Anda di halaman 1dari 22

Ijma sebagai Dalil Hukum Fikih

Dosen Pengampu : Muslih, M.Ag

Disusun Oleh :

1. Ai Nuraidah 11150340000050
2. Fajri Nur Alam 11200340000047
3. Zahra Lita Kusumawardhani 11200340000033

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh


Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang mana
telah memberi kemudahan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Tentunya, tanpa petolongan-Nya, kami tidak
akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi kita, Nabi akhir zaman, yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyyah kepada zaman terang benderang
yakni Nabi Muhammad SAW yang in syaa Allah akan memberikan kepada kita
syafaatnya kelak di hari kiamat.
Kami mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan
nikmat-Nya, salah satunya yaitu nikmat sehat sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Ushul Fikih yang berjudul, ”Ijma’ sebagai Dalil
Hukum FIkih” ini dengan tepat waktu.
Kami sangat menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini pasti ada
kesalahan dan kekeliruan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian.
Kami juga mengucakan terima kasih kepada bapak Muslih, M.Ag selaku
dosen pengampu mata kuliah Ushul Fikih yang telah membimbing kami dan
memberikan kemudahan kepada kami dalam pengerjaan makalah ini. Kami
berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada siapa saja yang
membacanya.

Jakarta, 02 April 2021

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG ........................................................................................................................ 4
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................................................. 4
C. TUJUAN PENULISAN .................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................... 5

A. PENGERTIAN IJMA’ ....................................................................................................................... 5


B. KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA’ ............................................................................................. 9
C. PENDAPAT ULAMA TENTANG PERSYARATAN IJMA’.................................................................. 11
D. KEDUDUKAN IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM .................................................................. 17
BAB III PENUTUP ........................................................................................................................ 21
A. KESIMPULAN ............................................................................................................................. 21
B. SARAN ....................................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSAKA ........................................................................................................................ 22

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu melakukan sesuatu pekerjaan
yang tidak lepas dari syari’at Islam seperti sholat, puasa, muamalah dan lain-
lain. Dalam melakukan semua itu, pasti kita membutuhkan suatu hukum agar
kita tidak salah arah. Dalam Islam, untuk mengetahui hukum-hukum kita bisa
merujuk kepada sumber hukum yang utama yakni Al-Qur’an dan Hadits.
Namun, di zaman sekarang banyak sekali hal-hal yang tidak terjadi pada
zaman Rasulullah SAW maka dibutuhkan kesepakatan para ulama (Ijma’)
untuk menentukan hukum tersebut.
Pada makalah ini, kami akan menjelasakan tentang pengertian Ijma’,
kemungkinan terjadinya ijma’, pendapat ulama tentang persyaratan ijma’, dan
kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Ijma’
2. Kemungkinan terjadinya Ijma’
3. Pendapat Ulama tentang Persyaratan Ijma’
4. Kedudukan Ijma’ sebagai dalil hukum Islam

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Ijma’
2. Mengetahui kemungkinan terjadinya Ijma’
3. Mengetahui pendapat ulama tentang persyaratan Ijma’
4. Mengetahui kedudukan Ijma’ sebagai dalil hukum Islam

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’
Secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan terhadap sesuatu, berniat
untuk melakukan suatu pekerjaan, atau membuat keputusan terhadap suatu
permasalahan. Dalam terminologi ushul fiqh, ijma’ dimaknai sebagai suatu
kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa tertentu terhadap masalah hukum
syariah setelah meninggalnya Nabi SAW.1 Apabila suatu peristiwa terjadi dan
memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa tersebut dikemukakan kepada
para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, dan mereka kemudian
mengambil kesepakatan berupa hukum dari peristiwa tersebut, maka
kesepakatan mereka disebut sebagai ijma’.
Ijma' adalah salah satu dalil syara' yang memiliki tingkat kekuatan
argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (al- Qur'an dan al-Hadits). Ia
merupakan dalil pertama setelah al- Qur'an dan al-hadits, yang dapat dijadikan
pedoman dalam menggali hukum-hukum syara'.2 Ijma' ditinjau dari segi
bahasa berarti sepakat, setuju, sependapat (Abd. Aziz, 1988 : 28). Adapun
menurut istilah, Ijma' ialah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum
muslimin pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah Saw atas suatu hukum
syara'.3
Adapun pengertian ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i
terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang
melakukan kesepakatan itu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam
beberapa rumusan atau definisj ijma’ sebagai berikut:
1. Al-Ghazali merumuskan ijma’
“Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas sesuatu
urusan agama”. Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat
Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh
umat Nabi Muhammad atau umat Islam. Pandangan Imam Al-Ghazali
ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i yang menetapkan ijma’ itu

1 Fahretin Atar. Fikih Usulu. (Istanbul: MU Vakfi Yayinlari, 2013), hal.78.


2 Abu Zahroh, Muhammad, Ushut Fiqih, alih bahasa Saifullah Ma'shum, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.
3 Az Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqih /slami, Dar el Fikri, Bairut, 1986.

5
sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada
keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara
keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’i ini
mengalami perubahan dan perkembangan di tangan pengikutnya di
kemudian hari.
2. Al-Amidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’:
“Ijma’ adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal ‘Aqd (para
ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad SAW
pada suatu masa atas hukum suatu kasus”. Kelihatannya Imam al-
Amidi membatasi ijma’ itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari
umat Nabi Muhammad, yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi
sebagai pengungkai dan pengikat atau para ulama yang membimbing
kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam hal ini orang awam tidak di
perhitungkan kesepakatannya.
Namun lebih lanjut terlihat, bahwa al-Amidi masih
memberikan kemungkinan masuknya orang awam dalam penetapan
ijma’ dengan ketentuan telah mampu berbuat hukum. Untuk maksud
ini al-Amidi memberikan alternatif definisi ijma’ sebagai berikut:
“Kesepakatan para mukalaf dari umat Muhammad pada suatu masa
atas hukum suatu kasus”.
Definisi yang dikemukakan ulama Ahl al-sunah berkaisar di sekitar
definisi yang dikemukakann al-Amidi tersebut di atas meskipun
berbeda dalam perumusannya, yakni, kesepakatan orang yang
bernama ulama atau ahl al-halli wa al-‘aqdi.
a) Definisi yang berbeda secara substantial adalah apa yang di
kemukakan ulama Syi’ah. Mereka tidak menitikberatkan pada latar
“semua”. Tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan
kelompok itu mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk
tujuan ini ulama Syi’ah merumuskan definisi ijma’ sebagai berikut:
“Kesepakatan suatu komunitas yang kesepakatan merek memiliki
kekuatan dalam menetapkan hukum syara’”.
Ulama Syi’ah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh
dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena menuntut
mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum
6
tersendiri diluar apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan sunnah. Bagi
mereka ijma’ itu hanya untuk menemukan untuk adanya sunnah yaitu
ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum atau
terbebas dari dosa yang dalam hal ini, menurut mereka, adalah Nabi
Muhammad dan ahlul bait (Keturunan Nabi dari Fatimah serta Hasan
dan Husain).
b) Al-Nazam (pemuka kelompok Nazhamiyah, satu pecahan dari
Mu’tazilah) mengemukakan rumusan lain tentang ijma’:
“Setiap perkataan yang hujjahnya tidak bisa dibantah”
Maksudnya: “Setiap ucapan yang dapat ditegakkan sebagai hujjah
syar’iiyah meskipun ucapan seseorang”. Rumusan yang kelihatannya
tidak sejalan dengan arti lughowi yang mengartikan ijma’ artinya
“Kesepakatan” itu kelihatannya merupakan kompromi dan pemaduan
antara ketidaksetujuan Nazham untuk menempatkan kesepakatan ahl
al-halli wa al-‘aqdi sebagai hujah dan persetujuannya dengan pendapat
ulama yang mengharamkan atau menentang ijma’
c) Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian Ahl al-sunah adalah
apa yang dikemukakan Abdul Wahab Khallaf, yang juga dikutip oleh
ulama lainnya, yaitu:
“Konsesus semua mujtahid Muslim pada suatu masa setelah Rasul
wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus”.
Dan dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma’itu adalah kesepakatan, dan
yang sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam
suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan
“sesudah masa Nabi”, karena Selama Nabi masih hidup, al-Qur’an lah
yang akan menjawab semua persoalan hukum karena ayat al-Qur’an
kemungkinan masih turun dan Nabi sendiri sebagai tempat bertanya
tentang hukum syara’, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’. Ijma’
itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid semua masa
sampai hari kiamat.
Dalam definisi ini juga ditentukan kepada hukum yang terjadi, namun
tidak tertutup kemungkinan kesepakatan itu berlaku terhadap hukum
yang masalahnya belum terjadi, baik dalam bentuk hukum isbat atau
hukum nafi.
7
Dari definisi di atas terlihat unsur pokok yang merupakan hakikat dari
suatu ijma’ yang sekaligus merupakan rukun ijma’, yaitu:
a) Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma’,
terdapat sejumalah orang yang berkualitas mujtahid; karena
kesepakatan itu tidak berarti bila yang sepakat itu hanya
seseorang. Bila pada suatu masa tidak mujtahid sama sekali
atau ada tetapi hanya seorang, maka ijma’ tidak dapat
terlaksana secara hukum.
b) Semua mujtahid itu sepkat tentang hukum suatu masalah, tanpa
memandang kepada negara asal, jenis, dan golongan mujtahid.
Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagia mujathid,
atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa
tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma’, karena
ijma’ itu hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh.
c) Kesepakatan itu tercapai setelah terlebidahulu masing-masing
mujtahid mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha
ijtihadnya, secara terang-terangan, baik pendapatnya itu
dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengemukakan
fatwa tentang hukum kejadian itu; atau dalam bentuk perbuatan
dengan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam
kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat itu
mungkin dalam bentuk perseorangan yang kemudian ternyata
hasilnya sama; atau secara bersama-sama dalam satu majelis
yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan
pendapat.
d) Ijma tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Hanya
mereka yang mencapai derajat mujtahid-lah yang
diperhitungkan pendapatnya. Kriteria mujtahid adalah orang
yang beragama Islam, baligh, berakal sehat, mempunyai akhlak
yang baik. Ia juga menguasai ilmu bahasa Arab beserta tata
bahasanya secara baik, memahami ayat-ayat Alquran dan

8
hadits-hadits, serta mampu melakukan istinbath hukum dari Al-
Qur’an dan Sunnah.4
B. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Abdul Wahab Khallaf menjelaskan besarnya kemungkinan terjadinya
ijma’ terutama dalam masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ijma’ itu
ditangani oleh suatu negara dengan bekerja sama dengan negara-negara lain
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Setiap negara menetapkan
standar tertentu mengenai seseorang dapat dinyatakan mencapai derajat
mujtahid yang memberikan ijazah mujtahid terhadap semua yang mencapai
derajat itu, sehingga dengan demikian semua mujtahid di dunia ini dapat
diketahui.5
Dalam era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi dewasa
ini, apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf itu sangat mungkin
terjadi, karena meskipun mujtahid itu bertebaran di seluruh permukaan bumi
tetapi cukup mudah mempertemukan mereka dalam suatu masa tertentu untuk
membicarakan masalah hukum; atau setidaknya untuk menghimpun pendapat
mereka. Bila pendapat mereka tentang masalah suatu hukum telah terkumpul
dan ternayata pendapat mereka itu sama, itulah yang terjadi disebut ijma’.
Sebagian ulama, di antaranya al-Nazham dan sebagian pengikut
Syi’ah, berpendapat bahwa ijma’ menurut ketentuan di atas tidak mungkin
terjadi menurut lazimnya Karena tidak mungkin merealisasikan rukun
ijma’tersebut secara penuh. Alasannya ialah:
1. Tidak ada suatu ukuran tertentu untuk mengetahui dan menetapkan
apakan seseorang telah mencapai tingkat pendidikan tertentu yang
menyebabkan seseorang patut disebut mujtahid, karena secara formal
tidak ada lembaga pendidikan yang menghasilkan mujtahid.
2. Kalaupun ada lembaga pendidikan mujtahid dan ada ukuran untuk
menyatakan ukuran seseorang telah mencapai derajat mujtahid serta
dapat pula diketahui mujtahid itu di seluruh dunia, namun untuk dapat
menghimpun pendapat mereka semua mengenai suatu masalah yang
menerima hukum, secara meyakinkan atau dekat kepada yakin, adalah
tidak mungkin karena merasa dalam lokasi yang berjauhan, dalam

4 Chamim Tohari, jurnal Konsep Ijma dalam Ushul Fiqh dan Klaim Gerakan Islam 212 (2019:151)
5 Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal. 49

9
tempat yang terpisah serta berbeda latar belakang sosial dan budaya
mereka. Tidak mungkin mengumpulkan mereka secara fisik atau
mengumpulkan pendapat mereka secara kolektif atau secara
perseorangan.
3. Kalaupun mujtahid yang ada itu dapat dikenal secara perseorangan di
seluruh dunia ini dan dapat menghimpun pendapat menurut cara yang
meyakinkan, namun siapa yang dapat menjamin bahwa setiap
mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya sampai terkumpul
pendapat mereka semua, karena syarat melangsungkan ijma’ itu ialah
bahwa kesepakatan itu berlaku dalam satu masa tertentu ketika
terjadinya peristiwa yang memerlukan ijma’ tersebut.
4. Mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal itu
adalah sesuatu yang sangat sulit untuk tejadi, sedangkan hakikat ijma’
itu adalah kebetulan pendapat atau kesepakatan.
Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin
mengumpulkan seluruh ulama pada satu tempat. Zakiyuddin Sya’ban
mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kiatab fiqh ungkapan ijma’,
maka yang mereka maksudkan kemungkinan ijma’ sukuti dan ijma’
kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang didefinisikan para ahli
ushul fiqh.6
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat terlaksana dan
memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu Bakar
menjadi khalifat setelah wafatnya Nabi ditetapkan ijma’, demikian pula
haramnya lemak babi, berhaknya seorang kakek atas seperenam dari harta
warisan cucunya, terhalangnya cucu oleh anak dalam hak mewarisi, dalam
lain-lain hukum furu’ sebagaimana tersebar dalam kitab-kitab fiqih.7
Ulama yang berpendapat tidak mungkin terjadinya ijma’ melihat dari
segi sulitnya mencapai kata sepakat di antara sekian anyak ulama mujathid,
sedangkan ulama yang menyatakan mungkin berlaku ijma’ melihat dari segi
secara teoritis memang dapat berlaku meskipun sulit terlaksana secara praktis.
Dalam keadaan demikian, suatu hal yang dapat diterima segala pihak tentang
ijma’ itu dalam arti “tidak diketahui adanya pendapat yang menyalahinya”.

6 Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001.hal.61


7 Burhan Nuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 70-71

10
C. Pendapat ulama tentang persyaratan Ijma’
Perbedaan pendapat ulama tentang persyaratan ijma’
a. Kuantitas anggota ijma’
Para ulama berpendapat bahwa ijma' itu terlaksana karena
adanya kesepakatan seluruh ulama mujtahid dan tidak ada perbedaan
pendapat di antara mereka. Mereka juga sependapat bahwa yang
sepakat itu adalah banyak orang, namun para ulama berbeda pendapat
mengenai berapa jumlah minimal ulama mujtahid untuk terlaksananya
suatu ijma'.
Diantara ulama ada yang menetapkan kehujahan ijma melalui
dalil aqli (akal atau logika), seperti Imam Haramain dan ulama lain
yang sependapat dengannya. Kelompok ini berpendapat bahwa jumlah
ulama mujtahid untuk terlaksananya ijma' adalah jumlah yang
mencapai batas mutawatir yang tidak memungkinkan bersekongkol
untuk berdusta atau melakukan kesalahan.
Kemudian ada kelompok lain yang menetapkan kehujahan ijma
hanya berdasarkan dalil naqli kelompok ini berbeda pendapat dalam
hal persyaratan jumlah mutawatir itu untuk sahnya suatu ijma'. Di
antara ulama dari kelompok ini mensyaratkan jumlah yang mencapai
tingkat mutawatir itu sedangkan sebagian ulama lainnya tidak
mmensyaratkannya, contohnya Al-amidi yang cenderung kepada
pendapat yang tidak mensyaratkan jumlah mutawatir dan pendapat itu
pula dipilih oleh ulama Hambali. Alasannya ialah bahwa kekuatan
huja ijma hanya dapat ditetapkan dengan dalil naqli tidak mungkin
dengan dalil aqli. Atas dasar ini, maka meskipun jumlah peserta izin
itu kurang dari mutawatir dapat dikategorikan sebagai umat dan orang-
orang mukmin.
b. Berlalunya masa
a. Imam Ahmad Ibnu Hambal, ustadz Abu Bakar ibn Fauraq, dan
sebagian kecil diantara ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa
berlalunya masa atau punahnya peserta ijma' merupakan syarat
untuk kekuatan hujjah suatu ijma' ini mengemukakan beberapa
argumen sebagai berikut :

11
• Pernah terjadi pendapat yang menyimpang dari
ketentuan hukum yang telah ditetapkan suatu ijma'.
Umpamanya Ummu walad (sahaya perempuan yang
telah dihamili majikannya) menurut ijma di samakan
kedudukan hukumnya dengan hamba sahaya biasa
sehingga dapat dijual dan tidak merdeka dengan
sendirinya dengan kematian tuannya. Atas dasar
pendapat itu, Umar bin Khattab memerdekakan seorang
Ummu waladnya. Setelah Umar wafat Ali bin Abi
Tholib mengemukakan pendapat yang berbeda dengan
itu. Ali berpendapat bahwa umur itu berbeda dengan
hamba saya biasa ia merdeka dengan sendirinya dengan
kematian tuannya. dengan demikian untuk kepastian
suatu ijma' harus ditunggu berlalunya masa sehingga
wafatnya semua mujtahid peserta ijma'.
• Seandainya ada dua pendapat yang berbeda dari para
sahabat, berarti ada kesepakatan terhadap bolehnya
berbeda pendapat, dan kita boleh berpegangan kepada
salah satu di antara dua pendapat itu itu. Jika salah satu
kelompok dari para sahabat itu menarik pendapatnya,
maka akan terjadi ijma. Kalau meninggalnya peserta
ijma' itu tidak dijadikan syarat, tentu tidak dibenarkan
untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat yang
berbeda itu, karena berarti salah satu diantara dua ijma'
itu ada yang salah.
b. Jumhur ulama yang terdiri dari kebanyakan pengikut
Syafi'iyah, Abu Hanifah, ulama kalam asy'ariyah dan
mu'tazilah berpendapat bahwa berlalunya masa dan
meninggalnya semua peserta ijma' bukan syarat untuk kekuatan
suatu ijma'. Bahkan bila terjadi kesepakatan ulama tentang
hukum syara meskipun baru satu saat maka ijma telah
berlangsung jumhur ulama mengemukakan argumentasi
sebagai berikut:

12
• Dalil kehujjahan ijma' itu berasal dari Alquran dan
sunnah nabi. Keduanya tidak mewajibkan berlalunya
masa.
• Hakikat ijma' itu adalah kesepakatan. Tetapnya
kesepakatan itu merupakan pengakuan atas
kelangsungan ijma'.kekuatan hukum terletak pada
kesempatan itu bukan pada meninggalnya semua
peserta ijma'
• Para tabiin berhujah dengan ijma' pada masa
penghujung generasi sahabat seperti an-nas dan lainnya.
Seandainya diharuskan berlalunya masa bagi kekuatan
ijma', tentu generasi tabiin tidak boleh berhujjah dengan
ijma' sahabat karena saat itu generasi sahabat masih
berlangsung
• Mempersyaratkan berlalunya masa bagi kekuatan ijma'
akan menyebabkan tidak terlaksananya ketentuan hasil
ijma' itu secara mutlak, padahal ia merupakan ketentuan
yang mengikat. karena itu, maka persyaratan berlalunya
masa yang membatalkan ketentuan yang telah
disepakati ijma' menjadi batal dengan sendirinya.
c. Sebagian ulama merinci persyaratan berlalunya masa bagi
peserta ijma' itu berdasarkan bentuk ijma'-nya. Pendapat Al-
Amidi, "Bila ijma' itu dalam bentuk ijma sharih maka
berlalunya masa dan meninggalnya semua peserta ijma' itu
tidak merupakan persyaratan. Tetapi bila Ijma' itu dalam bentuk
ijma' sukuti maka berlalunya masa bagi mujtahid yang tidak
mengemukakan pendapatnya dan tidak menyanggah pendapat
yang dikemukakan mujtahid lainnya merupakan persyaratan."
Alasannya bahwa kekuatan ijma itu terletak pada ada tidak
adanya suara yang menyanggah. Untuk memastikan bahwa
tidak ada mujtahid yang menyanggah keputusan ijma Pada
masa itu, hanyalah bila seluruh mujtahid tersebut sudah tidak
ada lagi dan memang ternyata tidak ada sanggahan.

13
c. Sandaran Ijma’
Sandaran adalah dalil yang kuat dalam bentuk nash Al-Qur’an atau
sunnah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Perbedaan ulama dalam sandaran merupakan syarat bagi kekuatan
ijma' yaitu :
a) Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma itu harus
merujuk pada suatu sandaran yang kuat bukan hanya
berdasarkan Taufik dari Allah SWT. Alasannya adalah :
• Dalam keadaan tidak ada rujukan atau sandaran, tidak
mungkin seseorang akan sampai kepada suatu
kebenaran.
• Nabi Muhammad SAW tidak pernah berkata atau
menetapkan hukum kecuali bila sandaran berupa
Wahyu, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an. Para
mujtahid selain nabi tidak akan lebih baik dari nabi
karenanya tidak mungkin mereka menetapkan suatu
ketentuan hukum tanpa merujuk kepada dalil.
• seandainya para mujtahid itu dapat menetapkan hukum
tanpa sandaran berarti masing-masing mujtahid secara
perseorangan dapat menetapkan hukum tanpa sandaran.
apabila masing-masing mujtahid secara perseorangan
dapat berbuat demikian maka tidak ada artinya lagi
kesepakatan itu.
• Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa dalil
atau petunjuk adalah tindakan yang salah. Kalau sepakat
berbuat begitu, berarti sepakat dalam kesalahan padahal
umat secara keseluruhan tidak mungkin sepakat dalam
kesalahan.
• Produk hukum syar'i bila tidak disandarkan kepada dalil
tidak dapat diketahui hubungannya dengan hukum
syara. Bila keadaannya seperti itu maka tidak dapat
diterima.

14
b) Sebagian kecil ulama tidak mempersyaratkan adanya sandaran
ijma’. Mereka berpendapat bahwa dapat saja ijma itu terjadi
karena adanya Taufik dari Allah kepada setiap mujtahid yang
mengadakan kesepakatan yang menuntun mereka mencapai
kebenaran tanpa memerlukan petunjuk dari dalil. Adapun
argumentasi mereka yaitu :
• Seandainya kekuatan suatu ijma' membutuhkan suatu
dalil sebagai sandaran maka sebenarnya kekuatan hujjah
terletak pada dalil yang menjadi di sandaran itu bukan
pada ijma itu sendiri.
• Seandainya ijma' itu memerlukan sandaran maka tidak
akan terlaksana ijma tanpa ada sandaran padahal cukup
banyak ijma' yang tanpa menyandarkan diri kepada dalil
manapun. Contohnya seperti ijma' ulama tentang
pengambilan sewa pemandian umum, penetapan kharaj.
Ulama yang mempersyaratkan adanya sandaran atau
rujukan bagi suatu ijma' sepakat menjadikan Nash Al-
Qur’an dan Sunnah sebagai sandaran ijma'. Namun
dalam menempatkan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran
mereka berbeda pendapat :
1. Jumhur ulama membolehkan qiyas dan ijtihad
dijadikan sandaran ijma' meskipun mereka
berbeda pendapat mengenai kemungkinan hal
seperti itu terlaksana dalam kenyataan.
Alasannya bahwa qiyas itu sendiri adalah hujjah
syar'iyyah yang bersandar secara langsung
kepada nash karena qiyas itu sendiri adalah
menghubungkan sesuatu itu kepada hukum yang
ada nashnya. Bila ijtima dilakukan menurut cara
ini maka ijma' tersebut pada hakikatnya nya
adalah ijma' yang menyandar kepada Nash syar'i

15
2. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh
menjadikan kias atau ijtihad sebagai sandaran
ijma'. Alasannya sebagai berikut :
• Bentuk qiyas itu berbeda-beda.
Meskipun kias telah didasarkan kepada
sifat yang munasabah atau berpengaruh
terhadap hukum namun pandangan
ulama terhadap nya berbeda-beda titik
dalam hal ini tentu tidak mungkin qiyass
itu dijadikan sandaran bagi suatu ijma'
• Pada dasarnya qiyas itu bukanlah suatu
dalil yang disepakati oleh karenanya
tidak mungkin dijadikan dasar untuk
Ijma'
• Tidak pernah di di kalangan para sahabat
menetapkan hukum secara ijma yang
tidak didasarkan kepada al-quran dan
Sunnah. Mereka atas kewarisan saudara
seayah saat tidak ada saudara kandung
sebenarnya didasarkan kepada Nash Al-
Qur’an.
3. Sebagian ulama mengambil pendapat di tengah-
tengah kedua pendapat di atas. Menurut mereka
bila qiyas itu didasarkan kepada illat yang
ditetapkan berdasarkan Nash atau illatnya cukup
lahir dan tidak samar hingga tidak memerlukan
pembahasan, maka dapat dijadikan sandaran
ijma'. Tetapi bila illatnya tidak jelas atau tidak
berdasarkan Nash maka qiyass tersebut tidak
dapat dijadikan sandaran ijma'. Para ulama yang
membolehkan qiyas dijadikan sandaran ijma' itu

16
sebenarnya yang mereka maksud adalah qiyas
dengan illat yang kuat itu.8
D. Kedudukan Ijma’ sebagai dalil hukum Islam
Pada prinsipnya jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ijma’
sebagai upaya para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kasus yang tidak
ada dalam nash dan hadits. Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan
ijmâ’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan
sunah. Ini berarti ijmâ’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib
dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an
maupun Sunah. Untuk menguat kan pendapatnya ini jumhur mengemukakan
beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi. Di antara dalil ayat Al-Qur’an
adalah:
a) Surat al-Nisa’ (4): 115
‫سبِ ْي ِل ا ْل ُمؤْ مِ نِيْنَ نُ َول ِٖه َما ت ََولّٰى‬ َ ْ‫الرسُ ْو َل مِ ْۢنْ بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ا ْله ُٰدى َويَتَّبِع‬
َ ‫غي َْر‬ َّ ‫ِق‬ ِ ‫َو َمنْ يُّشَاق‬
‫س ۤاءَتْ َم ِصي ًْرا‬ َ ‫صل ِٖه َج َهنَّ َۗ َم َو‬
ْ ُ‫َون‬
“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya; dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam jahanam, dan jahanam
itu seburuk-buruk tempat Kembali”.
Dalam ayat ini, “jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai
apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah
yang disebut ijmâ’ kaum mukminin. Orang yang tidak mengikuti jalan
orang mukmin mendapat ancaman neraka jahanam. Hal ini berarti
larangan mengikuti jalan selain apa yang diikuti kaum mukminin, dan
ini berarti disuruh mengikuti ijmâ’.
b) Surat al-Baqarah (2): 143
َ ‫علَ ْيكُ ْم‬
َۗ ‫ش ِه ْيدًا‬ َ ‫الرسُ ْو ُل‬ َ ‫طا ِلتَك ُْونُ ْوا شُ َهد َۤا َء‬
ِ َّ‫علَى الن‬
َّ َ‫اس َويَك ُْون‬ َ ‫َوك َٰذ ِلكَ َجعَ ْل ٰنكُ ْم ا ُ َّمةً َّو‬
ً ‫س‬
“ Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu ....”

8 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh jilid 1 cetakan ke-5, 2011, jakarta:kencana, hal.150-157.

17
Ayat ini mensifati umat Islam dengan “wasath”, yang berarti
“adil”. Ayat ini memandang umat Islam itu sebagai adil dan dijadikan
hujah yang mengikat terhadap manusia untuk menerima pendapat
mereka sebagaimana ucapan Rasul menjadi hujah terhadap kita untuk
menerima semua ucapan yang ditujukan kepada kita. Ijmâ’
berkedudukan sebagai hujah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat
mereka itu menjadi hujah terhadap yang lain.
c) Surat Ali ‘Imran (3): 110
ِ ‫اس تَأْ ُم ُر ْونَ بِا ْل َمع ُْر ْو‬
‫ف َوتَ ْنه َْونَ ع َِن ا ْل ُم ْنك َِر‬ ِ َّ‫كُ ْنت ُ ْم َخي َْر ا ُ َّم ٍة ا ُ ْخ ِرجَتْ لِلن‬
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
mungkar ...”
Alif lam bila ditempatkan pada jenis menunjukkan berlaku
secara umum. Kebenaran berita ini menghendaki menyuruh mereka
melakukan setiap yang ma’ruf dan melarang mereka dari setiap
perbuatan yang mungkar. Hal ini berarti umat dapat menetapkan
suruhan dan larangan.
d) Surat Ali ‘Imran (3): 103
‫ّللا جَمِ ْي ًعا َّو َل تَفَ َّرقُ ْوا‬
ِ ٰ ‫َوا ْعت َِص ُم ْوا ِب َح ْب ِل‬
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan jangan lah kamu bercerai berai .....”
Dalam ayat ini Allah SWT. melarang umat berpecah belah.
Usaha menantang ijmâ’ berarti berpecah belah. Hal itu adalah
terlarang, tidak ada arti kedudukan ijmâ’ sebagai hujah kecuali
larangan untuk menyalahinya.
e) Surat al-Nisa’ (4): 59
‫الرسُوْ َل َواُولِى ْاْلَ ْم ِر ِمنْكُ ْم‬ َ ّٰ ‫ٰيٰٓاَيُّهَا الَّ ِذيْ َن ٰا َمنُ ْٰٓوا اَطِ يْعُوا‬
َّ ‫ّللا َواَطِ يْعُوا‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu ...”
Perintah menaati ulil amri sesudah mematuhi Allah dan Rasul
berarti perintah untuk mematuhi ijma’, karena ulil amri itu berarti
orang-orang yang mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia
maupun urusan agama, dalam hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan

18
ulama adalah bila mereka sepakat tentang suatu hukum. Inilah yang
disebut ijmâ’.
Adapun dari dalil sunah, ada hadis Nabi yang terdapat dalam
beberapa periwayatan yang berbeda rumusannya, namun sama
maksudnya yaitu bahwa umat Nabi Muhammad SAW. tidak akan
sepakat dalam kesalahan. Di antara rumusan hadis tersebut adalah:
“Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku
tidak akan sepakat melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat
umatku sepakat untuk melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat
umatku sepakat untuk melakukan kesalahan”
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya
sebagai umat yang sama-sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin
salah. Ini berarti ijmâ’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga
putusannya merupakan hukum yang mengikat umat Islam.
Ulama Syi‘ah tidak mendudukkan ijmâ’ itu sebagaimana yang
dilakukan oleh ulama Ahl al-sunah. Memang ulama Syi‘ah mengakui
adanya ijma’ menurut definisi yang mereka gunakan. Begitu pula
ulama Syi‘ah mengakui ijmâ’ itu sebagai salah satu dalil syara’; namun
dalam arti ijmâ’ itu menunjukkan jalan untuk mengetahui adanya
hukum syara’, ijmâ’ sama sekali bukan lembaga yang dapat
menetapkan hukum syara’ sebagaimana yang dianggap oleh ulama Ahl
al-sunah. Ulama Syi‘ah tidak menganggap ijmâ’ sebagai dalil yang
berdiri sendiri di samping Al-Qur’an dan sunah. Ijmâ’ diterima hanya
dalam kedudukannya menyingkapkan atau menjelaskan adanya sunah
dalam arti ucapan atau perbuatan orang-orang yang terpelihara dari
kesalahan (ma’shum). Dalam hal ini, menurut ulama Syi‘ah, kekuatan
hujah dan keterpeliharaan dari kesalahan bukan terletak pada ijmâ’ itu
sendiri tetapi pada sunah atau ucapan dan perbuatan yang tidak dikenai
kesalahan yang telah berhasil ditemukan dan disingkapkan oleh ijmâ’.
Bila ijmâ’ mempunyai kekuatan (hujah) dari segi dapat menyingkap
ucapan seseorang yang ma’shûm, maka tidak perlu adanya
kesepakatan semua mujtahid sebagaimana yang didefinisikan oleh
ulama Ahl al-sunah, tetapi cukup kesepakatan orang-orang yang
kesepakatan mereka berhasil menyingkap ucapan orang yang
19
ma’shûm, baik jumlahnya sedikit atau banyak, asalkan pengetahuan
tentang kesepakatan mereka melazimkan penge tahuan tentang ucapan
orang yang ma’shûm.
Ulama Khawarij menerima ijmâ’ secara sangat terbatas, yaitu
yang terjadi pada masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan
umat Islam yang dimulai sejak pemerintah Umar bin Khattab.
Alasannya ialah bahwa semenjak timbul perpecahan tidak mungkin
adanya kesepakatan menyeluruh sedangkan kekuatan ijmâ’ terdapat
pada kesepakatan tersebut. Dengan demikian, menurut mereka, ijmâ’
sangat sulit terjadi.9

9 Syariffuddin, Amir., ( 2008). Ushul Fiqh, Jilid 1. (Cet-5).Jakarta:Kencana.

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian ijma’ yang umum yaitu kesepakatan para mujtahid tentang
hukum syara’ waktu tertentu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ijma’
merupakan seluruh kesepakatan seluruh mujtahid, bukan sebagian atau bukan
kesepakatan yang dilakukan oleh selain ulama mujtahid. Dalam melakukan
suatu ijma’ harus diperhatikan dalam beberapa hal, seperti syarat-syarat ijma’,
macam-macam Ijma’, kehujjahan ijma’, landasan ijma’ dan mengetahui
sysrat-syarat sebagai seorang mujtahid untuk mencapai keejahteraan dan
kemaslahatan di dunia dan di akhirat.

B. Saran
Kami sangat menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca sekalian agar kami bisa lebih baik lagi ke
depannya.

21
DAFTAR PUSAKA

https://core.ac.uk/download/pdf/235260094.pdf
Syariffuddin, Amir, 2008. Ushul Fiqh Jilid 1. (Cet-5).Jakarta:Kencana
Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001.
Burhan Nuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001)
Chamim Tohari, jurnal Konsep Ijma dalam Ushul Fiqh dan Klaim Gerakan Islam 212
(2019:151)
Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M.
Fahretin Atar. Fikih Usulu. (Istanbul: MU Vakfi Yayinlari, 2013).
Abu Zahroh, Muhammad, Ushut Fiqih, alih bahasa Saifullah Ma'shum, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1994.
Az Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqih /slami, Dar el Fikri, Bairut, 1986.

22

Anda mungkin juga menyukai