Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstrukur dengan mata kuliah
KEMINANGKABAUAN
Disusun oleh:
Kelompok 2
Dosen Pembimbing :
FAILIN, SH., MH
2020
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan rasa dyukur kami persembahkan kehadirat allah SWT
yang telah menurunkan al-Qur’an kepada manusia sebagai petunjuk, pedoman,
dan penerang bagi kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Atas karunia
allah, makalah sederhana ini dapat kami selesaikan tepat waktu. Shalawat beserta
salam mari bersama kita hadiahkan kepada baginda Rasulullah SAW ,
keluarganya dan para sahabatnya. Dari merekalah yang telah mewariskan dan
mngajarkan al-Qur’an sehingga sampai kepada kita pada hari ini.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara tradisional, daerah- daerah dalam pengaruh Minangkabau disebut
Alam Minangkabau. Wilayah minangkabau memiliki sistem kepemimpinan
yang berbeda dengan daerah lain yang ada di Indonesiia. Sistem
kepemimpinan pertama kali dikenal dengan Unsur Urang Nan Ampek Jinih
yang terdiri dari Penghulu, Manti, Dubalang dan Malin. Namun, setelah
Minangkabau ditaklukan Belanda Jabatan Manti dan Dubalang dihapus sesuai
dengan struktur pemerintahan desa yang diabangun pada masa itu, sedangkan
peran Malin diganti dengan Ulama. Semenjak itu sampai sekarang unsur
Urang Nan Ampek Jinih berubah menjadi Pemghulu, Alim Ulama dan Cerdik
Pandai yang ideal dikenal dengan konsep Tungku Tigo Sajarangan atau Tali
Nan Tigo Sapilin.
B. Rumusan Permasalahan
1. Apa itu Tungku Tigo Sajarangan ?
2. Apa itu Urang Nan Ampek Jinih?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mejelaskan Tungku Tigo Sajarangan
2. Untuk Menjelaskan Urang Nan Ampek Jinih
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tungku Tigo Sajarangan
Berangkat dari konsepsi histori masyarakat Minangkabau, maka
dapatlah ditelusuri bagaimana kehadiran sistem kepemimpinan dan
pengelompokan struktur kepemimpinan yang berdasarkan Tungku Nan Tigo
Sajarangan, yaitu kepemimpinan Niniak Mamak, Alim Ulama dan Cadiak
Pandai. Ini dapat dilihat dan diamati dalam proses perkembangan masyarakat
Minangkabau pada realitas sosial masyarakat itu sendiri.
Tidak terdapat bukti sejarah yang nyata, kapan persisnya dimulai dan
kapan berlaku pola kepemimpinan Tungku Nan Tigo Sajarangan ini. Dalam
Tambo Alam Minangkabau, yang dianggap sebagai salah satu simber sejarah
Minangkbau selalu ditemukan pola kepemimpinan demikian. Sebelum masuk
pengaruh islam ke minangkabau, masyarakat minangkabau menganut
kepercayaan animisme dan hindu/budha; stidaknya hindu / budha pernah
berpengaruh dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Minangkabau pada
masa sebelum masuknya islam. Sebagai bukti di Minangkabau pernah
terdapat satu kerajaan yang bercorak hinduyang dikela dengan Kerajaan
Melayu Minagkabau.
Dengan munclnya Sultan Alif yang beragama islam pada tahun 1560,
akhirnya seluruh keluarga raja sudah memeluk islam, namun tidak tertutup
kemungkinan masyarakat telah terlebih dahulu memeluk islam, terutama
sekali yang berada di pantai barat, yang diperkenalkan lewat pedagang-
pedagang islam dari Aceh, Gujarat, dan Arab.
5
perdana mentrinya “Basa Ampek Balai”, yaitu datuak Dandaro di Sungai
Tarab, Tuan Kadhi di Padang Gantiang, dan Tuan Indomo di Saruaso dan
Tuan Machudum di Sumanik. Basa Ampek Balai bertugas menjalankan
pemerintahan yang digariska oleh “Rajo Tigo Selo”.
Akhirnya pada abad ke-20, tampil lah tiga kelompok elit di Minagkbau,
yaitu elit tradisional atau golongan adat, elit agama dan elit sekuler yaitu
mereka yang telah diseupi oleh rasionalisme barat. Kalau gejala gejala
historis ini dikaitkan, yaitu kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan dengan
keberadaan kelopok elit ini, kesejajarannya adalah : Elit Agama = Alim
Ulama, Elit tradisional = Golongan Adat, dan Cadiak Pandai = Golongan
Sekuler.
1
Siti Fatimah, 1993, Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Minangkabau Pada Masa
Jepang, Akses 22 Oktober 2020, Pukul 10.46
6
Konsep "Tali Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan" (Tali tiga sepilin,
tungku tiga sejerangan) adalah sangat identik untuk menyebut persyaratan
yang harus ada dalam sistem kepemimpinan sosial di nagari-nagari di
Minangkabau. Konsepsi ini diimplementasikan sebagai keharusan adanya tiga
kom-ponen otoritas kepemimpinan dalam menjaga keutuhan dan
keharmonian masyarakat. Ketiga komponen itu adalah Adat, Agama, dan
Ilmu Pengetahuan. Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa dengan adanya
tiga komponen itu dalam kepemimpinan sosial, akan dapat menjamin
terciptanya suatu sistem pengaturan sosial yang efektif dalam menangani
persoalan-persoalan kemasyarakatan. Tali yang berpilin (berjalin) tiga
memiliki jalinan sempurna dan mempunyai kekuatan untuk digunakan
menarik dan mengikat apa saja. Demikian juga dengan tiga buah tungku
sebagai penyangga wadah untuk memasak akan menjadi kukuh, sehingga
apapun yang akan dimasak di atasnya akan matang dengan sempurna, artinya
segala urusan yang menyangkut dengan kesejahteraan anak nagari dapat
diatur dengan sebaik-baiknya sesuai dengan sistem serta norma-norma
kehidupan yang berlaku.
Meskipun otoritas di bidang adat ada pada ninik mamak dan penghulu,
di bidang agama oleh alim ulama, dan otoritas ilmu pengetahuan berada pada
kalangan cadiak pandai (intelektual), namun dalam pelaksanaan sistem
kepemimpinan tradisional komposisi tiga sepilin dan tiga sejerangan itu
merupakan konsep tunggal dari kombinasi tiga bentuk otoritas yang diakui
dalam masyarakat. Masing-masing komponen itu bukan merupakan
kelembagaan yang terpisah, akan tetapi, adanya tiga komponen itu selain
menjadi keharusan pada satu sistem kepemimpinan formal tradisional, ia juga
harus wujud dalam diri seorang pemimpin yang dipilih (Penghulu) (Asnawi,
dalam : Zed, Mestika dkk. (ed.),1992 : 94). Dalam pemilihan yang
dilaksanakan melalui musyawarah dan mufakat, pertimbangan kelayakan dan
kepatutan (manuruik alue jo patuik) biasanya juga didasari atas kemampuan
serta potensi yang dimiliki dalam bidang-bidang tersebut. Corak
kepemimpinan seperti ini memperlihatkan bahwa, secara struktural
fungsional, seorang pemimpin terlahir dari dan dalam sistem sosial mereka
7
sendiri. Oleh karenanya, tugas pemimpin itu sudah barang tentu lebih
mengacu pada tujuan menjaga kelestarian sistem itu sendiri.2
Kepemimpinan Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang : IAIN IB Press, Bagian II.
8
b. Pangulu Payuang
Pangulu Payuang adalah pemimpin dari suku yang belum
membelah diri. Oleh sebab itu Pangulu Payuang belum dapat
diangkat sebagai Pangulu Pucuak. Syarat mendirikan sebuah
nagari di Minangkabau harus terdiri dari empat suku. Jika empat
suku itu belum bisa terpenuhi, maka ia belum dapat menjadi
sebuah nagari. Untuk memenuhi persyaratan tersebut salah satu
suku harus membelah diri.
Sebagai contoh, sebuah wilayah dihuni oleh suku Sikumbang,
Jambak dan Koto. Agar terpenuhi syarat mendirikan nagari maka
salah satu suku harus membelah diri. Misalnya, Suku Sikumbang
karena memiliki kaum yang lebih memungkinkan untuk memecah
suku membelah sukunya menjadi dua, yaitu Sikumbang
Ampek dan Sikumbang Tujuah. Istilah Sikumbang Ampek
menujukkan bahwa suku asalnya dalah Sikumbang
danAmpek menunjukkan 4 (empat) indu atau induak yang
membentuk suku baru ini.
c. Pangulu Indu
Pangulu Indu adalah pemimpin warga suku dalam kaumnya
yang saindu. Indu di beberapa daerah juga disebut dengan
paruik (perut).
Tugas Pangulu:
a. Bertugas ke luar dan ke dalam suku dalam memimpin urusan kaum
atau urusan nagari. Karena tugasnya ini, pangulu disebut tagak
dipintu adat.
b. Bertugas memberi keputusan hukum adat. Hal ini merujuk
kepada kato adat:
kato pangulu kato pusako
(kata penghulu kata pusaka)
pangulu tagak di pintu bana
(Penghulu berdiri di pintu kebenaran)
Mahukum adia bakato bana
9
(menghukum dengan adil berkata (hukum) dengan yang
benar)
c. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, pangulu
berwenang mengangkat pembantu atau perangkat atau wakilnya
langsung disebut panungkek Panungkek dapat mewakili penghulu
dalam tugas-tugas umum masyarakat adat seperti alek (pesta/
kenduri) kaum sukunya, menghadiri ucok/ ucapan (undangan) alek
di luar paruik, jurai dan atau di luar alek sukunya di nagari.
Sementara dalam dalam tugas yang prinsipil seperti memimpin
rapat “urang nan ampat jinih” atau mengambil keputusan dalam
suku/ kaum, penghulu tidak boleh diwakili oleh panungkek
d. Bertugas sesuai aturan, memelihara anak kemenakan dan menjaga
harta pusako
manuruik labuah nan luruih,
maikuik kato nan bana
mamaliharo anak kamanakan dan
manjago harato pusako
2. Manti
Manti (menteri) adalah jabatan pembantu pangulu di dalam tatalaksana
pemerintahan adat di nagari. Tugasnya antara lain :
a. Tugas administrasi memeriksa perkara atau sengketa,
menyampaikan keputusan pangulu dan sebagainya.
b. Tugas Proses menginformasikan dan mengkomunikasikan
penyelesaian perkara atau sengketa, adalah tugas yang tidak ringan.
Manti karena tugasnya di atas disebut tagak di pintu susah.
c. Membuat ranji warga suku, memeriksa ranji kepemilikan tanah
ulayat berdasarkan verifikasi terhadap mamak kapalo
warih sebelum disahkan kerapatan adat.
3. Dubalang
Dubalang (Hulubalang) adalah pembantu penghulu dalam bidang
keamanan. Tugas dubalang adalah:
10
a. Secara teknis bertugas menciptakan keamanan, ketertiban dan
kedamaian di dalam kampuang
b. Membuat pertimbangan alternative untuk mengangkat atau
memberhentikan perangkat keamanan dan ketertiban kampuang.
c. Karena tugasnya tersebut, dubalang disebut tagak di pintu
mati. Bahwa resiko terbesar yang dihadapi dubalang adalah
kehilangan nyawa demi tegakna keamanan.
d. Meski tugasnya terkesan keras dan tegas dubalang tetap harus
mengutamakan kesantunan dalam berbahasa dan kesopanan dalam
bertindak. Hal ini terungkap dalam kalimat:
Nan karek makanan takiak, nan lunak makanan sudu
(yang keras mesti ditakik, yang lunak mesti disudu)
Kalimat diatas menunjukkan bahwa dubalang harus proporsional
dalam bertugas. Mengambil kebijakan sesuai dengan kemestiannya.
Sementara untuk ketegasan, profesionalisme dan konsistensi dalam
melaksanakan tugas terungkap dalam kalimat berikut:
Kok kareh indak tatakiak, kok lunak ndak bisa disudu
(Keras tak bisa ditakik, lunak tak bisa disudu)
4. Malin
Malin atau kadang-kadang disebut Malim adalah orang alim dalam agama
Islam. Jabatan ini muncul sebagai bentuk integrasi Islam dengan adat
Minangkabau. Adapun tugas Malin adalah:
a. Bertanggungjawab kepada Pangulu dalam pelaksanaan kebijakan
bidang keagamaan.
b. Bertugas merencanakan kegiatan untuk anak kemanakan agar
menekuni dan memahami ilmu agama dan ilmu umum. Dalam
istilah Minangkabau tugasnya membuat anak kemanakan pandai
sumbayang jo mangaji, pandai sikola jo babudi.
c. Menegakkan dan mengawasi pelaksanaan acara adat agar sesuai
dengan hukum syara’.
d. Karena tugas-tugasnya di atas, Malin disebut tagak dipintu syara’
(agama). Dalam melaksanakan tugasnya, Malin diperkuat dengan
11
unsur Urang Jinih Nan Ampek. Urang Jinih Nan Ampek tersebut
yaitu Imam, Katik, Bilal dan Qadhi.3
Hirarki kepemimpinan sosial masyarakat suatu nagari di Minangkabau
dibentuk berdasarkan aspek genealogis itu. Unit sosial genealogis terkecil
kepemimpinannya melekat pada individu yang berada pada posisi mamak
(yang tertua) atau yang disebut Tungganai, sedangkan pada unit diatasnya
(saparuik) dipimpin oleh seorang Mamak Kepala Warih yang dipilih diantara
mamak-mamak rumah (tungganai) yang ada berdasarkan pertimbangan
kelayakan dan kepantasan (alur dan patut). Sedangkan Suku sebagai unit
genealogis selanjutnya dipimpin oleh seorang Penghulu Suku yang juga
dipilih diantara Mamak Kapalo Warih melalui musyawarah-mufakat
berdasarkan pertimbangan yang sama. Nagari sebagai organisasi politik
tertinggi, kepemimpinannya dipegang seorang penghulu yang dipilih secara
primus interpares di antara penghulu-penghulu suku yang ada.
12
lembaga ini. Oleh karena itu pula, pemuka agama menjadi bahagian dari
pemerintahan nagari. Bila dalam kerajaan Pagarruyung kekuasaan terbagi
dalam bidang urusan agama dan adat di bawah koordinasi Raja Alam, maka
di tingkat nagari terbagi dalam apa yang disebut dengan urang ampek
jinih (orang yang empat jenis), yaitu : penghulu (pemimpin adat), manti (juru
tulis adat), dubalang ("polisi"), dan malin (pegawai-pegawai agama).
13
yang disebutkan menganut salah satu sistem kelarasan, namun bukan berarti
seluruh suku yang terdapat di dalamnya berasal kelarasan yang sama. Bahkan
semenjak awal abad ini terdapat kecendrungan di banyak nagari-- yang
berada di luhak yang tiga dan di wilayah rantau-- pemberlakuan sistem itu
tidak terlalu mempersoalkan apakah Koto Piliang atau Bodi Caniago sebagai
terungkap dalam pepatah : Koto Piliang inyo bukan, Bodi Caniago inyo
antah (Koto Piliang dia bukan, Bodi Caniago dia entah). Menurut Mochtar
Naim (1979), "Pengelompokan ke dalam Koto Piliang dan Bodi Caniago
tidak lagi dirasakan pentingnya di masa sekarang ini, oleh karena beda
keduanya yang tinggal cuma sedikit.4
C.
4
https://www.academia.edu/7523959/Sistim_Kepemimpinan_Minangkabau
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, kami berharap dapat membatu pembaca dalam
memperoleh referensi mengenai kepemimpinan di Minangkabau. Namun, kamu
sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
kekurangan yang luput dari perhatian kami. Maka dari itu kami sangat
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://nasirsalo.blogspot.com/2018/03/urang-nan-ampek-jinih-dan-jinih-
nan.html?m=1
https://www.academia.edu/7523959/Sistim_Kepemimpinan_Minangkabau
16