Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Salah satu problematika aplikasi hukum yang tetap hangat
diperdebatkan, baik yang klasik maupun yang kontemporer, adalah tentang
tujuan hukum itu sendiri dibuat, sudah tentu memiliki tujuannya sehingga
pada masa selanjutnya aplikasi hukum merupakan Cause and Effect matter
(urusan sebab dan akibat) tanpa perlu lagi melihat konteks tujuan awal
pembuatan hukum. tidak dipungkiri dalam penetapan hukum dari tujuannya
akan menjadi perdebatan.
Oleh karena itu hal tersebut perlu kita pelajari untuk kemudian
mengerti dan mampu mengaplikasikannya kedalam kehidupan sehari-hari.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Definisi Maqashid as-syariah?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Maqashid as-syariah?
3. Apakah Urgensi Maqashid As-syariah?
4. Bagaimana Pembagian Maqashid as-syariah dan aplikasinya?
5. Apa Peranan Maqashid As-Syariah Dalam Pengembangan Islam?
6. Apa Peranan Maqashid as-syariah dalam pengembangan Hukum?

C. TUJUAN PENULISAN
Melalui pembahasan pada makalah ini diharapkan mampu memberikan
pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang definisi dan
pengertian dari maqashid as-syariah kemudian bagaimana perkembangan
sejarah dari maqashid as-syariah dan mengetahui Urgensi dari maqashid as-
syariah dalam kehidupan sehari-hari serta mampu memberikan
pengetahuan kepada mahasiswa tentang pembagian dari maqashid as-
syariah dan pengaplikasiannya, dan peranan untuk pengembangan islam
dan Hukum sehingga dalam pembelajaran ini mampu memberikan sedikit
pengetahuan tentang mata kuliah Ushul Fiqih.

Maqashid As-Syariah | 1
BAB II
PEMBAHASAN

1. DEFINISI MAQASHID AS-SYARIAH


Secara bahasa (lughowi), maqhasid al-syariah terdiri dari dua
kata, yaitu maqhasid dan al-syariah. Maqhasid adalah bentuk jamak dari
maqhasid yang berarti kesengajaan atau tujuan. Sedangkan syariah secara
bahasa berarti jalan menuju sumber air. Air adalah pokok kehidupan.
Dengan demikian, bejalan menuju sumber air ini dapat dimaknai jalan
menuju ke arah sumber pokok kehidupan. Semua kewajiban manusia yang
bersumberkan dari syariat yang diturunkan oleh Allah Swt adalah dalam
rangka merealisasi kemaslahatan manusia itu sendiri. Tidak ada
satupunsyariat Allah yang diturunkan kepada manusia yang tidak
mempunyai tujuan. Syariat yang tidak mempunyai tujuan sama artinya
dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.
Dalam ilmu ushul fiqh, bahasan maqashid al-syariah bertujuan
untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya
dalam mensyariatkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan faktor
penting dalam menetapkan hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad.
Definisi maqasid as-syariat oleh para ulama klasik : Al ghozali
mendefinisikan bahwa maqashid as-syariah ialah tujuan syara untuk
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Sementara sayf
al-din Abu al Hasan Ali bin Abi bin Muhammad Al Amidi mendefinisikan
lebih singkat bahwa Maqasid as-syariat adalah mendatangkan
kemaslahatan atau menolak kemafsadatan atau kombinasi antara
keduanya. Lebih lanjut Ibn Asyur mendifinisikan maqasid as-syariat
sebagai makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan
dipelihara oleh syari dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. 1
Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan dalam
mendefinisikan maqashid as-syariat para ulama ushul fiqh mendefinisikan
maqashid al-syariah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syara
dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia.

1
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas (Yogyakarta : Lkis Yogyakarta , 2010) Hlm. 182-184
Maqashid As-Syariah | 2
Maqashid al-syariah dikalangan ulama ushul fiqh disebut juga asrar al-
syariah yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang ditetapkan
oleh syara berupa kemaslahatan bagi umat manusia, baik didunia maupun
diakhirat. Misalnya syari memberikan berbagai macam syariat atau
aturan agama kepada manusia yang dibalik semua aturan itu terdapat
rahasia-rahasia yang secara mendasar bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi kehidupan manusia itu sendiri. Disyariatkan hukum
zina adalah untuk memelihara kehormatan dan keturunan, disyariatkan
hukuman pencuri untuk memelihara harta seseorang, disyariatkan
hukuman meminum minuman keras untuk memelihara akal dan
disyariatkan hukuman qishas untuk memelihara jiwa seseorang.2

2. SEJARAH PERKEMBANGAN MAQASHID AS-SYARIAH


Dalam sejarah perkembangannya, posisi maqashid as-syariat
pada masa awal tidak begitu jelas dan terkesan dikesampingkan. Kajian
tentang hukum islam atau fiqh hanya dikaitkan dengan Ushul al Fiqh dan
Qowaid al fiqh yang beroreantasi pada teks dan bukan pada maksud atau
makna di balik teks. Walaupun dalam perkembangan hukum islam
ditemukan bebrapa karya tentang sisi rahasia, hikmah, dan tujuan dari
hukum yang menjadi bagian dari maqashid as-syariah seperti : As-Shashi
(w.365 H), Al Amiri (w. 381), al-Juwayni, al-Ghozali (w. 505 H/1111 M),
as-Syathibi (w. 790 H/1388 M), dan Ibn Asyur (w. 1393 H / 1973 M),
perkembangan tersebut sangat lambat, terpisah oleh interval waktu yang
cukup panjang. Dari masa al Ghozali ke as Syathibi dibutuhkan hampir
enam abad untuk menanti kehadiran Ibn Asyur dan kemudian dikukuhkan
sebagai guru kedua (muallim tsani) dalam ilmu maqashid as-syariah
setelah al syathibi sebagai guru pertama (mualimin awwal).
Berbeda dengan peta sejarah perkembangan maqashid as-syariah
yang dikemukakan oleh al Raysuni tentang sejarah perkembangan
maqashid as-syariah di bagi menurutnya menjadi tiga era : (1) era
pertumbuhan (Nashah al fikr al maqashidi) mulai tahun 320 H sampai
dengan 403 H ; (2) era kemunculan (Zhuhur al Fikr al Maqashidi) mulai

2
Pujiono, Hukum Islam, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012). Hlm.61-62.
Maqashid As-Syariah | 3
dari tahun 478 H sampai dengan tahun 771 H; (3) era perkembangaan
(Tathawwur al fikr al maqashidi) mulai tahun 771 H samapi dengan tahun
790 H.
Era Pertumbuhan dimulai dari Turmudzi al Hakim, al Qaffal al
Sahshi (w. 365/975), Abu Bakr al Abhari (w. 375/985), Abu Bakr bin al
Tahyyib al Baqilani (w. 375/985), Imam al Haramayn al Juwayni (w.
478/1012) dan Imam Abu Hamid al Ghzali (w. 505/1111). Era
Kemunculan dimulai dari Fakhr al Din al Razi (w. 606/1029), Sayf al Din
al Amidi (631/1233) Izz al din bin abd al salim (660/1221), Shihab al Din
al Qarafi (684/1285) dan Najm al Din al Thufi (716/1316). Sementara itu ,
Era Perkembangan dimulai oleh Taqiyy al Din Ibn Taymiyyah (728/1327),
Ibn Qoyyim al Jawziyah (w. 751/1350), Taj al din al subkhi (771/1329)
dan Al Syaithibi (w. 790 / 1388). Masa Ibn Asyur (w. 1379/1973) yang
meneruskan karya al Syaithibi disebut masa peralihan maqashid menjadi
kajian yang mandiri. 3
Pasca Ibn Asyrur hingga saat ini, maqashid as-syariah menapaki
jalan menuju puncka kejayaan, dengan indikator utama dijadikannya
maqashid as-syariah sebagai rujukan dalil pokok dlaam menjawab
sebagian besar persoalan kontemporer, terutama tentang hubungan Islam
dengan Modernitas, Persoalan politi, sosial, dan ekonomi global. Akhir
abad ke 20 dan awal abad ke 21 banyak meningkatnya ulama dan
cendekiawan muslim terhadap maqashid as-syariah.

3. URGENSI MAQASHID AS-SYARIAH


Untuk melihat urgensi maqashid asy-syariah dalam ijtihad, harus
diteliti kembali pengertian istilah ijtihad itu sendiri. Sebagaimana pendapat
asy-syathibi yang menyatakan bahwa ijtihad adalah upaya penggalian
hukum syara secara optimal. Dimana upaya penggalian hukum syara ini
akan berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqashid asy-
syariah.

3
Ahmad Imam Mawardi, Ibid,.Hlm. 198-199
Maqashid As-Syariah | 4
Dalam kaitannya dengan hal ini, asy-syathibi menyatakan bahwa
derajat ijtihad bisa dicapai apabila seseorang memiliki dua kriteria yaitu:
pertama, dapat memahami maqashid asy-syariah secara sempurna. Apabila
seseorang mampu memahami maqashid asy-syariah dalam segala persoalan
dengan rinciannya, berarti ia telah sampai pada tingkat pemahaman
khalifah-khalifah Nabi dalam mengajar, berfatwa dan menetapkan hukum
sesuai dengan hukum yang diturunkan Allah SWT. Kedua, kemampuan
menarik kandungan hukum atas dasar pengetahuan dan pemahaman
maqashid asy-syariah itu adlah dengan bantuan bahasa Arab, al-Quran dan
Sunnah.4
Dalam perkembangan sekarang terjadi reduksi muatan arti syariat.
Aqidah, misalnya tidak masuk dalam pengertian syariat. Syekh al-Azhar,
Mahmoud Syaltout, misalnya memberikan pengertian bahwa syariah
adalah aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah untuk dipedomani manusia
dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan manusia baik sesama
muslim atau non muslim, alam dan seluruh kehidupan. Ali al-Sayis
mengatakan bahwa syariah adalah hukum-hukum yang diberikan oleh
Allah untuk hamba-hambaNya agar mereka percaya dan mengamalkannya
demi kepentingan mereka di dunia dan di akhirat.5

4. PEMBAGIAN MAQASHID DAN APLIKASI


Maqshid al-syarah memiliki kategori dan peringkat yang tidak
sama. Al-Sythibiy membagi maqshid ke dalam tiga kategori,
yakni dlarriyyah, hjiyyah, dan tahsniyyah.

1. Maqashid al-Dharuriyyat
Maqashid al-Dharuriyyat adalah sesuatu yang harus ada demi
keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia (primer), bila hal ini

4
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).
Hlm.68-69.
5
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996). Hlm.62-63.
Maqashid As-Syariah | 5
tidak terpenuhi maka akan berakibat kelabilan bagi kehidupan seorang
manusia. Maqashid al-Dharuriyyat meliputi kelima indikator pokok
(hizhfu al-din, hizhfu al-nafs, hizhfu al-nusl, hizhfu al-maal, hizhfu al-
aqli ) sebagai syarat terciptanya kemaslahatan hidup dan kehidupan
seseorang manusia. Model operasional Maqashid al-Dharuriyyat
diaplikasikan ke dalam kehidupan manusia secara tertib sesuai dengan
stratafikasi urutannya.
Terdapat dua metode guna menjaga keberlangsungan Maqashid
al-Dharuriyyat, yaitu: (1) Perspektif adanya (min naniyyati al-wujud),
yaitu dengan cara menjaga serta memelihara berbagai hal guna dapat
melestarikan keberadaanya. (2) Perspektif tidak adanya (min naniyyati
al-adam), yaitu dengan cara mencegah berbagai hal yang menyebabkan
ketiadaannya.

2. Maqashid al-Hajiyyat
Maqashid al-Hajiyyat adalah upaya-upaya lanjutan dari Maqashid
al-Dharuriyyat dengan menjadikannya lebih baik lagi (sekunder), intinya
adalah guna menghilangkan kesulitan pasca terpenuhinya Maqashid al-
Dharuriyyat. Ketiadaan Maqashid al-Hajiyyat tidak akan mengancam
eksistensi lima indikator pokok Maqashid al-Syariah, namun saja akan
berpotensi menimbulkan kesukaran dan kerepotan di dalam kehidupan
manusia. Dalam hal ini dapat mengangkat term rukhshah, contohnya
adalah menjamak dan mengqashar shalat bagi musafir.6
3. Maqashid al-Tahsiniyyat
Maqashid al-Tahsiniyyat bertujuan demi kesempurnaan
pemeliharaan lima unsur pokok Maqashid al-Syariah. Manifestasinya
adalah berupa kebutuhan penunjang peningkatan martabat seseorang
sesuai dengan derajatnya baik dalam kehidupan masyarakat maupun di
hadapan Allah SWT. ariah Menur ut Imam Al-Syathibi.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas bagaimana opersional
tentang teori maqashid al-syariah, dibawah ini akan dijelaskan kelima

6
Abd.al-Wahab Khalafaf. Ilmu Ushul Fiqh (Kairo: dar al-Kuwaitiyyah,(1968) hal 32.
Maqashid As-Syariah | 6
pokok kemaslahatan sesuai dengan peringkatnya masing-masing. Uraian
ini bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan.7

5. PERANAN MAQASHID SYARIAH DALAM PENGEMBANGAN


ISLAM
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah
adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas
maqashid syariah. Qiyas misalnya, baru bisa dilaksanakn bilamana dapat
ditemukan maqashid syariahnya yang merupakan alasan logis (illat) dari
suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman
khamar (QS. Al-Maidah:90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa
maqashid syariat dari diharamkannya khamar ialah karena sifat
memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang
menjadi alasan logis (illat) dari keharaman khamar adlah sifat
memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu
contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa
setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian,
illat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya
dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya qiyas hanya bisa dilakukan
bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat
meng-qiyas-kannya yang dikenal al-maqis alaih (tempat meng-qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-
maqis alaih, tetapi termasuk kedalam tujuan syariat secara umum seperti
untuk memelihara sekurangnya salah satu dari kebutuhann-kebutuhan diatas
tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah dan mursalah. Dalam kajian
ushul fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan atau tidak bertentangan
dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan
hukum yang dikenal dengan maslahat mursalah. 8
Jika yang akan diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya
dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila

7
Kutbuddin Aibak, Ibid,. Hlm. 67
8
Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005). Hlm.237-238.
Maqashid As-Syariah | 7
ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau
kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara untuk
dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi
tersebut. Ijtihad seperti itu dikenal dengan istihsan. Metode penetapan
hukum melalui maqashid syariah dalam praktik-praktik istinbat tersebut,
yaitu praktik qiyas, istihsan, sadd al-zariah, dan urf (adat kebiasaan),
disamping disebut sebagai metode penetapan hukum melalui maqashid
syariah, juga oleh sebagian besar ulama Ushul Fiqh disebut sebagai dalil-
dalil pendukung, seperti telah diuraikan secara singkat pada pembahasan
dalil-dalil hukum diatas.

6. PERANAN MAQASHID AS-SYARIAH DALAM PENGEMBANGAN


HUKUM
Pengetahuan tentang Maqhasid syariah, seperti ditegaskan oleh
Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dijadikan alat
bantu untuk memahami redaksi Al-Quran dan Sunnah, menyelesaikan
dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk
menetapkan hukum terhadap kasus yang tertampung oleh Al-Quran dan
Sunnah secara kajian kebahasaan.
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan
al-maqisalaih, tetapi termasuk kedalam tujuan syariat secara umum
seperti untuk memelihara sekurangnya salah satu dari kebutuhan-
kebutuhan diatas tadi, dalam hal ini dilakukan oleh metode maslahah
mursalah. Dalam kajian ushul fiqh, apa yang dianggap maslahat tidak
bertentangan dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui
sebagai landasan hukum yang dikenal dengan maslahat mursalah. 9

9
Satria Effendi, M.Zein, Ibid,. Hlm. 239
Maqashid As-Syariah | 8
BAB III

PENUTUP

1.1 SIMPULAN
Maqhasid adalah bentuk jamak dari maqhasid yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Sedangkan syariah secara bahasa berarti jalan
menuju sumber air. Air adalah pokok kehidupan. Dengan demikian, bejalan
menuju sumber air ini dapat dimaknai jalan menuju ke arah sumber pokok
kehidupan.
Dalam ilmu ushul fiqh, bahasan maqashid al-syariah bertujuan
untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya
dalam mensyariatkan hukum.
Pengetahuan tentang Maqhasid syariah, seperti ditegaskan oleh Abd
al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dijadikan alat bantu
untuk memahami redaksi Al-Quran dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil
yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan
hukum terhadap kasus yang tertampung oleh Al-Quran dan Sunnah secara
kajian kebahasaan.

1.2 KRITIK DAN SARAN


Jika dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan penulisan, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Karena pengetahuan kami sebagai penulis juga masih kurang
dan masih dalam pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Maqashid As-Syariah | 9
Ahmad Mawardi, 2010. Fiqh Minoritas. Yogyakarta : Lkis Yogyakarta
Al-Wahab, Abd. Khalafaf . Ilmu Ushul Fiqh Kairo : Dar al-Kuwaitiyyah
Imam.
Jaya, Asafri Bakri, 1996. Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Kutbuddin Aibak, 2008. Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Pujiono, 2012. Hukum Islam,.Yogyakarta: Mitra Pustaka
Satria Effendi, M.Zein, 2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media,

Maqashid As-Syariah | 10

Anda mungkin juga menyukai