PENDAHULUAN
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian rahn/gadai ?
2. Apa landasan hukum rahn ?
3. Apa rukun dan syarat rahn?
4. Bagaimana hak dan kewajiban rahn ?
5. Bagaimana pemanfaatan barang rahn ?
6. Apa saja jenis agunan pembiayaan pada akad rahn ?
7. Bagaimana implementasi rahn dalam LKS ?
8. Kapan berakhirnya akad rahn ?
BAB II
1
PEMBAHASAN
Dalam istilah bahasa arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga di
namai al-hasbu (Pasaribuan, 1996: 139). Menurut Sabid (1987:139), rahn adalah
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai
jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa
mengambil sebagian (manfaat barangnya itu).1 Secara etimologi rahn berarti tetap dan
lama. Sedangkan menurut istilah ialah penahanan terhadap suatu barang sehingga
dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Rahn juga bisa diartikan
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai
jaminan utang. Sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya
semua atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad berupa menggadaikan
barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan utang sebagai gantinya. 2
Menurut kalangan ulama Syafiyah mendefinisikan rahn adalah menjadikan
suatu barang sebagai jaminan atas utang, agar pemberi utang dapat menjualnya
sewaktu-waktu bila pihak pengutang tidak membayar utangnya.
Berdasarkan pemaparan diatas, jadi Rahn/Gadai adalah jaminan yang
diserahkan oleh pihak pengutang kepada yang memberi utang. Pemberi utang
mempunyai kuasa penuh untuk menjual barang jaminan tersebut apabila pihak
pengutang tidak mampu membayar utangnya saat jatuh tempo. Apabila uang hasil
penjualan barang jaminan tersebut melebihi jumlah utang, maka sisanya harus
dikembalikan kepada pengutang, namun bila kurang dari jumlah utang, pihak
pengutang harus menambahinya agar tersebut terbayar lunas.3
Para ulama telah sepakat pada rahn, barang (ain) yang benjadi jaminan harus
memiliki nilai menurut pandangan syara dan berwujud kongkrit, karena barang
jaminan tersebut harus bisa digunakan untuk membayar seluruh atau sebagian utang-
utang si rahn dan barang jaminan tersebut bukan yang wujud najis atau barang yang
terkena najis yang tidak mungkin untuk dihilangkan.4
Sifat Rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma, sebab apa yang
diberikan penggadai (rahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang di berikan
1
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, cet 2, (Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2011), hlm. 112
2
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2009), hlm.168.
3
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, cet 1, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016 ), hlm. 193
4
Vol. 14, No. 1, Agustus 2014
2
murtaqin/penerima gadai adalah berupa utang, bukan penukar atas barang yang
digadaikan. Rahn juga termasuk akad yang ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan
qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah
memegang (al-qablu).5
5
Djuwaini Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 262.
6
Vol. 14, No. 1, 2016
3
b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangan menjadi
milik kewajiban rahin.
Ketiga : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua pihak, maka penyelesaiannya melalui Badan
Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan 25 Rahn Dewan
Syariah Nasional MUI melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
7
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, cet 1, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016 ), Hlm. 195-198
4
2. Jumlah utang dapat tertutupi dengan nilai barang yang digadaikan.
Dengan kata lain jumlah utang tidak boleh melebihi dari nilai barang
yang menjadi jaminan.
3. Hak utang harus jelas
Berdasarkan kesepakatan ulama, syarat yang terkait dengan barang yang
digadaikan atau yang menjadi jaminan utang adalah sama halnya dengan syarat
barang yang menjadi objek jual beli. Hal ini karena barang jaminan tersebut harus
dapat dijual oleh penerima jaminan disaat orang yang menggadaikan tidak mampu
membayar hutangnya. Syatar-syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek
jual beli adalah:
1. Barang yang digadaikan harus benar-benar ada dan nyata. Transaksi terhadap
barang yang belum atau tidak ada tidak sah, begitu juga barang yang belum
pasti adanya, seperti binatang yang masih di dalam kandungan induknya.
2. Objek transaksi berupa barang yang bernilai, halal dapat dimiliki, dapat
disimpan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
3. Barang yang dijadikan objek transaksi merupakan hak milik secara sah dan
kepemilikan sempurna.
4. Objek harus dapat diserahkan saat transaksi. Berdasarkan syarat ini maka tidak
sah menggadaikan binatang liar, ikan di lautan atau burung yang berada di
awang, karena tidak dapat diserahkan kepada pembeli.
5. Barang yang digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti
emas, perak logam mulia, kendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat ini
maka tidak sah menjadikan makanan yang mudah busuk, seperti kue basah
sebagai jaminan utang, karena tidak tahan lama.
Menurut ulama Hanafiah, syarat barang Syarat-syarat barang yang digadaikan
harus barang yang berharga, jelas, dapat diserahterimakan, dapat disimpan tahan
lama, terpisah dari barang lainnya, baik benda bergerak maupun tidak bergerak dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan harus pada waktu
akad dan dapat diserahterimakan.
2. Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai.
3. Barang yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan,
sekiranya barang tersebut dapat untuk meluunasi hutang.
4. Barang harus jelas, spesifkasinya, ukuran, jenis, jumlah, kualitas, dan
seterusnya.
5. Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna
6. Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah.
7. Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan
5
8. Barang yang digadaikan harus utuh, tidak sah menggadaikan sebuah mobil
hanya seperempat atau separuh.
Rahn dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana dijelaskan
di atas. Apabila salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi, maka rahn tidak sah.
Hak Kewajiban
9
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, cet 1, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), hlm. 198-199
10
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 288
7
b. Agunan tambahan, yaitu berupa barang, surat berharga, atau garansi risiko yang
tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai.
Marhun bih
(pembiayaan)
Murtahin Rahin
(2) Akad Pembiayaan (nasabah)
(bank)
(3) Utang + mark up
Marhun
(1) Titipan/gadai pembiayaan (jaminan)
11
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, cet 1, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), hlm. 202-203
8
1. Melalui bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan
dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila
barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggung
jawab.
2. Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang
digadaikan atas perintah hakim.
3. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank.
Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan tersebut
menjadi milik nasabah.
4. Bila hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah
menutupi kekurangannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
12
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2009), hlm. 122
9
1. Rahn/Gadai adalah jaminan yang diserahkan oleh pihak pengutang kepada yang
memberi utang. Pemberi utang mempunyai kuasa penuh untuk menjual barang
jaminan tersebut apabila pihak pengutang tidak mampu membayar utangnya saat
jatuh tempo. Apabila uang hasil penjualan barang jaminan tersebut melebihi
jumlah utang, maka sisanya harus dikembalikan kepada pengutang, namun bila
kurang dari jumlah utang, pihak pengutang harus menambahinya agar tersebut
terbayar lunas.
2. Rukun rahn ada empat, yaitu pemberi gadai (rahin), penerima gadai (mutahin),
barang jaminan (marhun), utang (marhun bih), menurut Hanafiah rukun Rahn
adalah ijab dan qabul dari rahn dan murtahin.
3. Hak dan Kewajiban Rahn/Gadai dari penerima gadai (murtahin) dan pemberi
gadai (rahin).
4. Jenis agunan pembiayaan terdiri dari :
a. Agunan pokok
b. Agunan tambahanSaran
5. Implementasi Rahn Dalam Lembaga Keuangan Syariah.
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut yaitu Rahn
dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan
(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai al
murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad
tersebut.
6. Akad Rahn dapat berakhir apabila barang yang telah diserahkan kembali kepada
pemiliknya, rahin membayar hutangnya, barang rahn dijual dengan perintah
hakim atas perintah rahin, pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun
tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Imam, 2016. Fiqih Muammalah Kontemporer, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Ghofur, Anshori Abdul, 2011. Gadai Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
10
Wangsawidjaja, 2012. Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Ghofur, Anshori Abdul, 2009. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Jurnal Ilmiah Al-Syarah Volume. 14, No. 1, 2016 Institut Agama Islam Negeri (IAIN
Manado)
11