Anda di halaman 1dari 17

PRINSIP ETIKA BISNIS KONVENSIONAL

STUDI PERBANDINGAN DENGAN ETIKA BISNIS ISLAM

“ETIKA BISNIS ISLAM”

Dosen Pengampuh : Heri Irawan, S.Pd.I., M.E.I.

Disusun Oleh :

KELOMPOK 6

 Violina Puspitasari (180311036)


 Wahyuni Kartifa (180311038)
 Nunung Sari (180311024)
 Irawati (180311018)
 Muh. Fajriansyah (180311008)
 Irfan Anugrah Sangkom (180311003)

PRODI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH SINJAI

T.A 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan Hidayahnya karena
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun Dalam penulisan makalah ini,
materi yang akan dibahas adalah “Prinsip etika bisnis konvensional Studi perbandingan
dengan etika bisnis Islam”.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa didalam Penulisan Makalah ini Banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik Dan saran yang membangun
demi kesempurnaan Penulis Makalah ini.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengajar kami Atas segala
bimbingan, ilmu, dan nasehatnya yang beliau berikan sehingga Makalah ini dapat diselesaikan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat Bagi kita semua dan dapat menambah
wawasan kita dalam mempelajari “Prinsip etika bisnis konvensional studi perbandingan
dengan etika bisnis islam” serta dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Sinjai, 01 April 2021

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

JUDUL …………………………………………………………………………… 1

KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………….. 4


B. Rumusan Masalah ………………………………………………………….. 4
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………………….. 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Etika Bisnis …………………………………………………………. 5


B. Etika Bisnis Dalam Suatu Perusahaan ……………………………….... 6
C. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Konvensional …………………………………. 7
D. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam …………………………………………. 10
E. Etika Bisnis Islam Dengan Etika Bisnis Konvensional …………………... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………………….. 16
B. Saran ………………………………………………………………………….. 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis dalam


tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Sebagai bagian dari masyarakat, tentu
bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan
masyarakat yang tidak bisa dipisahkan, hal tersebut membawa serta etika-etika tertetu
dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika
bisnis terhadap masyarakat, baik itu dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.

Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa
prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat
interaktif. Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan membahas mengenai “Prinsip-
Prinsip Etika Bisnis Konvensional”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Etika Bisnis ?
2. Bagaimanakah Eetika Bisnis Dalam Suatu Perusahaan ?
3. Apa Saja Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Konvensional ?
4. Apa Saja Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam ?
5. Apa Perbedaan Etika Bisnis Islam dengan Etika Bisnis Konvensional ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi Etika Bisnis
2. Untuk mengetahui Etika Bisnis dalam suatu perusahaan
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip Etika Bisnis Konvensional
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip Etika Bisnis Islam
5. Untuk mengetahui Etika Bisnis Islam dengan Etika Bisnis Konvensional

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Etika Bisnis


Etika (ethics) berasal dari bahasa Yunani “ethikos” mempunyai beragam arti :
pertama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, aturan-aturan
moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, pencairan ke dalam watak
moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara
moral. Dalam pengertian ini, Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan
“kebaikan (rightness) atau moralitas (kesusilaan)” dari perilaku manusia.
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika
memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan
sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak
secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk
mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang perlu kita
pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan
kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai Dengan aspek
atau sisi kehidupan manusianya.
Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa
kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis
dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti “sibuk” dalam konteks
individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan
pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang
sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata “bisnis” sendiri
memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya. Penggunaan singular kata bisnis dapat
merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang
bertujuan mencari laba atau keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada
sektor pasar tertentu, misalnya “bisnis pertelevisian.” Penggunaan yang paling luas
merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh
Komunitas penyedia barang dan jasa. Meskipun demikian, definisi “bisnis” yang
tepat masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.
Kata bisnis dalam Al-Qur’an yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, yang
bermakna berdagang (beniaga). Jadi, Etika Bisnis adalah standar-standar nilai yang

5
menjadi pedoman/acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan
dan mengoperasikan bisnis yang etik.
Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah
menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan
laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi
oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena
itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah
bisnis.

B. Etika bisnis dalam suatu perusahaan


Etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul
dari dalam perusahaan itu sendiri. Etika bisnis diartikan sebagai pengetahuan tentang cara
ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang
berlaku secara universal dan secara ekonomi. Penerapan norma dan moralitas ini menunjang
maksud dan tujuan kegiatan bisnis. Dalam penerapan etika bisnis, bisnis harus
mempertimbangkan unsur norma dan moralitas yang berlaku di masyarakat.
Bisnis selalu berhubungan dengan masalah-masalah etis dalam melakukan
kegiatannya sehari-hari. Hal ini dapat dapat disebut sebagai etika pergaulan bisnis. Etika
pergaulan bisnis dapat meliputi beberapa hal antara lain:
1. Hubungan antara bisnis dengan langganan
Hubungan antara bisnis dengan langganannya merupakan hubungan yang
paling banyak dilakukan. Oleh karena itu bisnis haruslah menjaga etika pegaulannya
secara baik dalam hal ini.
2. Hubungan dengan karyawan
Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi beberapa hal yaitu: penarikan,
latihan (training), promosi atau kenaikan pangkat, transfer, demosi, maupun lay-off
atau pemecatan/PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
3. Hubungan antar bisnis
Hubungan ini merupakan hubungan antara perusahaan yang satu dengan
perusahaan yang lain. Hal ini bisa terjadi hubungan antara perusahaan dengan
pesaingnya, dengan penyalurnya, dengan grosirnya, dengan pengecernya, agen
tunggalnya maupun dengan distributornya.

6
4. Hubungan dengan investor
Didalam hal ini masyarakat yang ingin menanamkan uangnya dalam bentuk
pembelian saham maupun surat-surat berharga lainnya harus diberi informasi yang
lengkap dan benar terhadap prospek perusahaan yang telah go publik tersebut.
Janganlah sampai terjadi manipulasi atau penipuan terhadap informasi atas hal ini
5. Hubungan-hubungan dengan lembaga keuangan
Hubungan dengan lembaga keuangan terutama jawatan pajak pada umumnya
merupakan hubungan pergaulan yang bersifat finansial. Laporan finansial tersebut
haruslah di susun secara baik dan benar sehingga tidak terjadi kecenderungan kearah
penggelapan pajak misalnya keadaan tersebut merupakan etika pergaulan bisnis yang
tidak baik tentu saja.

Dalam menciptakan etika bisnis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

1. Pengendalian diri
2. Pengembangan tanggung jawab sosial atau (social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang ambing oleh
pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang sehat
5. Menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan
6. Mampu menyatakan yang benar itu benar
7. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongn pengusaha kuat dan
golongan pengusaha kebawah
8. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah di sepakati bersama
9. Menumbuh kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah
di sepakati
10. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang di tuangkan dalam suatu hukum yang
positif dalam peraturan perundang-undangan.

C. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Konvensional


Pada umumnya, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari, dan prinsip ini sangat berhubungan
erat terkait dengan sistem nilai-nilai yang dianut di kehidupan masyarakat.

7
Menurut Sony Keraf (1998) prinsip-prinsip etika bisnis adalah sebagai berikut:
1. Prinsip otonomi
Yaitu dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan
bertindak berdasrkan kesadarannya tentang tentang apa yang baik baginya
untuk dilakukan. Unsur hakiki dari prinsip otonomi ini adalah kebebasan untuk
bertindak secara etis dan bertangung jawab. Etis adalah tindakan yang
bersumber dari kemauan baik serta kesadaran pribadi. Orang yang otonom
adalah orang yang sadar akan kewaibannya dan bebas mengambi keputusan dan
tindakan berdasarkan apa yang dianggap baik, melainkan juga adalah orang
yang bersedia mempertanggung jawabkan keputusannya dan tindakannya serta
mampu bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya serta dampak dari
keputusan keputusan dan tindakannya.
2. Prinsip Kejujuran
Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditujukan secara jelas
bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak berdasarkan
kejujuran.Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan
kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan
harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu
perusahaan. Kejujuran memang prinsip yang paling penting dalam kegiatan
bisnis islami maupun konvensional. Para pelaku bisnis modern sadar dan
mengakui bahwa memang kejujuran dalam berbisnis adalah kunci
keberhasilannya. Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian
dan kontrak. Dalam mengikat perjanjian semua pihak secara Saling percaya,
serius serta tulus dan jujur dalam membuat dan melaksanakannya. Jika ada salah
satu pihak yang tidak jujur maka akan menimbulkan efek multiplier-expansive.
Kejujuran juga relevan dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan
harga yang sebanding. Dengan 1x saja seorang pebisnis berbohong tentang hal
apapun, jangan harap mendapatkan kepercayaan lagi.

3. Prinsip Keadilan

Menuntut agar orang diberlakukan secara sama sesuai dengan aturan


yang adil dan sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang sesuai,

8
rasional, objektif serta dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip Keadilan dapat
dibagi menjadi tiga jenis yaitu:

b. Distributive
Yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban
antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya
terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan,
pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan
kewajiban social.
c. Keadilan Retributif
Yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas
kesalahan tindakan. Seseorang bertanggung jawab atas konsekuensi
negative atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan
atas paksaan pihak lain.
d. Keadilan Kompensatoris
Yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan.
Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan
barang penebus kerugian.
4. Prinsip saling menguntung (mutual benefit principle)
Menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa, sehingga
menguntungkan semua pihak.
5. Prinsip integritas moral
Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku
bisnis atau perusahaan agar tetap menjaga nama baiknya atau nama baik
perusahaan. Tanggung jawab moral juga tertuju kepada semua pihak terkait
yang berkepentingan (skateholders): konsumen penyalur, pemasok, investor,
atau kreditor, karyawan, masyarakat luas, relasi-relasi bisnis, pemerintah dan
seterusnya. Artinya segi kepentingan pihak-pihak terkait dapat
dipertanggungjawabkan secara moral.
6. Prinsip Laba
Tidak mungkin jika bisnis tidak mencari keuntunganngan atau laba,
pada kenyataanya hanya keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi
atau daya tarik pelaku bisnis. Mencari keuntungan adalah bukan hal jelek karena

9
semua orang memasuki bisnis selalu punya motivasi dasar, yaitu mencari
keuntungan.

D. Prinsip-prinsip etika bisnis islam


Sejumlah aksioma dasar (hal yang sudah menjadi umum dan jelas kebenaranya)
sudah dirumuskan dan dikembangkan oleh para sarjana muslim. Aksioma-aksioma ini
merupakan turunan dari hasil penerjemahan kontemporer akan konsep-konsep
fundamental dari nilai moral Islami. Dengan begitu, aspek etika dalam bahasan ini sudah
di insert dan di internalisasi dalam pegembangan sistem etika bisnis. Rumusan aksioma
ini diharapkan menjadi rujukan bagi moral awareness parapebisnis muslim untuk
menentukan prinsip-prinsip yang dianut dalam menjalankan bisnisnya.
a. Unity (Persatuan)

Alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang memiliki


kemahakuasaan (kedaulatan) sempurna atas makhluk-makhluk-Nya. Konsep tauhid
(dimensi vertikal) berarti Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa menetapkan batas-
batas tertentu atas perilaku manusia sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat
pada individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainya.

Masudul Alam Choudhury dalam pemaparanya mengenai endogeneity of


ethics in islamic socio-scientific order menyatakan bahwa Ibnu Arabi dan para filsuf
atomism dari arsharites (Qadri: 1988) menyakini bahwa mencermati keberaturan
segala sesuatu di alam semesta ini berarti dapat menembus esensi dari keesaan
Tuhan (the essence of the Oneness of Gold).

Hal ini berarti pranata sosial, politik, agama, moral, dan hukum yang
mengikat masyarakat berikut perangkat institusionalnya disusun sedemikian rupa
dalam sebuah unit bersistem terpadu untuk mengarahkan setiap individu manusia,
sehingga mereka dapat secara baik melaksanakan, mengontrol, serta mengawasi
aturan-aturan tersebut. Berlakunya aturan-aturan ini selanjutnya akan membentuk
ethical organizational climate tersendiri pada ekosistem individu dalam melakukan
aktivitas ekonomi. Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual
masyarakat dalam hubungan vertikal dengan kekuatan tertinggi (Allah SWT.), dan
hubungan horizontal dengan kehidupan srsama manusia dan alam semesta secara
keseluruhan untuk menuju tujuan akhir yang sama.

10
b. Equilibrium (Keseimbangan)

Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk


berbuat adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Pengertian adil dalam
Islam diarahkan agar hak orang lain, hak lingkungan sosial, hak alam semesta dan
hak Allah dan Rasu;nya berlaku sebagai stakeholder dari perilaku adil seseorang.
Semua hak-hak tersebut harus ditempatkan sebagaimana mestinya (sesuai aturan
syariah). Tidak mengakomodir salah satu hak datas, dapat menempatkan seseorang
tersebut pada kezaliman. Karenanya orang yang adil akan lebih dekat kepada
ketakwaan.

Berlaku adil akan dekat dengan takwa, karena itu dalam perniagaan (tijarah),
Islam melarang untuk menipu walaupun hanya ‘sekadar’ membawa sesuatu pada
kondisi yang menimbulkan keraguan sekalipun. Kondisi ini dapat terjadi seperti
adanya gangguan pada mekanisme pasar atau karena adanya informasi penting
mengenai transaksi yang tidak diketahui oleh salah satu pihak (asyimetric
information). Gangguan pada mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam
penawaran dan gangguan dalam permintaan.

Islam mengharuskan penganutnya untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan.


Dan bahkan berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan. Dalam
perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu
(kualitas) dan ukuran (kuantitas) pada setiap takaran maupun timbangan. Allah
berfirman: Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. (al-
Anaam:152)

c. Free Will (Kehendak Bebas)


Konsep Islam memahami bahwa institusi ekonomi seperti pasar dapat
berperan efektif dalam kehidupan ekonomi. Hal ini dapat berlaku bila prinsip
persaingan bebas dapat berlaku secara efektif, dimana pasar tidak mengharapkan
adanya intervensi dari pihak manapun, tak terkecuali negara dengan otoritas
penentuan harga atau private sektor dengan kegiatan monopolistik.
Manusia memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dalam segala hal, tak
terkecuali kebebasan dalam melakukan kontrak dipasar. Oleh sebab itu, pasar
eharusnya menjadi cerminan dari berlakunya dari hukum penawaran dan
permintaan yang direpresentasikan oleh harga, padar tidak terdistorsi oleh tangan-

11
tangan yang sengaja mempermainkanya. Bagi Smith bila setiap individu
diperbolehkan mengejar kepentinganya sendiri tanpa adanya campur tangan pihakk
pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak tampak (the
invisible hand), untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat.
Kebebadan ekonomi tersebut juga diilhami oleh pendapat Legendre yang di
tanya oleh Menteri Keuangan Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV pada
akhir abad ke-17, yakni Jean Bapiste Colbert. Bagaimana kiranya pemerintah dapat
membantu dunia usaha, Legendre menjawab: “Laissez nous faire” (jangan
mengganggu kita, {leave us alone}), kita ini dikenal kemudian sebagai laissez faire.
Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah.

d. Responsibility
Aksioma tanggung jawab individu begitu mendasar dalam ajaran-ajaran
Islam. Terutama jika dikaitkan dengan kebebasan ekonomi. Penerimaan pada
prinsip tanggung jawab individu ini berarti setiap orang akan diadili secara
personal dihari Kiamat kelak. Tidak ada satu cara pun bagi seseorang untuk
melenyapkan perbuatan-perbuatan jahatnya kecuali dengan memohon ampunan
Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik (amal saleh). Islam sama
sekali tidak mengenal konsep dosa warisan, (dan karena itu) tidak ada seorang pun
bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan orang lain.
Setiap individu mempunyai hubungan langsung dengan Allah. Tidak ada
perantara sama sekali. Nabi SAW. Sendii hanyalah seorang utusan (rasul) atau
kendaraan untuk melewatkan petunjuk Allah yang diwahyukan untuk kepentingan
umat manusia. Ampunan harus diminta secara langsung dari Allah. Tidak ada
seorang pun memiliki otoritas untuk memberikan keputusan atas nama-Nya. Setiap
individu mempunyai hak penuh untuk berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam
(Al-Qur’an dan Sunnah) untuk kepentinganya sendiri. Setiap orang dapat
menggunakan hak ini, karena hal ini merupakan landasan untuk melaksanakan
tanggung jawabnya kepada Allah.

e. Benevolence
Ihsan (benevolence), artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat
memberikan kemanfaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang
mengharuskan perbuatan tersebut (Beekun, 1997) atau dengan kata lain beribadah

12
dan berbuat baik seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu, maka yakinlah
Allah melihat. Siddiqi (1979) melihat bahwa keihsanan lebih penting kehadiranya
ketimbang keadilan dalam kehidupan sosial. Karena menurutnya keadilan hanya
merupakan “the corner stone of society”, sedangkan Ihsan adalah “beauty, and
perfection” sistem sosial. Jika keadilan dapat menyelamatkan lingkungan sosial
dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan dan kegetiran hidup, ke-ihsan-an
justru membuat kehidupan sosial ini menjadi manis dan indah.
Problematika yang terjadi sesama muslim dalam aktivitas perekonomian
saat ini, selalu saja disebabkan oleh karena kita kerap meninggalkan ajaran islam,
sehingga lantas saja memosisikan kaum muslimin dalam keadaan tertuduh bahwa
mereka tidak mampu menjalankan proyek dan mengelola bisnis dan transaksi.
Kemudian pada saat yang sama, kondisi seperti ini justru memberikan kesempatan
kepada musuh-musuh Islam untuk menuduh Islam dengan pernyataan bahwa
syariat Islam tidak mampu untuk menjalankan dan mengelola proyek dalam bidang
garapan ekonomi dan keuangan.

E. Perbedaan etika bisnis islam dengan etika bisnis konvensional


Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis konvensional yang selama ini
dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang
(akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah
memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki
manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang
manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal
meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula
kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai
stake holder perusahaan.

Parameter Etika Ekonomi Islam:

 Tindakan dan keputusan dianggap sesuai etika tergantung karena titik berangkatnya
dari Allah, tujuannya mencari ridho Allah dan cara-caranya tidak bertentangan
dengan syariatnya.

13
 Ekonomi dalam pandangan islam, bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi merupakan
kebutuhan bagi manusia dan sarana yang lazim baginya agar bisa hidup dan bekerja
untuk mencapai tujuannya yang ttinggi
 Niat yang baik diikuti dengan tindakan yang baik yang dinilai sebagai ibadah. Niat
yang baik ( halal intention ) tidak serta merta mengubah tindakan yang haram
menjadi halal . Dengan kata lain, tidak ada doktrin menghalalkan cara
 Islam membolehkan individu untuk bebas percaya dan bertindak sesuai yang dia
inginkan, selama tidak mengorbankan akuntabilitas dan keadilan.
 Ekonomi Islam mempelajari perilaku ekonomi pelaku ekonomi yang rasional
Islami. Oleh karena itu, standart moral suatu perilaku ekonomi didasarkan pada
ajaran Islam dan bukan semata-ata didasarkan atas nilai-nilai yang dibangun oleh
kesepakatan sosial.
 Islam menggunakan pendekatan sistem yang terbuka, bukan pendekatan tertutup
yang mendasarkan pada orientasi pribadi (self-oriented). Egoism tidak mendapat
tempat dalam IIslam
 Keputusan yang etis mendasarkan rujukan kepada ayat yang tertulis (al-Quran) dan
ayat yang tersebar di alam semesta (kauniyyah).
 Tidak seperti sistem etika yang lain, etika islam mendorong manusia untuk
membersihkan diri ( tazkiyyah ) melalui partisipasi aktif dalam hidup. Dengan
melakukan segala tindakan dalam koridor etika, seorang Muslim telah mengabdikan
hidupnya sesuai dengan perintah-Nya.
 Etika Islam tidak terpisah ( fragmented ), melainkan nilai yang harmonis dan
komplit. Seimbang dan adil.
 Unity (Konsep Tauhid), Wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia.
 Equilibrium (Keseimbangan), Perilaku bisnis harus seimbang dan adil.
 Free Will (kebebasan), Bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas “Semua
boleh kecuali yang dilarang”
 Ronsibility (Tertanggung jawab) Mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan
atas perilaku bisnis
 Benovelence (Kebaikan hati/ Ihsan ) serta pengawasan Internal yang berupa Hati
nurani dan Tuhan Semata.

14
Aspek Bisnis Islami Bisnis Konvensional
Tauhid (nilai-nilai Sekularisme (nilai-nilai
1. Azas transendental) material)

2. Motivasi Dunia dan akhirat Dunia

3. Orientasi Profit dan berkah Profit


Bekerja adalah kebutuhan
4. Etos kerja Bekerja adalah ibadah pribadi

5. Keberhasilan Usaha dan Doa Usaha


Khalifah (wakil) Allah di
6 Pertanggung Jawaban muka Bumi Pemimpin perusahaan
Tidak memandang halal dan
9. Modal Halal haram

15
BAB III

PENUTUP

i. Kesimpulan
Etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab social suatu bisnis yang timbul
dari dalam perusahaan itu sendiri. Etika bisnis diartikan sebagai pengetahuan tentang cara
ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang
berlaku secara universal dan secara ekonomi. Dalam penerapan etika bisnis, bisnis harus
memper-timbangkan unsure norma dan moralitas yang berlaku di masyarakat.
Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Konvensional meliputi: Prinsip Otonomi, Prinsip
Kejujuran, Prinsip Keadilan, Prinsip Saling Menguntungkan, Prinsip Integritas Moral dan
Prinsip Laba.
Prinsip-prinsip etika bisnis islam meliputi: unity (persatuan), equilibrium
(keseimbangan), free Will ( Kehendak bebas ), responsibility.

B. Saran

Kami menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sama halnya dengan
makalah ini yang masih jauh dengan kebenaran dan Masih dekat dengan kesalahan, untuk itu
kami mengharapkan kritik dan Saran yang membangun dari teman-teman, agar kami bisa
memperbaiki Kesalahan kami di kemudian hari. Dan semoga apa yang kami tulis dalam
Makalah ini memberikan manfaat dan menambah wawasan terhadap para Pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Sonny Keraf, Etika Bisnis tuntutan dan relevansinya, Jakarta PT Gramedia, 2006

Agus Arujanto, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, PT. Raja Pindo Persada, 2011

Angsa Hamasaah, “Prisip Etika Bisnis Konvensional” dalam

http://angsahamasaahblogspot. Com 07/13/02/2010 /prinsip-etika-bisnis

konvensional.html (diakses, 05 Oktober 2016)

Budi Untung, Hukum dan Etika Bisnis, Yogyakarta, ANDI, 2012

Indriyo Gitosudarmo, Pengantar Bisnis, Yogyakarta, BPFE, 1996

Mohammad Edris dan Panca Winahyuningsih, Bisnis Pengantar, Yogyakarta, UGM,

2002

Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, KENCANA, Jakarta, 2006

17

Anda mungkin juga menyukai