri dan mengksploitasi kerja keras orang lain.
2. Dapat menimbulkan mentalitas pemboros, malas bekerja, penimbunan harta tanpa kerja keras,
bagaikan benalu yang tumbuh di tas jerih payah orang lain. Islam sangat menghargai kerja keras
dan menghormati orang yang menjadikan pekerjaan sebagai mata pencaharian.
3. Riba merupakan salah satu cara menjajah, dan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya kepada si
miskin.
4. Mengakibatkan kebangkrutan usaha dan pada akhirnya bisa menimbulkan konflik, jika si
peminjam tidak sanggup mengembalikan pinjaman dan bunganya.2

B. Sejarah Riba
Para ulama fiqh membicarakan tentang riba, jika mereka memecahkan berbagai macam
persoalan muamalah.Banyak ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan riba sesuai dengan periode
larangan, sampai akhirnya datang larangan secara tegas pada akhir periode penetapan hukum riba.
Namun, orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan
sesama Yahudi.Tetapi, tidak terlarang dilakukan terhadap non-Yahudi. Hal ini ada di dalam Kitab

1
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007),
Hal 56-57.
2
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), Hal 23.

3
Ulangan ayat 19 pasal 23:“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang
maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan”.
Namun, Islam menganggap bahwa ketetapan-ketetapan yang mengharamkan riba yang
hanya berlaku pada golongan tertentu, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Lama merupakan
ketetapan yang telah dipalsukan. Sebab riba ini diharamkan bagi siapa saja dan terhadap siapa saja,
sebab tindakan ini adalah dhalim dan ke dhalim-an diharamkan kepada semua orang tanpa pandang
bulu.
Kajian tentang larangan riba di dalam pandangan Islam, telah jelas dinyatakan dalam Al-
Quran (2:278). Larangan tersebut dilatar belakangi suatu peristiwa atau asbabun nuzulnya ayat
yang menyatakan: “Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat 278-279 (QS:2)
berkenaan dengan pengaduan Banil Mughirah kepada Gubernur Mekah setelah Fathu Makkah,
yaitu ‘Attab bin As-yad tentang utang-utangnya yang berriba sebelum ada penghapusan riba
kepada Banu ‘Amr bin ‘Auf dari suku Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada ‘Attab bin As-yad:
“Kami adalah manusia yang paling menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar riba
oleh orang lain, sedang kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum penghapusan riba”.
Maka berkata Banu ‘Amr : “Kami minta penyelesaian atas tagihan riba kami”. Maka Gubernur
‘Attab menulis surat kepada Rasulullah SAW, yang dijawab oleh Nabi SAW sesuai dengan ayat
278-279:3“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”; “Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu:
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.Dari peristiwa ini, jelas bahwa setelah
datangnya hukum yang tidak memperbolehkan praktik riba, baik dalam bentuk besar maupun
kecil, maka praktik tersebut segera harus berhenti dan dinyatakan telah berakhir.Dengan demikian,
ketetapan ayat tersebut tidak hanya terbatas haramnya riba dalam kredit konsumtif, jika kita telah
mengetahui bahwa sebagian besar kredit yang dikeluarkan pada waktu itu bersifat produktif.Oleh
karena itu, kredit untuk hal-hal yang produktif dengan mengenakan riba adalah haram.Karena itu
adalah lebih tepat dan sangat patut jika haramnya riba mencakup kredit konsumtif.

3
Ibid, hlm. 132-134.

4
Secara kronologis berdasarkan urutan waktu, tahapan pengharaman riba dalam al-quran
sebagai berikut:
1. Pada periode Makkah turun firman Allah yang berbunyi “Dan sesuatu riba (tambahan)
yangkamu berikan supaya dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang orang yang
melipatgandakan pahalanya”. (QS. ar-Ruum [30]:39)
2. Pada periode Madinah turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas, yang berbunyi “Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu dikasihi” (QS Ali Imran [3]: 130)
3. Dan yang terakhir Firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mennggalkan sisa riba ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat bagimu pokok hartamu (modal), kamu tidak melakukan kezaliman dan tidak
pula dizalimi”.4

C. Pengertian Bunga dan Riba


Riba menurut pengertian bahasa berarti Az-ziadah (tambahan), yang dimaksud dalam Fikih
ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak.Misalnya si A memberi
pinjaman kepada si B dengan syarat harus mengembalikan uang pokok pinjaman beserta sekian
persen tambahannya. Riba dapat diartikan juga dengan segala jual beli yang haram, adapun yang
dimaksud disini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak
diketahui sama atau tidaknya menurut syara’ atau terlambat menerimanya.

Kata riba dalam bahasa inggris disebut usury, yang diartikan bunga yang terlalu tinggi atau
berlebihan. Zuhaili menyebutkan bahwa arti riba secara etimologi adalah tambahan. Imam
Sarkhasi mendefinisikan riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi jual beli tanpa
adanya iwadh (padaan). Al- Askalani menyatakan bahwa riba pada esensinya adalah kelebihan,
apakah itu berupa barang ataupun uang. Kemudian menurut Afzalurrahman, pada dasarnya, riba

4
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah, (Jakarta: Kencana,
2004), Hal 42-43

5
adalah pembayaran yang dikenakan terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terhadap pinjaman
pokok sebagai imbalan terhadap masa pinjaman itu berlaku.

Secara redaksional, ulama mendefinisikan riba berbeda-beda, namun secara substansinya


sama, yaitu suatu kelebihan dengan tanpa imbalan (pengganti) yang disyaratkan oleh salah satu
dari orang yang melakukan transaksi utang piutang, atau dengan kata lain, riba dikenal dengan
kelebihan keuntungan (harta) dari salah sattu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli
dan atau pertukaran barang yang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan
tersebut. Ekonom muslim menyarakan riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayarkan
baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam. Dalam ilmu ekonomi riba berarti
kelebihan pendapatan yang diterima oleh pemeri pinjaman yang diberikan oleh peminjam sebagai
upah atas dicairkannya sebagian harta dalam waktu yang telah ditentukan.5
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana
diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is a charge for a financial loan,
usually a percentage of the amount loaned. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang yang
biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.6

Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang
(al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa dipertimbangkan pemanfaatan/hasil
pokok tersebut berdasarkan tempo waktu yang diperhitungkan secara pasti dimuka dan pada
umumnya berdasarkan presentase. Ada pengertian lain dari bunga, yaitu:
1. Sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada
nasabah yang membeli atau menjual produknya.
2. Sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang
harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).
3. Bunga adalah tambahan yang diberikan oleh bank atas simpanan atau yang diambil oleh bank
atas hutang.

D. Jenis-jenis Riba dan Hukumnya

5
Marwini, “Kontroversi Riba Dalam Perbankan Konvensional dan Dampaknya Terhadap Perekonomian”,
Az-Zarqa’, Vol. 9, No, 1, 2017. Hal 3-4
6
Muhamad, Manajemen Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : UPP STIM YKPN, 2014), 134-135.

6
Penanaman atau pengelompokkan jenis riba adalah hasil ijtihad ulama. Oleh sebab itu,
banyak terjadi perbedaan pendapat antara mereka, baik dalam hal penamaan, definisi atau ciri-ciri
dan karakter dari jenis atau kelompok riba. Meskipun demikian, satu hal yang jelas dan disepakati
ulama adalah sumber adanya riba.Hanya ada dua jenis transaksi yang menjadi sumber atau
menyebabkan riba, pertama traksaksi utang piutang (pinjam-meminjam) baik uang atau barang
dan transaksi pertukaran atau jual beli. Pada dasarnya, Islam mengelompokkan transaksi utang
piutang ke dalam transasksi sosial atau tolong-menolong (tabarru), sedangkan transaksi jual beli
adalah transaksi bisnis atau komersial (tijarah).Artinya, secara tidak langsung bersumber
keberadaan riba bisa berasal dari transaksi social maupun komersial.7
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua.Masing-masing adalah riba utang
piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.8
1. Riba Qurudh
Riba Qurudh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berutang (muqtaridh). Riba Qurudh juga dapat diartikan jenis riba yang
terjadi dalam transaksi keuangan melalui pemberian pinjaman (utang). Sumbernya bisa
berasal dari tambahan (keuntungan) dari sebuah produk keuangan (investasi) atau
tambahan (bunga) dari pokok utang. Tambahan tersebut dijamin akan diberikan secara
tetap sampai dengan jatuh tempo tanpa memperhitungkan kinerja hasil investasi atau
usahanya. Pembayarannya dapat dilakukan secara (langsung) tunai atau dicicil selama
periode tertentu.
Produk investasi yang dapat menghasilkan riba qurudh adalah produk investasi
berbasis surat utang. Sama seperti pinjaman (baik ke bank atau bukan), akad yang
digunakan adalah akad utang atau pinjaman (biasanya dalam bentuk uang). Atas dasar
itulah maka bunga pinjaman (interest rate) dikategorikan riba sehingga haram hukumnya.
Seharusnya transaksi utang piutang menggunakan akad social (Qardh hasan) yang tidak
mengenakan bunga dalam perjanjiannya.
Banyak referensi yang menyebutkan bahwa riba Qurudh sama dengan riba jahiliah.
Keduanya sama-sama berhubungan dengan transaksi utang piutang dengan objek uang.

7
Irwan Abdalloh, Pasar Modal Syariah, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2018), Hal 24
8
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta:Gema Press, 2001), Hal 41

7
Penamaan Qurudh (Qard) didasarkan kepada asal muasal transaksi yang berbasis social
tetapi kemudian dipersyaratkan tambahan (riba). Sedangkan penamaan riba jahiliah,
berdasarkan pada pendapat ulama yang mengatakan bahwa riba yang dikenal dan
dilakukan masyarakat jahiliah (masyarakat sebelum islam datang) adalah riba yang muncul
dari pinjam meminjam uang.
Ada juga sebagian ulama yang mengelompokkan riba jahiliah berbeda dengan riba
qurudh meskipun jenis transaksinya sama yaitu utang piutang dengan objek uang.
Perbedaannya terletak pada kapan tambahan (riba) itu ada dalam transaksi utang piutang.
Apabila riba dibebankan kepada pihak peminjam (pengutang) sebagai dengan karena tidak
mampu mengembalikan uang (membayar utang) pada waktu yang telah disepakati maka
tambahan yang dibebankan disebut riba jahiliah. Riba qurudh merujuk kepada transaksi
utang piutang di mana tambahannya ditetapkan di depan pada saat transaksi terjadi dan
bersifat mengikat. Pada waktu jatuh tempo, utang yang harus dibayar adalah pokok dan
tambahannya.
2. Riba buyu’
Riba buyu’ menurut IOSCO adalah riba yang terjadi pada transaksi pertukaran (jual
beli) dengan objeknya adalah enam jenis barang yang secara jelas disebutkan dalam hadis
yaitu: emas, perak, gandum, garam, kurma, dan serealia (barley). Oleh sebab itu, ada ulama
yang mengatakan bahwa riba buyu’ adalah riba yang diharamkan oleh hadist. Keenam jenis
barang tersebut dikenal dengan istilah al-amwal al-ribawiyat (barang-barang ribawi).
Mayoritas ulama sepakat bahwa barang/benda/harta ribawi yang dimaksud dalam hadis
tersebut bersifat konstektual bukan tekstual. Misalnya, uang dalam transaksi keuangan saat
ini diqiyaskan ke emas dan perak karena dianggap ‘illatnya sama.
Berdasarkan hadis, ada dua syarat yang harus dipenuhi agar pertukaran atau jual
beli barang tidak termasuk riba, yaitu jumlah, timbangan, takaran harus sama dan
pembayaran atau serah terima barang harus dilakukan secara tunai. Apabila salah satu
syarat atau keduanya tidak dipenuhi, maka transaksi jual beli akan mengandung riba. Ada
ulama yang mengelompokkan riba buyu’ dengan riba fadhl, riba nasiah dan riba nasa’ (yad)
adalah satu jenis riba yang sama.9

9
Irwan Abdalloh, Pasar Modal ..., Hal 24-27

8
E. Riba dan Masalah Keuangan
Evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga keuangan. Lembaga
keuangan timbul karena kebutuhan modal untuk membiayai industri dan perdagangan. Modalnya
terutama berasal dari kaum pedagang (shahibul maal). Oleh karena pada waktu itu bankir
umumnya berasal dari pedagangn. Pelopor pendiri bank adalah kaum yahudi yang diikuti oleh
orang-orang pribumi Italia.
Dalam menjalankan bisnis, para pedagang, pengusaha selalu membutuhkan modal. Bisnis
kecil-kecilan biasanya pelakunya dapat mengatasi modalnya sendiri. Tetapi, apabila bisnis sudah
menunjukkan pada perkembangan yang besar dan untuk mengembangkan usahanya biasanya
membutuhkan modal yang cukup besar. Dalam hal ini, modal harus dicairkan dari sumber lain
dengan meminjam uang. Namun, tidak ada orang yang akan langsung percaya dengan
meminjamkan uang secara cuma-cuma apalagi dalam jumlah besar. Dari sinilah timbul keperluan
bank sebagai perantara antara mereka yang membutuhkan kredit dengan mereka yang surplus
modal. Bank tidak memandang keperluan konsumsi, produksi, perdagangan, atau jasa tetapi pada
umumnya pinjaman diarahkan kegiatan usaha. 10Kalaupun ada yang memerlukan untuk konsumsi,
bank hanya bersedia memberikan jika ada jaminan bahwa utang itu akan bisa dibayar. Karena itu
yang menjadi sasaran bukannya orang-orang miskin.
Bank harus mengenakan biaya untuk pinjaman, karena bankpun harus membayar ongkos
itu untuk bisa memberikan pinjaman, disini dikenal apa yang disebut modal murni, yaitu tingkat
bunga nominal dikurangi beberapa ongkos, seperti biaya-biaya administrasi, jaminan terhadap
keamanan utang pokok maupun bunganya, kemungkinan merosotnya daya beli uang, baik karena
inflasi maupun nilai tukarnya terhadap mata uang asing, dan juga ongkos-ongkos yang diperlukan
untuk menjaga keutuhan uang karena pembayaran dengan cara angsuran. Semua ongkos itu
tentunya harus dipikul oleh debitur. Bank menarik semua ongos itu dalam rangka menjaga amanat
pemilik modal.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka hubungan riba dengan masalah keuangan sangat
berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut :
Pandangan Islam Tentang Uang
Persoalan riba sebenarnya sangat berkaitan dengan masalah uang sebagai perbandingan
dengan teori ekonomi konvensional (kapitalisme), Islam membicarakan uang sebagai sarana

10
Muhamad, Manajemen Keuangan.., hlm 142.

9
penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang dagangan. Uang menjadi berguna
hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena
itu, uang tidak bisa dijual atau dibeli secara kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah
SAW, bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah
tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda bernilai lainnya untuk pertukaran yang
tidak sama jumlahnya, serta menunda pembayaran jika barang dagangan atau mata uangnya sama.
Efeknya adalah mencegah bunga uang yang masuk ke sistem ekonomi melalui cara yang tidak
diketahui.
Di dalam ekonomi islam, uang bukanlah sebuah modal. Karena uang merupakan publik.
Dan sementara modal adalah barang pribadi.
Secara definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan penyimpan nilai
semua barang. Dengan adanya uang, maka dapat dilakukan proses jual beli produksi. Dengan uang,
hasil penjualnnya itu ia dapat membeli barang keperluannya. Jika dengan sengaja orang memupuk
uangnya atau tidak dibelanjakan berarti uang tersebut tidak beredar. Hal ini sama artinya dengan
menghalangi proses atau kelancaran jual beli produk dipasaran. Jadi, proses jual beli tidak dapat
dipisahkan dengan uang.

Menurut Ibn Taymiyah, ”uang dalam Islam adalah sebagai alat tukar dan alat ukur nilai.
Melalui uang nilai suatu barang akan diketahui, dan mereka tidak menggunakannya untuk diri
sendiri atau dikonsumsi. Disisi lain, kaitannya dengan masalah uang Al-Ghazali mengatakan
bahwa uang bagaikan kaca, kaca tidak memiliki warna tetapi ia dapat merefleksikan semua warna.
Uang tidak memiliki harga tetapi uang dapat merefleksikan semua harga. Melihat fungsi uang
tersebut, menunjukkan bahwa dalam Islam adanya uang dapat memberikan fungsi kegunaan atau
kepuasan kepada pemakainya.

Dapat disimpulkan bahwa fungsi uang adalah sebagai media pertukaran (untuk transaksi),
jaga-jaga atau investasi, dan satuan hitung untuk pembayaran (public goods). Uang merupakan
sesuatu yang mengalir (flow concept) dan sebagai barang publik (public goods) yang dapat dikaji
secara terperinci sebagai berikut:

1. Money as Flow Concept


Yang berputar untuk diproduksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan
ekonomi masyarakat. Sementara, jika uang ditahan maka dapat menyebabkan mancetnya roda

10
perekonomian, sehingga dapat menyebabkan krisis atau penyakit ekonomi lainnya. Dalam
ajaran Islam, uang harus diputar terus sehingga dapat mendatangkan keuntungan yang lebih
besar misalnya digunakan investasi disektor rill. Jika uang disimpan, tidak diinvestasikan
kepada sektor rill, maka tidak akan mendatangkan apa-apa. Penyimpanan uang yang telah
mencapai nishab dan haulnya, menurut ajaran Islam akan dikenai zakat.
2. Money as Public Goods
Uang adalah barang untuk masyarakat banyak, bukan monopoli perorangan. Sebagai
barang publik, maka masyarakat dapat menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain.
Oleh karena itu, dalam tradisi Islam menumpuk uang sangat dilarang, sebab kegiatan
menumpuk uang akan mengganggu orang lain menngunakannya. Dari gambaran uang sebagai
air yang mengalir dan barang publik, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara modal
dengan uang. Kaitan antara uang dengan modal dapat dikiaskan antara kendaraan dengan
jalan. Kendaraan adalah barang atau milik pribadi dan jalan adalah barang atau milik umum.
Jadi, modal adalah milik pribadi dan uang adalah milik umum.11

Pandangan Islam Tentang Nilai Waktu Dan Uang

Dalam sistem ekonomi Islam, ada ajaran kuat dalam Islam yaitu terdapat dalam surat Al-
Ashr:1-3. Dari suarat Al-Ashr ini menunjukkan bahwa waktu bagi semua orang adalah sama
kuantitasnyanya yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Namun nilai dari waktu itu
akan berbeda dari satu orang dengan orang lainnya. Perbedaan waktu tersebut tergantung pada
bagaimana seseorang memanfaatkan waktu. Semakin efektif dan efesien, maka akan semakin
tinggi nilai waktunya dan akan mendatangkan keuntungan bagi siapa saja yang melaksanakannya.

Dalam Islam, keuntungan bukan hanya keuntungan didunia, namun yang dicari adalah
keuntungan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu bukan saja harus efektif
dan efisien. Namun juga harus didasari dengan keimanan yang akan mendatangkan keuntungan di
akhirat. Islam mengajarkan carilah keuntungan akhirat tetapi jangan lupakan keuntungan dunia.

Implikasi dalam dunia bisnis, ajaran Al-Quran tersebut mengindikasikan bahwa dalam
bisnis selalu dihadapkan pada untung dan rugi yang tidak dapat dipastikan untuk masa yang akan
datang. Bisnis pada dasarnya adalah hubungan antara return dan risk. Sebagaimana dijelaskan

11
Ibid., Hal 142 – 143.

11
pada konsep time value of money, bahwa sebagai pengganti atas situasi ketidakpastian, maka
dimunculkan konsep discount rate.

Dalam ekonomi Islam, penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan harga mu’ajjal
(bayar tangguh) dapat dibenarkan. Hal tersebut dibenarkan karena (1) jual beli dan sewa menyewa
adalah sektor rill yang menimbulakan Economic Value Added (nilai tambah ekonomis), (2)
tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya
(menyerahkan barang dan jasa),sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak
lain. Demikian pula penggunaan discount rate dalam menentukan nisbah bagi hasil, juga dapat
digunakan. Nisbah akan dikaitkan dengan pendapatan aktual, bukan dengan pendapatan yang
diharapkan. Transaksi bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa.
Sebab dalam transaksi bagi hasil, hubungan antara kedua pihak tidak terjadi antara penjual dengan
pembeli atau penyewa dengan yang menyewakan melainkan hubungan pemodal dengan yang
memproduksikan modal tersebut. Hak bagi mereka berdua akan timbul ketika usaha memproduksi
modal tersebut telah menghasilkan pendapatan atau keuntungan. Hak mereka adalah berbagi hasil
atas pendapatan atau keuntungan tersebut sesuai kesepakatan awal apakah bagi hasil itu akan
dilakukan atas pendapatan atau keuntungan.

Dengan demikian, uang itu sendiri sebenarnya tidak memiliki nilai waktu, namun waktulah
yang memiliki nilai ekonomi dengan catatan memang dimanfaatkan secara baik. Dengan adanya
nilai waktu tersebut, kemudian dapat diukur dengan istilah atau batasan-batasan ekonomi.

Dengan transaksi mudharabah/musyarakah dan transaksi jual beli memastikan keterkaitan


antara sektor moneter dan sektor rill. Oleh karena itu pula, salah satu rukun jual beli adalah ada
barang ada uang ( ma’kud’alaih). Dengan demikian, future trading dan margin tranding yang tidak
diikuti dengan goods delivery adalah tidak sah. Berkenaan dengan ini, maka pada dasarnya konsep
Islam menjaga keseimbangan antara sektor riil dan sektor moneter.

Didalam ekonomi islam, tidak dikenal dengan adanya permintaan uang untuk spekulasi.
Sebab spekulasi tidak di perbolehkan dalam islam. Dalam islam, harta adalah sesuatu yang dikenai
zakat jika disimpan telah mencapai haulnya.

Cara-cara pengembangan uang yang tidak mengandung riba

12
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong
umatnya untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Oleh karena itu, upaya
untuk memutar modal dalam investasi sehingga mendatangkan return dalam ajaran Islam tentang
mekanisme investasi bagi hasil harus dikembangkan, sehubungan dengan masalah kapital dan
keahlian.

Melalui kerjasama ekonomi akan terbangun pemerataan dan kebersamaan. Implikasi dari
kerjasama ekonomi ialah aspek sosial politik dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secra
musyawarah untuk memperjuangkan kepentingan bersama di bidang ekonomi, kepentingan negara
dan kesejahteraan rakyat. Ajaran Islam mendorong pemeluknya untuk selalu menginvestasikan
tabungannya. Disamping itu, dalam melakukan investasi tidak menuntut secara pasti akan hasil
yang akan datang. Hasil investasi di masa yang akan datang sangat dipengaruhi banyak faktor ,
baik faktor yang dapat diprediksi maupun tidak. Faktor yang dapat diprediksikan atau dihitung
sebelumnya adalah: berapa banyaknya modal, berapa nisbah yang disepakati, berapa kali modal
dapat diputar. Sementara faktor yang efeknya tidak dapat dihitung secara pasti atau sesuai dengan
kejadian adalah return (perolehan usaha).12

G. Bunga bank dan Riba

Pesatnya pertumbuhan lembaga keuangan syariah dengan berbagai instrumen


menimbulkan optimisme sikap masyarakat terhadap riba. Walaupun sudah banyak disebutkan
tentang larangan riba. Ada sejumlah pertanyaan tentang riba yang selalu menajadi perdebatan.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sangatkan menarik tetapi hal ini bukan disebabkan oleh
kerancuan Al-Quran dan As-Sunnah mengenai riba. Definisi ini sudah sangat jelas, sepanjang
sejarah bahwa riba adalah dilarang tanpa diragukan lagi. Namun pertanyaan yang sering muncul
adalah apa yang dimaksud riba? Di antara mazhab pemikiran islam berpendapat bahwa riba
mencakup bunga (interest) dalam segala bentuknya. Tetapu beberapa ulama tidak serta merta
menerima pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba. Kontroversi menganai hal
ini terus terjadi perdebatan, baik dikalangan mahasiswa, para ulama, maupun ekonom muslim.

12
Ibid.,Hal 144-149.

13
Ada beberapa pendapat ulama terkait dengan perdebatan riba dan bunga bank. Pertama,
mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk al- A’immah al-Mujtahidin dari kalangan Sunni dan
Syi’i. Sedangkan dari kalangan neo-revevalis, seperti Abu A’la al-maudidi, melihat riba dari segi
dampak yang ditimbulkan. Mereka sepakat bahwa hukum riba an-nasiah adalah haram
berdasarkan surat al-baqarah ayat 275-278. Jenis riba an-nasi’ah adalah praktek riba yang terjadi
pada masa jahiliyah pra-Islam. Terkait perdebatan adapah bunga bank sama dengan riba atau tidak,
al-Maudidi menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba yang dilarang. Pernyataan al-Maudidi
adalah sesuai dengan fatwa Majlis Ulama Indonesia yang berpendapat bahwa bunga bank adalah
haram. Menurut Adiwarman karim, bunga bank dalam perbankan konvensional termasuk riba an-
nasi’ah. Praktek ini seringkali muncul dalam pembayaran bunga deposito, tabngan, giro dan lain-
lain. Karim menjelaskan lebih jauh bahwa keharaman bunga bank karena bank sebgai kreditur
mensyaratkan pembayaraan bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal
transaksi. Padalah bisa jadi nasabah yang mendapatkan pinjaman tersebut belum tentu untung,
tetapi ia harus membayar bunganya ke bank, dan bank tidak mau tau apakah nasabah tersebut
untung atau rugi. Disinilah adanya unsur yang mendhalimi dan ketidakadilan. Unsur-unsur seperti
ini tidak diperbolehkan dalam islam.

Pendapat kedua, menurut ulama modernis, seperti Muhammad Abduh dan Rasyaid Ridha,
berpendapat bahwa bunga bank dapat dikategorikan riba jika bunga tersebut berlipat ganda.
Pendapat ini didasarkan pada ayat al-Quran Surat Ali-Imran (3): 130. Konsekwensinya adalah
Abduh membolehkan bunga bank dengan alasan bahwa, Pertama, bunga bank adalah tidak bersifat
menindas, justru mendorong kemajuan ekonomi;Kedua, manabung di bank pada dasarnya
merupakan pengkongsian (mudharabah), walaupun tidak sama persis dengan yang diformalkan
dalam fikih;Ketiga,sebagai konsekwensi alasan pertama, yaitu perbankan dapat mendorong
kemajuan dalam bidang-bidang lain disamping ekonomi. Pendapat ini juga oleh Muhammad
Hasan dan Umer Chapra yang menyatakan bahwa riba diharamkan karena berlipat ganda dan
ekspoitatif. Sehingga ia berpendapat bahwa hukum bunga lembaga-lembaga keuangan modern
adalah tidak haram karena tidak sama dengan riba pada zaman jahiliyyah yang berlipat ganda dan
eksploitatif.

Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad menerjemahkan riba sebagai usury dari pada bunga.
Menurut Abdul Aziz Jawish dan Hafni Nasif istilah riba sama dengan usury, tetapi mereka

14
membedakan antara usury (riba) dan Interest (bunga). Menurutnya usury adalah jika tambahan itu
sama atau lebih besar dari jumlah pinjamannya, sedangkan interest (bunga) jika tambahan itu lebih
kurang dari pokoknya.

Pendapat ketiga, menurut pedapat Fazlurrahman (1984), muhammad Asad (1984) dan Said
Najjar (1989) bahwa riba dikatakan haram karena eksploitatif. Mereka memahami ayat-ayat tiba
lebih melihat pada aspek moral dari pada legal-formalnya sehingga mereka berpendapat bahwa
hukum bunga bank menjadi fleksibel dan relatif. Jadi bunga bank yang dilarang adalah yang dalam
prakteknya ada unsur eksploitasi terhadap debitur. Jika tidak, maka bunga bank tidak dilarang.
Douallibi (Syiria) membedakan antara pinjaman produktif dan pinjaman konsumtif. Ia
berpendapat bahwa dalam pinjaman produktif diperbolehkan ada bunga, sedangkan dalam
pinjaman konsumtif tidak diperbolehkan karena ada unsur eksploitasi orang yang lemah.13

13
Marwini, “ Kontroversi Riba dalam ...”, Hal 8-11

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Riba diharamkan karena mengandung akibat negatif yang sangat besar, diantaranya: riba
dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan menghabiskan seluruh semangat kerja atau
saling tolong-menolong, dapat menimbulkan mentalitas pemboros, malas bekerja, penimbunan
harta tanpa kerja keras, bagaikan benalu yang tumbuh di tas jerih payah orang lain, islam sangat
menghargai kerja keras dan menghormati orang yang menjadikan pekerjaan sebagai mata
pencaharian, riba merupakan salah satu cara menjajah, dan eksploitasi (pemersan) oleh si kaya
kepada si miskin, mengakibatkan kebangkrutan usaha dan pada akhirnya bisa menimbulkan
konflik, jika si peminjam tidak sanggup mengembalikan pinjaman dan bunganya.
Secara redaksional, ulama mendefinisikan riba berbeda-beda, namun secara substansinya
sama, yaitu suatu kelebihan dengan tanpa imbalan (pengganti) yang disyaratkan oleh salah satu
dari orang yang melakukan transaksi utang piutang, atau dengan kata lain, riba dikenal dengan
kelebihan keuntungan (harta) dari salah sattu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli
dan atau pertukaran barang yang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan
tersebut.

B. Saran
Menyadari bahwa kami sebagai penulis masih jauh dari kata sempurna, ke depannya kami
akan lebih detail dalam menjelaskan makalah di atas dengan sumber yang lebih banyak yang dapat
kami pertanggung jawabkan. Untuk pengembangan lebih lanjut maka penulis menganjurkan
kepada pembaca supaya lebih mempelajari lebih dalam tentang “Riba dan Implikasinya dalam
Keuangan Syariah” agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam proses pembelajaran.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdalloh, Irwan. 2018. Pasar Modal Syariah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Press.
Dewi, Gemala. 2004. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Peransuransian Syariah.
Jakarta: Kencana.
Lewis, Mervyn K dan Latifa M. Algaoud. 2007. Perbankan Syariah. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
Mardani. 2017. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Marwini. 2017. Kontroversi Riba dalam Perbankan Konvensional dan Dampaknya Terhadap
Perekonomian. Az-Zarqa. Vol 9. No 1.
Muhammad. 2014. Manajemen Keuangan Syariah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN

17

Anda mungkin juga menyukai