Anda di halaman 1dari 16

IJMA DAN QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Fiqh dan Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Sarmedi, S.Pd.,I., M.Ag

Disusun Oleh :

Nur Alsa Shauma Arfiani

6020221029

Ekonomi Syariah

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN ISLAM

UNIVERSITAS SURYAKANCANA

2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
hidayahNya-lah saya dapat menyelesaikan makalah mengenai Ijma dan Qiyas Sebagai
Sumber Hukum Islam dalam sebuah mata kuliah Pengantar Fiqh dan Ushul Fiqh.
Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, dosen, dan teman-
teman sekalian.
Oleh karena itu , saya selaku penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
jika terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini ataupun kata – kata yang kurang
berkenan, saya mohon maaf. Untuk perbaikan dan peningkatan tulisan ini, saya sangat
mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Selanjutnya saya
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan
khususnya pembaca.

Cianjur, 8 Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Ijma 3
1. Pengertian 3
2. Bukti Kehujjahan 4
3. Jenis dan Macam 4
4. Contoh 5
B. Qiyas 5
1. Pengertian 5
2. Dasar Penggunaan 6
3. Rukun 7
4. Syarat 8
5. Jenis dan Macam 9
6. Contoh 11
BAB III PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
BAB III PENUTUP 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al Quran dan Al hadits sejak zaman kepemimpinan Rasulullah SAW (Nabi
Muhammad SAW) sudah digunakan sebagai sumber hukum Islam. Segala persoalan
yang terjadi pada masa tersebut bisa ditemukan solusinya dalam Al Quran maupun Al
hadits . Pertama, orang akan mencari hukumnya di Al Quran, jika tidak ada baru ke
Al hadits . Bagaimana jika di keduanya juga tidak ada? Maka para sahabat Nabi pada
masa tersebut akan langsung bertanya kepada Nabi. Sehingga masalah apapun bisa
diselesaikan, namun ketika Rasullallah SAW wafat maka persoalan kemudian
muncul. Sebab saat dijumpai suatu permasalahan yang tidak ada dasarnya di Al Quran
maupun hadits . Maka umat muslim kesulitan untuk mencari sumber hukum yang
adil, sebab tidak ada lagi tempat bertanya. Maka mulai berkembanglah sumber hukum
lain yang mampu mengatasi permasalahan hukum yang tumbuh semakin kompleks.
Yakni ijma dan qiyas tadi. Ijma maupun qiyas kemudian melengkapi sumber hukum
selain Al Quran dan Al hadits . Diperkirakan kemunculan kedua sumber hukum ini
adalah pada masa kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan di masa
kepemimpinan Utsman bin Affan. Dilansir dari berbagai sumber, jauh sebelum ijma
dan qiyas diterapkan. Umat muslim pada masa kepemimpinan Abu Bakar sampai
Utsman tidak mengalami kendala. Hal ini menunjukan bahwa Al Quran dan Al hadits
sudah lebih dari cukup dalam menyelesaikan berbagai permasalahan umat muslim.
Namun seiring berjalannya waktu, kedua sumber hukum utama dalam Islam ini
kemudian terasa tidak cukup. Sebab permasalahan semakin kompleks, dan ditunjang
pula oleh perbedaan pendapat yang semakin sengit di masanya. Jika dulunya Al
Quran dan Al hadits cukup, bisa karena memang umat muslim masih sedikit dan luas
penyebaran umat muslim juga belum begitu luas. Sehingga permasalahan masih
terbatas dan perbedaan pendapat pun belum terlalu meruncing.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ijma dan Qiyas?
2. Apa saja macam-macam Ijma ?
3. Bagaimana bukti kehujjahan Ijma ?
4. Apa saja macam-macam Qiyas ?

iv
5. Bagaimana dasar penggunaan Qiyas ?
6. Apa saja rukun Qiyas ?
7. Apa saja contoh Ijma dan Qiyas ?

C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa itu Ijma dan Qiyas?
2. Mahasiswa dapat mengetahui apa saja macam-macam Ijma ?
3. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana bukti kehujjahan Ijma ?
4. Mahasiswa dapat mengetahui apa saja macam-macam Qiyas ?
5. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana dasar penggunaan Qiyas ?
6. Mahasiswa dapat mengetahui apa saja rukun Qiyas ?
7. Mahasiswa dapat mengetahui apa saja contoh Ijma dan Qiyas ?

v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ijma
1. Pengertian
Secara umum, ijma menurut istilah diartikan sebagai kebulatan pendapat seluruh
ahli ijtihad sesudah wafatnya Rasullallah SAW pada suatu masa atas sesuatu
hukum syara’ (Madjid, 67). Pada masa awal penerapan ijma, kegiatan ijma hanya
dilakukan oleh para khilafah dan petinggi negara. Sehingga hasil musyawarah
mereka kemudian dianggap sebagai perwakilan atas pendapat dari masyarakat
atau umat muslim. Seiring berjalannya waktu, musyawarah kemudian melibatkan
lebih banyak pihak terutama ahli ijtihad dan terus berlangsung sampai sekarang.
Kemudian, pengertian dari ijma sendiri terus berkembang karena baik para ahli
ushul fiqh maupun para ulama. Adapun ahli ushul fiqh yang menyampaikan
pengertian ijma adalah;
1) Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali menyatakan bahwa ijma merupakan sebuah kesepakatan dari
umat Nabi Muhammad SAW mengenai suatu perkara atau persoalan yang
berhubungan dengan persoalan agama.
2) Imam Al Subki
Sedangkan menurut Imam Al Subki, ijma didefinisikan sebagai suatu
kesepakatan dari para mujtahid setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan
berkenaan dengan segala persoalan yang berkaitan dengan hukum syara.
Sedangkan dari para ulama, berikut beberapa ulama ushul kontemporer yang
mencoba menyampaikan pengertian ijma:
3) Ali Abdul Razak
Melalui buku yang disusun oleh Ali Abdul Razak dan bertajuk al Ijma Fi al
Syari’at al Islamiyat. Beliau menerangkan bahwa ijma merupakan kesepakatan
dari para mujtahid Islam yang terjadi pada suatu masa dan atas perkara hukum
syara.
4) Abdul Karim Zaidah
Dalam bukunya yang berjudul al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, Abdul Karim Zaidah
menjelaskan bahwa ijma merupakan kesepakatan dari para mujtahid umat
Islam pada suatu masa mengenai hukum syara’ setelah Rasullallah SAW
wafat.

vi
Masih banyak pendapat lain yang mengemukakan mengenai pengertian dari ijma,
namun yang pasti ijma merupakan kesepakatan para ahli atau para ulama dalam
menyelesaikan suatu perkara atau persoalan yang berkaitan dengan agama Islam.
Sehingga ketika ada masalah yang mengarah ke agama Islam, dan belum ada
ketentuannya di dalam Al Quran maupun Al hadits . Maka dicari penyelesaiannya
dengan ijma tadi, setelah didiskusikan oleh para ahli dan para ulama. Selain
menggunakan ijma, perkara Islam juga diselesaikan dengan qiyas yang nanti
dijelaskan di bawah.

2. Bukti kehujjahan Ijma


Pertama, dalam al-Qur'an Surat an-Nisa ayat 59 Allah niemerintahkan untuk taat
kepada ulil amri. Lafadz Amri adalah hal-hal keadaan dan ia adalah umum.
Ulil Amron duniawi adalah para raja, pemimpin dan penguasa. Sedang Ulil Amri
agamawi adalah para mujtahid atau ahli fatwa agama. Ibnu Abbas menafsiri ulil
amri dengan ulama. Yang jelas Ijma' memiliki kekuatan hukum. Artinya ayat di
atas menunjukkan wajib mematuhi hukum yang di sepakati oleh seluruh ulama
mujtahid atau masa.
Kedua, bahwasanya suatu hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua
mujtahid ummat Islam, pada hakekatnya hukum ummat Islam.

3. Jenis dan Macam-Macam Ijma


Kemudian untuk jenis ijma sendiri, berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh
para ulama ushul fiqh baik klasik maupun kontemporer. Sepakat bahwa ijma
terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Ijma Al Sarih
Ijma al sarih atau ijma sarih merupakan ijma dimana para ahli ijtihad atau
ulama masing-masing mengeluarkan pendapatnya, baik secara lisan maupun
tertulis mengenai persetujuannya atas pendapat yang dikemukakan oleh ahli
ijtihad lain. Istilah lain untuk menyebut ijma jenis ini cukup beragam. Ada
yang menyebutnya ijma bayani, ijma qauli, ijma hakiki, dan lain sebagainya.
Namun meskipun sebutannya berbeda, dari segi definisi tetaplah sama.
Sehingga Anda bisa menyebutnya juga dengan ijma hakiki maupun sebutan
lain yang mengarah pada ijma sarih.
2) Ijma Al Sukuti

vii
Jenis kedua adalah ijma al sukuti, yakni ijma yang terjadi ketika para ulama
memutuskan untuk diam dimana diamnya para ulama atau ahli ijtihad ini
adalah karena setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh ahli ijtihad
lainnya. Selain pembagian ijma di atas masih ada lagi jenis ijma lain, seperti
ijma salaby, ijma ulama madinah, ijma ulama kufah, ijma Khulafaur Rasyidin
(Abu Bakar dan Umar), dan ijma ahlul bait.

4. Contoh Ijma
Setelah memahami ijma dari penjelasan di atas, maka penting pula memahami
qiyas sebab ijma dan qiyas adalah dua sumber hukum Islam lainnya. Sedangkan
untuk contoh dari ijma sendiri tentu cukup banyak, beberapa diantaranya adalah:
- Diadakannya adzan dan iqomah dua kali di sholat Jumat, dan mulai diterapkan
pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan.
- Diputuskannya untuk membukukan Al Quran dan dilakukan pada masa
kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq.
- Kesepakatan para ulama atas diharamkannya minyak babi.
- Menjadikan as sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al
Quran.

B. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Jika membahas mengenai ijma maka dibahas juga mengenai qiyas, pada
pembahasan lebih lengkap juga akan dibahas mengenai Al Quran maupun hadits .
Setelah memahami ijma, maka kini bisa mengenal dan memahami qiyas sebab
ijma dan qiyas adalah sumber hukum selain dua sumber hukum utama dalam
Islam. Pengertian qiyas secara bahasa merupakan tindakan mengukur sesuatu atas
sesuatu lainnya dan kemudian disamakan. Secara istilah qiyas adalah menetapkan
hukum terhadap sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya dan didasarkan
pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya. Sedangkan pengertian qiyas menurut
beberapa ahli memang cukup beragam, tidak heran karena antara ijma dan qiyas
memang cukup erat atau berdekatan. Sehingga ijma yang didefinisikan banyak
ahli kemudian juga terjadi hal serupa pada qiyas. Berikut pendapat para ahli dan
ulama mengenai definisi qiyas:
1) Abdul Wahab Al Khallaf

viii
Dalam bukunya yang berjudul Ilmu Ushul Fiqih, dijelaskan bahwa qiyas
merupakan mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya
dengan kasus lain yang ada nash hukumnya, karena persamaan kedua itu
dalam illat (suatu sifat yang terdapat pada pokok dan sifat ini menurun pada
cabangnya) hukumnya.
2) Romli
Dalam bukunya yang berjudul Muqaranah Mazahib Fil Ushul dijelaskan
bahwa qiyas adalah kegiatan mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.
Dalam buku Ushul Fiqh yang lain, qiyas kemudian dijelaskan sebagai kegiatan
mengukur dan mengamalkan, atau mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
kemudian mengamalkannya.
3) Muhammad Abdul Ghani Al Baiqani
Menjelaskan qiyas merupakan hubungan suatu persoalan yang tidak ada
ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah
disebutkan oleh nash, karena keduanya terdapat pertautan atau hubungan dan
hukumnya adalah illat.
4) Syaikh Muhammad al Khudari Beik
Disebutkan bahwa qiyas adalah memberlakukan ketentuan hukum yang ada
pada pokok (asal) kepada cabang atau persoalan baru yang tidak disebutkan
nashnya karena adanya pertautan illat pada keduanya.

Imam Syafi’i diketahui menjadi sebagai mujtahid pertama yang mengemukakan


dan menerapkan qiyas. Imam Syafi’i menjelaskan mengenai sejumlah patokan
kaidah dan asas-asasnya. Hanya saja, mujtahid sebelumnya juga diketahui pernah
menggunakan qiyas namun belum membuat rumusan patokan dan asas. Sehingga
masih banyak proses penerapan qiyas yang cenderung keliru, karena memang
belum ada patokan yang jelas. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i kemudian hadir
memberi solusi dengan merumuskan sejumlah patokan dan asas, supaya
penerapannya jelas dan menghindari terjadinya kesalahan. Meskipun metode
dalam penerapan qiyas oleh Imam Syafi’i kemudian mendetail dengan segala
asas, namun tetap dibuat praktis. Hal tersebut kemudian masih digunakan sampai
sekarang dan membantu penerapan qiyas dalam keseharian umat muslim.

2. Dasar Penggunaan Qiyas

ix
Mayoritas ulama melakukan qiyas atas dasar perintah untuk mengambil pelajaran
atau berijtihad. Menurut jumhur ulama, qiyas termasuk mengambil pelajaran dari
suatu peristiwa. Dikutip dari buku Qiyas: Sumber Hukum Syariah Keempat oleh
Ahmad Sarwat, dasar qiyas juga merujuk pada surat An Nisa ayat 59, yaitu
perintah untuk kembali kepada Allah dan Rasul.

‫ ُر ُّدوْ ه الَى هّٰللا‬V َ‫ي ٍء ف‬V ‫ا َز ْعتُم في َش‬VVَ‫ا ْن تَن‬V َ‫ر م ْن ُك ۚم ف‬VV‫وْ ل واُولى ااْل َم‬V ‫َّس‬ ‫هّٰللا‬
ِ ِ ُ ْ ْ ِ ْ ِ ْ ِ ِ ْ ِ َ َ ُ ‫وا الر‬VV‫وا َ َواَ ِط ْي ُع‬VV‫وا اَ ِط ْي ُع‬Vْٓ Vُ‫ا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمن‬VVَ‫ٰيٓاَيُّه‬
٥٩ - ࣖ ‫َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذلِكَ خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل‬

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An Nisa: 59)

Dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib, Al-Fahru ar-Razi menafsirkan bahwa maksud dari
mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul dalam ayat tersebut adalah
perintah untuk menggunakan qiyas. Pendapat ini diperkuat dengan penggunaan
Quran dan Sunnah Rasulullah SAW dalam qiyas, meskipun tidak disebutkan
secara eksplisit dalam istilah qiyas.

3. Rukun qiyas
Dikutip dari buku Ushul Fiqih oleh Amrullah Hayatudin, qiyas terdiri dari empat
rukun dan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Antara lain sebagai berikut:
1) Ashl
Ashl adalah kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya baik dalam nash
maupun ijma. Ashl sering disebut sebagai musyabbah bih atau yang diserupai
dan maqis 'alaih atau tempat mengqiyaskan. Dalam arti sederhana, ashl adalah
kasus yang akan digunakan sebagai ukuran atau pembanding. Ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi ashl untuk dapat dijadikan qiyas. Ashl harus
memiliki hukum yang bersifat tetap. Ketetapan hukum tersebut harus berdasar
pada jalur sam'isyar'i bukan aqli. Jalur ini juga digunakan untuk mengetahui
illat pada ashl. Selain itu, ketetapan hukum pada ashl harus bukan berdasarkan

x
qiyas, melainkan karena nash atau ijma. Ashl juga tidak diperbolehkan keluar
dari aturan-aturan qiyas.
2) Far'u
Far'u adalah kasus yang akan dicari hukumnya atau disamakan dengan kasus
yang sudah ada hukumnya. Beberapa syarat yang menjadikan far'u dapat
ditetapkan dalam qiyas antara lain far'u belum memiliki hukum yang
ditetapkan berdasarkan nash atau ijma, harus ditemukan illat ashl pada far'u
dengan kadar sempurna dan tidak boleh kurang dari kadar illat yang terdapat
pada ashl.
3) Hukum Ashl
Hukum ashl adalah hukum syara yang ditetapkan oleh nash dan dikehendaki
untuk menetapkan hukum terhadap far'u.
4) Illat
Secara bahasa, illat dapat diartikan sebagai hujjah atau alasan. Illat menjadi
landasan dalam hukum ashl. Dalam pengertian lain, illat disebut juga dengan
kemaslahatan yang diperhatikan syara. Illat inilah yang menjadi salah satu
pertimbangan dalam melakukan qiyas.

4. Syarat Qiyas
Untuk dapat melakukan qiyas terhadap suatu masalah yang belum ada
ketentuannya dalam al-Qur‟an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1) Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya
hukum yang tetap berlaku.
2) Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama artinya sudah
ada menurut ketegasan al-Qur‟an dan hadits.
3) Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula pada qiyas, artinya
hukum asal itu dapat diberlakukan pada qiyas.
4) Tidak boleh hukum furu‟ (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena untuk
menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya (sebab).
5) Hendaklah sama illat yang ada pada furu‟ dengan illat yang ada pada asal.
6) Hukum yang ada pada furu‟ hendaklah sama dengan hukum yang pada asal.
Artinya tidak boleh hukum furu‟ menyalahi hukum asal.
7) Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum, artinya illat
itu selalu ada.

xi
8) Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya
tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.

5. Jenis dan Macam Qiyas


Pada dasarnya ijma dan qiyas juga memiliki beberapa jenis, khusus untuk ijma
sudah dijelaskan di atas. Sedangkan untuk qiyas, secara umum terbagi menjadi
tiga jenis. Yaitu:
1) Qiyas Illat
Jenis qiyas yang pertama adalah qiyas illat, yakni jenis qiyas yang sudah jelas
illat dari kedua persoalan yang dibandingkan atau diukur. Sehingga baik
masalah pokok maupun cabang sudah jelas illatnya, sehingga para ulama
secara mutlak akan sepakat mengenai hukum dari sesuatu yang sedang
dibandingkan dan diukur tadi. Misalnya saja hukum mengenai minuman
anggur, buah anggur memang halal namun ketika dibuat menjadi minuman
maka akan mengandung alkohol. Alkohol memberi efek memabukan sehingga
hukum meminumnya sama dengan minuman jenis lain yang beralkohol, yakni
haram atau tidak boleh diminum. Qiyas Illah kemudian terbagi lagi menjadi
beberapa jenis, misalnya:
a. Qiyas Jali
Jenis kedua dari qiyas adalah qiyas jali, yakni jenis qiyas yang illat suatu
persoalan bisa ditemukan nashnya dan bisa ditarik kesimpulan nashnya
namun bisa juga sebaliknya. Misalnya adalah pada persoalan larangan
untuk menyakiti kedua orang tua dengan perkataan kasar. Hukumnya
tidak diperbolehkan sebagaimana hukum haram (tidak diperbolehkan)
untuk menyakiti fisik kedua orang tua tadi (memukul atau menyakiti
secara fisik). Sehingga setiap anak diharuskan untuk menjaga lisan
maupun perbuatan di hadapan orang tua agar tiada menyakiti hati mereka.
b. Qiyas Khafi
Jenis ketiga adalah qiyas khafi, yaitu jenis qiyas yang illat suatu persoalan
diambil dari illat masalah pokok. Jadi, jika hukum asal atau persoalan
utamanya adalah haram maka persoalan yang menjadi cabang pokok
tersebut juga haram, demikian jika sebaliknya. Salah satu contoh jenis
qiyas satu ini adalah hukum membunuh manusia baik dengan benda yang
ringan maupun berat. Dimana hukum keduanya adalah haram atau

xii
dilarang, sebab membunuh adalah kehataan sekaligus dosa karena
mendahului kehendak Allah SWT dalam menentukan umur makhluk hidup
di dunia.
2) Qiyas Dalalah
Jenis kedua adalah qiyas dalalah, yaitu jenis qiyas yang menunjukkan kepada
hukum berdasarkan dalil illat. Bisa juga diartikan sebagai qiyas yang
diterapkan dengan cara mempertemukan pokok dengan cabang berdasarkan
dalil illat tadi. Contoh dari qiyas jenis ini adalah ketika mengqiyaskan nabeez
dengan arak, dimana dasarnya adalah sama-sama mengeluarkan bau yang
terdapat pada minuman memabukan.
3) Qiyas Shabah
Jenis ketiga adalah qiyas shabah, yakni qiyas yang mempertemukan antara
cabang dengan pokok persoalan hanya untuk penyerupaan. Contohnya sendiri
bisa diambil dari yang disampaikan oleh Abu Hanifah mengenai mengusap
atau menyapu kepala anak berulang-ulang. Tindakan tersebut kemudian
dibandingkan dengan menyapu lantai memakai sapu. Sehingga didapat
kesamaan yaitu sapu. Hanya saja untuk qiyas shabah sendiri oleh beberapa
muhaqqiqin mendapat penolakan. Sehingga menjadi jenis qiyas yang terbilang
jarang diterapkan.

Selain jenis yang dipaparkan di atas, baik ijma dan qiyas juga masih memiliki
jenis yang beragam dan didasarkan pada dasar-dasar tertentu. Jenis di atas
didasarkan pada illat dari perkara yang dibandingkan atau diukur satu sama
lain. Qiyas juga dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan keserasian illat
dengan hukum. Sehingga didapatkan dua jenis qiyas lagi, yaitu qiyas muatsir
dan juga qiyas mulaim. Sedangkan jika didasarkan pada metode yang
digunakan maka ada qiyas ikhalah, qiyas shabah, qiyas sabru, dan juga qiyas
thard. Melalui penjelasan di atas, kemudian bisa diartikan secara sederhana
bahwa qiyas adalah tindakan melakukan analogi atau perumpamaan. Sehingga
bisa didapatkan hukum dari suatu persoalan yang memang belum ada dasar
hukumnya dalam Islam. Segala sesuatu yang tidak ada di Al Quran, Al hadits,
dan tidak pernah terjadi di zaman Nabi kemudian ditentukan hukumnya
dengan ijma dan qiyas atau salah satunya. Sehingga menjadi jelas, apakah
persoalan tersebut diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.

xiii
6. Contoh Qiyas
Berhubung qiyas adalah analogi atau perumpamaan, maka contohnya adalah
menentukan hukum halal haram dari narkotika. Narkotika tidak disebutkan dalam
Al Quran dan Al hadits ,selain itu belum ada di zaman Nabi Muhammad SAW.
Maka para ulama dan ahli ijtihad kemudian menganalogikan narkotika ini sebagai
khamr (minuman yang memabukan). Sebab sifat atau efek dari konsumsi
narkotika sama atau bahkan lebih berbahaya dibanding minuman memabukan
tadi. Sehingga ditarik kesimpulan bahwa narkotika hukumnya haram.

xiv
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ijma
Secara umum, ijma menurut istilah diartikan sebagai kebulatan pendapat seluruh
ahli ijtihad sesudah wafatnya Rasullallah SAW pada suatu masa atas sesuatu
hukum syara’ (Madjid, 67). Ijma terbagi 2 macam yaitu Ijma Al-Sarih dan Ijma
Al-Sukuti.
2. Qiyas
Secara istilah qiyas adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu perbuatan yang
belum ada ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada
ketentuannya. Mayoritas ulama melakukan qiyas atas dasar perintah untuk
mengambil pelajaran atau berijtihad. Menurut jumhur ulama, qiyas termasuk
mengambil pelajaran dari suatu peristiwa. Rukun qiyas yaitu ashl, far’u, hukum
ashl, illat. Qiyas terbagi menjadi 3 yaitu qiyas illat, qiyas dalalah dan qiyas shabah

xv
DAFTAR PUSTAKA

https://penerbitbukudeepublish.com/materi/ijma-dan-qiyas/
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5787900/pengertian-qiyas-sebagai-sumber-hukum-
islam-yang-keempat

https://jurnal.iimsurakarta.ac.id/index.php/mu/article/download/25/25

http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqalam/article/download/493/429/

xvi

Anda mungkin juga menyukai