Anda di halaman 1dari 8

MADZHAB DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

Oleh : Ust. Saiful Anwar, Lc, MA


 
1. PENDAHULUAN
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting.
Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan
pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut
merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun,
terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami
modernisasi. Perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah melahirkan
pemikiran Islam bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.[1]
 Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara
amat dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi
perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian
mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai
historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi
perkembangan Islam berikutnya.[2]
  Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar
belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih,
dikhususkan pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki,
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali serta beberapa hal lain yang
berhubungan dengan keempat mazhab tersebut. dan penjelasan madzhab
lain selain madzhab empat tersebut, serta contoh kasus-kasus masalah fikih
pada madzhab madzhab tersebut.
 
1. PEMBAHASAN
1.Pengertian Madzhab
Menurut bahasa Arab, “madzhab”  (‫)مذهب‬berasal dari shighah masdar
mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan keterangan tempat)
dari akar kata fiil madhy  “dzahaba” (‫ )ذهب‬yang bermakna pergi.[3] Jadi,
mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).
[4] Sedangkan menurut istilah ada beberapa rumusan:
1. Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat
mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil
syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul)
yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.[5]
2. Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang
imam tentang hukum suatu masalah atau tentang hukum suatu masalah
atau tentang kaidah-kaidah istinbathnya.[6]
            Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan
oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan
hukum Islam. Disini bisa disimpulkan pula bahwa mazhab mencakup;(1)
sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2)
ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk
menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
           Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa
hukum-hukum syariat (fiqh), yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali
hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci harus dipahami bahwa
mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqh yang menjadi metode
penggalian (thariqah al-istinbath) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut.
Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan
ushul fiqh menurut Imam Syafi’i.[7]
 

2. Latar Belakang Munculnya Madzhab


            Lahirnya berbagai aliran atau madzhab dalam ilmu fiqih
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain disebabkan oleh :
1. Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash
2. Perbedaan Dalam Masalah Hadits
3. Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah
Nash
4. Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl al-
adillah)
5. Perbedaan Tentang Qiyas
6. Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum
7. Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum
8. Perbedaan dalam Masalah Nasakh[8]
 

3. Sejarah Perkembangan Madzhab


4. Periode Pertumbuhan(Abad ke 0-1 H)
1). Madzhab Pada Masa Rasulullah
          Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman
Rosulullah SAW, Madzhab pada zaman Rosululah adalah sebatas Ijitihad
(pendapat) para sahabat dalam memahami agama, karena pada zaman itu
sumber hukum islam adalah hanya al-Quran dan Hadits, sehingga ketika
para sahabat terjadi perselisihan dan berijtihad masing-masing; maka mereka
langsung melaporkan masalah tersebut kepada Rosulullah.[9]
Pertama  :
‫ت الصالةُ فتي َّمما‬
ِ ‫ فحضر‬،‫ وليس معهما ما ٌء‬،‫ خرج رجال ِن في سفر‬:‫عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال‬
‫ ثم أتيا رسول هللا‬،‫ اآلخر‬:‫ ولم يُ ِعد‬،‫ فأعاد أحدُهما الصالة والوضوء‬،‫ ثم وجدا الماء في الوقت‬،‫ فصلَّيا‬،‫صعيدًا طيِّبًا‬
َ
‫ ((لك‬:‫ وقال لآلخر‬،))‫ وأجزأَ ْتك صالتك‬،‫ ((أصبت السُّنة‬:‫ فقال للذي لم ي ُِعد‬،‫صلى هللا عليه وسلم فذكرا ذلك له‬
‫األج ُر مرَّتي ِن))؛ رواه أبو داود والنسائي‬
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Ada 2 Sahabat dalam perjalanan, ketika waktu
sholat tiba dan tidak menemukan air, maka beliau berdua melakukan Tayammum.
Keduanya pun shalat. Setelah itu mereka menemukan air saat waktu shalat belum
habis.” “Satu dari mereka mengulang shalat dengan berwudhu’. Sahabat yang lain
tidak mengulang shalatnya (cukup dengan Tayammum tadi)” Setelah mereka datang
kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan bercerita kejadian itu maka Nabi
bersabda kepada Sahabat yang shalat 1 kali saja: “Kamu sudah sesuai Sunnah.
Cukup shalatmu itu”. Dan kepada Sahabat yang shalat 2x (dengan Tayammum dan
Wudhu’) Nabi bersabda: “Kamu dapat 2 pahala”.[10]
Kedua  : Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
) ‫صلِّيَ َّن أَ َح ٌد ْال َعصْ َر إِاَّل فِي بَنِي قُ َر ْيظَةَ ( رواه البخاري‬
َ ُ‫ال ي‬
“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah” 
            Ketika mereka mendapati waktu shalat yang disebutkan oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di tengah jalan, sebagian
dari mereka mengatakan, “Kita tidak shalat sampai kita tiba di perkampungan
Bani Quraizhah.” Sementara yang lain bersikukuh tetap melakukan shalat
‘Ashar pada waktunya, karena mereka memandang bahwa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud menyuruh para shahabat
Radhiyallahu anhum menunda shalat ‘Ashar sampai lewat waktunya.
Kemudian dua sikap yang berbeda dalam menyikapi sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dilaporkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah
salah satunya.[11]
Pada periode ini, Madzhab hanyalah sebuah pendapat atau Ijtihad para
sahabat dalam memahami sebuah kasus, lalu sahabat melaporkan kepada
Rosul akan kasus tersebut, sehingga Rosulullah SAW langsung memutuskan
kasus tersebut apakah salah satu yang benar atau keduanya benar.[12]
Madzhab secara sistematis belum terbentuk, hanya berbentuk pendapat-
pendapat para sahabat dan ijtihad-ijtihadnya yang kemudian disampaikan
kepada Rosulullah
 

2). Madzhab Pada Masa Shahabat


Mahzab fiqih itu pada sejak zaman sahabat mulai tumbuh seiring dengan
meninggalnya Rosulullah SAW; karena ketika di zaman Rosulullah para
Sahabat menemukan sebuah masalah, akan tetapi setelah wafatnya
Rosulullah, Para sahabat masing-masing memiliki pendapatnya. Misalnya
pendapat Aisyah ra, pendapat Ibn Mas’ud ra, pendapat Ibn Umar. Masing-
masing memiliki kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur’an Al-Karim
dan sunnah, sehinga terkadang pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan
dengan pendapat Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa
disalahkan karena masing-masing sudah melakukan ijtihad.[13]
Para sahabat melihat Rasulullah Saw mengerjakan suatu tindakan, sebagian
sahabat menafsirkannya sebagai tindakan qurbah (ibadah), sedangkan
sebagian yang lain menyimpulkannya sebagai tindakan mubah (biasa).
Contohnya, para sahabat melihat Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam
melakukan lari-lari kecil saat thawaf. Oleh karena itu, mayoritas mereka
berpendapat hal tersebut adalah sunnah dalam tawaf. Sedangkan Ibnu
Abbas, mengintepretasikan tindakan beliau sebagai kebetulan karena ada
motivasi yang muncul.[14]
Rasulullah SAW mengerjakan ibadah haji dan orang-orang menyaksikannya.
Sebagian sahabat berpendapat bahwa beliau mengerjakan ibadah haji
secara tamattu’, sementara sebagian sahabat yang lain menganggapnya
mengerjakan ibadah haji secara qiran. Sebagian sahabat lain menyangka
beliau mengerjakan ibadah haji secara ifrad.[15]
 

3). Madzhab Pada Masa Tabiin


Di masa tabi’in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh
orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad,
Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuk
juga Nafi’ maula Abdullah ibn Umar. Di kota Kufah kita mengenal ada Al-
Qamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’i guru al-Imam Abu Hanifah.
Sedangkan di kota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri dan Imam Sufyan as
sauri.
Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah Maula Ibn
Abbas dan Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn Sirin,
Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A’raj, Alqamah an Nakha’i, Sya’by,
Syuraih, Said ibn Jubair, Makhul ad Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani.
Dalam kasus iddah wanita hamil karena berzina, Para ulama di kalangan
Tabiin berbeda pendapat :
a). Imam Sufyan as Sauri dan sebagain tabiin berpendapat bahwa tidak ada
iddah bagi wanita hamil karena berzina. Karena iddah untuk menjaga nasab,
sedangkan Pezina tidak menjaga nasab.
b). Imam Hasan basri, Ibrahim An Nakho’i dan sebagian tabiin lainnya
berpendapat bahwa wanita hamil karena berzina tetap ada iddahnya, karena
iddah itu karena Istibro’ (membersihkan Rahim) [16]
 

2. Periode Pembentukan (Abad ke 2-3 H )


a). Mazhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi, mempunyai
nama lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. lahir di
Irak pada tahun 80 Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa khalifah Bani
Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari dengan nama Abu Hanifah
yang berarti suci dan lurus, karena sejak kecil beliau dikenal dengan
kesungguhannya dalam beribadah, berakhlak mulia, serta menjauhi
perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan mazhab fiqihnya dinamakan
Mazhab Hanafi.[17]
Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : (Hammad bin Abu
Sulaiman Al-Asy’ari (W. : [120 H/ 738]) faqih kota “Kufah”, ‘Atha’ bin Abi
Rabah (W. : (114 H/ 732 M) faqih kota “Makkah”, ‘Ikrimah’ (W104 H/ 723 M)
maula serta pewaris ilmu Abdullah bin Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M])
maula dan pewaris ilmu Abdullah bin Umar serta yang lain-lain. Beliau juga
pernah belajar kepada ulama’ “Ahlul-Bait” seperti missal : Zaid bin Ali Zainal
‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir ([57-114 H/ 676-732 M]),
Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/ 699-765 M) serta Abdullah bin Al-
Hasan. Beliau juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti
missal : Anas bin Malik (10 SH-93 H/ 612-712 M), Abdullah bin Abi Aufa (w.
85 H/ 704 M]) di kota Kufah, Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/ 614-697
M) di kota Madinah serta bertemu dengan Abu Al-Thufail Amir bin Watsilah
(W 110 H/729 M) di kota Makkah.
Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-
Shaibani, guru Imam Syafi’i. Melalui goresan tangan para muridnya itu,
pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam,
bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam.
[18]
 

b). Madzhab Imam Malik   


Malik bin Anas bin Malik, Imam maliki di lahirkan di Madinah al Munawwaroh.
sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat perbedaaan
riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam
malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa
imam Malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi
meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Ia menyusun kitab Al Muwaththa’,
dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu
itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in
dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al
Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad,
Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah
Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada
yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang
sebaya seperti al Auza’i, Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad,
Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy
Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul
Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah
bin Dinar, dan lain-lain. Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al
Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin
Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin
Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin
Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.[19]
c). Mazhab Imam Syafii
Mazhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi’i. Ia
wafat pada 767 masehi 158 H.  Selamahidup Beliau pernah tinggal di
Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah
konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Imam Syafi`i
mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama
namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid[20]
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid
Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia
15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan
hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh
dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para
Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang
waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian dia juga belajar
dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang
bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan
bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki,
Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun
saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut
di atas.
Ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia
mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9
malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin
Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Adapun Murid beliau
yang paling terkenal antara lain adalah Imam ahmad bin hanbal.[21]
 

d). Mazhab Imam Ahmad


Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
asy-Syaibani. Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di
Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat
peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing
berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan
keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di lingkungan
pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki
lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi
seorang yang besar pula.
Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin
Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim
bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah,
Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil.
Adapun muridnya adalah Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal Abdullah bin
Imam Ahmad bin Hambal  Keponakannya, Hambal bin Ishaq.[22]
 

e). Mazhab lainnya


           Ada beberapa mazhab lain yang terkenal yang muncul pada abad 2
sampai dengan 3 hijriyyah antara lain Madzhab Atho, Madzhab Ibnu sirin,
Madzhab Zhohiriyyah yang di pelopori Imam Daud az zhohiri, Madzhab As
ya’bi, Mazhab Imam an-Nakho’i; akan tetapi madzhab-madzhab tersebut
tidak begitu berkembang seiring berjalannya zaman dari masa ke masa.[23]
Contoh   :
1. Para ulama berbeda pendapat tentang wanita hamil atau wanita
menyusui apakah wajib puasa atau tidak ? Jika tidak wajb, apakah
mengqodho puasanya ataun membayar fidyah.
a). Imam Syafii berpendapat bahwa Wanita Hamil dan Menyusui boleh tidak
berpuasa akan tetapi keduanya wajib membayar qodho dan membayar
fidyah
b).Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Wanita hamil dan Menyusui boleh
tidak berpuasa, akan tetapi keduanya hanya wajib membayar qodho saja
c). Imam Malik berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tdak
berpuasa, akan tetapi keduanya hanya membayar fidyah
d). Imam Ahmad berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tidak
berpuasa, akan tetapi wanita hamil wajib mengqodho puasa sedangkan
wanita menyusui wajib membayar Fidyah
e). Sebagian ulama lain seperti Imam Daud dari kalangan mazhab
zhohiriyyah berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib
berpuasa[24]
              Para ulama berbeda pendapat karena tidak ada Nash yang shorih
yang menjelaskan hal tersebut, sehingga mereka mengqiyaskan dengan
orang yang sakit atau orang yang tidak mampu sama sekali berpuasa.
 

3. Periode Keemasan (Abad ke 3-9 H )


              Pada  periode ini muncul lah ulama-ulama besar yang menisbatkan
diri ke madzhab tertentu di antaranya : Dari kalangan Syafiiyyah seperti Imam
An Nawawi, Imam a-Muzani, Imam Ibnu hajar al Asqolani, Ibnu hajar al
haistami dan lain-lain. Dari Kalangan Hanafiyyah seperti Imam Abu Yusuf,
Imam As syaibani, Imam al Maruzi dan lain lain. Dari kalangan Hanabilah
seperti Imam Ibnu Qoyyim, Ibnu taimiyyah, Ibnu Rojab dan lain lain. Dari
kalangan Malikiyyah seperti Imam Ibnu Qosim, Imam Syahnun, Imam Ibnu
Rusyd dan lain lain.[25]
            Mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama abad ke 3 -9 telah
banyak kitab yang membahasnya, masing masing menguatkan prndapat
Imam mazhabnya, walau tak jarang ada sebagian ulama yang berbeda
dengan imam mazhabnya.
 

4. Periode Kemunduran ( Abad ke 10 – 13 H )


            Pada periode ini, Madzhab mengalami kemunduran karena faktor
penjajahan di dunia islam, dan tidak kuatnya kekuasaan muslim pada saat itu
di bawah kepemimpinan daulah usmaniyyah pada periode akhir.
 

5. Periode Kebangkitan ( Abad ke 14 – Sekarang )


            Pada periode ini, madzhab mengalami kebangkitan kembali, di mulai
dengan munculnya para ulama dengan kitab-kitabnya yang terkenal seperti
Syekh Wahbah Zuhaili, Syekh Muhammad bin Sholeh al Usaimin, Syekh
Yusuf al Qordhowi, Syekh Ali Jum’ah dan lain lain, ada yang masih
mengukuti dan selaras dengan metodologi para Imam madzhab yang empat,
adapula yang mulai berusaha keluar dari metodologi para ulama terdahulu
karena pertimbangan zaman.[26]
 
1. KESIMPULAN
1. Madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-
hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai
kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat
tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh.
2. Latar belakang timbulnya madzhab karena Perbedaan Pemahaman
(Pengertian) Tentang Lafadz Nash, Perbedaan Dalam Masalah Hadits
serta Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah
Lughawiyah Nash dan lain-lain
3. Periode perkembangan Madzhab :
a. Periode Pertumbuhan ( abad ke 0 – 1 H )
b. Periode Pembentukan ( abad ke 1-2 H )
c. Periode Keemasan ( abad ke 3-9 H
d. Periode Kemunduran ( abad ke 10-13 H )
e. Periode kebangkitan ( abad ke 14 – sekarang )
 

DAFTAR PUSTAKA
Abbas Ubaidillah, Sejarah Perkembangan Imam Mazhab, ( Jakarta : Pustaka al-
Bunyan, 2009 )
Abdullah Haikal, Sejarah Fikih Islam, ( Semarang : Pustaka Hidayatullah,
2007)
Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Bairut : Maktabah al-Isyriyyah) Cetakan kedua
Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996)
Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996)
Ahmad Izzuddin, Sejarah Tarikh Tasyri, ( Jakarta : Pustaka al-Bayyinah, 2015)
Ahmad Nahrawi, Al-Imam asy-Syafi’i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid, (Kairo:
Darul Kutub,1994)
Ahmad Ridho, Hukum Islam dalam Sorotan, ( Jakarta : Pustakan Bina karya
Utama, 2015)
Al-Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhori, (Bairut :
Maktabah al-Isyriyyah )  Cetakan kedua
Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya,(Nasy’ah al-Fiqh al-
Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaka Mantiq, 1997)
Al-Qordhowi, Yusuf, Fikih Ikhtilaf, ( Kairo : Dar al Fikr al- Islamiy, 1997)
An Nawawi, Majmu ala Syarhil muhazzab, ( Damaskus : Maktabah al-Iman,
1996)
Ayang Utriza Yakin, Sejarah hukum Islam, (Bandung : Grafika
Intermedia,2014)
Hasan Mahmud, Pengantar Hukum Islam, ( Bandung : Pustaka al-Iman, 2009
)
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos,
1997)
Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, ( Damaskus : Dar an Nasr al Ilmiyyah, 1997)
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995)
Mahmud Sholah, Hukum Islam dan Perkembangannya, ( Jakarta: Pustaka
Iman jama,2004)
Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, ( Jakarta : Pustaka
Lentera Iman, 2013)
Muhammad Fairuz Abadi, Sejarah Perkembangan Mazhab dalam Sorotan,
( Bandung : Pustaka al-Inabah, 2013)

Anda mungkin juga menyukai