Anda di halaman 1dari 16

Makalah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)

BENTUK-BENTUK ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS)

OLEH :

KELOMPOK 2

MUHAMMAD HANIF BIN HALILILAH (170103054)


NUR AQILAH BINTI MOHTAR (160103027)
AISYAH BINTI AZHAR (180103074)

DOSEN PEMBIMBING :
NURUL FITHRIA, S.HI, M.Ag

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


JURUSAN SYARIAH PERBANDINGAN MAZHAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya dipanjatkan kehadrat Illahi, Tuhan yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam jahiliah ke alam yang penuh
ilmu pengetahuan.

Kami telah berhasil menyiapkan makalah mata kuliah “Alternatif Penyelesaian


Sengketa (APS)” yang berjudul “Bentuk- Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)”
dengan bantuan berbagai sumber dan rujukan dalam pembuatan makalah ini. Kami
menyadari bahwa makalah ini terdapat kekurangan dan kelebihannya yang tersendiri. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi mencapai kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bisa menjadi bahan bacaan yang bermanfaat buat kita
semua. Demikian harapan kami, semoga makalah ini dapat membawa manfaat bagi yang
membutuhkannya.

Akhir kata,
Wassalamu’alaikum

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1

BAB II........................................................................................................................................ 1

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 1

2.1 Pengertian Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non-Litigasi ......................................... 1

2.1.1 Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi ..................................................................... 2

2.1.2 Penyelesaian Sengketa Secara Non-Litigasi ............................................................. 2

2.2 Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa ........................................................... 3

2.3 Persamaan dan Perbedaan Antara Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa .... 6

2.4 Kelebihan dan Kekurangan Alternatif Penyelesaian Sengketa ........................................ 9

BAB III .................................................................................................................................... 11

PENUTUP................................................................................................................................ 11

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sudah menjadi prinsip dasar bagi manusia untuk menghendaki sesuatu yang damai dan
tenteram dalam kehidupan mereka. Namun mengalami pertikaian ataupun konflik merupakan
salah satu bentuk dari interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat. Konflik akan berkembang
menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan menyatakan rasa tidak puas pada pihak
yang menimbulkan kerugian pada pihak yang lain. Setiap sengketa atau perselisihan yang
terjadi dalam anggota masyarakat pada umumnya diselesaikan secara musyawarah untuk
muafakat bagi kepentingan bersama.

Timbulnya sengketa dapat diselesaikan melalui mekanisme ligitasi yaitu melalui jalur
pengadilan maupun non-litigasi yaitu melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa
melalui pengadilan berpedoman pada Hukum Acara yang mengatur persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat diajukan hingga upaya hukum yang dapat
dilakukan. Sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk dilakukannya
penyelesaian sengketa harus dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak berdasarkan
adanya pemaksaan dan prosedur penyelesaian atas suatu sengketa diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak yan bersengketa.

1.2 Rumusan Masalah


 Apa saja bentuk penyelesaian sengketa secara adjukasi dan non adjukasi?
 Apa saja bentuk-bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa?
 Apakah persamaan dan perbedaan antara bentuk-bentuk APS tersebut?
 Apakah kelebihan dan kekurangan setiap APS tersebut?

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non-Litigasi
Litigation (litigasi) artinya adalah pengadilan. Jadi non-litigasi adalah kebalikan
daripadanya yaitu di luar pengadilan. Sebagai bahan perbandingan, litigation (pengadilan),

1
sebagian besar tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan menjatuhkan putusan,
misalnya menjatuhkan putusan atas sengketa waris, perbuatan melawan hukum dan
sebagainya.

Non-litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan


mempertimbangkan segala hal dan sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang
bersengketa melalui jalan perdamaian. Penyelesaian sengketa secara non-litigasi meliputi
bidang yang sangat luas bahkan mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diselesaikan
secara hukum.1 Antara prosedur yang termasuk dalam penyelesaian sengketa alteratif adalah
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan pendapat hukum oleh lembaga arbitrase.

2.1.1 Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi


Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan adalah dengan cara mengajukan
gugatan.2 Tuntutan hak dengan cara penegakan hukum melalui hakim bertujuan memperoleh
perlindungan hukum untuk mencegah tindakan main hakim sendiri. Selain itu, penyelesaian
sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir setelah alternatif penyelesaian sengketa lain
tidak membuahkan hasil.3

Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, pada umumnya ada beberapa faktor
kekurangan, diantaranya adalah faktor jangka waktu yang lama. Faktor biaya yang besar
dapat menjadi penghambat dalam penyelesaian sengketa. Pengadilan juga harus menangani
banyak perkara bahkan sampai menumpuk karena pada kebiasaannya menyelesaikan suatu
kasus perdata di pengadilan membutuhkan waktu yang lama sampai pada putusan hakim
dibacakan. Terkadang putusan yang keluar dari pengadilan belum tentu memberikan rasa
puas bagi para pihak yang bersengketa sehingga mereka mengajukan upaya hukum seperti
banding, kasasi atau peninjauan kembali. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak
saling berlawanan antara satu sama lain.

2.1.2 Penyelesaian Sengketa Secara Non-Litigasi


Berdasarkan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg, dimungkinkan para pihak yang
bersengketa mengadakan penyelesaian atau perdamaian di luar pengadilan. Indonesia telah
mengundangkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

1
I Wayan Wiryawan & I Ketut Artadi, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Udayana University Press,
Denpasar-Bali, 2010, hlm.3
2
Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Bandung: PT Alumni, 2009,hlm 87
3
Winarta, Herda Frans,S.H,MH., “Hukum Penyelesaian Sengketa”, Jakarta, Sinar Grafika, 2012,hlm 1-2

2
Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 104, dikatakan bahwa alternatif penyelesaian sengketa
dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli oleh
lembaga yang berwenang. Lembaga-lembaga tersebut tidak mempunyai kewenangan untuk
mengambil keputusan, tetapi merupakan prosedur untuk sampai kepada kata sepakat antara
pihak-pihak yang bersangkutan. Undang-Undang tersebut memang diajukan untuk mengatur
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi
para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan. Pada dasarnya dalam
undang-undang tersebut lebih banyak mengatur tentang ketentuan arbitrase, mulai dari tata
cara, prosedur, kelembagaan, jenis-jenis maupun putusan dan pelaksanaan putusan arbitrase.
Dalam bahasa hukum penyelesaikan sengketa di luar pengadilan dikenal sebagai win-win
solution dan inilah tujuan hakiki atau esensial dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan relatif cepat, biaya ringan dan para pihak dapat
menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya. 5

2.2 Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa


Berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman dapat diketahui masyarakat tidak terdapat keharusan untuk menyelesaikan
sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih menyelesaikan sengketa yang
terjadi dengan cara perdamaian atau arbitrase. Disamping proses penyelesaian sengketa
melalui peradilan, sistem hukum turut menyediakan alternatif-alternatif penyelesaian sengketa
di luar pengadilan. Ada beberapa bentuk yang diperkenalkan oleh UU No. 30/1999 tentang
Alternatif Penyelesaian Sengketa.

1. Negosiasi dan Perdamaian


Negosiasi adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi
(musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya
diterima oleh para pihak tersebut. Dari pengertian tersebut, Anda dapat merasakan
bahwa negosiasi tampak lebih sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan.
Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851
sampai dengan 1864 KUHPer , dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuaan
dengan kedua belah pihak, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu

4
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2003, hlm 28
5
Jurnal resmi : https//www.academia.edu/9350099/Penyelesaian_Sengketa_Alternatif akses wib 19/09/19,
18:40

3
perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam
praktik, negosiasi dilakukan karena dua alasan, yaitu6:
 Untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri,
misalnya dalam transaksi jual beli, pihak penjual, dan pembeli saling
memerlukan untuk menentukan harga.
 Untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak.
2. Mediasi
Pengertian mediasi antara lain adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan
pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima
oleh kedua belah pihak. UU No.30/1999 mendefinisikan mediasi sebagai kesepakatan
tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang
atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator.
Kesepakatan yang dihasilkan dalam suatu proses mediasi yang dibuat dalam berbentuk
tertulis, bersifat final dan mengikat para pihak.
3. Konsultasi
Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat “Personal” antara suatu pihak tertentu,
yang disebut dengan “klien” dengan pihak yang lain yang merupakan “konsultan” yang
memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untukmemenuhi keperluan dan
kebutuhan kliennya tersebut. Ini berarti klien adalah bebas untuk menentukan sendiri
keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak
menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan
oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi adalah sebagai suatu bentuk
pranata alternatif penyelesaian sengketa peran dari konsultan dalam menyelesaikan
perselisihan atausengketa yang ada tidaklah dominan sama sekali, konsultan hanyalah
memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya,yang untuk
selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa terebut akan diambil sendiri
oleh pihak, meskipon adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk
merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak
yang bersengketa tersebut.
4. Konsiliasi

6
Gunawan Widjaja, Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000) Hlm 30-38

4
UU No.30/1999 tidak menyebutkan konsiliasi sebagai suatu bentuk alternatif
penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Intinya, konsiliasi merupakan upaya sebelum
dilakukannya proses litigasi7. Konsiliasi pada dasarnya hampir sama dengan mediasi,
mengingat terdapat keterlibatan pihak ketiga yang neutral iaitu yang tidak memihak,
dimana diharapkan dapat membantu para pihak dalam upaya penyelesaian sengketa
mereka, yaitu konsiliator. Namun demikian, perlu perhatikan bahwa konsiliator
pada umumnya memiliki kewenangan yang lebih besar daripada mediator, mengingat
ia dapat mendorong atau “memaksa” para pihak untuk lebih koperatif dalam
penyelesaian sengketa mereka. Konsiliator pada umum dapat menawarkan alternatif-
alternatif penyelesaian yang digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh para pihak
untuk memutuskan. Jadi, hasil konsiliasi, meskipun merupakan kesepakatan para pihak,
adalah sering datang dari si konsiliator dengan cara “mengintervensi”. Dalam kaitan
itu, konsiliasi dalam banyak hal mirip dengan mediasi otoritatif di mana mediator juga
lebih banyak mengarahkan para pihak.
5. Abitrase
Arbitrase adalah proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara
sukarela yang ingin agar perkaranya di putus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan
mereka dimana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju
sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.

Menurut pasal 1(1) UU No.30/1999, arbitrase adalah “ cara penyelesaian suatu sengketa
perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.

Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:

1. Kalausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para
pihak sebelum timbul sengketa (factum de compromitendo).
2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa
(akta kompromis).

7
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (Yayasan Obor
Indonesia, 2009) hlm 38

5
Objek perjanjian arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.

Sementara sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase


adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian sebagaimana yang diatur dalan KUHPer Buku III Bab XVIII Pasal 1851 sampai
dengan Pasal 1854.

2.3 Persamaan dan Perbedaan Antara Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa


Dalam kepustakaan maupun praktik-praktik penyelesaian sengketa dalam sistem
hukum nasional Indonesia dikenal beberapa bentuk atau cara penyelesaian sengketa, yaitu
negosiasi, mediasi, pencari fakta, konsiliasi, pendapat ahli, arbitrase atau berperkara di
pengadilan.

Negosiasi (negotiation) adalah perundingan langsung di antara dua pihak atau lebih
yang bersengketa tanpa bantuan pihak lain dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Negosiasi dapat berlangsung antara dua pihak (multy party negotiation). Jika dihubungkan
dengan mediasi, maka mediasi sebenarnya merupakan negosiasi yang diperluas kerana mediasi
kerana mediasi juga berdasarkan perundingan para pihak. Perbedaan keduanya adalah bahwa
negosiasi hanya pihak-pihak yang bersengketa yang berunding tanpa peran serta pihak lain,
sedangkan dalam mediasi pihak netral dilibatkan atas permintaan dan persetujuan para pihak.
Dalam proses negosiasi jika para pihak dapat menyepakati sebuah atau lebih penyelesaian,
berarti sengketa telah berakhir dengan perdamaian. Dengan demikian, seperti halnya mediasi,
negosiasi dilaksanakan atas dasar pendekatan konsensus atau muafakat para pihak. Karena
setiap hasil harus disepakati para pihak, maka ada kemungkinan negosiasi setelah berlangsung
beberapa waktu tidak menghasilkan sebuah penyelesaian apa pun. Situasi seperti ini disebut
negosiasi menemui jalan buntu (deadlock). Negosiasi memang difokuskan pada fungsinya
sebagai cara penyelesaian sengketa, tetapi dalam praktik dunia usaha atau perdagangan dan
hubungan internasional, negosiasi juga memiliki fungsi lain, yaitu fungsi untuk menghasilkan
sebuah kontrak jual beli.

Pencari fakta (fact finding) adalah sebuah cara penyelesaian sengketa oleh para pihak
dengan meminta bantuan sebuah tim yang biasanya terdiri atas para ahli dengan jumlah ganjil
yang menjalankan fungsi penyelidikan atau penemuan fakta-fakta yang diharapkan
memperjelas duduk persoalan dan dapat mengakhiri sengketa. Hasil kerja dari tim pencari fakta

6
berupa rekomendasi atau laporan tim pencari fakta tergantung pada kesepakatan para pihak
pada waktu pembentukan tim pencari fakta. Dalam sistem hukum nasional Indonesia, tim
pencari fakta dapat dijalankan oleh sebuah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah tanpa
persetujuan para pihak.

Istilah konsiliasi (conciliation) dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan


dan juga kepustakaan.Beberapa peraturan perundang-undangan yang menyebut konsiliasi
antara lain Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (LN Tahun
1999 Nomor 22) dan Undang-undang N0.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun,
peraturan perundang-undangan Indonesia itu tidak merumuskan pengertian dari konsiliasi.
Dari kepustakaan dapat diketahui bahwa pengertian konsiliasi adalah cara penyelesaian
sengketa oleh para pihak dengan meminta bantuan pada pihak netral yang disebut dengan
konsiliator yang tidak memiliki kewenangan memutus. Dari definisi tersebut dapat ditarik
kesimpulan, bahwa tidak ada perbedaan antara konsiliasi dan mediasi. Dalam kepustakaan
asing memang ditemukan adanya perdebatan tentang apakah konsiliasi merupakan acara
penyelesaian sengketa yang berbeda dari mediasi atau pada hakikatnya keduanya sama.

Sebahagian sarjana berpendapat bahwa dalam konsiliasi, konsialitor menjalankan


fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan
menawarkannya kepada para pihak,sedangkan mediator dalam proses mediasi berperan agak
pasif,yaitu sebatas menjalankan fungsi-fungsi procedural atau fasilitatif seperti menyediakan
tempat perundingan, memimpin perundingan, menyampaikan pesan dari satu pihak kepada
lainnya. Namun, sebagian lain sarjana khususnya para praktisi mediasi berpendapat bahwa
mediator dapat juga melakukan peran aktif dan fungsi substansial termasuk menawarkan
usulan penyelesaian kepada para pihak.Simkin merupakan salah seorang praktisi mediator
yang berpendapat, bahwa tidak ada perbedaan esensial antara mediasi dan konsiliasi karena
mediator juga menjalankan peran aktif dan fungsi substansial. Oleh karena itu, menurut Simkin
dalam pengertian yang lebih luas, definisi mediasi meliputi pula konsiliasi.Perbedaan pokok
hanya dapat dilihat antara mediasi dengan arbitrase. Dalam proses mediasi, seorang mediator
tidak mempunyai kewenangan untuk membuat suatu keputusan guna menyelesaikan sengketa.
Sebaliknya, dalam proses arbitrase, seorang arbiter atau arbitrator mempunyai kewenangan
untuk membuat keputusan guna menyelesaikan pokok sengketa. Pandangan Simkin
mencerminkan pandangan mayoritas para sarjana dan praktisi mediasi di Amerika Utara dan
Australia yang lebih banyak menggunakan istilah mediasi dalam publikasi atau karya-karya

7
mereka.Penulis juga sependapat dengan pandangan Simkin dan sarjana yang menyatakan
mediasi dan konsiliasi pada dasarnya sama.

Penilaian ahli adalah cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta
pendapat atau penilaian ahli atas perselisihan yang terjadi.Dalam sistem hukum
Indonesia.pengaturan penggunaan penilaian ahli sebagai sebuah cara penyelesaian sengketa
ditemukan dalam Pasal 52 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (LN Tahun 1999 Nomor 138).

Arbitrase atau Arbitrasi (arbitration) adalah cara penyelesaian sengketa oleh para
pihak dengan meminta bantuan kepada pihak dengan meminta bantuan kepada pihak netral
yang memiliki kewenangan memutus yang disebut arbiter atau arbitrator. Proses arbitrase
berlangsung secara adversarial, yaitu para pihak saling bantah dan saling mengemukakan bukti
dan saling mengemukakan argumentasi seperti halnya para pihak dalam proses berperkara di
pengadilan(litigation). Oleh sebab itu, proses arbitrase sering kali disebut juga sebagai proses
ajudikatif (memutus) sama halnnya dengan proses peradilan. Arbitrase selalu memberikan
hasil berupa putusan arbiter. Dengan demikian,ada dua perbedaan pokok antara mediasi dan
arbitrase. Pertama, proses mediasi berdasarkan pendekatan mufakat para pihak, sedangkan
proses arbitrase berdasarkan pendekatan adversarial atau pertikaian. Kedua, mediator dalam
proses mediasi tidak memiliki kewenangan memutus, sedangkan arbiter dalam proses arbitrase
memiliki kewenangan memutus.

Di Indonesia, pengaturan penggunaan arbitrase sudah ada sejak zaman Kolonial


Belanda. Dengan adanya Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999, penggunaan arbitrase tunduk
pada undang-undang tersebut. Pengaturan penggunaan arbitrase dalam Undang-Undang No 30
Tahun 1999 meliputi antara lain perjanjian arbitrase, tata cara pemilihan arbitrase, syarat-syarat
arbiter, acara arbitrase, putusan arbitrase dan pelaksanaan putusan arbitrase. Ada banyak
literature di Indonesia yang membahas arbitrase.

Litigasi (litigation) adalah cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Satu atau
beberapa pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap satu atau
beberapa pihak lain yang dianggap penyebab timbulnya kerugian. Proses litigasi bersifat
adversarial, yaitu para pihak saling berbantah, dan saling mengajukan bukti dan saling
mengemukakan argumentasi dengan merujuk pada norma-norma hukum. Hakim bertindak
sebagai pengambil putusan untuk menerima atau menolak bukti-bukti atau argumentasi yang

8
dikemukakan oleh para pihak. Oleh sebab itu, litigasi biasa disebut juga sebagai proses
ajudikatif. Litigasi selalu berakhir dengan satu pihak menang dan pihak kalahnya.

2.4 Kelebihan dan Kekurangan Alternatif Penyelesaian Sengketa


a. Mediasi
Setiap strategi penyelesaian sengketa tentu memiliki kelebihan dan juga kekurangan.
Begitu juga dengan strategi penyelesaian sengketa dengan cara mediasi yang mempunyai
kekurangan dan kelebihan, seperti8 :
Kelebihan mediasi
 Cara penyelesaian yang diselesaikan oleh pihak netral. Biasanya pihak ini
memang atau seharusnya seorang ahli. Cara ini dibutuhkan jika cara negosiasi
macet. Macet tidak harus terikat pada formalitas yang kaku.
 Mediator sebagai penengah dapat membersikan usulan-usulan kompromi
diantara pihak.
 Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya, seperti
memberi bantuan dalam melaksanakan kesepakatan, mengawasi pelaksanaan
kesepakatan dan lain-lain.
Kekurangan mediasi
 Putusan hasil mediasi tidak mengikat. Putusan ini baru dapat mengikat jika
dikaitkan dengan cara atau metode yang disebut dengan court-annexed
mediator.
 Mediator dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memerhatikan pihak
lainnya.
b. Abitrase
Kelebihan Arbitrase
 Dijamin kerahsiaan sengketa para pihak
 Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan kerana hal procedural dan
administrasif
 Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelengaraan arbitrase.
 Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tatacara (prosedur) sederhana aja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

8
Fitrotin Jamilah, S.H, M.H.I, Strategi Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Yogjakarta:Medpress Digital,2014) Hlm
77

9
Kelemahan Arbitrase9
 Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan untuk
membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Apabila dalam perjanjian
pokok para pihak terdapat klausula maka Pengadilan Negeri tidak berwenang
untuk mengadili sengketa antara mereka.
c. Negosiasi
Kelebihan Negosiasi
 Negosiasi memberi peluang yang sangat luas bagi para pihak untuk menentukan
pilihan-pilihannya
 Tidak bergantung pada norma hukum tertulis
 Dapat memberikan ruang bagi para pihak untuk bisa menang secara bersama-
sama
Kekurangan Negosiasi
 Tidak ada kepercayaaan antara para pihak yang bersengketa dalam
menyelesaikan suatu sengketa tertentu.
 Dalam negosiasi sering kali yang terjadi adalah tidak ada satu upaya pun untuk
mencoba saling mendengarkan kehendak dan keinginan masing-masing pihak
yang sedang pihak.
d. Konsiliasi
Kelebihan Konsiliasi
 Cepat atau masa singkat
 Murah atau biaya ringan
 Mendapatkan hasil yang efektif
Kekurangan Konsiliasi10
 Putusan dari lembaga konsialisi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung
sepenuhnya pada pada pihak yang bersengketa.

9
Agus Riyanto,S.H.,M.Kn, Hukum Bisnis Indonesia, (CV. Batam Publisher , Cet Pertama Juli 2018) Hlm 193
10
https://www.academia.edu/6362402/MODEL_ALTERNATIF_PENYELESAIAN_SENGKETA_DAN_BER
BAGAI_KELEMAHAN_DALAM UU No.30/1999, akses wib 19/09/19, 18:40

10
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara garis besar, pada umumnya masyarakat menyelesaikan sengketa dengan jalan
perdamaian atau yang disebut dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Apabila
upaya penyelesaian di luar pengadilan tersebut gagal atau salah satu pihak menolak upaya
ADR, maka barulah diberikan kesempatan memberikan jalan bagi pihak yang dirugikan
untuk menuntutnya di pengadilan. Artinya penyelesaian melalui pengadilan baru dapat
ditempuh oleh salah satu pihak apabila upaya penyelesaian secara ADR telah diupayakan
secara maksimal sebelum gugatan didaftarkan ke pengadilan. Apabila upaya ADR ini
menjadi persyaratan dalam mendaftarkan gugatan, tentu para pihak yang bersengketa akan
mengupayakan tndakan ADR terlebih dahulu, dan dengan demikian akan membawa
konsekuensi :

a. Menjaga hubungan baik para pihak yang bersengketa agar tetap terpelihara.
b. Dapat mencegah para pihak berada dalam posisi win-loss.
c. Para pihak dapat menyelesaikan sengketa secara win-win solution.
d. Jumlah perkara yang maju ke pengadilan dapat dikurangkan.

11
Adapun pihak ketiga yang menjalankan penyelesaian secara non-ajudikasi ini,
haruslah mempunyai kemampuan yang teruji serta berpengetahuan dan berpengalaman luas
sehingga tidak diragukan kemampuannya dan tidak lagi mengandalkan pengadilan sebagai
penyelesaian sengketa.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Riyanto, S. (2018). Hukum Bisnis Indonesia,. CV. Batam Publisher.


Artadi, I. W. (2010). Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Denpasar-Bali: Udayana
University Press.
Fakhriah, E. L. (2009). Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Bandung:
Alumni.
Fitrotin Jamilah, S. M. (2014). Strategi Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogjakarta: Medpress
Digital.
https://www.academia.edu/6362402/MODEL_ALTERNATIF_PENYELESAIAN_SENGKE
TA_DAN_BERBAGAI_KELEMAHAN_DALAM UU No.30/1999, a. w. (t.thn.).
Indonesia, Y. L. (2009). Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Jurnal resmi : https//www.academia.edu/9350099/Penyelesaian_Sengketa_Alternatif akses
wib 19/09/19, 1. (t.thn.).
Winarta, H. F. (2012). Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.
Yani, G. W. (2003). Hukum Arbitrase. Jakarta: PT Raja Grafindo.

12
13

Anda mungkin juga menyukai