Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HARTA DALAM EKONOMI ISLAM

MK AGAMA ISLAM
Dosen Pembimbing : Sholih Khudin Anam, S.Pd., M.S.I

Dibuat Oleh:

Dwi Sutikno / 177022863


Oktavian Ade Nugraha / 177022865
Kelas B2

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS BALIKPAPAN
2017

1
DAFTAR ISI

Cover 1
Daftar Isi 2
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan dan Manfaat 3
D. Harta dalam Perspektif Fiqh Muamalah 4
E. Pandangan Ulama Terhadap Terminologi Harta dan Implikasinya 5
F. Prinsip Pemanfaatan Harta 6
G. Kesimpulan 13
H. Daftar Pustaka 14

2
A. LATAR BELAKANG

Islam mengemukakan prinsip pedoman dan serangkaian aturan bagi semua aspek
kehidupan manusia, termasuk aspek ekonomi.dalam Ajaran agama Islam yang bersumber
kepada wahyu ilahi dan sunnaturasul mengajarkan pada umatnya untuk berusaha
mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan sekaligus memperoleh kehidupan yang
baik di akhirat. Memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat inilah yang dapat
menjamin dicapainya kesejahteraan hidup lahir batin. Dengan demikian, kesejahteraan
kesejahteraan yang hendak dicapai itu adalah sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Dalam QS. Al-Baqarah (2):201 yang artinya Dan diantara mereka ada yang
berdoa; Ya Tuhan kami berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka.
Dikaruniai harta yang berlimpah adalah salah satu nikmat dunia yang diberikan
Allah SWT. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa harta merupakan keperluan hidup yang
sangat penting. Sebab harta adalah salah satu bentuk perhiasan kehidupan dunia. Dengan
harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari mulai dari yang primer,
sekunder,bahkan tersier sekalipun. Oleh karena harta pula lah akan terjadi interaksi sosial
atau hubungan horizontal (manusia). Sebab harta ini didapat setelah terjadi hubungan
timbal balik antar manusia, atau biasa dikenal dengan kerja sama. Kerja sama dilakukan
untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, yaitu harta.
Tidak ada larangan dalam mencari harta, Islam menganjurkan kepada manusia
untuk mencari harta. Harta bagi manusia merupakan dzat yang sangat berharga. Meskipun
ada sebagian orang yang tidak menganggap harta itu berharga, dikarenaka mereka telah
memiliki sesuatu yang lebih berharga. Jadi,penilaian terhadap harta dilakukan secara
subyektif, sesuai pola pikr tiap-tiap individu. Bagi orang miskin, makan ayam merupakan
hal yang mewah. Namun tidak bagi orang kaya. Orang kaya menganggap ayam adalah
makanan biasa. Itulah sebabnya mengapa penilaian terhadap harta dilakukan secara
subyektif. Menyangkut konsep harta itu sendiri, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara
Islami dan konvensional. Dua hal tersebut memiliki kriteria yang berbeda-beda mengenai
harta. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai konsep harta dalam ekonomi Islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana harta dalam perspektif fiqh muamalah ?


2. Bagaimana Pandangan ulama terhadap terminologi harta dan implikasinya ?
3. Bagaimana prinsip pemanfaatan harta ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT

1. Untuk mengetahui harta dalam perspektif fiqh muamalah.


2. Untuk mengetahui pandangan ulama terhadap terminology harta dan implikasinya.
3. Untuk mengetahui bagaimana prinsip pemanfaatan harta .

3
D. HARTA DALAM PRESPEKTIF FIQH MUAMALAH

Harta dalam bahasa Arab (Al-lughoh) disebut al-maal, yang merupakan akar kata
dari lafadz maala yamiilu mailan yang berarti condong, cenderung, dan miring.
Secara terminologi (Al-istilah) harta merupakan segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh
manusia untuk menyimpan dan memilikinya.
Harta kekayaan dapat berupa hewan antara unta, kambing, sapi, tanah, emas, perak, dan
segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan memiliki nilai (qimah).

Dalam syariat islam,harta di bedakan menjadi dua bagian, yaitu :


1. Harta tetap atau harta diam
Merupakan harta yang tidak dapat di pindahkan seperti tanah yang melekat, dan juga yang
sudah berubah bentuknya seperti bangunan yang permanen. Ada beberapa perbedaan
diantara berbagai mazhab yang ada dalam islam memandang tentang konsep harta tetap
ini. Mazhab hanafi memandang bahwa harta tetap hanya sebuah tanah saja. Adapun
mazhab Maliki memandang konsep harta tetap adalah dalam pengertian yang sangat
luas,yaitu bebrbagai hal yang melekat dalam bangunan yang permanen seperti, tanah
ataupun bangunan.
2. Harta bergerak
Merupakan harta yang dapat dipindahkan ataupun di alihkan.
Dalam syariat islam ditegaskan bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak dari harta yang
sedang ia kuasai akan tetapi ia hanyalah berupa titipan dan Allah SWT sebagai pemilik
mutlat atas apa yang ia titipkan , sesuai dalam surah Ali-Imran ayat 189 :
Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi,dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu
Dan di dalam harta yang dititipkan oleh Allah azza wa jalla kepada kita terdapat hak harta
bagi orang orang yang berhak untuk menerima nya (fakir, miskin, yatim, piatu, orang yang
sedang tertimpa musibah dan lain sebagainya) dan untuk memenuhi kebutuhan orang yang
berhak menerima tersebut,kita mengenal sesuatu yang wajib dilakukan adalah zakat, dan
yang bersifat sunnah seperti sodaqoh, infaq, wakaf, hadiah .
Dan berikut ini dalil yang menunjukkan mewajibkan kita untuk berzakat:

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh maha mendengar lagi maha mengetahui". (Q.S
At-Taubah ayat 103) .

Hadits ber-Infaq :
Di jelaskan di dalam salah satu hadits Qudsi, Allah Tabaraka wataala berfirman: "Hai
anak Adam, infaklah (nafkahkanlah hartamu), niscaya Aku memberikan nafkah
kepadamu." (H.R. Muslim).
Hadits Shodaqoh ;
Dari Abu Dzar radhiallahuanhu : Sesungguhnya sejumlah orang dari shahabat
Rasulullah shollallohu alaihi wa sallam berkata kepada Rasulullah shollallohu alaihi wa
sallam : Wahai Rasululullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala
yang banyak, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami
puasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedang kami tidak dapat
melakukannya). (Rasulullah shollallohualaihi wa sallam) bersabda : Bukankah Allah telah

4
menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah ? : Sesungguhnya setiap tashbih
merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah,
setiap tahlil merupakan sedekah, amar maruf nahi munkar merupakan sedekah dan setiap
kemaluan kalian merupakan sedekah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah masakah
dikatakan berpahala seseorang diantara kami yang menyalurkan syahwatnya ?, beliau
bersabda : Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan dijalan yang
haram, bukankah baginya dosa ?, demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada
jalan yang halal, maka baginya mendapatkan pahala.(Riwayat Muslim).
Dan selain itu syariat islam telah menegaskan kepada manusia untuk selalu menggunakan
hartanya di dalam hal-hal yang bermanfaat :

sebaik-baiknya manusia adalah yang memiliki akhlaq yang baik dan bermanfaat bagi
yang manusia yang lain .

E. PANDANGAN ULAMA TERHADAP TERMINOLOGI HARTA dan


IMPLIKASINYA

Ibnu Asyr mengatakan bahwa, Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak,
tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan
dimiliki.
Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah ialah sesuatu yang digandrungi oleh
tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.
Maksud pendapat di atas, definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai
dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat
dikatagorikan sebagai harta.
Adapun manfaat termasuk dalam kategori sesuatu yang dapat dimiliki, ia tidak
termasuk harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak mungkin
dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari. Begitu juga
tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak dapat diambil manfaatnya, tetapi
dapat dipunyai secara konkrit dimiliki, seperti segenggam tanah, setetes air, seekor lebah,
sebutir beras dan sebagainya.

Harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang memenuhi dua kriteria :
1. Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya.
2. Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit (aayan) seperti
tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang.

Menurut jumhur ulama fiqh selain Hanafiyah mendefinisikan konsep harta sebagai
adalah seagala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya.
Dari pengertian di atas, jumhur ulama memberikan pandangan bahwa manfaat termasuk
harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa segala
macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai
tempat dan sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan
melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud manfaat menurut jumhur ulama dalam pembahasan ini adalah faedah atau
kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami rumah atau
mengendarai kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara kepada seseorang secara

5
khusus dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak
minum, dan lain lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti hak
mengasuh dan lain-lain.

Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah
meninggalkannya. Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu
mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Menurut ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang disampaikan
Jumhur Ulama selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaat-
manfaat itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti
hak paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.

Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh
ulama-ulama Ushul Fiqhadalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk
keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak
termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini,
beliau menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-
Kasyf al-Kabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan
menyerahkan benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang konkrit, dan tidak berlaku jika
hanya kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.

F. PRINSIP PEMANFAATAN HARTA

Pemanfaatan harta dalam Islam dipandang sebagai kebaikan. Kegiatan ini


dilakukan untuk memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun ruhani sehingga mampu
memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat atau yang biasa disebut dengan Falh. Kebahagiaan di
Dunia berarti terpenuhinya segala kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk ekonomi.
Sedang kebahagiaan di akhirat kelak berarti keberhasilan manusia dalam memaksimalkan
fungsi kemanusiaannya (ibadah) sebagai hamba Allah sehingga mendapatkan ganjaran dari
Allah SWT yaitu kenikmatan ukhrawi (surga). Seseorang yang ingin mendapatkan
kebahagian dunia akhirat dituntut harus mampu berjalan pada jalan Ilahi. Artinya, tunduk
dan patuh pada peraturan dan ketentuan yang telah Allah SWT ciptakan bersamaan dengan
pelaksanaan segala aktifitas ekonomi manusia, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai
pemanfaatan harta yang dilakukan oleh umat muslim. Allah SWT berfirman :

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik. { QS. Al-Baqarah : 168 }

Berikut dijelaskan beberapa padangan Islam tentang cara memanfaatkan harta :


1. Menentukan Prioritas Pemanfaatan Harta
Islam mengajarkan seorang muslim mengenai mekanisme menentukan
pemanfaatan harta untuk mencapai tujuan falah tersebut. Falah akan tercapai dengan
terpeliharanya enam kemashlahatan meliputi (a) agama (dien), (b) jiwa/hidup (nafs), (c)

6
keluarga/keturunan (nasl), (d) harta/kekayaan (maal) dan (e) intelektual/akal (aql)
termasuk (f) lingkungan (biiah). Untuk memelihara ke-5 perkara ini, Al-Ghazali, Abu
Ishaq Asy-Syatibi dan Mustafa Anas Zarqa memberikan 3 hierarki utilitas individu; yaitu
(1) kebutuhan (dharuriyyat), (2) kesenangan dan kenyamann (hajiat), dan (3)
kemewahan (tahsiniyat).
Kunci dari pemeliharaan lima perkara falah terletak pada utilitas pertama,
yaitu dharuriyyat. Seperti makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain. Menurut mereka,
kebutuhan-kebutuhan tingkat pertama bersifat dasar (basic needs) dan cenderung bersifat
fleksibel mengikuti tempat, waktu dan dapat menyangkut kebutuhan sosiopsikologis
(hiburan, ketenangan hati).
Utilitas kedua hajiat, merupakan hal-hal yang tidak vital bagi kebutuhan bagi lima
perkara falah, akan tetapi utilitas ini penting untuk menghilangkan kesukaran dan
rintangan dalam hidup. Misalnya, piring untuk makan, gelas untuk minum, pulpen dan
untuk belajar dan lain sebagainya.
Sedangkan pada utilitas ketiga tahsiniat, merupakan hal-hal yang berhubungan
dengan kenyamanan saja. Meliputi hal-hal yang melengkapi dan menghiasi hidup.
Misalnya, gelas kristal untuk minum dan Pulpen emas untuk belajar.
Ketika seorang muslim hendak memanfaatkan hartanya, maka ia harus tindakan
tersebut benar-benar kebutuhan dharuriyyat dan hajiat bagi dirinya atau hanya sebatas
pemanis saja tahsiniat. Seorang muslim yang bijak akan mendahulukan
kebutuhan dharuriiyat-nya dibandingkan tahsiniyat-nya.

2. Prinsip Halal & Thayyib Dalam Konsumsi


M.A Mannan seorang pemikir Ekonomi Islam mencoba mendefenisiskan
konsumsi sebagaipermintaan, yaitu permintaan akan hasil produksi. Artinya,
konsumsi tidak hanya sebatas memanfaatkan barang secara fisik ( Tangible Goods )
melainkan juga berlaku pada barang yang tidak berwujud (Intangible Goods ).
Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk mengkonsumsi barang dan jasa
yang Halal dan Thayyib. Dalam Quran kata halal dan thayyib selalu disandingkan pada
setiap penyebutan ayat, misalnya firman Allah SWT ;

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. {QS. Al-
Maidah : 88 }

Islam mendorong penggunaan barang & jasa yang halal, baik dan bermanfaat
kepada setiap muslim. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu
meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan tidak dapat dianggap
sebagai milik atau aset umat muslim. Oleh sebab itu, barang-barang yang dilarang (untuk
dikonsumsi) tidak dianggap barang dalam Islam.
7
Penggunaan prinsip halal & thayyib dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
bagi setiap muslim untuk menggunakan segala barang yang baik, bermanfaat bagi dirinya,
menyenangkan, lezat dan lain sebagainya, selama dalam kerangka halal dan thayyib.
Kebebasan yang diberikan Islam kepada setiap muslim dalam berkonsumsi tak terlepas
dari pandangan Islam itu sendiri bahwa perbuatan memanfaatkan atau meng-konsumsi
barang & jasa merupakan suatu kebaikan. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak
dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau
merusak.
Dalam literatur lain, DR. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa seorang muslim
harus senantiasa mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib (bermanfaat) baginya
seperti ikan, daging, dan lain sebagainya. Seorang muslim yang baik tidak akan pernah
mengkonsumsi khamar, daging babi serta akan senantiasa menjauhi perjudian dan
spekulasi (Intangible goods) dalam penggunaan hartanya.
Allah SWT berfirman :

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu { QS. Al-Baqarah : 168 }

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi
nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan {QS. Al-Maidah : 3}

Pada dasarnya kewajiban mengkonsumsi barang & jasa yang halal dan thayyib
muncul untuk menyelamatkan seorang muslim dari kemungkinan-kemungkinan buruk
yang ditimbulkan barang haram. Misalnya, pada daging babi yang dikabarkan mengandung
cacing pita ( Tainia ) jenis Solium bertaring yang dapat merusak dinding usus pada
manusia dan juga bakteri yang tidak akan mati walaupun telah dipanaskan 100 0C.
Dalam analisis berbeda, Sayyid Sabiq, dalam Fiqh Sunnah, menyatakan bahwa
keharaman sebuah benda tidak akan dapat dihilangkan walaupun sifat-sifat negatif dari
benda tersebut telah dihilangkan. Misalnya, binatang Babi, ia merupakan binatang yang
telah diharamkan dagingnya oleh Alllah SWT untuk dikonsumsi. Walaupun cacing pita
dan bakteri pada daging babi telah dihilangkan, tetap saja daging babi tersebut haram
dagingnya untuk dikonsumsi. Menurutnya, terdapat sebuah sebab pengharaman yang tidak
dapat diketahui oleh manusia, hal itu hanya dapat diketahui oleh Allah SWT.
Menurut Penulis, keberadaan beberapa larangan konsumsi barang & jasa dalam
Islam tidak dapat diartikan bahwa islam adalah agama yang banyak larangan. Bukti kasih

8
sayang Allah pada umat muslim adalah adanya rukhshah (dispensasi/kebolehan)
mengkonsumsi barang haram dalam keadaan mendesak. Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan
(daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang
siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. { QS. Al-Baqarah : 173 }

Muhammad Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah, Vol 1) menyatakan bahwa


makna terpaksa dalam ayat 173 surat al-Baqarah ini berarti keadaan yang diduga dapat
mengakibatkan kematian; sedang frase tidak menginginkan adalah tidak memakannya
(makanan haram) padahal ada makanan halal yang dapat dimakan, tidak pula memakannya
memenuhi keinginan seleranya. Sedangkan frase tidak melampaui batasadalah tidak
memakannya (makanan haram) dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutupi rasa lapar
dan memelihara jiwa manusia tersebut.

3. Menghindari Tabdzir dan Israf


Ajaran Islam membolehkan umatnya menikmati kebaikan duniawi selama tidak
melewati batas-batas kewajaran. Seperti tidak melakukan perbuatan Tabzir dan Israf.
Tabzir bermakna menghambur-hamburkan harta tanpa ada kemaslahatan atas tindakan
tersebut. Ketika seseorang membeli sesuatu melebihi dari kebutuhan-nya maka pada saat
itu ia dapat dikategorikan sedang melakukan tabdzir.
Islam melarang seorang muslim membelanjakan hartanya dan menikmati
kehidupan duniawi ini secara boros. Larangan ini cukup beralasan. Tabdzir dapat
menyebabkan cash menyusut secara cepat. Ketiadaancash akan berdampak pada
rendahnya daya beli low purchasing power seseorang terhadap barang dan jasa. Hasilnya,
berbagai macam kebutuhan manusia tidak akan terpenuhi secara maksimal dengan
ketiadaan cash. Selain itu, prilaku tabdzir juga akan menghalangi seorang muslim untuk
dapat berinfaq (harta), sehingga tabdzir bisa menjadi penyebab seorang muslim mendapat
predikat kikir dan pelit.
Allah SWT meng-ibaratkan orang-orang yang melakukan tabdzir dengan saudara
setan, sebagaimana terdapat pada ayat Quran mengenai larangan untuk bersikap boros :

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya. { QS. Al-Israa : 26-27}

Pada hakikatnya konsumsi dalam Islam adalah suatu pengertian yang positif.
Dengan mengurangi pemborosan yang tidak perlu, Islam menekankan perilaku
mengutamakan kepentingan orang lain.

9
Israf bermakna melakukan konsumsi terhadap sesuatu secara berlebihan. Misalnya,
dalam hal makan, pada saat berbuka puasa Ipul memakan seluruh hidangan berbuka
sehingga perutnya sakit karena terlalu banyak makanan yang masuk dalam perutnya.
Prilaku Ipul ini dapat dikategorikan sebagai Israf.
Islam melarang seorang muslim mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan sehingga
menimbulkan mafsadat/mudarat. Larangan ini cukup beralasan. Israf dapat mempengaruhi
kesehatan dan mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan. Sebagai
contoh, pada saat Ipul berbuka ia terlalu banyak makan sehingga ia sakit perut. Sakit yang
diderita Ipul ini menyebabkan ia tidak bisa menjalankan ibadah tarawih. Dari contoh ini
dapat diambil kesimpulan bahwa israf dapat menyebabkan kemampuan seseorang untuk
dapat beribadah kepada Allah menjadi berkurang/lemah. Allah SWT melarang seorang
muslim berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, sebagaimana terdapat pada
Quran ;

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid Makan dan
minumlah tetapi jangan berlebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan { QS. Al-Araf : 31}

Dalam hal etika makan, Nabi SAW pernah memberikan tips kepada para sahabat agar
dapat menjaga kesehatan dengan cara makan ketika mengalami lapar dan berhenti makan
sebelum kenyang/kekenyangan. Artinya, untuk menjaga kesehatan kita dianjurkan makan
secukupnya.

4. Kesederhaan (Moderat)
Kesederhanaan bukan berarti menggambarkan kehidupan dalam level terendah.
Dalam sub-bahasan ini, kesederhanaan diartikan konsumsi moderat yaitu dengan menjauhi
pola konsumsi berlebihan (conspicuous consumption) atau menjauhi perilaku bermewah-
mewahan. Kesederhanaan adalah jalan tengah dari dua cara konsumsi yang ekstrim yaitu
boros (tabzr) dan kikir (bakhil).

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian. { QS. al-Furqn/ 25 : 67 }

Islam melarang setiap pemeluknya bermegah-megahan. Kemegahan dalam Islam


adalah faktor utama kerusakan dan kehancuran individu dan masyarakat. Kemegahan dapat
saja menjadikan gapt antara miskin dan kaya semakin lebar. Bagi kaum minoritas (harta)
kemegahan yang dipertunjukkan kepada mereka menumbuhkan kecemburuan/iri pada
kaum mayoritas yang akan berpeluang kepada konflik. Imam Ar-Razi ( DR. Yusuf
Qardhawi; Norma dan Etika) mendefenisikan kemegahan/kemewahan sebagai

10
kesombongan terhadap kenikmatan dan kemudahan hidup. Dalam sebuah hadits
dinyatakan bahwa orang yang bermegahan dalam perutnya terkocok dengan api neraka;

Yang memakan dan minum dengan cawan emas dan perak sesungguhnya perutnya
terkocok dengan api neraka { HR. Muttafaqun alahi }

Dalam analisis berbeda, Muhammad Abdul Mannan menyatakan Mannan


berpendapat sikap tidak berlebihan (kesederhanaan/ moderation) dalam konsumsi
dituntun oleh perilaku para konsumen muslim yang mengutamakan kepentingan orang
lain.
Standar kemewahan setiap orang berbeda sesuai dengan pendapatan mereka. Dengan
adanya pelarangan terhadap kemewahan dalam Islam, bukan berarti orang mampu yang
membeli Loptop seharga Rp 100 juta karena kebutuhan dilarang dalam Islam. Bukan
berarti orang yang mampu membeli helikopter untuk keperluan usaha dilarang juga dalam
Islam. Sekali lagi ditegaskan, bahwa selama kemegahan/kemewahan seseorang berada
dalam batasan wajar dan tidak berlebihan maka hal tersebut tidak dilarang dalam Islam

5. Kosumsi Sosial
Dalam Islam, harta merupakan milik dan anugrah Allah SWT yang diberikan
kepada manusia. Allah memberikan manusia amanat untuk mengelola harta. Manusia
berfungsi sebagai khalifah atas harta milik Allah SWT. Atas dasar ini, pada hakikatnya
terdapat hak orang lain pada harta sehingga manusia yang telah diberi amanat harta tidak
boleh menggunakan harta semau mereka. Islam melarang seorang muslim untuk berprilaku
kikir dalam mempergunakan harta (konsumsi). Kikir berarti tidak mau memberikan
sesuatu yang dimiliki kepada orang lain. Allah SWT melaknat orang-orang kaya yang
berbuat kikir.

Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang
diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang
yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah
menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam
kesesatan yang nyata. {QS. Yasiin: 47 }

Berangkat dari hal tersebut di atas, selain alokasi untuk konsumsi pribadi, seorang
muslim harus pula mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi sosial.
Konsumsi sosial merupakan alokasi pendapatan yang bertujuan untuk kegiatan membantu
kehidupan orang lain yang diimplementasikan dalam bentuk Zakat dan Sadaqah. Dalam
Ilmu Ekonomi Islam, fungsi pendapatan ( P ) dalam ekonomi Islam diperluas spektrumnya
dari { P = C } menjadi { P = C + ZIS + Saving}. Artinya, pendapatan terkait dengan
konsumsi, ZIS dan Saving. Inilah keunggulan dalam etika pemanfaatan harta Islami,
dimana variabel sodaqoh masuk dalam kategori konsumsi. Dengan kalimat lain, bahwa

11
sodaqoh dalam Islam bukan semata-mata dikeluarkan dari harta lebih melainkan juga turut
menjadi salah satu prioritas alokasi konsumsi.
Monzer kahf menyatakan, dalam hal pembelanjaan sedekah, untuk meningkatkan
kondisi kehidupan masyarakat dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, konsep berlebih
lebihan tersebut tidak berlaku. Tidak ada pembatasan jumlah dalam belanja jenis ini
(sedekah) dan setiap pembelanjaan untuk keperluan tersebut akan mendapatkan imbalan
(pahala/kebaikan) dari Allah.

6. Pemanfaatan Harta Untuk Masa Depan


Dalam Islam terdapat anjuran untuk memperhatikan kepentingan hari esok atau
masa datang, Allah SWT berfirman :

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. { QS. al-Hasyr : 18 }

Ayat tersebut merupakan landasan dari pemanfaatn harta untuk tujuan masa datang.
Bertolak dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam terdapat tiga pilihan
dari aktifitas pemanfaatan harta.
Pilihan pertama adalah pilihan terhadap pemanfaatan harta untuk kepentingan
duniawi dan ukhrawi. Keberadaan pilihan pertama merupakan esensi dari kepercayaan
kepada Allah SWT yang ter-implementasi dalam setiap aktifitas pemanfaatan harta
(konsumsi) yang dilakukan seorang Muslim. Artinya, dalam setiap aktifitas pemanfaatn
harta yang dilakukan oleh manusia akan menimbulkan dua efek terhadap kehidupannya.
Efek pertama adalah duniawi yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup mereka yang ter-
implementasi melalui pemenuhan enam kebutuhan dasar manusia; keimanan (dn),
kehidupan (nafs), keluarga/keturunan (nasl), pendidikan (aql) ,kekayaan (ml) dan
lingkungan (biiah). Sedang efek kedua adalah ukhrawi yaitu beribadah atau mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Dalam hal konteks ini, pilihan terhadap zakat, sedekah, wakaf
termasuk ke dalam bagian pemanfaatan harta untuk kepentingan ukhrowi ukhrawi.
Pilihan kedua adalah pilihan terhadap pemanfaatan harta saat ini dan masa
datang. Saat ini berarti segala pilihan pemanfaatan harta ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini (sekarang). Sedangkan, masa datang berarti ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan di masa mendatang yang telah diprediksi pada saat pemenuhan kebutuhan saat
ini. Pilihan masa datang, dapat direalisasikan dalam berbagai cara, misalnya :
a. Pertama, melalui tabungan sebagai langkah penghematan dari kegiatan pemanfaatan
harta saat ini yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain di
masa datang.

12
b. Kedua, melalui investasi. Investasi merupakan sarana untuk memproduktifkan
kekayaan seseorang. Dengan investasi, seseorang dimungkinkan untuk memiliki
pendapatan tambahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan saat ini atau
mendatang.

Sedangkan, pilihan ketiga adalah pilihan terhadap tingkat kebutuhan hidup manusia
yang meliputi Darriyyt, Hajjit dan Tahsiniyt. Pilihan ketiga didasari dari penetuan
terhadap urutan prioritas yang harus dipenuhi oleh setiap manusia sebagai konsumen.

G. KESIMPULAN

Harta dalam bahasa Arab (Al-lughoh) disebut al-maal, yang merupakan akar kata
dari lafadz maala yamiilu mailan yang berarti condong, cenderung, dan miring.
Secara terminologi (Al-istilah) harta merupakan segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh
manusia untuk menyimpan dan memilikinya.
Jadi harta adalah kekayaan dapat berupa benda dan segala sesuatu yang disukai oleh
manusia dan memiliki nilai (qimah). Sedang harta menurut para ulama adalah sesuatu
yang dimiliki, disenangi dan disimpan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Secara umum semua kepemilikan harta ada pada manusia yang menguasainya, tapi
secara hakiki semua harta manuasia adalah kepunyaan Allah SWT. Jadi manusia dalam
menggunakan dan mengelola harta harus sesuai prinsip-prinsip dasar pemanfaatan harta
yang diatur dalam Al Quran dan Al Hadist. Sehingga semua nikmat atas kepemilikan harta
bisa barokah dan menjadi sarana memperlancar peribadatan kepada Allah SWT. Karena
pertanggungjawaban atas kepemilikan harta akan diminta setelah manusia sudah tidak
hidup didunia.

13
H. DAFTAR PUSTAKA

1. Dmyauddin Djuwaini-Fiqih muamalah, Penerbit Pustaka Pelajar


2. Prof. Dr. H. Rachmat Syafei,M.A.-Fiqih Muamalah, Penerbit Pustaka Setia
3. Imam Ar-Razi ( DR. Yusuf Qardhawi; Norma dan Etika)
4. Muhammad Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah, Vol 1)

14

Anda mungkin juga menyukai