Anda di halaman 1dari 14

SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUKHTALAF ‘ALAIH

IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM KETIGA DIDALAM ISLAM


Dosen Pengampu:
Dr. Dahlia Haliah Ma’u, S.Ag.,M.H.I
M. Fadhly Akbar, S.HI,MH.

Disusun Oleh:
Muhammad Husein 12112085

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK
2021
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim

Puji syukur kahadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan
baik.

Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita yang
namanya populerj dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad
Saw. Yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya islam dan
iman.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa salam penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga penulis makalah ini sangat
mengharapkan sadan dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan dalam penulisan
makalah selanjutnya.

Akhirnya penulis berdo’a semoga makalah ini akan membawa manfaat pada
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Pontianak 28 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Masalah......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3

A. Pengertian Ijma’.....................................................................................................3
B. Rukun & Syarat Ijma’............................................................................................3
C. Macam-macam Ijma’..............................................................................................5
D. Kemungkinan Terjadinya Ijma’.............................................................................6
E. Kehujjahan ijma’ menurut pandangan ulama.........................................................7
BAB III PENUTUPAN..................................................................................................10

A. Kesimpulan...........................................................................................................10
B. Kritik dan Saran....................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat
kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia
merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan
pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’

Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’
itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits,
mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri
(Al-Qur’an dan Hadits).

Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad


untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.

“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat
untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka
telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan
hukum yang telah disepakati.

Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian


mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu
kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan
masalah dibawah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ijma’
2. Syara-syarat ijma’
3. Macam-macam ijma’
4. Kemungkinan terjadinya ijma’
5. Kehujjaan Ijma menurut pandanga ulama’.

1
C. Tujuan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa
dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami landasan hukum
islam seperti ijma’ yang telah disepakati oleh para mujtahit yang dijadikan
sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Secara bahasa ijma' berarti "kebulatan tekad terhadap suatu persoalan"1
Menurut istilah ahli ushul sebagaimana yang didefinisikan Wahbah
Zuhaili,berikut ini:
‫إتفاق المجتهدين من أمة محمد صلى هللا عليه وسلم بعد وفاته في عصر من العصور على حكم شرعي‬

Kesepakatan para Mujtahid kaum Muslimin dalam suatu masa sepeninggal


Rasulullah ‫ﷺ‬. Terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa.2

Para Mujtahid (Fuqaha) tersebut adakalanya fuqaha-fuqaha sahabat atau


dari fuqaha-fuqaha angkatan yang akan datang sesudah mereka . ijma’
merupakan sumber hukum Islam yang kuat sesudah Al-quran dan Al-sunnah
atau merupakan tingkatan ketiga dalam urutan sumber hukum islam.

B. Rukun & Syarat Ijma’


Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa ijma' adalah kesepakatan para
mujtablid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah . Terhadap
suatu hukum syar'i mengenal suatu peristiwa. Namun, tidak semua kesepakatan
para ulama setelah Rasulullah wafat dikategorikan sebagai ijma', kesepakatan
ulama biar bisa dikategorikan sebagai ijma' harus memenuhi rukun dan syarat
jma. Yang menjadi rukun dalam ijma' hanya satu, yaitu kesepakatan ulama,
apabila tidak ada kesepakatan maka itu bukan ijma

Sementara syarat-syarat ijma' menurut Wahbah Zuhaili ada enam, yaitu:


1. Haruslah orang yang melakukan ijma' itu dalam jumlah banyak, dan
tidak dikatakan ijma apabila hanya satu orang mujtahid, tidak dikatakan
sebuah kesepakatan apabila dilakukan hanya satu orang ulama. Akan
tetapi, pada saat terjadinya peristiwa tersebut tidak ada seorang pun

1
Wahbah Zuhaili, Al Wajiz Fi Ushul Fiqh,( Damskus: Dar Al Fikr al Mu’asyir, t.th.) hlm. 46.
2
Muchtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,( Bandung :PT . Maarif,
1993), hlm.58.

3
mujtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya satu saja, tidaklah bisa
dikategorikan sebagai ijma' yang dibenarkan oleh syara’
2. Seluruh mujtahid menyetujul hukum syara' yang telah mereka putuskan
itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
Akan tetapi, peristiwa yang dimusyawarahkan itu hanya disepakati oleh
mujtahid dari satu daerah atau negara saja, misal mujtahid dari Mesir.
atau Arab Saudi, atau Indonesia saja. Hasil kesepakatan itu bukanlah
sebagai ijma'. Ijma' harus merupakan kesepakatan seluruh mujtahid
muslim ketika peristiwa itu terjadi.
3. Mujtahid yang melakukan kesepakatan mestilah terdiri dari berbagai
daerah Islam. Tidak bisa dilakukan ijma' apabila hanya dilakukan oleh
ulama satu daerah tertentu saja seperti ulama Hijaz, atau ulama Mesir
atau ulama Iraq. Atau ulama Syiah tanpa ulama Sunni,

4. Kesepakatan itu haruslah dilahirkan oleh masing-masing dan merak


secara tepas terhadap perutiwa its, balk lewat perkataan maupun per
bustan, seperti mempraktikkannya dalam peradilan walaupun pada
permulaannya baru merupakan penyataan perseorangan kemudian per an
itu disambut oleh orang banyak, maupun merupakan pernyataan bersama
melahat suatu muktamar

5. Kesepakatan hendaklah dilakukan oleh mujtahid yang bersifat adil dan


menjauhi hal-hal yang bid'ah karena nash-nash tentang ijma'
mensyaratkan hal tersebut.

6. Hendaklah dalam melakukan ijma' mujtahid bersandar kepada sanidaran


hukum yang disyariatkan baik dari nash ataupun qiyas

Apabila rukun dan syarat-syarar ijma' tersebut telah terpenuhi,


hasil dary Ijma' itu merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati
dan para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang

4
telah disepakati itu sebagai objek ijma' yang baru. Oleh sebab itu,
hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa ijma' itu telah menjadi hukum
syara yang qat'i, hingga tidak dapat ditukar atail dihapus dengan ijtihad
lain. Hal ini sebagaimana diatur dalam kaidah figh yang umum:

‫االجتهاد ال ينقض باالجتهاد‬

Sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain3

C. Macam-macam Ijma’
 Dari segi cara kejadiannya, Ijma’ terbagi menjadi 2 yaitu :
a.       Ijma’ Bayani, yaitu ijma’ yang terbentuk melalui proses dialogis.
Dimana seluruh peserta ijma’ berkumpul disuatu tempat dan
menyampaikan pendapatnya, baik secara lisan maupun perbuatan.
b.      Ijma’ Sukuti , yaitu Ijma’ yang terbentuk melalui proses dimana
seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya dan pendapat itu tersebar
luas, tetapi mereka diam, tidak menyampaikan penolakan secara tegas,
padahal tidak terdapat suatu penolakan.

Dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi menjadi
2:
a.       Ijma’ Qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I
diyakini benar terjadinya. Tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum
dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
b.      Ijma’ Dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, asih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil
ijma’ yang dilakukan pada waktu lain.14
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :
3
H.A.Djazuli, Kaidah-kaidah fikih ; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam menyelesaikan Masalah-
Masalah yang praktis ,( Jakarta : Kencana, 2017),Cet.Ke 7, hlm.224.

5
a.       Ijma’ tidak dibutuhkan pada masa Nabi Muhammad saw.
b.      Ijma’ mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar
bin Khaththab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman.
c.       Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai
saat ini tidak ungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun yang telah
ditetapkan diatas,mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu
serta luasnya daerah yang berpenduduk islam.

D. Kemungkinan Terjadinya Ijma’


Pada masa Rasulullah Saw masih hidup, beliau merupakan sumber hukum.
Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-
Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah
Saw. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, maka mereka
langsung menanyakannya kepada Rasulullah.4

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan


tempat bertanya, akan tetapi mereka telah memiliki pegangan yang lengkap,
yaitu al-Qur'an dan al-Hadits.

Jadi, ijma' itu kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar,
Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama
Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih
satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin sendiri,
disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para
sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.

Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah


nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Setelah Khalifah
Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi,
seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu
Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal

4
Boedi Abdullah, ilmu ushul fiqh, (Bandung : CV pustaka setia, 2008). Hal. 165

6
dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan
Mu'awiyah dan sebagainya.

Dari keterangan di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;


2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin
Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman, dan  setelah enam tahun
kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi
ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat
keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang
berpenduduk Islam.

E. Kehujjahan ijma’ menurut pandangan ulama


Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah
terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib
diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya
dianggap kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya
melalui ijma’, menurut para ahli ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan
ulama generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan
melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan menempati urutan
ketiga sebagai dalil syara’ setelah al-Qur’an dan Sunnah.5

Alasan Jumhur Ulama ushul fiqh yang mengatakan


bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai
dalil syara’ adalah:

1. Firman Allah swt. Dalam surat al-Nisa’ ayat 59:


Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alah dan taatilah
Rasul dan uli al-amri di antara kamu...

Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, lafal uli al-amr dalam ayat itu


bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan

5
DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.54

7
pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan perangkatnya).
Ibn ‘Abbas menafsirkan uli al-amr ini dengan para ulama.

Ayat lain yang dikemukakan Jumhur Ulama adalah surat al-Baqarah,ayat


143, Ali Imran ayat 110, dan al-Syura ayat 10. Imam Ghazali (450-505 H/1058-
1111 M), mengemukakan ayat lain yang dijadikan Jumhur sebagai alasan
kehujjahan ijma’ , yaitu firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 115,

‫صلِ ِه َج َهنَّ َم‬ َ ‫سو َل ِمن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ا ْل ُهدَى َويَتَّبِ ْع َغ ْي َر‬
ْ ُ‫سبِي ِل ا ْل ُمْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َما تَ َولَّى َون‬ ُ ‫ق ال َّر‬
ِ ِ‫َو َمن يُشَاق‬
‫صي ًرا‬
ِ ‫ساءتْ َم‬
َ ‫َو‬

Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya


dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ke dalam
jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Menurut al-Ghazali, ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan


orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam sebagai
orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan menentang Allah dan Rasul-
Nya hukumnya haram.6

    2.      Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda Rasulullah saw.:

Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (H.R. al-


Tirmidzi)

Dalam lafaz lain disebutkan:

َ ‫إنَّ ُأ َّمتِي الَ يَ ْجتَ ِم ُع عَل َى‬


‫ضالَلَ ٍة‬

Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan.

Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda:

‫ش ْيطَانَ َم َع ال َوا ِح ِد َو ُه َو ِمنَ اِإل ْثنَ ْي ِن َأ ْب ُعد‬


َّ ‫لج َما َع ِة َوإيَّا ُك ْم َوالفُ ْرقَةَ فَِإنَ ال‬
َ ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم با‬

6
https://habyb-mudzakir-08.blogspot.com/2013/09/makalah-ijma-dan-kehujjahannya.html

8
Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai, karena syetan bersama
yang sendiri dan dengan dua orang lebih jauh. (HR At-Tirmidzi)7

Lebih lanjut Rasulullah saw. bersabda:

Dari al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW bersabda:’Siapa yang


meninggalkan jamaah sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari
lehernya kecuali jika kembali. Seseorang bertanya,’ Wahai Rasulullah,
walaupun dia sudah mengerjakan shalat dan puasa?’. Maka Rasulullah SAW
menjawab:’Walaupun dia shalat dan puasa.’ (HR Ahmad dan at-Turmudzi)

Seluruh hadits itu menurut Abdul Wahhab Khalaf, menunjukkan bahwa


suatu hukum yang disepakati seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hukum
umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab
itu, sesuai dengan kandungan hadits-hadits di atas, tidak mungkin para mujtahid
tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat
telah sepakat melalui para mujtahid mereka maka tidak ada alasan untuk
menolaknya.

7
Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, (Beirut: Dar Al-fikr 1996.) Hal. 123

9
BAB III

PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma harus menyandar
kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan
kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali
dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:

Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandaranya,


ijma’ tidak akan sampai pada kebenaran.
Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada
nabi, sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum
kecuali berdasarkan kepada wahyu.
            Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah
salah. Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan
kesalahan;
Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di
ketahui kaitanya kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan
Syara tidak wajib diikuti.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat penulis paparkan, tentunya masih
sangat jauh dari kesempurnaan tapi semoga saja yang kita pelajari ini
bermanfaat, dengan harapan bisa menambah pengetahuan dan keilmuan bagi
kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangan diharapkan untuk
menjadi koreksi kedepan dan terima kasih kepada bapak dosen yang telah
membimbing saya  semoga kita semua mendapat barokah dan kemanfa’atan
ilmunya. Amiin

10
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili Wahbah, Al Wajiz Fi Ushul Fiqh, Damskus: Dar Al Fikr al Mu’asyir, t.th.

Yahya Muchtar, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung


:PT . Maarif, 1993,
Djazuli H.A.Djazuli, Kaidah-kaidah fikih ; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
menyelesaikan Masalah-Masalah yang praktis , Jakarta:Kencana,2017,Cet.Ke7.

Haroen DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.

Abdullah Boedi, ilmu ushul fiqh, Bandung : CV pustaka setia, 2008.

Al-Farmawi Abd.Al-Havy, Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut: Dar Al-fikr 1996.

https://habyb-mudzakir-08.blogspot.com/2013/09/makalah-ijma-dan-kehujjahannya.html

11

Anda mungkin juga menyukai