Disusun Oleh :
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat serta karunia-NYA kepada kita semua. Sehingga kami dapat
menyelesaikan Makalah “Ijma’ dan Contoh Implementasinya”. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
Terlepas dari ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini, baik dari segi materi maupun pemikirannya. Dengan
harapan semoga makalah ini dapat membantu menambah pengalaman serta pemahaman bagi
para pembacanya. terlepas dari itu kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini , dengan siap kami menerima kritik dan saran agar makalah kami ini
bisa menjadi lebih baik lagi kedepannya terkhusus bagi penulis dan pembacannya.
Penyusun
i|Page
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PEMBAHASAN........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah...........................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN........................................................................................................................2
2.1 Pengertian Ijma’..........................................................................................................2
2.2 Rukun dan Syarat Ijma’...............................................................................................5
2.3 Sebab Dilakukannya Ijma’..........................................................................................8
2.4 Macam-Macam Ijma’..................................................................................................8
2.5 Contoh Implementasi Ijma’.........................................................................................8
BAB III.....................................................................................................................................12
PENUTUP................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................13
ii | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN
Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam
menentapkan hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang tidak
ditemukan nash dalam al-qur’an maupun dalam al-sunnah yang dapat dijadikan
landasanhukum setelah Rasulullah meninggal dunia. Ijma menurut Abu Zahrah adalah
kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah
Rasulullah saw meninggala dunia.
1|Page
BAB II
PEMBAHASAN
Ijma dilihat dari segi bahasa. ijma' berarti berkumpul, sepakat, setuju atau sependapat.
Definisi ijma' menurut bahasa juga terbagi dalam dua arti:
1. Bermaksud atau niat, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an surat sebagaimana
firman Allah dalam Al Qur'an surat Yunus ayat 71. Maksud dari ayat tersebut adalah
semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau
tempuh. Dan hadits Rasulullah SAW. Yang artinya. "Barang siapa yang belum siap
untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah."
2. Kesepakatan terhadap sesuatu, suatu kaum dikatakan telah ber-Ijma' bila mereka
bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an surat Yusuf
ayat 15.
Adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu
orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau
lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. Sedangkan ijma' menurut
hukum islam adalah kesepakatan pendapat para mujtahid umat nabi Muhammad SAW setelah
beliau wafat pada suatu masa tertentu tentang masalah tertentu.
Ijma' menurut istilah ushul adalah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu
masalah sesudah wafatnya Rasulallah terhadap hukum Syar'i, pada suatu peristiwa. Ijma' para
mujtahid adalah suatu i'tibar terhadap suatu hukum. Menurut mereka hukum ini adalah dalil
terhadap suatu masalah. Definisi ini adanya yaitu setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi
Rasul masih hidup, maka dia sendiri yang menjadi sumber tasyri. tidak ada penggambaran
perbedaan pendapat dalam syar'i dan tidak ada kesepakatan.1
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma' menurut istilah
diantaranya:
a. Pengarang kitab Fushulul Bada'i berpendapat bahwa Ijma' itu adalah kesepakatan
semua mujtahid dari ijma' untuk Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau
wafat terhadap hukum syara'
b. Pengarang kitab tahrir al-Kamal Bin Haman berpendapat bahwa ijma' mujtahid suatu
masa dari ijma' Muhammad SAW. Terhadap masalah syara. 2
Dapat disimpulkan bahwa Ijma' adalah kesepakatan para Mujtahid muslim memutuskan
suatu masalah sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syar'i, karena selagi Rasul
masih hidup maka dia sendiri yang menjadi sumber syar'i.
A. Rukun
1
Ilmu Ushul Fiqh Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rincka Cipta, 2012. Hal 49
2
Rachmat, Syafe'i, MA. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 68-69
2|Page
Menurut para ilmuan ijma’ memiliki beberapa rukun sebagai berikut:
1. Kesepakatan suatau hukum dilahirkan oleh beberapa orang mujtahid dan tidak
dikatakan ijma’ jika hukum itu hasil dari ijtihad satu orang.
2. Kesepakatan tentang suatu hukum harus berdasarkan keputusan bulat
seluruhmujtahid dan tidak cukup dengan pendapat mayoritas.
3. Kesepakatan harus dari seluruh mujtahid pada zamannya yang beraasal
dariseluruh negeri Islam.
4. Hendaknya proses kesepakatan terjadi setelah seluruh para mujtahid
mengemukakan pendapatnya secara elegan dan terbuka baik perkataan
ataupun perbuatan3
B. Syarat
Adapun syarat-syarat ijma’ yaitu:
1. Hendaknya orang yang melakukan ijma' adalah para mujtahid yang
profesional yangmempunyai problematika yang hendak disepakati
2. Keputusan ijma' hendaknya berargumentasi pada al-Qur'an dan hadith yang
dijadikansebagai salah satu argumentasi dalam berijma’. Menurut al-Sinqit
menjadikan qiyas danijtihad sebagai dasar argumentasi ijma' terdapat tiga
pandangan ulama, yaitu:
1. Utopis ( la yutasawwar)
2. Mungkin saja akan tetapi tidak bisa dijadikan hujjahc).
3. Realistis dan boleh, hal ini terjadi seperti konsensus mengharamkan lemak
babi( shahm al - khinzir) yang diqiyaskan dengan dagingnya
3
Zainil Ghulam. APLIKASI IJMA’ DALAM PRAKTIK EKONOMI SYARI’AH. Iqtishoduna Vol. 7 No. 1 April2018, hal
100.
3|Page
Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang
mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian itu, mujtahid kedua berfatwa seperti
fatwanya mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga mangamalkan apa yang telah
difatwakan tersebut, begitu seterusnya sehingga mujtahid menyepakati pendapat
tersebut.
2. Ijma' Sukuti
Ijma' Sukuti adalah sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan
pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara, dan sebagian lagi
hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui atau berbeda pendapat terhadap
yang di kemukakan di dalam mengupas suatu masalah. Ijma' Sukuti yaitu ijma'
i'tibari. Karena orang yang berdiam diri itu belum tentu menyetujui, belum pasti
dia membenarkan dan meyakini kesepakatan tentang sidang ijma itu untuk di
jadikan hujah maka hal ini berbeda-beda pendapat ulama. Jumhur berpendapat
bahwa ini tidak boleh dijadikan hujah. Karena tidak keluar dari pendapat beberapa
orang mujtahid.
Sedangkan ulama Hanafi berpendapat, boleh dijadikan hujah, bila mujtahid itu
tetap berdiam diri, tidak berbicara dan tidak mengeluarkan pendapat. Berdiam diri
disini tidak dapat disamakan dengan berdiam diri karena takut, atau berolok-olok.
Karena berdiam diri di tempat barfatwa itu menyatakan sesuatu atau atau
membuat peraturan atau undang-undang. Disamping itu dia menafikan
(meniadakan) terhadap apa yang menjadi halangan baginya mengemukakan
pendapat sekalipun berbeda. Kalau memang ternyata berbeda maka disini sikap
berdiam diri itu akan dipertajam.4
B. Adapun ditinjau dari pihak ini maka Ijma' itu ada yang qathi dan ada yang dzan.
1. Ijma' Qathi
Ijma qathi yaitu ijma syarih, dengan pengertian bahwa hukumnya itu di
qathi'kan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa, dengan
adanya khilaf (perbedaan pendapat). Bukan lagi lapangan ijtihad mengenai suatu
peristiwa setelah diadakan Ijma' Sharih terhadap hukum syar'i.
2. Ijma' dzanni
Yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijma' dzanni dengan pengertian
bahwa hukumnya itu masih diragukan. Dzan itu juga kuat, tidak boleh
mengeluarkan peristiwa dari lapangan yang dibentuk oleh ijtihad. Karena
merupakan jalan pemikiran dari jemaah mujtahid bukan keseluruhannya.5
C. Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma, maka ijma' bisa dibagi
kepada beberapa bagian:
1. Ijma' al-Ummat, ijma' inilah yang dimaksud dengan dermisi pada awal pembahasa
ini.
2. Ijmaush Sahabat yaitu persesuaian paham segala ulama sahabat terhadap sesuatu
urusan
3. Ijma' Ahl al-Madinah yaitu persesuaian paham ulama-ulama ahli madinah
terhadap suatu kasus. Ijma' ini bagi Imam Malik adalah hujjah.
4. Ijma' Ahl al-Kufah, Ijma' ini dianggap hujjah oleh Imam Hanafi.
4
Ilmu Ushul Fiqh Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rincka Cipta, 2012. Hal 57
5
Ibid
4|Page
5. Ijma' al-Khulafa' al-Arba'ah, ijma' ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas
dasar hadits : “kamu wajib mengikuti sunahku dan sunnah Khulafah Rasyidin
sesudahku” (H.R. Ahmad Abu Daud, At-Turmudzi).
6. Ijma' al-Syaykhayni yaitu persesuaian paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu
hukum, ijma ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadits yang
diriwayatkan oleh At- Turmudzi. "Ikutlah atau teladanilah kedua orang ini
sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar".
7. Ijma' al-Itrah yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Bait.6
2.5 Contoh Implementasi Ijma’
BAB III
PENUTUP
6
Djazuli, Ilmu Fiqh: PENGGALIAN, PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM, Jakarta: Kencana, 2010.
Hal 76
5|Page
1.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
6|Page
Djazuli. 2010. Ilmu Fiqh: PENGGALIAN, PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM
ISLAM. Jakarta: Kencana,
Khallaf, Abdul Wahab . 2012. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rincka Cipta.
Rachmat, Syafe'i, MA. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia,
Zainil, Ghulam. APLIKASI IJMA’ DALAM PRAKTIK EKONOMI SYARI’AH. Iqtishoduna
Vol. 7 No. 1 April 2018
7|Page