Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijtihad secara sederhana dapat dipahami sebagai serangkaikan upaya


berfikir secara optimal yang dilalui oleh sarjana hukum Islam dalam rangka
menyimpulkan hukum melalui perangkat-perangkat ilmu dan segenap
pendukungnya sebagai jawaban atas segala problem yang dihadapi masyarakat.
Ijtihad dalam hukum Islam terlahir bersamaan dengan diutusnya Rasul Saw
sebagai penyampai pesan-pesan ketuhanan dari langit. Beliau merupakan mujtahid
perdana. Ketika itu, ranah ijtihad hanya terbatas pada masalah-masalah yang
belum dijelaskan oleh wahyu. Bilamana hasil ijtihad beliau benar, maka turunlah
wahyu membenarkannya dan jika selain itu, maka wahyu pun diturunkan untuk
mengarahkan hasil ijtihad tersebut. Hal ini dapat tergambar ketika beliau
dihadapkan pada beberapa kasus baru, yang belum termuat dalam teks suci al-
qur‟an seperti kasus tawanan perang badr (QS, AlAnfal: 67), kasus pemberian izin
kepada orang yang tidak turut serta dalam perang Tabuk (QS, At-Taubah: 42-43).1

Dalam berijtihad, beliau berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama Islam


atau melalui diskusi (musyawarah) bersama para sahabat. Dari sinilah konsep
ijtihad jama‟i (kolektif) itu terbentuk. Contohnya pada masa sahabat,
sepeninggalan baginda Rasul Saw., ijtihad banyak dipergunakan sebagai acuan
dalam penyelesaikan persoalan-persoalan yang semakin kompleks seiring
perkembangan dan tuntutan zaman, realita ini terjadi karena al-Qur‟an dan hadist
juga tidak lagi bertambah sepeninggalan baginda Nabi Saw. Sementara itu
masalah-masalah terus bertambah dan memerlukan ketentuan hukum. Pada
periode inilah sumber hukum yang sebelumnya hanya dua yaitu al-Qur‟an dan al-

1
Sahal Abdul Fattah, ‘itab al-Rosul fi al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2004), h.43 dan 54.

1
Hadis bertambah menjadi tiga, yaitu al-Qur‟an, al-Sunnah dan hasil ijtihad
sahabat. Setelah generasi sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai
dengan lahirnya para mujtahid besar seperti Ibnu Syihab al-Zuhri, Umar bin
Abdul Aziz dan para pembesar ulama yang lain. Perkembangan pesat ini terus
terjadi mulai abad dua sampai empat hijriah. Masa ini dikenal dengan periode
pembukuan sunnah dan fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid handal yang
kemudian populer dengan sebutan para imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi‟I dan Imam Ahmad Bin Hambal.

Ketika itu, kawasan Islam semakin luas dan ajarannya pun semakin
mewarnai kehidupan manusia bukan hanya kehidupan bangsa arab,akan tetapi
juga „ajam atau non arab. Kondisi ini memicu timbulnya berbagai persoalan baru
yang belum tersentuh oleh teks-teks al-Qur‟an dan al-Hadits secara langsung.
Kondisi inilah yang melatari terbukanya pintu ijtihad secara luas guna mencari
solusi hukum yang belum tersentuh dengan berbagai perangkat ijtihad yang
menjadi ciri-khas masing-masing mazhab yang turut memengaruhi timbulnya
perbedaan pendapat dalam menyimpulkan hasil penalaran mereka. Imam Abu
Hanifah dan murid-muridnya misalnya yang berada di Irak, landasan hukum
mereka selain al-Qur‟an, al-Qadis, dan ijma‟, mereka juga menekankan qiyas dan
istihsan, sedang Imam Malik, selain menggunakan al-Qur‟an, al-Hadis dan ijma‟,
beliau lebih memberikan porsi pada penggalian hukum melalui metode al-
Maslahah al- Mursalah dan tradisi penduduk Madinah.2

Setelah abad keempat hijriah berlalu, perkembangan ijtihad mengalami


kebekuan. Bahkan muncul anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup rapat. Hal
ini disebabkan karena umat Islam merasa cukup dengan apa yang digagas oleh
para praktisi hukum sebelumnya. Bahkan mereka meyakini bahwa semua hukum
telah dituntaskan oleh para pendahulu mereka sehingga mereka hanya menukil
pendapat-pendapat tesebut tanpa melihat kondisi dan kebutuhan serta kesesuaian
masyarakat kala itu, sehingga penerapan hukum Islam terkesan dipaksakan.

2
Bazroh Jamhar, Konsep Maslahat dan Aplikasinya dalam penetapan Hukum Islam, (Semarang:
PPs. IAIN Walisingo,2012), cet. 1, h. 5.

2
Iklim beragama yang tidak sehat tersebut diperparah dengan tenggelamnya
para pakar hukum yang mempunyai kemampuan dan keunggulan seperti yang
dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya sehingga tidak ada lagi yang mendapat
predikat mujtahid mutlaq, yang ada hanya mujtahid yang mengikuti atau
Muntasib pendapat mazhab sebelumnya atau mujtahid yang hanya menguatkan
pendapat Imam sebelumnya tanpa melahirkan produkproduk hukum baru. Sampai
kemudian muncul kembali penggagas hukum baru melalui perangkat-perangkat
ijtihad seperti Imam al-Syȃtibi dan lain-lain yang juga mewarnai perkembangan
konsep ijtihad kontemporer yang dibangun oleh para pemikir islam seperti Imam
Abduh, Dr. Yusuf Qordowi, Dr. Wahbah Zuhaili, Dr. Ramadhan al-Buthi, Dr. Ali
Jum‟ah dan lain-lain. Mereka ini membawa harapan baru di dunia ijtihad.

Ulasan di atas, menyimpulkan bahwa tradisi ijtihad dari masa-kemasa ikut


andil dalam membangun dan merekonstruksi hukum Islam yang bersifat dinamis.
Produk ijtihad atau penelaran teks ini muncul dan mengalir sesuai perkembangan
zaman, kondisi, ruang dan situasi yang berbeda. Hal inilah yang melatari bahwa
produk hukum klasik harus direkontruksi ulang agar selaras dengan
perkembangan dan kebutuhan zaman.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dapat penulis rumuskan agar pembahasan dalam makalah ini
dapat tersusun secara lebih sistematis dan terarah adalah sebagai berikut :
1. Apa itu orientasi ijtihad?
2. Apa itu orientasi eksklusif & ekstrim?

C. Tujuan Penulisan

1. Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Fiqih Kontemporer pada Fakultas


Syari‟ah dan Hukum Semester III Universitas Negeri Sumatera Utara
(UINSU) Tahun 2023.

3
2. Sebagai inisiatif dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki
didukung oleh literatur yang relevan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Orientasi Ijtihad

Orientasi ijtihad merujuk pada pandangan atau sudut pandang yang


digunakan oleh para ahli ushul fikih dalam merumuskan definisi ijtihad. ada 2
(dua) orientasi yang dimiliki oleh para ahli ushul fikih dalam merumuskan definisi
ijtihad, yaitu:

 Orientasi pada perbuatan seorang mujtahid.

Berdasarkan orientasi ini, definisi ijtihad menitikberatkan pada usaha yang


dilakukan oleh para mujtahid, bukan pada kemampuan mereka dalam berijtihad
tersebut. Dalam hal ini, definisi ijtihad pada umumnya dimulai dengan kalimat
„mengerahkan‟ (‫ )بزل‬atau mencurahkan segalanya (‫”)إستفشاغ‬. Para ulama yang
memilih definisi dengan orientasi semacam ini antara lain adalah: Abû Bakr al-
Jashshâsh (w. 370 H), Imâm al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H), Imâm al-Ghazâli
(w.505 H), al-Fakhr al-Râzi (w. 606 H), al-Ȃmidi (w. 631 H), al-Qâdhi al-
Baidhâwi (w. 691 H), al-Kamâl ibn al-Humâm (w. 861 H), Ibn al-Najjâr al-Futûhi
(w. 972 H), dan lain-lain.

 Orientasi pada sifat seorang mujtahid.

Berdasarkan orientasi ini, ijtihad dinisbatkan sebagai suatu kemampuan dan


kemumpunian yang dimiliki oleh seseorang sehingga dengan kemampuan itu ia
dipandang layak untuk berijtihad. Oleh karena itu, definisi ijtihad berdasarkan
orientasi ini biasanya dimulai dengan kata suatu kemampuan‟ (‫”)يهكة‬.

5
Selain kedua orientasi di atas, sebagian ulama fikih berpandangan bahwa
ijtihad pada hakikatnya adalah qiyas, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imâm al-
Syâfi‟i. Namun pandangan ini secara tegas dibantah oleh Imâm al-Ghazâli, dan
beliau menyatakan bahwa ijtihad lebih umum dan lebih luas cakupannya daripada
qiyas. Orientasi pertama lebih tepat daripada orientasi kedua, dengan argumentasi
bahwa ijtihad dapat dilakukan secara parsial.

Dalam memahami orientasi Ijtihad pada masa kini, upaya yang harus
dilakukan adalah : menjadikan semua ilmu mempunyai posisi dan nilai yang sama
sebagai objek ijtihad, tidak ada dikotomi antara satu ilmu dengan ilmu yang lain.
ilmu agama tidak dianggap lebih atau kurang dari ilmu ekonomi, ilmu fisika tidak
lebih rendah atau lebih tinggi dari ilmu hukum, ilmu kedokteran tidak lebih
rendah atau lebih tinggi dari ilmu sosiologi. Demikian juga halnya dengan semua
ilmu yang ada.

Ijtihad yang relevan dengan kekinian dapat didefinisikan sebagai


pengerahan maksimal dari kesanggupan dan kemampuan seseorang yang
memiliki ilmu pengetahuan tertentu pada suatu masa untuk mengetahui kehendak
hukum syara‟ tentang suatu kasus baru atau dalam menerapkan kehendak syara‟
tersebut.3

Konsep ijtihad yang proyektif dan prospektif ini mencakup tiga aspek
penting:

1. Model kesungguhan (keahlian) yang mesti dicurahkan

Menuntut setiap mujtahid, mencurahkan segala penguasaan ilmu dan


keahliannya dalam mempraktekkan ilmu sekaligus, tidak parsial dalam dunia
nyata sehingga upaya ini tidak terkesan asal-asalan, tetapi sebagai kesungguhan
optimal dalam menjelaskan kehendak Tuhan semesta alam dan misi

3. Qutub al-Mushthafa Sanu, Al-Ijtihâd wa Mustajiddat al’-Ashr, makalah pada Seminar


Internasional (Libiya: World Islamic Call Society, 27-30 Oktober 2008), hlm. 1-7.

6
kepemimpinan Nabi saw dalam menyampaikan risalah, mengajar dan memberi
fatwa hukum.

2. Kredibilitas sosok yang berijtihad

Menuntut pribadi mujtahid sebagai pribadi yang terkendali oleh batas-


batas keilmuan yang memungkinkan dapat memahami kehendak wahyu Ilahi serta
menjadi jaminan untuk mengimplentasikan-nya dalam kehidupan nyata. Di sini
diperlukan berbagai disiplin ilmu lain yang dapat memperkaya ilmunya dan
mempertajam keahliannya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa hukum dalam
ruang dan waktu yang dihadapinya.

3. Tujuan yang akan dicapai dari model ijtihad tersebut

Yaitu sasaran dan tujuan ijtihad, menuntut bahwa seluruh potensi ijtihad,
baik yang bersifat nalar maupun teknis diarahkan untuk sampai kepada kehendak
Ilahi tentang status hukum suatu peristiwa. Aspek terakhir ini mengilhami
perlunya pembagian ijtihad ke dalam ijtihad teoritis dan ijtihad praktis yang
dinamakan sebagai ijtihad tathbîqî atau ijtihad tanzîlî.4

Berdasarkan pemikiran ulama yang berkembang, kita dapat


mengelompokkan tahapan ijtihad kepada tiga :

1) Memahami al-Qur‟an dengan menggunakan metode ijtihad bayani. Yaitu


memahami al-Qur‟an termasuk hadis dengan menggunakan qaedah
kebahasaan, qaedah ta‟lili dan qaedah istishlahi.

2) Memahami al-Qur‟an termasuk hadis Nabi dengan menggunakan


pengetahuan modern, seperti ilmu sosiologi, antropologi, science,
psikologi, ilmu komunikasi modern dan macam-macam ilmu yang
berkembang pada saat ini dan masa yang kan datang.

4
Ibid, hlm. 8.

7
3) Tahap penerapan hasil pemahaman al-Qur‟an dan hadis tersebut ke dalam
realita kehidupan nyata dengan cara pembuatan perundang-undangan dan
peraturan teknis yang diperlukan. Menurut Mukhyar Fanani, Istilah ushul
fiqh yang populer kendati tidak persis sama disebutnya dengan : Ijtihad
istinbath dan ijtihad tathbiqi.

B. Orientasi Eksklusif Dan Ekstrim

1. Orientasi Eksklusif

Orientasi eksklusif dapat merujuk pada beberapa hal yang berbeda,


tergantung pada konteksnya. Berikut adalah beberapa pengertian orientasi
eksklusif:

1. Orientasi eksklusif dalam seksualitas:

Dalam konteks seksualitas, orientasi eksklusif merujuk pada ketertarikan


seksual yang hanya terjadi pada satu jenis kelamin atau gender tertentu.
Contohnya adalah heteroseksualitas, yaitu ketertarikan seksual yang hanya terjadi
pada jenis kelamin yang berbeda, atau homoseksualitas, yaitu ketertarikan seksual
yang hanya terjadi pada jenis kelamin yang sama. Dalam konteks seksualitas,
orientasi eksklusif dapat merujuk pada ketertarikan seksual yang hanya terjadi
pada satu jenis kelamin atau gender tertentu.

2. Orientasi eksklusif dalam kepribadian:

Dalam konteks kepribadian, orientasi eksklusif merujuk pada cara seseorang


memandang dunia dan berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, model orientasi
eksklusif berdasarkan Holland menggambarkan seseorang yang cenderung bekerja
sama dengan orang lain secara tidak langsung dan lebih menyukai menghadapi
keadaan sekitarnya melalui ekspresi diri.

8
3. Orientasi eksklusif dalam bisnis:

Dalam konteks bisnis, orientasi eksklusif merujuk pada praktik yang


membatasi akses atau partisipasi orang tertentu dalam proses bisnis. Sebagai
contoh, Menkominfo Indonesia pernah menyatakan bahwa proses audit dan
auditor harus inklusif dalam proses bisnis, dan tidak boleh menerapkan orientasi
eksklusif.

Model Orientasi Eksklusif Berdasarkan Holland

Suasana jabatan hasil pembiasaan diri dari seseorang akan melahirkan model
orientasi pribadi dalam karier atau jabatan. Holland menyebutkan bahwa ada
enam model orientasi pribadi, antara lain sebagai berikut:

1) Orientasi Penerapan (praktis)

Pribadi orang ini mempunyai ciri-ciri maskulin, kekuatan otot, dan


keterampilan fisik, konkret, bekerja dengan praktis, kurang dalam keterampilan
sosial, dan kurang peka dalam hubungannya dengan orang lain.

2) Orientasi Intelektual

Pribadi orang ini mempunyai ciri-ciri bahwa dalam menghadapi problema


cenderung untuk merenungkan daripada bertindak untuk mengatasinya. Orang ini
menyukai tugas-tugas yang bersifat abstrak, mereka menganut nilai-nilai dan
perilaku yang tidak konvensional.

3) Orientasi Pelayanan

Pribadi orang ini pada umumnya cerdik bergaul dan berbicara, responsif,
mempunyai perhatian terhadap orang lain, mendapatkan dorongan, dan bersifat
religius.

4) Orientasi Pengabdian

Pribadi orang ini mempunyai kecenderungan terhadap acara ekspresi dan


numerik yang teratur dan bahagia memegang jabatan untuk mengabdi. Orang ini

9
sanggup mencapai tujuannya dengan menyesuaikan kebutuhan akan
ketergantungan pada atasan, ini tampak pada efektivitasnya melakukan tugasnya
yang terakhir.

5) Orientasi Pengaturan

Pribadi orang ini cenderung untuk memakai keterampilan-keterampilan


berbicara dalam situasi atau ada kesempatan untuk menguasai/memengaruhi
orang lain.

6) Orientasi Artistik

Pribadi orang ini cenderung bekerjasama dengan orang lain secara tidak
langsung. Orang ini lebih menyukai menghadapi keadaan sekitarnya melalui
ekspresi diri dan menghindari keadaan yang bersifat interpersonal, keteraturan,
atau keadaan yang menuntut keterampilan fisik.

Penggolongan tersebut ialah sebagai salat satu cara untuk memahami diri
dan orang lain. Bisa jadi setiap orang mempunyai bab atau unsur dari tipe
kepribadian atau orientasi jabatan tertentu, sehingga ada kemungkinan seseorang
mempunyai beberapa ciri dari banyak sekali tipe atau orientasi, namun biasanya
ada satu yang cukup menonjol.

2. Orientasi Ekstrim

Orientasi ekstrim adalah frasa yang muncul dalam beberapa konteks berbeda.
Berikut beberapa kemungkinan interpretasi:

1) Orientasi Mahasiswa Baru :

Postingan Instagram Pascasarjana UMM menyebutkan “Orientasi


Mahasiswa Baru” untuk mahasiswa pascasarjana. Ada kemungkinan bahwa
"orientasi ekstrim" bisa merujuk pada versi ekstrim atau intens dari program
orientasi ini. Di masa orientasi, para mahasiswa baru juga akan diberikan

10
pemahaman tentang visi misi universitas, nilai-nilai yang ditanamkan, program
bimbingan, dan gambaran perkuliahan. Semua aktivitas tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kesiapan mahasiswa dalam menjalani hari-harinya di jurusan
masing-masing.

2) Moderasi Beragama :

"orientasi" dalam konteks "moderasi beragama" (moderasi beragama).


Misalnya, artikel berita dari Kemenag menyebutkan “Orientasi Pelopor Moderasi
Beragama” (Orientasi Pelopor Moderasi Beragama). Dari Ditjen PHU
menyebutkan "Orientasi Penguatan Moderasi Beragama" (Orientasi Penguatan
Moderasi Beragama). Dalam kedua kasus tersebut, nampaknya "orientasi ekstrim"
bisa merujuk pada pendekatan ekstrim atau radikal terhadap keyakinan agama,
yang merupakan kebalikan dari moderasi beragama.

3) Deep and Extreme Indonesia :

Ada kemungkinan bahwa "orientasi ekstrim" bisa merujuk pada aktivitas


luar ruangan yang ekstrem atau olahraga petualangan, yang sering dikaitkan
dengan istilah seperti "ekstrim" atau "yang memicu adrenalin". Penting untuk
diingat bahwa orientasi ekstrem dapat menimbulkan konsekuensi negatif dan
harus dihindari

Berikut beberapa contoh orientasi ekstrim:

a) Penghormatan terhadap Kekuasaan dan Toleransi Kekuasaan : Ini adalah


bentuk ekstrim dari orientasi kekuasaan yang melibatkan penghormatan
berlebihan dan toleransi terhadap otoritas.
b) Perilaku Tujuan Agresif : Ini adalah bentuk ekstrim dari orientasi target di
mana individu menunjukkan perilaku agresif untuk mencapai tujuan
mereka.

11
c) Polarisasi Keyakinan Keagamaan : Ini adalah bentuk ekstrim dari orientasi
keagamaan dimana individu terpolarisasi menjadi dua kutub ekstrim.
d) Propaganda, Kesenjangan Ekonomi, dan Politik Identitas : Ini adalah
bentuk ekstrim dari orientasi nasional yang dapat menyebabkan polarisasi
dan perpecahan.
e) Mengasihani Diri Sendiri dan Menyalahkan Diri Sendiri : Ini adalah
bentuk orientasi diri ekstrem yang dapat menyebabkan emosi dan perilaku
negative.

12
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Orientasi ijtihad merujuk pada pandangan atau sudut pandang yang


digunakan oleh para ahli ushul fikih dalam merumuskan definisi ijtihad. Orientasi
pada perbuatan seorang mujtahid, orientasi pada sifat seorang mujtahid. Orientasi
eksklusif dapat merujuk pada beberapa hal yang berbeda, tergantung pada
konteksnya. Orientasi ekstrim adalah frasa yang muncul dalam beberapa konteks
berbeda.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca terutama pada dosen mata kuliah ini, agar dapat
pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya,
penulis ucapkan terima kasih.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al Husain Abu bakar, kifyatul akhyar, terj. M. Rifai‟I, dkk,(semarang: c.v.


Tohaputra, 1987), cet. II

Al- Jaziri Abdurrahman, Al-fiqh „alamadzaahibil „Arba‟ah, terj.Chatibul Umam


dan Abu Hurairah, (Jakarta: Darululum press, 1999), Cet I, Jilid 4

Al- Jaziri Abdurrahman, Al-Fiqh „ala Al-madzahib Al-Arbaah, (Beirut : Al-


Maktabah al-Tijariyah, th), Jilid I

Ariskonto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan (Jakarta: UI Press,


1989).

Al-Zuhayly Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: Remaja Rosda


Karya, 2008), Cet ke-7,

Al-Zuhayly Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ( Jakarta: Gema Insani, 2011).

Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007).

Azam Muhammad Abdul Aziz & Sayyed Hawwas Abdul Wahhab S, Fiqh Ibadah,
(Jakarta: SinarGrafika offset, 2009), Cet I

Azhar Basir Ahmad , Refleksi atas persoalan keislaman, (Bandung :Mizan, 1993)

Departemen Agama RI,al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan


Penyelenggaradan Penterjemah al- Qur‟an, 1977).

Fauzan Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Ali, Ringkasan Fikih Syaikh Fauzan, (
Jakarta: Pustaka Azam, 2006).

14

Anda mungkin juga menyukai