Anda di halaman 1dari 14

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Hukum Perikatan Islam”
Dosen Pengampu :
Mundhori S.E., M.E.

Disusun Oleh Kelompok 6 :

1. Farida Nurul Azizah (931422318)


2. Ida Ambarwati (931424518)
3. Rizky Sandi (931422318)

JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
kita tercinta yakni Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di
akhirat nanti.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangannya.Untuk itu, kami
sebagai penulis mengharapkan kritik serta saran daripada pembaca, supaya kami
dapat memperbaikinya menjadi lebih baik lagi.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mundhori sebagai
dosen pengampu mata kuliah Hukum Perikatan Islamyang telah membimbing
kami dalam mengerjakan tugas ini sehingga kami dapat belajar dan berproses
dalam pembuatan makalah ini.Demikian, semoga makalah ini bermanfaat.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kediri, 6 April 2020

Penyusun

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak dan kewajiban adalah dua sisi yang saling bertimbal balik
dalam suatu transaksi. Haka salh satu pihak merupakan kewajiban bagi
pihak lain, begitupun sebaliknya kewajiban salah satu pihak menjadi hak
bagi pihak ang lain. Keduanya saling berhadapan dan diakui dalam hukum
Islam. Dalam Hukum islam, hak adalah kepentingan yang ada pada
perorangan atau masyarakat, atau pada keduanya, yang diakui oleh syara’.
Berhadapan dengan hak seseorang terdapat kewajiban orang lain untuk
menghormatinya. 1 Namun demikian, secara umum pengertian hak adalah
sesuatu yang kita terima, sedangkan kewajiabn adalah sesuatu yang harus
kita tunaikan atau laksanakan.
Hak dan kewajiban adalah dua sudut yang berhadapan dalam suatu
perikatan. Salah satu pihak mempunyai hak merupakan kewajiban di satu
pihak yang lain, demikian juga sebaliknya. Di satu pihak mempunyai
kewajiban merupakan hak di pihak yang lain. Dari pengertian tersebut,
maka hak adalah sesuatu yang diterima, sedangkan kewajiban
adalahsesuatu yang dipenuhi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hak dan kewajiban itu?
2. Apa saja jenis-jenis hak?
3. Apa sumber atau sebab hak?
4. Bagimana akibat hukum dari suatu hak?
5. Bagaimana pelanggaran dalam penggunaan hak?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hak dan kewajiban.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis hak.
3. Untuk mengetahui sumber atau sebab hak.

1
Ahmaf Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: Bag Penerbit Fak
Hukum UII,2000), 19

3
4. Untuk mengetahui akibat hukum dari suatu hak.
5. Unttuk mengetahui pelanggaran dalam penggunaan hak.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak dan Kewajiban
Dalam kamus terdapat banyak sekali pengertian dari kata hak.
Salah satu arti kata “hak” menurut bahasa adalah kekuasaan yang benar
atas sesuatu atau untuk menurut sesuatu.2 Berdasakan kajian hukum
Islam/fiqih terjadi beberapa definisi mengenai hak oleh para ahli fiqih,
akan tetapi dari beberapa versi tersebut pada hakekatnya ada kesamaan
yaitu pada sumber akhir dari hak itu sendiri, menurut ulama fiqih
pengertian hak antara lain adalah:3
1. Menurut sebagian ulama mutaakhirin: “Hak adalah sesuatu hukum
yang ditetapkan secara syara”.
2. Menurut Syekh Ali Al-Khafifi (asal Mesir): “Hak adalah
kemaslahatan yang diperoleh secara syara”.
3. Menurut Ustadz Mustafa Az-Zarqa (ahli Fiqih Yordania asal
Suria): “Hak adalah suatu kekhususan yang padanya ditetapkan
syara’ untuk kekuasaan atau taklif”
4. Menurut Ibnu Nujaim (ahli fiqih Mazhab Hanafi): “Hak adalah
sesuatu kekhususan yang terlindungi.”
Dari pengetian di atas dapat dipahami bahwa hak bagi subyek
perikatan adalah sesuatu yang diperoleh dari tiap tiap subyek perikatan
yang dilindungi oleh syara’ melalui perikatan (aqad) yang disepakati
kedua belah pihak.
Kata kewajiban berasal dari kata wajib. Dalam pengertian bahasa kata
wajib berarti sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh untuk tidak
dilaksanakan. Wajib juga bisa diartikan sebagai salah satu kaidah dari
hukum taklifi yang berarti hukum yang bersifat membebani perbuatan
mukalaf. Jadi, bisa lebih difokuskan pemahaman kewajiban dalam

2
Gemala Dewi, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Depok: Prenada, 2005), 60.
3
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), 3.

5
pengertian akibat hukum dari suatu akad yang biasa diistilahkan sebagai
“iltizam.4
Secara istilah iltizam adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan
pihak lain berbuat memberikan sesuatu atau melakukan suatu perbuatan
atau tidak berbuat sesuatu.5
Iltizam atau suatu perbuatan harus dipenuhi melalui suatu
perbuatan yang menjadi mahallul iltizam, seperti kewajiban seorang buruh
(musta’jir) dalam akad ‘arriyah harus dipenuhi dengan perbuatan
mengembalikan barang yang dipinjam kepada pemiliknya.

Hak yang berupa taklif atau kewajiban pada pihak lain disebut haqqul
syahsi, sedangkan hak yang berupa al-syultah (kewanangan) atas sesuatu
barang disebut haqqul yaqin. Dengan demikian, yang dikehendai dengan
hak dalam konteks iltizam adalah hak syahsi, bukan hak ‘aini.
Adapun yang menjadi sumber utama iltizam, yaitu:6
1. Aqad (kehendak kedua belah pihak)
2. Iradah al munfaridah (kehendak sepihak)
3. Al-fi’lun nafi (perbuatan yang bermanfaat)
4. Al-fi’lu al dharr (perbuatan yang merugikan)
Iltizam terhadap utang pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang
yang berutang secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu hokum
Islam memberikan beberapa alternative pemenuhan iltizam ini, misalnya
melalui cara:7

a. Hawalah, yakni pengalihan iltizam (dalam hal ini adalah


“keharusan membayar utang”) kepada orang lain (pihak
ketiga).
b. Kafalah (“mengumpulkan, menjamin, dan menanggung”),
yaitu jaminan yang diberikan oleh pihak penanggung (al-kafil)

4
Ahmaf Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: Bag Penerbit Fak
Hukum UII,2000), 80.
5
Ibid., 83
6
Gemala Dewi, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Depok: Prenada, 2005), 62.
7
Ibid.

6
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua,
yakni pihak yang ditanggung (al-makful). Dalam hawalah
terjadi penagihan utang, sedangkan yang terjadi di kafalah
adalah pengalihan iltizam, bukan pengalihan utang.
c. Taqashi, sesuatu keadaan dimana orang berpiutang terhalang
menagih piutangnya karena ia sendiri berutang kepada orang
yang berpiutang kepada dirinya. Dalam kondisi seperti masing-
masing hanya terhalang untuk menuntut hak tagihan, namun
mereka tetap terbebani dengan iltizam masing-masing.

B. Jenis- Jenis Hak8


1. Dilihat dari segi pemilik hak
a. Hak Allah, seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah dan seluruh hak Allah tidak dapat digugurkan.
b. Hak Manusia, untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi
manusia. Disini hak manusia bias digugurkan, diubahnya,
diwariskannya.
c. Hak gabungan hak Allah dan hak Manusia
Hak Allah dan hak manusia bisa lebih atau sama dominan.
2. Dilihat dari segi objek hak
a. Haqq Maali dan Haqq Ghairu Maali
Hak Maali adalah hak yang berhubungan dengan harta atau
benda. Misalnya hak penjual terhadap harga barang yang
dijualnya dan hak pembeli terhadap barang yang dibelinya.
Sedangkan hak Ghairu Maali adalah hak yang tidak terkait
dengan harta/benda. Misalnya hak wanita dalam talak.
b. Haqq Sakhsyi

8
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), 8.

7
Hak Syakhsyi adalah hak yang ditetapkan syara’ bagi
pribadi berupa kewajiban bagi orang lain. Misalnya penjual
untuk menerima harga dari barang yang dijualnya.
1.) Haqq al Aini
Hak Aini adalah hak seorang terhadap sesuatu
sehingga ia memiliki kekuasaan penuh untuk
menggunakan haknya. Misalnya hak pemanfaatan
terhadap sesuatu.
2.) Haqq Mujarrad dan Haqq Ghairu Mujarrad
Hak Mujarrad adalah hak murni yang tidak
meninggalkan bekas bila digugurkan melalui
perdamaian atau pemanfaatan. Misalnya persoalan
hutang. Sedangkan hak Ghairu Mujarrad adalah hak
yang bila digugurkan meninggalkan bekas terhadap
orang yang dimaafkan. Misalnya hak Qishas.9
3. Dilihat dari segi kewenangan pengadilan
a. Hak Diyaani (keagamaan)
Hak Diyaani adalah hak yang tidak dicampuri oleh
kekuasaan kehakiman. Misalnya walau tidak dapat cukup bukti
di pengadilan, tapi tetap dituntut pertanggung jawabannya di
hadapan Allah.
b. Hak Qadhaai
Hak Qadhai adalah seluruh hak di bawah kekuasaan
pengadilan (hakim) dan pemilik hak mampu membuktikannya
di depan hakim.
C. Sumber atau Sebab Hak
Ulama fiqih telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau sebab
hak adalah syara’. Namun adakalanya syara menetapkan hak-hak itu
secara langsung tanpa sebab dan adakalanya melalui suatu sebab.

9
Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996),
161.

8
Syara’ yang menetapkan hak-hak secara langsung tana sebab,
sperti perintah melaksanakan berbagai ibadah, larangan melakukan tindak
pidana, dan sebagainya. Adapun syara’ yang menetapkan hak melalui
sebab, contohnya yakni dlan sebuah perkawinan yang dapat menimbulkan
hak dan kewajiban diantaranya.10
Sebagai akaibat dari jual beli, muncullah hak menerima harga bagi
penjual dan hak menerima barang bagi pembeli. Sebagai akibat dari
tindakan perampasan barang seseorang, perampas harus menjamin
kerusakan itu, yaitu pemilik barang harus dijamin haknya.
Ulama fiqih menetapkan, bahwa yang dimaksudkan dengan sebab
dan akibat disini adalah sebab-sebab langsung yang berasal dari syara atau
diakui oleh syara. Atas dasar itu, menurut ulama fiqih sumber hak itu ada
lima yaitu:11
1. Syara’, seperti ibadah yang diperintahkan
2. Akad, seperti akad jual beli, hibah, dan wakaf dalam
pemindahan hak milik.
3. Kehendak pribadi, sperti nazar atau janji.
4. Perbuatan yang bermanfaat
5. Perbuatan yang menimbulkan mudharat bagi orang lain, seperti
mewajibkan seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaian
menggunakan milik orang lain.
D. Akibat Hukum Suatu Hak12
1. Perlindungan Hak
Perlindungan hak dalam ajaran Islam merupakan penjabaran dari
ajaran dan prinsip keadilan. Demi keadilan diperlukan kekuatan atau
kekuasaan untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak. Tanpa
jaminan seperti ini, pelanggaran dan pelecehan hak orang lain
berkembang pesat. Namun atas dasar keadilan dan kemuliaan budi
pekerti, Islam menganjurkan pemilik hak berlapang hati dan bermurah
10
Achmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995) 19.
11
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamaalah (Bandung:Pustaka Pelajar,2001), 43.
12
Gemala Dewi, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Depok: Prenada, 2005), 67.

9
hati dalam menuntut haknya, khususnya terhadap orang-orang yang
dalam kondisi kesulitan, misalnya dalam pemenuhan hak piutang,
firman Allah di Surah Al-Baqarah ayat 280 menyerukan:
“... dan jika (orang yang berutang) dalam kesulitan, berilah
tangguh sampai ia berkelapangan. Dan sekiranya engkau
menyedekahkannya, hal itu lebih mulia bagimu jika engkau
mengetahui.”
2. Penggunaan Hak
Pada prinsipnya Islam memberikan kebebasan bagi setiap pemilik
untuk menggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya (iradah)
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Atas dasar prinsip
ini pemilik hak dilarang menggunakan haknya untuk bermaksiat,
seperti menghamburkan untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Dalam
pandangan Islam perbuatan tersebut hukumnya haram dan pelakunya
dipandang berdosa.
Ulama fiqh berpendapat, bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-
hal yang disyariatkan oleh Islam. Atas dasar ini seseorang tidak
diperbolehkan menggunakan haknya, apabila merugikan atau
membawa mudarat kepada orang lain, baik perorangan maupun
masyarakat, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Selain itu,
pemilik hak pun tidak diperbolehkan menggunakan haknya secara
mubazir.
E. Pelanggaran Dalam Penggunaan Hak (Ta’assuf fi Isti’malil Haqq)13
Ta’assuf fi isti’malil haqq tegaskan oleh ajaran Islam sebagai
perbuatan terlarang dan tercela (haram). Dalil yang menunjukkan larangan
terhadap ta’assuf fi isti’malil haqq antara lain didasarkan pada dua
pertimbangan prinsip, yakni: Pertama, pada prinsipnya kebebasan dalam
Islam tidaklah bersifat mutlak, melainkan kebebasan yang
bertanggungjawab, yaitu kebebasan menggunakan hak yang disertai sikap
tanggungjawab atas terpelihara hak dan kepentingan orang lain.

13
Ibid.,68-69.

10
Pelaksanaan kebebasan secara mutlak menimbulkan konsekuensi
kebebasan melanggar hak dan kepentingan orang lain. Hal yang demikian
ini tentunya hanya akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan antar
sesama manusia. Kedua, prinsip tauhid mengajarkan bahwasannya Allah
SWT adalah pemilik hak sesungguhnya, sedang hak yang dimilikinya
manusia merupakan amanat Allah yang harus digunakan sebagaimana
yang dikehendaki- Nya. Perbuatan yang tergolong ta’assuf fi istimalil
haqqsebagai berikut:
1. Apabila seseorang dalam menggunakan haknya mengakibatkan
pelanggaran terhadap kepentingan orang lain, seperti kesewenangan
dalam menggunakan hak rujuk dan hak wasiat sebagaimana telah
dicontohkan di muka.
2. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang tidak disyariatkan dan
tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam
penggunaan hanya tersebut, misalnya seseorang melakukan akad
nikah tahlil. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda : “Allah
melaknat orang yang melakukan nikah tahlil dan memanfaatkan nikah
tahlil.” (HR. Imam empat kecuali al-Tarmidzi).
3. Apabila seseorang menggunakan haknya untuk kemaslahatan
pribadinya tetap mengakibatkan mudarat yang besar terhadap pihak
lain atau kemaslahatan yang ditimbulkannya sebanding dengan
mudarat yang ditimbulkannya, baik terhadap kepentingan pribadi
orang lain lebih-lebih terhadap kepentingan masyarakat umum.
4. Apabila seseorang menggunakan haknya tidak sesuai tempatnya atau
bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku serta menimbulkan
mudarat terhadap pihak lain, misalnya membunyikan tape-radio
dengan keras sekali sehingga dapat mengganggu ketentraman para
tetangga. Kecuali, jika hal tersebut telah menjadi hal kebiasaan suatu
masyarakat, seperti orang yang punya kerja memasang pengeras suara.

11
BAB III

KESIMPULAN

Hak bagi subyek perikatan adalah sesuatu yang diperoleh dari tiap tiap
subyek perikatan yang dilindungi oleh syara’ melalui perikatan (aqad)
yang disepakati kedua belah pihak. Secara umum pengertian hak adalah
sesuatu yang kita terima, sedangkan kewajiabn adalah sesuatu yang harus
kita tunaikan atau laksanakan. Kewajiban dalam hukum islam bisa
dikatakan iltizam. Iltizam adalah akibat (ikatan) hukum yang
mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu atau melakukan
suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.
Ada beberapa jenis hak yag bisa ditinjau atau dilihat dari segi pemilik
hak, objek hak, dan kewenangan pengadilan.Mengenai sumber atau sebab
hak, ulama fiqih telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau sebab hak
adalah syara’. Namun adakalanya syara menetapkan hak-hak itu secara
langsung tanpa sebab dan adakalanya melalui suatu sebab. Ulama fiqih
mengatakan sumber hak itu ada 5 yaitu Syara’, akad, kehendak pribadi,
perbuatan yang bermanfaat, perbuatan yang menimbulkan mudharat bagi
orang lain.
Akibat hukum dari suatu hak dibagi menjadi dua, yaitu perlindungan
hak dan penggunaan hak. Dan perbuatan yang tergolong dalam
pelanggaran dalam penggunaan hak salah satunya adalah apabila
seseorang dalam menggunakan haknya mengakibatkan pelanggaran
terhadap kepentingan orang lain, dan apabila seseorang melakukan
perbuatan yang tidak disyariatkan dan tidak sesuai dengan tujuan
kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan hanya tersebut

12
DAFTAR ISI

Basyir, Ahmaf Azhar. Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: Bag Penerbit Fak Hukum UII.
2000.

Dewi, Gemala, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Depok: Prenada. 2005.

Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persadaa. 2003.

.
Abdul Aziz Dahlan, (ed.). Ensiklopedia Hukum Islam, . Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 1996.

Kuzari, Achmad. Nikah sebagai Perikatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995.

Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamaalah (Bandung:Pustaka Pelajar,2001).

13
14

Anda mungkin juga menyukai