KELOMPOK 1
DISUSUN OLEH :
UNIVERSITAS PAMULANG
Jl. Surya Kencana No. 1 Pamulang – Tangerang Selatan
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Atas segala nikmat dan karunia-
Nya.Shalawat dan salam yang tak lupa pula kita panjatkan kepada junjungan kita
RasulullahMuhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan/jahiliyah kea
lam terang benderang sekarang ini.
Akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah dengan daya dan upaya yang terbatas
maka makalah ini dapat diselesaikan
.Adapun judul makalah ini adalah “EKONOMI SYARIAH” Akhir kata kami berharap
apa yang kami tulis ini dapat bermamfaat bagi pembaca dan terkhusus bagi kami untuk
digunakan sebagai pembelajaran dalam membuatkan karya-karya baru lainnya.
Semoga Allah SWT senantiasa tetap memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada
kami menuju jalan lurus yang penuh dengan Ridha-Nya.
Amin Ya Rabbal Alamin.
Wassalamu alaikum Wr.Wb.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan bisa
terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai manusia, seperti hasil
pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain yang termasuk perhiasan dunia.
Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi
menambah kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh berdiri sebagai penghalang antara
dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta
dikumpulkannya dengan cara yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari
harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian
Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasai harta tersebut melalui izin-
Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Adanya pemilikan seseorang atas
harta kepemilikian individu tertentu mencakup juga kegiatan memanfaatkan dan
mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang telah
secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan
hartanya. Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya
tersebut ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan
pemanfaatan dan pengembangan harta.
Namun sebaliknya kondisi saat ini khususnya di Indonesia ada batas-batas kepemilikan
harta yang sebenarnya dapat dimiliki untuk umum. Bahkan banyak intervensi Negara asing
yang ingin menguasai kepemilikan umum menjadi milik pribadi.
Berangkat dari permasalahan diatas, maka tulisan singkat ini akan menguraikan
makna harta dalam pandangan Islam dan konsep kepemilikan harta dalam Islam, dan
maqashid syariah dalam kepemilikan harta, serta pembagian harta dalam islam.
1.3 TUJUAN
Tujuan makalah ini untuk para pembaca agar dapat lebih memahami tentang konsep
kepemilikan harta dalam Islam, dan maqashid syariah dalam kepemilikan harta,
pembagian harta dalam islam, akad serta perilaku konsumen dalam ekonomi islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Milkiyah berasal dari kata al-milk bentukan dari kata malaka – yamliku – malkan
wa mulkan wa milkan. Malaka artinya menguasai atau memiliki. Menurut Ibn Sayidih, al-
malk, al-mulk atau al-milk adalah pemilikan (penguasaan) sesuatu dan kemampuan berbuat
sesuai keinginan terhadap sesuatu itu. Al-Milkiyah dapat diartikan ownership. Di dalam
ensiklopedia Wikipedia, ownership adalah fakta atau status dari pemilikan ekslusif atau
kendali atas suatu kekayaan (property). Menurut Fathi Ahmad Abdul Karim bahwa kata
milkiyah bermakna al-ihtiwa dan al-qudrah yaitu memelihara dan menguasai sesuatu secara
bebas. Artinya hak seseorang dalam menguasai sesuatu dan dibolehkannya seseorang untuk
mengambil manfaat dengan segala cara yang dibolehkan oleh syara’, dimana bagi orang lain
tidak diperkenankanya mengambil manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya,
dan sesuai dengan bentuk-bentuk muamalah yang diperbolehkan. Kepemilikan hakiki adalah
milik Allah. Allahlah pemilik segala kekuasaan/kepemilikan (al-Mâlik al-mulk). Allah sendiri
telah menyatakan bahwa harta itu (hakikatnya) adalah milik-Nya:
“Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan (diberikan)-Nya
kepada kalian.” (QS al-Nur: 33).
Hanya saja, Allah SWT telah memberikan kekuasaan atas harta kepada manusia sekaligus
menjadikan harta itu sebagai hak pemilikan manusia. Allah Swt. berfirman:
“Dan nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian
menguasainya” (QS al-Hadid: 7)..
Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : hak milik
pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.
1. Kepemilikan Individu
Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah) adalah izin dari Asy-Syari’ kepada
individu untuk memanfaatkan suatu barang atau jasa. Karena merupakan izin dari Asy-Syari’,
kepemilikan hanya ditetapkan berdasarkan ketetapan dari Asy-Syari’.
Pertama, ketetapan tentang barang atau jasa yang diizinkan (dibolehkan) untuk dimiliki dan
yang tidak. Dalam hal ini, Allah telah menyifati sesuatu dengan halal dan haram.
Kedua, ketetapan tentang tatacara perolehan harta yang diizinkan (dibolehkan) dan yang tidak.
Perolehan harta itu bisa melalui: sebab-sebab kepemilikan harta dan sebab-sebab
pengembangan harta.
Kepemilikan pribadi dalam Islam merupakan suatu hal yang sudah dikenal. banyak
dijumpai ayat-ayat al-Qur’an menggunakan lafadz “amwalikum, amwalihim, mal al-yatim,
atau buyutikum”. Sebagaimana Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengeluarkan
zakat dan infaq hal lafadz ini menunjukkan bahwa mereka adalah pemilik harta. Begitu juga
ayat-ayat kewarisan menunjukkan diakuinya kepemilikan pribadi/ pribadi. Dalam sunnah Nabi
juga terdapat hadis-hadis yang banyak, sebagaimana sabda Nabi dalam khutbah al-wada’
“sesunguhnya darah, harta, dan kehormatan kamu sekalian adalah haram bagi kalian”(HR.
Bukhari Muslim). juga hadis yang berbunyi: “setiap muslim bagi muslim lainnya haram
darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR. Muslim dan lainnya) Dan di dalam al-Qur’an
juga diterangkan bahwa jiwa manusia secara fitrah mempunyai kecintaan terhadap harta.
Sebagaimana Allah berfirman:) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga)”.“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan” Sungguh walaupun setiap orang yang bekerja mempunyai hak untuk memiliki
hasil usahanya, Merupakan suatu yang alamiah adanya kepemilikan pribadi, seandainya
kepemilikan pribadi ini tidak diperbolehkan maka seseorang tidak akan dapat memiliki hasil
usahanya lebih banyak dari kebutuhan dirinya dan keuarganya.
Memelihara harta secara individu, umum dan Negara. Dilihat dari segi
kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
Menurut penyusun, cara melindungi harta sesuai dengan kepemilikannya adalah sebagai
berikut:
a. Hak milik individu, dalam mendapatkannya harus sesuai dengan syariat islam yaitu
dengan cara bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan harta orang lain
dengan cara yang bathil atau memakan hasil riba.
b. Hak milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda ini secara umum, maka
cara menjaganya harus dilestarikan dan tidak digunakan dengan semena-mena.
c. Hak milik Negara, suatu Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan cara
menjaga dan mengelola sumber daya alam dan sumber pendapatan Negara.
2.4 PEMBAGIAN HARTA DALAM ISLAM
a. Harta mitsli bisa menjadi tsaman (harga) dalam jual beli hanya dengan
menyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak bisa
b. Jika harta mitsli dirusak orang, maka wajib diganti dengan padanannya
yang mendekati nilai ekonomisnya atau sama
c. Jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai keinginannya, walaupun
tanpa izin dari pihak lain
d. Harta mitsli rentang terhadap riba fadl
Akad merupakan salah satu dari ilmu fiqih muamalah yang mengatur hubungan
dengan manusia serta urusan keduniawian. Transaksi antar satu pihak dengana pihak
lainnya adalah interaksi yang tidak dihindadri karena setiap orang memiliki berbagai
kebutuhan di dalam hidup. Dalam transaksi yang terjadi, muncul sebuah kesepakatan
yang di dasari keterikatan antar satu sama lain dalam ijab dan qobul. Inilah yang
didsebut dengan akad dalam islam. Akad tersebut digunakan dalam melakukan suatu
transaksi maupun kerjasama denga orang lain.
Dalam Bahasa arab akad disebut uqud, bentuk jamak dari aqd. Secara Bahasa
artinya adalalah ‘mengikat’, ‘bergabung’, ‘mengunci’ , menahan’ , atau dengan akata
lain membuat perjanjian.
Dalam hukum islam, aqd artinya gabungan atau penyatuan dari penawaran (ijab) dan
penerimaan (qabul) yang sah sesuai dengan hukum islam. Ijab adalah penawaran dari
pihak pertama, sedangan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang di sebut oleh
pihak pertama.
Sedangkan secara istilah akad adalah menghubungkan suatu kehendak suatu
pihak dengan pihak lain dalam suatu bentuk yang menyebabkan adanya kewajiban
untuk mewujudkan suatu hal. Contohnya akad jual beli.
Akad berkaitan erat dengan kemantapan hati manusia untuk harus melakukan sesuatu,
hal ini sesuai dengan firman Allah :
“Hai orang – orang beriman, penuhilah akad – akad itu”. (QS. Al-Maidah: 11)
2.6 DASAR HUKUM, RUKUN, DAN SYARAT AKAD
a. Dasar Hukum Akad
Dalil nash yang membahas tentang akad tetuang dalam Q.S al-Maidah:1 dan Q.S
Ali ‘ Imran : 76
1) Q.S Al-Maidah: 1
Terjemahan :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu [Akad (perjanjian)
mencangkup : janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh
manusia dalam pergaulan sesamanya] Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali
yang akan di bacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang di kehendaki-Nya.” (Q.S al-Maidah: 1)
Makna ayat:
Pada permulaan ayat ini Allah memerintahkan kepada setiap orang yang
beriman untuk memenuhi janji-jani yang telah di ikrarkan, baik janji kepada Allah
maupun yang dibuat antar manusia termasuk kontrak bisnis. Perkataan aqdu
mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, bila seseorang mengadakan janji
kemudian oranng lain menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji
yang berhubungan dengan janji yang pertama ,maka terjadilah perikatan dua buah
janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain
disebut perikatan (‘aqad). Semua perikataan dapat dilakukan asal tidak melanggar
ketentuan Allah.
2) Q.S Ali’Imran: 76
Terjemahan :
(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya
[yakni janji yang telah didbuat seseorang baik kepada sesama manusia maupun
terhadap Allah.] dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertakwa.
Makna ayat :
Allah menyangkal pendapat orang-orang bani Israel (pada surah Ali’Imran: 76)
yang mengatakan bahwa tidak ada dosa bagi mereka apabila melakukan kejahatan
terhadap orang-orang islam. Kemudian Allah menegaskan supaya setiap orang
menepati segala macam janji dan menunaikan amanah yang telah dipercayakan
kepadanya. Karena itu, jika ada orang yang meminjamkan harta dengan penepatan
waktu, hendaklah dipenuhi janji itu dengan mengembalikan harta itu tepat pada
waktunya.
Allah menyebutkan pahala bagi orang-orang yang sudah menepati janjinya
karena termasuk dalam kategori takwa. Keterangan ini untuk memberikan
pengertian bahwa menepati janji termasuk perbuatan yang di ridohi Allah.
b. Rukun Akad
Rukun akad terdiri dari 3 hal utama yaitu aqidan, mahal al-aqad dan sighah.
Aqidan adalah pihak pihak yang akan melakukan akad kemudian mahal al – aqad
adalah objek akad berupa jasa atau benda berharga sedangkan siqhah pernyataan resmi
adanya transaksi.
Dalam transaksi syariah, sighah alias pernyataan resmi adanya transaksi terdiri
dari ijab dan qobul. Isi dari pernyataan ini tergantung dari akad yang dilakukan,
misalnya akad sewa atau akad jual beli. Pihak yang melakukan akad haruslah orang
yang memiliki kemampuan untuk mengelola harta dengan baik (rusyd), baliqh dan
berakal sehat. Sementara itu objek akad harus sesuai dengan syariah islam, bukan
alcohol, darah, bangkai maupun daging babi. Objek akad juga harus jelas dan tidak
mengandung unsur gharar (ketidakpastian). Selain gharar, hal-hal yang bisa
membatalkan akad adalah riba dan maisir (perjudian).
Ada beragam akad yang sering ditemui dalam transaksi syariah antara lain akad
waddiah, akad mudharabah, dan akad murabahah. Contoh penggunaan akad dalam
syariah pegadaian adalah akad rahn dalam produk gadai syariah.
c. Akad itu diijinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya, walaupun dia bukan akid yang memiliki barang.
f. Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dibatalkan
sebelum adanya qobul.
g. Ijab dan qobul harus bersambung, jika seseorang melakukan ijab dan berpisah
sebelum terjadinya qobul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah.
B. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian aqad, dan tidak
disyaratkan pada bagian lainnya. Syarat khusus ini juga disebut syart idhofil
(tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat umum, seperti syarat
adanya wali dalam pernikahan.
2. Akad yang tidak shahih merupakan akan yang memiliki kekurangan pada syarat dan
rukun akad. Sehingga hukum tidak berlaku pada kedua belah pihak yang melakukan akad
itu. Mudhab Hanafi membagi akad ini kedalam dua macam yaitu:
a) Akad bathil, apabila akad itu tidak memnuhi salah satu rukun dan larangan
langsung dari syara. Seperti jual beli yang dilakukan anak kecil.
b) Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi sifat yang diakadkan tidak
jelas sepeprti menjual mobil tidak disebutkan merknya, tahunnya, dan
sebagainya.
Dalam bank syari’ah, akad yang dilalukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi
karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar
kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum
positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjinan tersebut memiliki pertanggungjawaban
hingga yaumil qiyamah.
2.9 AKAD-AKAD BANK SYARIAH
Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam enam
kelompok pola, yaitu:
1. Pola Titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah;
2. Pola Pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan;
3. Pola Bagi Hasil, seperti mudharabah dan musharakah;
4. Pola Jual Beli, seperti murabahah, salam, dan istishna;
5. Pola Sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina;
6. Pola Lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.
Dari sisi cara menetapkan harga, jual beli dibagi empat, yaitu:
1) Jual beli musawamah (tawar menawar), yaitu jual beli biasa ketika penjual tidak
memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya;
2) Jual beli amanah, yaitu jual beli dimana penjual memberitahukan modal jualnya
(harga perolehan barang).
3) Jual beli dengan harga tangguh, Bai’ bitsaman ajil, yaitu jual beli dengan penetapan
harga yang akan dibayar kemudian. Harga tangguh ini boleh lebih tinggi daripada harga
tunai dan bisa dicicil (concern pada cara menetapkan harga, bukan pada cara
pembayaran);
4) Jual beli muzayadah (lelang), yaitu jual beli dengan penawaran dari penjual dan para
pembeli berlomba menawar, lalu penawar tertinggi terpilih sebagai pembeli.
Kebalikannya, disebut jual beli munaqadhah, yaitu jual beli dengan penawaran pembeli
untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu dan para penjual berlomba
menawarkan dagangannya, kemudian pembeli akan membeli dari penjual yang
menawarkan harga termurah.
2.9.5 Akad Pola Sewa
Transaksi nonbagi hasil selain yang berpola jual beli adalah transaksi berpola sewa
atau ijarah. Ijarah, biasa juga disebut sewa, jasa, atau imbalan, adalah akad yang
dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah adalah istilah dalam
Fikih Islam dan berarti memberikan sesuatu untuk disewakan. Menurut Sayyid Sabiq,
ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Jadi,
hakekatnya ijarah adalah penjualan manfaat.
b. Kafalah
Kafalah (Guaranty) adalah jaminan, beban, atau tanggungan yang diberikan oleh
penanggung (kaafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau
yang ditanggung (makful). Kafalah dapat juga berarti mengalihkan tanggung jawab
seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai
penjamin. Atas jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang
dijamin. Jadi, secara singkat kafalah berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang
kepada orang lain dengan imbalan. Rukun dari akad kafalah yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa, yaitu:
1) Pelaku akad, yaitu kaafil (penanggung) adalah pihak yang menjamin, dan makful
(ditanggung), adalah pihak yang dijamin;
2) Objek akad yaitu makful alaih (tertanggung) adalah obyek penjaminan; dan 3)
Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
Sedangkan syarat-syarat dari akad kafalah, yaitu:
1) Obyek akad harus jelas dan dapat dijaminkan; dan
2) Tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Kafalah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kafalah dengan harta dan kafalah
dengan jiwa. Sedangkan jenis kafalah ada tiga, yaitu:
a) Kafalah Bit Taslim, yaitu jaminan pengembalian barang yang disewa;
b) Kafalah Al Munjazah, yaitu jaminan mutlak tanpa batas waktu; dan
c) Kafalah Al Mualaqah, yaitu jaminan yang dibatasi jangka waktu tertentu. Contoh
penggunaan kafalah dalam jasa perbankan, antara lain bank garansi.
c. Hawalah
Hawalah (Transfer Service) adalah pengalihan hutang/piutang dari orang yang
berhutang/berpiutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya/menerimanya.
Rukun dari akad hawalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1) Pelaku akad, yaitu muhal adalah pihak yang berhutang, muhil adalah pihak yang
mempunyai piutang, dan muhal ’alaih adalah pihak yang mengambilalih hutang/piutang;
2) Objek akad, yaitu muhal bih (hutang); dan
3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
d. Rahn
Rahn (Mortgage) adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain
(bank) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan
dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah. Rukun dari akad rahn yang harus
dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1) Pelaku akad, yaitu rahin (yang menyerahkan barang), dan murtahin (penerima
barang);
2) Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih (pembiayaan); dan
3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
Sedangkan syarat-syarat dari akad rahn, yaitu:
1) Pemeliharaan dan penyimpanan jaminan; dan
2) Penjualan jaminan. Contoh penggunaan rahn dalam jasa perbankan, antara lain gadai.
e. Sharf
Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta lain. Rukun dari akad sharf yang
harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1) Pelaku akad, yaitu ba’l (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk dijual, dan
musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli valuta;
2) Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar); dan
3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
f. Ujr
Ujr adalah imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang
dilakukan. Akad ujr diaplikasikan dalam produk-produk jasa keuangan bank syariah (fee
based services), seperti untuk penggajian, penyewaan safe deposit box, penggunaan
ATM, dan sebagainya.
Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tetapi memiliki
perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi
ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara
pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman Syariah islamiyyah.
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena
tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah
kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti
mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam
kehidupan. Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya
konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan
menggerakkan roda-roda perekonomian
2.12 NORMA ETIKA KONSUMEN
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam
berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain :
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar
utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam Shatibi,
maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan
tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima
elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda
(al mal), keyakinan (aldin), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua
barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di
atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Maslahah bersifat subyektif dalam
arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing masing dalam menentukan apakah
suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya .Namun, berbeda dengan
konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi
semua individu dan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak
dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan
kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang
hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak
bertentangan dengan hukum. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi
yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169).
Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan
baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan
bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan.
2. Prinsip Kebersihan Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit
yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok
untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara
dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. “Makanan
diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi).
Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan
menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup
makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas”
(HR Bukhari).
3. Prinsip Kesederhanaan Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan
merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Islam menghendaki suatu
kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta
pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial. “Makan dan
minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa
kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan
berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
4. Prinsip Kemurahan hati
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia
(Qs al-Maidah, 5: 96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan
kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan
makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita,
kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Dengan mentaati
ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda
ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya.
5. Prinsip Moralitas. Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus
dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata
memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk
keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan
spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan
menyatakan terimakasih setelah makan.
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan
keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam bentuk perilaku, gaya hidup,
selera, sikap – sikap terhadap sesama manusia, sumberdaya, dan ekologi. Keimanan sangat
mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan materil
maupun spiritual. Kita melihat batasan konsumsi dalam Islam sebagaimana diurai dalam
Alqur’an surah Al-Baqarah [2]: 168 -169 : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah – langkah setan;
karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. Sesungguhnya setan hanya menyuruh
kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Sedangkan untuk batasan terhadap minuman merujuk pada firman Allah dalam al qur’an
surah Al-Maidah[5] : 90 : Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya (minuman
khamer, berjudi,(berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu beruntung.
Hasan sirry menyatakan bahwa sumber hukum konsumsi yang tercactum dalam
Al-Qur’an adalah; Makanlah dan minumlah,namun janganlah berlebih – lebihan,
Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang – orang berlebih – lebihan.
Sumber yang berasal dari Hadits Rasul adalah, Abu Said Al – Chodry r.a.
berkata: ketika kami dalam bepergian bersama Nabi saw. Mendadak datang seseorang
berkendara, sambil menoleh kekanan kekiri seolah – olah mengharapkan bantuan
makanan, maka bersabda Nabi: “siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus
dibantukan pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai
kelebihan bekal harus dibantu kepada yang tidak berbekal.” Kemudian Rasulullah
menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak
memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya..
Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut
dengan maslahah.
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar
utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.
Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti
atau harta benda (al mal), keyakinan (aldin), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut
maslahah.
1. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi
masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah
atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah
ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.
2. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep
ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana
seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa
menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama
dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
1) Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi
penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima
elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual, keturunan
dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada
kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di
akhirat.
3.1 KESIMPULAN
Islam mengakui fitrah manusia untuk mencintai harta, dan memilikinya, perhatian
Islam dalam masalah harta tersebut di uraikan secara jelas melalui kalam al-Qur’an dan lisan
Nabi SAW. Konsep harta harta dalam Islam sangat komprehensif, dimana Islam tidak hanya
mengatur bagaimana harta itu dapat diperoleh dengan cara yang halal, bagaimana harta dapat
dikembangkan, dan didayagunakan, akan tetapi juga mengatur bagaiamana agar harta itu
dapat berfungsi mensejahterakan umat, yaitu dengan menggerakkan para pemilik harta
melalui instruksi Tuhan dalam al-Quran maupun melalui sabda utusan-Nya untuk
mendistribusikan harta dengan menginfaqkannya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri,
keluarga, serta untuk membantu kebutuhan para fuqara dan masakin.
Kaitannya dengan kepemilikan, Islam memandang bahwa pemilik hakiki adalah
Allah semata, harta yang ada di tangan manusia hanyalah titipan dan amanat yang harus
ditunaikan sesuai apa yang diinginkan sang pemilik sebenarnya. Konsep kepemilikan dalam
Islam berbeda dengan kapitalis yang memandang harta adalah milik manusia, maka manusia
bebas untuk mengupayakannya, bebas mendapatkannya dengan cara apapun dan bebas pula
untuk memanfaatkannya atau dalam kata lain falsafah yang mereka miliki adalah kebebasan
kepemilikan, begitu juga konsep kepemilikan Islam berbeda dengan kepemilikan sosialis
yang tidak mengakui kepemilikan individu, harta adalah milik Negara. Akan tetapi konsep
Islam mengakui adanya kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan Negara.
Ketiga macam kepemilikan tersebut dberi batasan wewenang sesuai dengan fungsinya
masing-masing. yang pada intinya agar terjaga keseimbangan untuk menuju kesejahteraan
baik individu, masyarakat dan Negara
3.2 SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu pemakalah dan teman-
teman dalam memahami tentang Harta, Kepemilikan Harta serta Perilaku Konsumen
dalam Ekonomi Islam. Pemakalah berharap kritik dan saran yang membangun dari
pembaca.