Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam Negara yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah


dasar atau aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga
muamalah (hubungan antara makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan
lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara
mereka. Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh
sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi sosial dengan
sesama manusia, khususnya berkenan dengan berpindahnya harta dari satu tangan
ketangan yang lainnya.

Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan


fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya di zaman ini. Sehingga
orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam
meminjamkan hartanya. Dalam jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara
orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (Gadai). Para ulama
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi
syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah
tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa
mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan menjelaskan apa
itu gadai dan hukumnya.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian rahn/gadai ?
2. Apa landasan hukum rahn ?
3. Apa rukun dan syarat rahn?
4. Bagaimana hak dan kewajiban rahn ?
5. Bagaimana pemanfaatan barang rahn ?
6. Apa saja jenis agunan pembiayaan pada akad rahn ?
7. Bagaimana implementasi rahn dalam LKS ?
8. Kapan berakhirnya akad rahn ?
BAB II
1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Rahn (Gadai)

Dalam istilah bahasa arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga di
namai al-hasbu (Pasaribuan, 1996: 139). Menurut Sabid (1987:139), rahn adalah
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai
jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa
mengambil sebagian (manfaat barangnya itu).1 Secara etimologi rahn berarti tetap dan
lama. Sedangkan menurut istilah ialah penahanan terhadap suatu barang sehingga
dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Rahn juga bisa diartikan
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai
jaminan utang. Sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya
semua atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad berupa menggadaikan
barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan utang sebagai gantinya. 2
Menurut kalangan ulama Syafiyah mendefinisikan rahn adalah menjadikan
suatu barang sebagai jaminan atas utang, agar pemberi utang dapat menjualnya
sewaktu-waktu bila pihak pengutang tidak membayar utangnya.
Berdasarkan pemaparan diatas, jadi Rahn/Gadai adalah jaminan yang
diserahkan oleh pihak pengutang kepada yang memberi utang. Pemberi utang
mempunyai kuasa penuh untuk menjual barang jaminan tersebut apabila pihak
pengutang tidak mampu membayar utangnya saat jatuh tempo. Apabila uang hasil
penjualan barang jaminan tersebut melebihi jumlah utang, maka sisanya harus
dikembalikan kepada pengutang, namun bila kurang dari jumlah utang, pihak
pengutang harus menambahinya agar tersebut terbayar lunas.3
Para ulama telah sepakat pada rahn, barang (ain) yang benjadi jaminan harus
memiliki nilai menurut pandangan syara dan berwujud kongkrit, karena barang
jaminan tersebut harus bisa digunakan untuk membayar seluruh atau sebagian utang-
utang si rahn dan barang jaminan tersebut bukan yang wujud najis atau barang yang
terkena najis yang tidak mungkin untuk dihilangkan.4
Sifat Rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma, sebab apa yang
diberikan penggadai (rahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang di berikan
1
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, cet 2, (Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2011), hlm. 112
2
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2009), hlm.168.
3
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, cet 1, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016 ), hlm. 193
4
Vol. 14, No. 1, Agustus 2014
2
murtaqin/penerima gadai adalah berupa utang, bukan penukar atas barang yang
digadaikan. Rahn juga termasuk akad yang ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan
qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah
memegang (al-qablu).5

B. Landasan Hukum Rahn6


Hukum gadai adalah sunnah bagi yang memberikan utang dan mubah bagi
yang berhutang. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 283.
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)
Sedangkan dalam Sunnah Rasulullah SAW dapat ditemukan pada ketentuan
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori.
Dari Aisyah r.a dia berkata Rasulullah saw pernah membeli makanan dari seorang
Yahudi dengan berhutang dengan tempo tertentu, beliau menjadikan baju perangnya
sebagai jaminan utang tersebut.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang
Rahn.
Petama : Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam
bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.
Kedua : Ketentuan Umum
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang)
sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun
(barang) tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin (penerima barang) kecuali
seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu
sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi utangnya.

5
Djuwaini Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 262.
6
Vol. 14, No. 1, 2016
3
b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangan menjadi
milik kewajiban rahin.
Ketiga : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua pihak, maka penyelesaiannya melalui Badan
Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan 25 Rahn Dewan
Syariah Nasional MUI melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.

C. Rukun dan Syarat Rahn7


Rukun rahn ada empat, yaitu
1. Pemberi gadai (rahin)
2. Penerima gadai (mutahin)
3. Barang jaminan (marhun)
4. Utang (marhun bih)
Menurut Hanafiah rukun Rahn adalah ijab dan qabul dari rahn dan murtahin.
Dalam setiap akad, unsur dan rukunya harus memenuhi syarat. Berkaitan
dengan rahn, syarat bagi para pihak yang berakad sama dengan syarat dalam akad
lainnya. Syarat tersebut adalah para pihak harus berakal, sudah baligh, tidak dalam
paksaan atau tidak terpaksa. Pasal 330 KHES menyebutkan bahwa para pihak yang
melakukan akad gadai harus sudah cakap hukum. Cakap hukum disini berarti berakal,
sudah dewasa atau baligh serta tidak dalam paksaan.
Terkait syarat sighat atau akad, kalangan Hanafiyah mensyaratakan agar akad
tidak terikat dengan syarat tertentu, tidak bergantung pada suatu kejadian mendatang.
Akad rahn yang terikat oleh suatu syarat misalnya, penerima mau melaksanakan akad
dengan syarat pemberi jaminan mau membeli barang tertentu miliknya. Sementara
akad yang digantungkan dengan suatu kejadian dimasa mendatang misalnya akad
rahn berlangsung selama tidak turun hujan, apabila turun hujan, maka akad tidak jadi.
Adanya persyaratan dan penggantungan akad dengan sesuatu yang lain diluar akad
maka akan membuat akad tersebut rusak.
Syarat yang terkait dengan hutang adalah:
1. Utang merupakan hak yang harus di bayar

7
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, cet 1, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016 ), Hlm. 195-198
4
2. Jumlah utang dapat tertutupi dengan nilai barang yang digadaikan.
Dengan kata lain jumlah utang tidak boleh melebihi dari nilai barang
yang menjadi jaminan.
3. Hak utang harus jelas
Berdasarkan kesepakatan ulama, syarat yang terkait dengan barang yang
digadaikan atau yang menjadi jaminan utang adalah sama halnya dengan syarat
barang yang menjadi objek jual beli. Hal ini karena barang jaminan tersebut harus
dapat dijual oleh penerima jaminan disaat orang yang menggadaikan tidak mampu
membayar hutangnya. Syatar-syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek
jual beli adalah:
1. Barang yang digadaikan harus benar-benar ada dan nyata. Transaksi terhadap
barang yang belum atau tidak ada tidak sah, begitu juga barang yang belum
pasti adanya, seperti binatang yang masih di dalam kandungan induknya.
2. Objek transaksi berupa barang yang bernilai, halal dapat dimiliki, dapat
disimpan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
3. Barang yang dijadikan objek transaksi merupakan hak milik secara sah dan
kepemilikan sempurna.
4. Objek harus dapat diserahkan saat transaksi. Berdasarkan syarat ini maka tidak
sah menggadaikan binatang liar, ikan di lautan atau burung yang berada di
awang, karena tidak dapat diserahkan kepada pembeli.
5. Barang yang digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti
emas, perak logam mulia, kendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat ini
maka tidak sah menjadikan makanan yang mudah busuk, seperti kue basah
sebagai jaminan utang, karena tidak tahan lama.
Menurut ulama Hanafiah, syarat barang Syarat-syarat barang yang digadaikan
harus barang yang berharga, jelas, dapat diserahterimakan, dapat disimpan tahan
lama, terpisah dari barang lainnya, baik benda bergerak maupun tidak bergerak dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan harus pada waktu
akad dan dapat diserahterimakan.
2. Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai.
3. Barang yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan,
sekiranya barang tersebut dapat untuk meluunasi hutang.
4. Barang harus jelas, spesifkasinya, ukuran, jenis, jumlah, kualitas, dan
seterusnya.
5. Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna
6. Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah.
7. Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan

5
8. Barang yang digadaikan harus utuh, tidak sah menggadaikan sebuah mobil
hanya seperempat atau separuh.
Rahn dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana dijelaskan
di atas. Apabila salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi, maka rahn tidak sah.

D. Hak dan Kewajiban 8


Hak dan Kewajiban Rahn/Gadai

Penerima Gadai (murtahin)

Hak Kewajiban

1. Penerima gadai (murtahin) 1. Murtahin bertanggung jawab atas


mendapatkan biaya administrasi hilang atau merosotnya harga
yang telah dikeluarkan untuk marhun bila itu disebabkan oleh
menjaga keselamatan harta benda kelalaian.
2. Murtahin tidak boleh
gadai (marhun).
2. Murtahin mempunyai hak menggunakan barang gadai untuk
menahan marhun sampai semua kepentingan pribadinya.
3. Murtahin berkewajiban memberi
utang (marhun bih) dilunasi.
3. Penerima gadai berhak venjual informasi kepada rahin sebelum
marhun apabila rahin pada saat mengadakan pelelangan harta
jatuh tempo tidak dapat benda gadai.
memenuhi kewajiban. Hasil
penjualan diambil sebagian untuk
melunasi marhun bih dan sisanya
dikembalikan kepada rahin.

Pemberi Gadai (Rahin)

1. Pemberi gadai (rahin) berhak 1. Rahin berkewajiban melunasi


mendapatkan pembiayaan dan atau marhun bih (semua utang) yang
jasa penitipan. telah diiterimanya dalam tenggang
2. Rahin berhak menerima kembali
waktu yang telah ditentukan,
harta benda yang digadaikan
termasuk biaya lain yang
sesudah melunasi hutangnya.
3. Rahin berhak menuntut ganti rugi
8
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, cet 1, (Yogyakarta : Graha Ilmu,
2010), hlm. 174-175
6
atas kerusakan dan/atau hilangnya disepakati.
2. Pemeliharaan marhun pada
harta benda yang digadaikan.
4. Rahin berhak menerima sisa hasil dasarnya menjadi kewajiban rahin.
penjualan harta beda gadai sesudah Namun jika dilakukan oleh
dikurangi biaya pinjaman dan murtahin, maka biaya
biaya lainnya. pemeliharaan tetap menjadi
5. Rahin berhak meminta kembali
kewajiban rahin. Besar biaya
harta benda gadai jika diketahui
pemeliharaan tidak boleh
adanya penyalahgunaan
ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman.
3. Rahin berkewajiban merelakan
penjualan marhun bila dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan
ternyata tidak mampu melunasi
pinjamannya.

E. Pemanfaatan Barang Gadaian9


Terkait pemanfaat barang gadaian oleh orang yang menggadaikan, ada dua
pendapat dari kalangan ulama. Mayoritas ulama selain Syafiyah berpendapat bahwa
orang yang menggadaikan tidak boleh memanfaatkan barang gadaian. Sementara
kalangan Syafiiyah memperbolehkan pihak yang menggadaikan memanfaatkan
barang gadaian selama tidak menimbulkan perselisihan dengan pihak penerima gadai.
Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa pihak yang menggadaikan tidak
boleh memanfaatkan barang yang telah digadaikannya, apapun jenis, bentuk barang
tersebut, baik kendaraan, tempat tinggal dan lainnya, kecuali penerima gadai
megizinkannya. Hal ini juga berlaku bagi penerima gadai, dia tidak diperbolehkan
memanfaatkan barang gadai atau jaminan kecuali diizinkan oleh pihak yang
menggadaikan. Argumentasi kalangan Hanafiah, karena hak menahan barang tersebut
berada di tangan penerima gadai.

F. Jenis Agunan Pembiayaan10


Jenis agunan pembiayaan terdiri dari :
a. Agunan pokok, yaitu berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan
pembiayaan yang bersangkutan.

9
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, cet 1, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), hlm. 198-199
10
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 288
7
b. Agunan tambahan, yaitu berupa barang, surat berharga, atau garansi risiko yang
tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai.

G. Implementasi Rahn Dalam Lembaga Keuangan Syariah. 11


Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut : Rahn dipakai
sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral)
terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai al murabahah. Bank dapat
menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut. Alur praktik rahn dalam
Lembaga Keuangan Syariah umumnya adalah sebagai berikut :
1. Nasabah menyerahkan jaminan (marhun) kepada bank syariah (murtahin).
Jaminan ini berupa barang bergerak.
2. Akad pembiayaan dilaksanakan antara rahin (nasabah) dan Vurtahin (bank
syariah).
3. Setelah kontrak pembiayaan ditandatangani, dan agunan diterima oleh bank
syariah, maka bank syariah mencairkan pembiayaan.
4. Rahin melakukan pembayaran kembali ditambah dengan fee yang telah
disepakati. Fee ini berasal dari sewa tempat dan biaya untuk pemeliharaan agunan.
Praktik rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat diimplikasikan
dalam skema berikut.
(1) Permohonan Pembiayaan

Marhun bih
(pembiayaan)

Murtahin Rahin
(2) Akad Pembiayaan (nasabah)
(bank)
(3) Utang + mark up

Marhun
(1) Titipan/gadai pembiayaan (jaminan)

11
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, cet 1, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), hlm. 202-203
8
1. Melalui bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan
dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila
barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggung
jawab.
2. Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang
digadaikan atas perintah hakim.
3. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank.
Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan tersebut
menjadi milik nasabah.
4. Bila hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah
menutupi kekurangannya.

H. Berakhirnya Akad Rahn12


Akad Rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Barang yang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
2. Rahin membayar hutangnya.
3. Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin.
4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari
pihak rahin.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
12
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2009), hlm. 122
9
1. Rahn/Gadai adalah jaminan yang diserahkan oleh pihak pengutang kepada yang
memberi utang. Pemberi utang mempunyai kuasa penuh untuk menjual barang
jaminan tersebut apabila pihak pengutang tidak mampu membayar utangnya saat
jatuh tempo. Apabila uang hasil penjualan barang jaminan tersebut melebihi
jumlah utang, maka sisanya harus dikembalikan kepada pengutang, namun bila
kurang dari jumlah utang, pihak pengutang harus menambahinya agar tersebut
terbayar lunas.

2. Rukun rahn ada empat, yaitu pemberi gadai (rahin), penerima gadai (mutahin),
barang jaminan (marhun), utang (marhun bih), menurut Hanafiah rukun Rahn
adalah ijab dan qabul dari rahn dan murtahin.
3. Hak dan Kewajiban Rahn/Gadai dari penerima gadai (murtahin) dan pemberi
gadai (rahin).
4. Jenis agunan pembiayaan terdiri dari :
a. Agunan pokok
b. Agunan tambahanSaran
5. Implementasi Rahn Dalam Lembaga Keuangan Syariah.
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut yaitu Rahn
dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan
(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai al
murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad
tersebut.

6. Akad Rahn dapat berakhir apabila barang yang telah diserahkan kembali kepada
pemiliknya, rahin membayar hutangnya, barang rahn dijual dengan perintah
hakim atas perintah rahin, pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun
tidak ada persetujuan dari pihak rahin.

DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Imam, 2016. Fiqih Muammalah Kontemporer, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

S, Barhanuddin, 2010. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Edisi 1. Cet 1.


Yogyakarta : Graha Ilmu.

Ghofur, Anshori Abdul, 2011. Gadai Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

10
Wangsawidjaja, 2012. Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Ghofur, Anshori Abdul, 2009. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Dimyauddin, Djuwaini, 2008. Pengantar Fiqh Muammalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Volume. 14, No. 1, Agustus 2014

Jurnal Ilmiah Al-Syarah Volume. 14, No. 1, 2016 Institut Agama Islam Negeri (IAIN
Manado)

11

Anda mungkin juga menyukai