Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

IJMA’

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Ushul Al-Iqtishodiyah”

Dosen Pengampu:

Bakhrul Huda, M.E.I

Disusun Oleh:

Af’idatul Maulidiyah (08040420089)

Alifatul Mujahadah (08040420095)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan kesehatan rohani dan
jasmani sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada teladan Nabi kita Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita jalan yang harus
berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh semesta.

Dalam makalah ini kami menguraikan mengenai penjabaran “Ijma’”. Penyusunan


makalah ini merupakan tugas mata kuliah Ushul Al-Iqtishodiyah dan dosen pengajarlah yang
telah memberikan kesempatan untuk membuat makalah kepada kelompok kami.

Atas terselesainya tugas ini kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Masdar Hilmy. S.Ag. M.A., Ph.D selaku Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.
2. Bapak Dr. H. AH. Ali Arifin, M.M selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN
Sunan Ampel Surabaya.
3. Bapak Achmad Room Fitrianto, S.E., M.E.I selaku Kepala Program Studi Ekonomi
Syariah.
4. Bakhrul Huda, M.E.I selaku Dosen mata kuliah Ushul Al-Iqtishodiyah UIN Sunan Ampel
Surabaya.
5. Orang tua yang selalu mendukung dan memberi semangat serta tak pernah lelah memberi
do’a dan motivasi.
6. Serta teman-teman yang membantu.

Akhir penyusun sangat kami harapkan, semoga dari pembuatan makalah ini dapat
diambil manfaatnya dan penulis memahami. Jika makalah ini tidak jauh dari kesempurnaan,
maka kritik dan saran sangat kami butuhkan. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat
dan memiliki harapan dari pembaca.

Surabaya, September 2021

Penyusun

ii
Daftar isi

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ii


Daftar isi .................................................................................................................................................iii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ........................................................................................................................... 1
BAB II..................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 2
A. Pengertian Ijma’ .......................................................................................................................... 2
B. Dasar Hukum Ijma’ ..................................................................................................................... 3
C. Rukun dan Syarat Ijma’ ............................................................................................................... 6
D. Relevansi Ijma’ dengan Sumber Hukum Islam Lainnya ............................................................. 7
E. Macam – Macam Ijma’ ............................................................................................................... 8
7. Contoh Ijma’ dalam Ekonomi ................................................................................................... 10
BAB III ................................................................................................................................................. 14
PENUTUP ............................................................................................................................................ 14
A. Kesimpulan................................................................................................................................ 14
B. Saran .......................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijma' sebagaimana didefinisikan oleh sebagian besar ulama Ushul adalah
kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa sesudah
wafat Rasulullah SAW atas suatu hukum Syara' pada suatu kejadian.
Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam
menentapkan hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang tidak
ditemukan nash dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunah yang dapat dijadikan landasan
hukum setelah Rasulullah meninggal dunia.
Begitu juga menetapkan hukum untuk ekonomi, dalam sistem ekonomi Islam
atau lebih akrab disebut ekonomi syariah sangat diperlukan adanya keterlibatan para
ulama terlebih khusus ulama yang memahami betul sistem ekonomi Islam baik dari
sisi landasan hukumnya dalam bentuk teoritis maupun praktisnya di lapangan dengan
penyesuaian perkembangan yang ada. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal- hal
yang pada zaman rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimana hukumnya hal
tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama ( ijma’).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijma’ ?
2. Apa dasar hukum ijma’ ?
3. Apa saja rukun dan syarat ijma’ ?
4. Bagaimana relevansi ijma’ dengan sumber hukum Islam lainnya ?
5. Apa saja macam-macam ijma’ ?
6. Apa contoh ijma’ dalam ekonomi ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian ijma’
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijma’
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat ijma’
4. Untuk mengetahui relevansi ijma’ dengan sumber hukum Islam lainnya
5. Untuk mengetahui macam-macam ijma’
6. Untuk mengetahui contoh ijma’ dalam ekonomi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’
Secara etimologis, ijma’ berasal dari kata ajma’a, yajmi’u, ijma’an yang
berarti mengumpulkan, menyatukan, menghimpun, berkumpul, bersatu, berhimpun,
atau menarik bersama. Menurut Abu Luwis Ma’luf, ijmak memiliki arti “kehendak”
dan “kesepakatan” (al-‘azm - al-ittifaq). Perbedaannya, “kehendak” dapat terlahir dari
satu orang, sedangkan “kesepakatan” memerlukan keterlibatan dua orang atau lebih.
Oleh karena itu, dalam konteks ini kata ijma’ akan lebih tepat jika dimaknai sebagai
“kesepakatan”.1
Terdapat perbedaan mengenai definisi ijma’ secara terminologis dengan
berbagai macam redaksi yang dirumuskan oleh ulama klasik:2
1. Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa, ijma’ adalah Kesepakatan khusus
umat Muhammad SAW atas suatu perkara dari perkara-perkara mengenai agama.
2. Menurut Muhammad ibn Hamzah al-Fanari, ijma’ adalah Kesepakatan para
mujtahid dari kalangan umat Muhammad SAW pada suatu masa terhadap hukum
Syara’.
3. Menurut Al-Kamal ibn Hummam sebagaimana dikutip oleh Abu Abdullah, ijma’
adalah Kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa dari kalangan umat
Muhammad SAW terhadap perkara syara.
4. Menurut Al-Subki mengutip definisi yang dirumuskan oleh al-Baidhawi dalam
kitab Minhaj al-Wushȗl Ila ‘Ilm al-Ushȗl bahwa yang dimaksud dengan ijmâ’
adalah Kesepakatan ahl hil wa al-‘aqd dari umat Muhammad SAW atas suatu
perkara.
5. Menurut Abu Ishaq Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Syirazi, ijma’ adalah
Kesepakatan ulama terhadap hukum suatu kejadian baru.
6. Menurut Al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fȋ Ushul al-Ahkam, ijma’ adalah
Kesepakatan para mukallaf (subjek hukum) dari umat Muhammad SAW pada
suatu masa atas hukum suatu kasus.

1
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh (Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro, Komplek Unila Gedongmeneng Bandar
Lampung: AURA CV. Anugrah Utama Raharja Anggota IKAPI No.003/LPU/2013, 2019).
2
Panji Adam Agus Putra, “Konsep Ijma’ Dan Aplikasinya Dalam Muamalah Maliyyah (Hukum Ekonomi Syariah),”
Islamic Banking Volume 7, Edisi 1 (Agustus 2021).

2
7. Menurut Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhȗl Ilâ Tahqiq al-Haq Min ‘Ilm al-
Ushȗl, ijma’ adalah “Kesepakatan para mujtahid pada suatu masa dari kalangan
umat Muhammad SAW paska wafatnya beliau pada satu masa terhadap suatu
kasus.
Dari definisi ijma’ ulama’ klasik di atas dapat disimpulkan, bahwa ijma’
merupakan suatu kesepakatan dari para ulama, mujtahid yang berasal dari kalangan
umat Nabi Muhammad SAW terhadap hukum Syara’ suatu perkara
Sedangkan ulama kontemporer mengemukakan sejumlah definisi ijma’ di
antaranya :3
1. Menurut ‘Ali Hasbullah dalam kitab Ushul al-Tasyrȋ’ al-Islami, ijma’ adalah
Kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa
pasca wafatnya beliau tentang hukum Syara’.
2. Menurut Abd al-Wahab Khallaf dalam kitab ‘Ilm Ushul al-Fiqih, ijma’ adalah
Semua mujtahid sepakat tentang suatu hukum pada suatu waktu dari beberapa
waktu pasca wafatnya Rasulullah SAW.
3. Menurut Abd al-Karim Zaidan, ijma’ adalah Kesepakatan para mujtahid dari umat
Islam pada suatu masa atas suatu hukum Syara’ pasca wafatnya Nabi SAW.
Pendapat yang dinyatakan oleh ulama klasik dan kontemporer ini hampir mirip
yakni pada pendapat ulama klasik mengatakan bahwa ijma’ itu merupakan suatu
kesepakatan dari para ulama, mujtahid yang berasal dari kalangan umat Nabi
Muhammad SAW terhadap hukum Syara’ suatu perkara sedangkan ulama
kontemporer mengatakan bahwa kesepakatan para mujtahid dari kalangan Nabi
Muhammad SAW atau dari umat Islam pada masa pasca wafatnya Rasulullah SAW
tentang suatu hukum Syara’.

B. Dasar Hukum Ijma’


Dasar hukum ijma itu berupa Al-Qur’an, Hadis, ataupun Dalil-dalil Aqli

1. Al-Qur’an

Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai
landasan hukum, hal ini didasarkan pada QS. an-Nisa’ ayat 115 :4

3
Ibid.
4
Muhd Farabi Dinata, “Konsep Ijma’ Dalam Ushul Fikih Di Era Modern,” Al-Ilmu 6, no. 1 (January 18, 2021): 37–
52.

3
ْ ُ‫س ِبي ِل ٱ ْل ُمؤْ مِ نِينَ نُ َو ِل ِۦه َما ت َ َولَّ ٰى َون‬
ۖ ‫ص ِل ِۦه َج َهنَّ َم‬ َ ‫سو َل مِ ۢن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ٱ ْل ُه َد ٰى َويَت َّ ِب ْع‬
َ ‫غي َْر‬ ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫ِق‬
ِ ‫َو َمن يُشَاق‬
‫يرا‬
ً ‫سا ٓ َءتْ َم ِص‬
َ ‫َو‬

Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasulullah SAW. sesudah


jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang
mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu,
dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali.

Ayat tersebut memberikan peringatan atau ancaman terhadap golong yang


menentang Rasullullah SAW. dan mengikuti jalan bukan orang mukmin. Menurut
Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan wajib hukumnya mengikuti jalan orang
mukmin dan termasuk hasil kesepakatan (ijma’) mereka. Di dalam QS. an-Nisa’
ayat 59:5

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu.

۟ ُ‫ٱَّلل َجمِ يعًا َو ََل تَف هَرق‬


ۚ ‫وا‬ ۟ ‫َص ُم‬
ِ ‫وا بِ َح ْب ِل ه‬ ِ ‫َوٱ ْعت‬

Artinya dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)Allah dan janganlah
kamu bercerai berai.(QS Ali Imran 103)
ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT melarang kaum muslimin adanya
perpecahan dan harus berpegang teguh kepada agama. Kandungan ayat ini
menjelaskan bahwa Allah SWT melarang perpecahan dan menyalahi ketentuan
ketentuan yang telah disepakati para mujtahid.6
2. Hadist

5
Ibid.
6
“Ilmu Usul Fiqh.Pdf,” n.d., accessed September 15, 2021,
http://digilib.uinsby.ac.id/20170/1/Ilmu%20Usul%20Fiqh.pdf.

4
Di dalam Hadits-hadits Rasulullah, banyak sekali yang menjelaskan
kedudukan ijma’ , diantaranya hadits yang diriwayatkan dari

a. Abu Daud dan Tarmizi:“Laatajtami’u ummati ‘ala al khatha’ ” ( tidak


mungkin umatku akan bersepakat dalam kesesatan), dan dalam hadits lain
yang diriwayatkan oleh
b. Ahmad dan al-Tabrani: “sa altu ‘azaa wajalla an laa tajtami’u ummati
‘alaa dholaalah fa a’thaa nihaa”, (aku memohon kepada Allah agar
umatku tidak bersepakat terhadap sesuatu yang sesat, lalu Allah
mengabulkannya).7
c. Tarmizi (hendaklah kalian berjama’ah dan jangan bercerai berai karena
setan bersama yang sendiri dan dengan dua orang lebih jauh)
d. Ibn Majah (sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan dan
apabila kalian melihat perbedaan maka ambillah pendapat yang mayoritas)
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, hukum umat Islam yang seluruhnya telah
diperankan oleh para mujtahid merupakan suatu hukum yang telah disepakati
seluruh mujtahid. Dari kandungan hadis yang ada dia atas bahwa dalam penetapan
hukum para mujtahid tidak mungkin melakukan kesalahan, apabila seluruh umat
telah sepakat melalui para mujtahid maka tidak ada alasan untuk untuk
menolaknya.8
3. Dalil dalil Aqli
Dalam memutuskan sebuah hukum para sahabat pasti merujuk kepada
dasar dasar yang jelas dan pasti dan mereka jauh dari kesalahan, kesengajaan
bedusta dalam ketetapan yang mereka gunakan dalam suatu perkara
merupakan hal yang tidak mungkin karena dalam penetapan suatu hukum jika
mereka melakukan sebuah kesalahan mereka akan saling menegur.hal tersebut
juga dilakukan oleh para tabiin dan para mujtahid sesuai zamanya. Akan tetapi
menurut Zuhaili, dalil 'Aql yang menjadi penguat landasan ijma' ini masih
lemah, karena kemungkinan terjadinya kesalahan para mujtahid masih sangat
mungkin. Maka argumentasi yang bisa dipakai dalam menentukan status
ijmaa' hanya Al-Qur'an dan Hadis

7
“Konsep Ijma’ Dalam Ushul Fikih Di Era Modern.”
8
Moh Mufid , Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: Dari Teori ke Aplikasi (Kencana, 2018).

5
C. Rukun dan Syarat Ijma’
Menurut para ilmuan ijma' memiliki beberapa rukun diantaranya:9
1. Kesepakatan suatu hukum dilahirkan oleh beberapa orang mujtahid dan tidak
dikatakan ijma' jika hukum itu hasil dari ijtihad satu orang.
2. Kesepakatan tentang suatu hukum harus berdasarkan keputusan bulat seluruh
mujtahid dan tidak cukup dengan pendapat mayoritas.
3. Kesepakatan harus dari seluruh mujtahid pada zamannya yang berasal dari seluruh
negeri Islam.
4. Hendaknya proses kesepakatan terjadi setelah seluruh para mujtahid
mengemukakan pendapatnya secara elegan dan terbuka baik perkataan ataupun
perbuatan.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah :10


1. yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad
2. Kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat
terhadap agamanya)
3. Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
dari perbuatan bid’ah. Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ketiga syarat di atas merupakan syarat yang
bersifat muttafaq (disepakati) oleh para ahli ushul fikih. Terdapat juga syarat lain,
akan tetapi syarat tersebut bersifat mukhtalaf (diperselisihkan/tidak disepakati) oleh
para ulama, di antaranya :11
1. Para mujtahid itu adalah para sahabat
2. Mujtahid tersebut merupakan kerabat Rasulullah SAW, apabila memenuhi dua
syarat ini, maka para ulama ahli ushul fikih menyebut dengan istilah ijma’
shahabah (kesepakatan para sahabat)
3. Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
4. Hukum yang disepakati tidak ada yang membantahnya hingga wafatnya seluruh
mujtahid yang menyepakatinya

9
Zainil Ghulam, “Aplikasi Ijma’ Dalam Praktik Ekonomi Syari’ah,” IQTISHODUNA: Jurnal Ekonomi Islam 7, no. 1
(April 2, 2018): 87–116.
10
“Konsep Ijma’ Dalam Ushul Fikih Di Era Modern.”
11
“Konsep Ijma’ Dan Aplikasinya Dalam Muamalah Maliyyah (Hukum Ekonomi Syariah).”

6
5. Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang
sama.
Dengan demikian, Ijma' dipandang tidak sah, jika:12
1. Ada yang tidak menyetujui
2. Hanya ada seorang mujtahid
3. Tidak ada kebulatan yang nyata
4. Sudah jelas terdapat dalam nash.

D. Relevansi Ijma’ dengan Sumber Hukum Islam Lainnya


Al-Qur’an dan Sunah adalah sumber dan dasar hukum yang sesungguhnya
dengan nilai-nilai normatif yang termuat di dalamnya. Tujuan pembuatan, penetapan
dan pembebanan hukum Islam adalah demi mewujudkan kebaikan hidup bagi
umatnya. Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama yang tidak ada perbedaan pendapat
tentang kehujjahannya, karena merupakan sumber hukum yang berasal dari Allah,
sementara Sunah tidak di ragukan lagi merupakan sumber tersendiri namun tetap
berkaitan erat dengan Al-Qur’an.13
Otoritas dari Al-Qur’an dan Sunah tidak berubah dalam setiap waktu dan
keadaan, ijma dan Qiyas sesungguhnya hanya merupakan alat bantu atau metode
untuk menjawab masalah-masalah baru di mana tidak ada bimbingan lengkap dari Al-
Qur’an dan Sunah untuk menyelesaikannya. Siring munculnya permasalahan baru
yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunah, secara eksplisit Ijma’
adalah salah satu konsep metodologis untuk mengimplementasikan nilai-nilai normatif
Al-Qur’an dan Sunah melalui proses ijtihad secara kolektif. Hal ini berarti bahwa
ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam apabila
tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunah.14
Menurut teori hukum klasik landasan hukum Islam itu ada 4 dengan tata urutan
Al-Qur’an, Sunah, ijma dan qiyas. Namun Islam pada masa-masa sebelumnya
mengatakan bahwa ijma merupakan urutan yang terakhir. Ijma merupakan satu prinsip
untuk menjamin kebenaran hukum yang muncul sebagai hasil penggunaan qiyas dan
merupakan pembatas terhadap qiyas dan merupakan pembatas terhadap qiyas yang
bersifat bisa salah. Imam Syafi’i memandang Ijma’ sebagai sumber hukum Islam
12
Zakaria Syafe’i, “Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam,” Al Qalam Volume 13, no. 67 (October 31, 1997): 9.
13
Sitty Fauzia Tunai, “Pandangan Imam Syafi’i Tentang Ijma’ Sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam Dan
Relevansinya Dengan Perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini,” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah 3, no. 2 (December 1,
2016).
14
Ibid.

7
setelah Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Di samping itu, keberadaan dalil-dalil ini tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunah. Dialog
Imam Syafi’i dengan lawan-lawanya memperjelas bahwa para ahli-ahli hukum awal
menempatkan qiyas sebelum ijma. Perubahan tata urut hukum Islam menjadi Al-
Quran, Sunah, ijma, qiyas untuk pertama kalinya muncul dalam karyanya, al Risalah.15

E. Macam – Macam Ijma’


Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Muhammad
SAW pada suatu masa terhadap hukum Syara’. Ijma’ itu sendiri dapat diklasifikasikan
dalam berbagai macam, ada yang ditinjau berdasarkan proses dari cara terjadinya
ijma’, dari segi yakin atau tidaknya terjadi ijma’, dan terdapat pula beberapa macam
ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang-orang yang
melaksanakannya.
1. Berdasarkan proses dari cara terjadinya, ijma’ terdiri atas :16
a. Ijma’ Sharih
Ijma’ sharih merupakan kesepakatan para mujtahid dalam menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. ijma'
sharih ini disebut juga Ijma' bayani, ijma' qauli atau ijma' haqiqi. Proses ijma’
ini terbentuk apabila para mujtahid ini berkumpul dalam satu forum, di mana
pada forum tersebut masing – masing mujtahid akan memberikan pendapat
terhadap hukum suatu masalah yang terjadi dengan jelas dan pendapat
mengenai masalah tersebut menyatu. Terbentuknya suatu ijma’ juga bisa
dilakukan tanpa berkumpul dalam satu forum, yakni dengan para mujtahid
memiliki pendapat hukum terhadap suatu masalah setelah pendapat yang
mereka miliki tersebar di masyarakat dan pendapat para mujtahid terhadap
masalah tersebut sama maka ijma’ seperti inilah yang benar.
b. Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti merupakan kesepakatan para mujtahid dalam menyatakan
pendapat pernyataan atau perbuatan terhadap hukum suatu masalah. Seluruh
atau sebagian mereka menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas baik
perkataan atau perbuatannya, tetapi sebagian ulama hanya diam saja tanpa

15
Ibid.
16
Ilmu Ushul Fiqh.

8
memberikan reaksi terhadap hukum suatu masalah yang telah tersebar
dikalangan masyarakat Ijma' seperti ini disebut juga ijma' i’tibari.
2. Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’ dapat dibagi menjadi 2
yaitu :17
a. Ijma’ Qath’i
Ijma’ qath’I yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i yang
diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang
dilakukan diwaktu yang bebeda.
b. Ijma’ Zanni
Ijma’ zanni adalah hukum yang dihasilkan oleh ijma’ itu adalah zanni
(dugaan saja) peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya masih
ada kemungkinan bahwa ijma’ tersebut masih bisa dijadikan ijtihad oleh
mujtahid yang lain atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya memiliki
hasil yang berbeda antara hasil ijtihad orang lain dengan hasil ijma yang
dilakukan pada waktu yang lain.
3. Dalam kitab-kitab fiqih terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan
dengan masa terjadi, tempat terjadi, atau yang melaksanakannya. Ijma’ itu adalah
:18
a. Ijma’ sahabat
Ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah
SAW.
b. Ijma’ khulafaurrasyidin
Ijma’ khulafaurrasyidin yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali bin Abi Talib. Hal ini hanya dapat dilakukan pada masa
keempat orang khalifah itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar meninggal dunia atau khalifah penggantinya wafat ijma'
tersebut tidak dapat dilakukan lagi.
c. Ijma’ shaikhan
Ijma’ shaikhan merupakan kesepakatan pendapat yang dilakukan oleh Abu
Bakar dan Umar bin Khattab
d. Ijma’ ahli Madinah

17
“Ilmu Usul Fiqh.Pdf.”
18
Moh Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: Dari Teori ke Aplikasi (Kencana, 2018).

9
ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah dalam suatu masalah.
e. Ijma’ ulama khufah
Ijma’ yang dilakukan oleh ulama ulama khufah.

7. Contoh Ijma’ dalam Ekonomi


Setelah dijelaskan di atas bahwa ijma’ merupakan kesepakatan terhadap suatu
masalah atau kejadian hukum tertentu. Maka dalam era kontemporer ini kita dapat
melihat bentuk kesepakatan ulama ini dikaitkan dengan problematika ekonomi dan
perbankan kontemporer, kita bisa melihat aplikasi tersebut sebagai berikut :

1. Ijma’ tentang Keharaman Bunga Bank


Pendapat yang menyatakan bahwa ijma’ tentang keharaman bunga
bank itu bukanlah pendapat dari sembarangan orang atau pendapat dari satu
dua orang saja melainkan pendapat tersebut dinyatakan oleh para ulama yang
ahli dalam ilmu ekonomi yang kebanyakan dari mereka merupakan sarjana
ekonomi Barat, yang tidak dapat diremehkan meskipun mereka berlatar
belakang ilmu ekonomi konvensional akan tetapi masih memahami syariah
yang ada. Bunga bank, baik itu jumlahnya besar atau kecil akan memberikan
pengaruh yang buruk terhadap perekonomian dunia dan berbagai negara. Oleh
karena itu para pakar ekonomi Islam menyatakan bahwa ijma’ tentang
haramnya bunga bank.19
Karena kesepakatan Para pakar ekonomi Islam itulah maka M. Umer
Chapra mengatakan bahwa mereka ijma’ tentang keharaman bunga bank.
Chapra adalah ahli ekonomi Islam paling terkemuka saat ini dan sangat
produktif menulis tema-tema ekonomi Islam. Karena itu ia mendapat Award
Faisal dari kerajaan Saudi Arabia, lantaran karya-karyanya yang spektakuler
di bidang ekonomi Islam. Selain M. Umer Chapra yang menyatakan ijma’
bahwa bunga bank itu haram ada juga M. Arkan Khan yang merupakan
seorang pakar ekonomi terkemuka dari Pakistan bahwa beliau melakukan
penelitian pada para ahli ekonomi Islam di seluruh dunia bahwa tidak ada
pakar ekonomi yang membolehkan adanya bunga bank .20 Dapat dikatakan
bahwa bunga bank itu haram hukumnya dan tanpa diragukan lagi bahwa

19
“Iqtishad Consulting - Ijma’ Ulama Tentang Keharaman Bunga Bank,” accessed September 22, 2021,
https://www.iqtishadconsulting.com/content/read/blog/ijma-ulama-tentang-keharaman-bunga-bank.
20
Ibid.

10
bunga itu adalah riba karena bunga dan riba memiliki sifat yang sama atau
identik. Dalam hal ini ada beberapa keputusan dari lembaga lain mengenai
bahwa bunga bank itu riba diantaranya adalah sebagai berikut :21
a. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Sidang OKI yang berlangsung di Kirachi Pakistan pada


bulan Desember tahun 1970 yang memiliki hasil dua hal utama
yakni pertama praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak
sesuai dengan syariah Islam. Kedua perlu segera didirikan bank-
bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah

b. Mufti Negara Mesir


Keputusan kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum
bunga bank selalu tetap dan konsisten. Tercatat sekurang –
kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Mesir
memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba
yang diharamkan.
c. Fatwa Lembaga-lembaga Lain
Selain fatwa dari lembaga lembaga Islam dunia di atas, beberapa
lembaga berikut yang menyatakan bahwa bunga bank merupakan
bentuk riba yang diharamkan lembaga lembaga tersebut antara
lain: Akademi Fikih Liga Muslim, Pimpinan Pusat Dakwah,
Penyuluhan, Kajian Islam. Selain lembaga tersebut ada
penambahan ketetapan akan keharaman bunga bank oleh tiga
forum internasional yaitu :
1) Majma’ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar Mesir pada
Mei 1965.
2) Majma’ al-Fiqh al-Islamy di negara-negara OKI, Jeddah
22-28 Desember 1985.
3) Majma’ Fikih Rabithah Rabithah al-‘Alam al-Islamy
keputusan ke-6 sidang ke-, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H.
4) Keputusan Dar Al-Iftah, Kerajaan Saudi Arabia, 1979

21
M.H.I, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer.

11
5) Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan, 22 Desember
1999
d. Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI)
Menurut Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Nomor 01 tahun
2004 yang berbunyi:22
Pertama : Pengertian Bunga (Interest)dan Riba
1. Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan
dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan
dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan
pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu,
diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya
berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan ( ‫ )بال عرض‬yang
terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (‫)زيادة األجل‬
yang diperjanjikan sebelumnya, (ً ‫ط مقدما‬
َ ‫)اشت ُ ِر‬. Dan inilah yang
disebut riba nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (Interest)
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba
yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah.
Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk
salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik
dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian,
Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan
oleh individu.
Ketiga : Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan
Konvensional
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga
Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan
melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan
bunga.

22
“32.-Bunga-InterestFaidah.Pdf,” n.d., accessed September 24, 2021, http://mui.or.id/wp-
content/uploads/files/fatwa/32.-Bunga-InterestFaidah.pdf.

12
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga
Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan
transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan
prinsip dharurat/hajat.
Dengan demikian, Kesepakatan tentang haramnya bunga bank ini,
jauh sebelum keluarnya fatwa MUI telah diputuskan status hukumnya adalah
haram. Sebagaimana yang telah di putuskan dalam Sidang Organisasi
Konferensi Islam (OKI), Mufti Negara Mesir dan Fatwa dari lembaga yang
lainya juga. Selain dari berbagai lembaga yang menyatakan bahwa bunga
bank itu haram terdapat juga berbagai pakar ahli ekonomi, sarjana barat dan
juga pakar ekonomi Islam yang telah meneliti dan juga menyatakan ijma’ nya
terhadap bunga bank yang hukumnya haram.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama dalam menentukan hukum kejadian
suatu perkara atau peristiwa yang telah terjadi. ulama klasik mengatakan bahwa ijma’
itu merupakan suatu kesepakatan dari para ulama, mujtahid yang berasal dari kalangan
umat Nabi Muhammad SAW terhadap hukum Syara’ suatu perkara sedangkan ulama
kontemporer mengatakan bahwa kesepakatan para mujtahid dari kalangan Nabi
Muhammad SAW atau dari umat Islam pada masa pasca wafatnya Rasulullah SAW
tentang suatu hukum Syara’.
Dasar hukum yang digunakan dalam menentukan suatu ijma’ itu ada 3 yakni
Al-qur’an, hadis dan dalil aqli. Dasar hukum ijma’ yang diambil dari Al-qur’an dapat
kita lihat dari beberapa potong ayat An-Nisa’ ayat 115 An-Nisa’ ayat 59 dan Ali-
Imran ayat 103. dan di dalam Hadits-hadits Rasulullah, banyak sekali yang
menjelaskan kedudukan ijma’ beberapa diantaranya adalah hadis yang di riwayatkan
oleh Abu Daud dan Tirmidzi, Ahmad dan al-Tabrani, Tirmidzi, Ibn Majah. Para
sahabat dalam menentukan ijma’ suatu hukum mereka akan merujuk pada suatu yang
dasar yang jelas dan pasti dan kemungkinan kecil melakukan kesalahan, dalam hal ini
menurut Zuhaili bahwa dalil aqli penguat landasan ijma' ini masih lemah sehingga
yang dapat kita pakai dalam menentukan kedudukan status ijma’ hanyalah Al-qur’an
dan hadis.
Ijma’ juga memiliki syarat dan rukun, syarat-syarat dari suatu ijma’ yakni yang
melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad
Kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil, Mujtahid yang terlibat adalah
yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Sedangkan
rukun ijma’ adalah Kesepakatan suatu hukum dilahirkan oleh beberapa orang mujtahid
dan tidak dikatakan ijma' jika hukum itu hasil dari ijtihad satu orang, kesepakatan
tentang suatu hukum harus berdasarkan keputusan bulat seluruh mujtahid dan tidak
cukup dengan pendapat mayoritas, hendaknya proses kesepakatan terjadi setelah
seluruh para mujtahid mengemukakan pendapatnya secara elegan dan terbuka baik
perkataan ataupun perbuatan.

14
Dalam relevansinya ijma’ dengan sumber hukum yang lainya, ijma’ salah satu
konsep metodologis untuk mengimplementasikan nilai-nilai normatif Al-Qur’an dan
Sunah melalui proses ijtihad secara kolektif. Hal ini berarti bahwa ijma’ dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam apabila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunah.
Ijma’ itu sendiri terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah ditinjau
berdasarkan proses dari cara terjadinya ijma’, itu ada 2 macam yakni Ijma’ Sharih dan
Ijma’ Sukuti. Dari segi yakin atau tidaknya terjadi ijma’, itu juga terdiri dari 2 macam
yakni Ijma’ Qath’I dan Ijma’ Zanni. Dan terdapat pula beberapa macam ijma' yang
dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang-orang yang
melaksanakannya yang terdiri atas Ijma’ Sahabat, Ijma’ Khulafaurrasyiddin, Ijma’
shaikhan, Ijma’ Ulama Khufah, Ijma’ Ulama Madinah.
Dalam era kontemporer ini kita dapat melihat bentuk kesepakatan ulama ini
dikaitkan dengan problematika ekonomi dan perbankan kontemporer. Kita dapat
melihat aplikasi ijma’ dalam problematika tersebut tentang ijma’ haramnya bunga
bank, dalam hal ini kita dapat melihat bahwa sebelum adanya fatwa DSN MUI
terdapat berbagai para pakar ahli ekonomi, sarjana barat dan pakar ahli ekonomi Islam
yang menyatakan ijma’nya dan ada juga yang meneliti bahwa bunga bank itu
merupakan haram hukumnya, selain para pakar ahli ekonomi tersebut juga terdapat
berbagai macam lembaga barat yang menyatakan fatwanya bahwa ijma’ itu haram
hukumnya.

B. Saran
Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi kita semua yang
membacanya. Dan dalam pembuatan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan
untuk masukan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Makalah ini dapat digunakan
oleh pembaca sebagai referensi untuk menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai Ushul Al Iqtishodiyah. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

15
DAFTAR PUSTAKA
Ghulam, Zainil. “Aplikasi Ijma’ Dalam Praktik Ekonomi Syari’ah.” IQTISHODUNA: Jurnal
Ekonomi Islam 7, no. 1 (April 2, 2018): 87–116.

M.H.I, Dr Moh Mufid, Lc. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: Dari Teori ke
Aplikasi. Kencana, 2018.

Moh. Bahrudin. Ilmu Ushul Fiqh. Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro, Komplek Unila
Gedongmeneng Bandar Lampung: AURA CV. Anugrah Utama Raharja Anggota
IKAPI No.003/LPU/2013, 2019.

Muhd Farabi Dinata. “Konsep Ijma’ Dalam Ushul Fikih Di Era Modern.” Al-Ilmu 6, no. 1
(January 18, 2021): 37–52.

Panji Adam Agus Putra. “Konsep Ijma’ Dan Aplikasinya Dalam Muamalah Maliyyah
(Hukum Ekonomi Syariah).” Islamic Banking Volume 7. Edisi 1 (Agustus 2021).

Sitty Fauzia Tunai. “Pandangan Imam Syafi’i Tentang Ijma’ Sebagai Sumber Penetapan
Hukum Islam Dan Relevansinya Dengan Perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini.”
Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah 3, no. 2 (December 1, 2016).

Zakaria Syafe’i. “Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam.” Al Qalam Volume 13, no. 67
(October 31, 1997): 9.

“32.-Bunga-InterestFaidah.Pdf,” n.d. Accessed September 24, 2021. http://mui.or.id/wp-


content/uploads/files/fatwa/32.-Bunga-InterestFaidah.pdf.

“Ilmu Usul Fiqh.Pdf,” n.d. Accessed September 15, 2021.


http://digilib.uinsby.ac.id/20170/1/Ilmu%20Usul%20Fiqh.pdf.

“Iqtishad Consulting - Ijma’ Ulama Tentang Keharaman Bunga Bank.” Accessed September
22, 2021. https://www.iqtishadconsulting.com/content/read/blog/ijma-ulama-tentang-
keharaman-bunga-bank.

16

Anda mungkin juga menyukai