Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MERESUME

SEJARAH DAN KEGUNAANNYA USHUL FIQH


Reverensi buku: Ilmu Ushul Fiqh (DR. MOH. BAHRUDIN, M.Ag) 2019
“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Ushul Fiqh”

Dosen pengampu:
Dr. Hj. Umi Chaidaroh, SH, M.Hi

Disusun Oleh:
1. Halimatus Sa’diyah (2201012505)
2. M Zidhan Atamimi (2201012506)
3. Musbichin (2201012607)

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS KH. A. WAHAB HASBULLAH
2023
Ushul fiqih merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk hukum yang
dikenal dengan fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh
para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. namum dalam kenyataannya, penyusunan fiqh dilakukan
lebih dahulu dari pada ilmu fiqh. Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman tentang sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh sehingga diharapkan tidak akan mengalami
kesulitan dalam memahami pertautan antara fiqh dengan ilmu fiqh.
1. Sejarah dan latar belakang ushul fiqh
Diamika pemikiran hukum Islam abad ke-2 H tidak terlepas dari ilmu ushul fiqh, tertentut
dengan diskusi metode istinbath jurum Islam. Sementara sebagian ulama menekankan pentingnya
ruh at-tasyri' atau maqashid al-syari'ah, ulama lain menyoroti pentingnya pemahaman literal dalam
memahami makna Al-Qur'an dan Sunnah. Akan ada kekhawatiran ijtihad yang akan meningkat
sebanding dengan tingkat tinggi yang tak terkendali pikir. Kemudian, seluruh guru menjadi
terinspirasi untuk memformat “kode etik” dalam ber-istinbath. Adalah Imam al-Syafi'i yang
dianggap sebagai pionirnya. 1 Hal ini dinyatakan setelah Nabi Muhammad saw. wafat, saatnya
mengkaji dan menetapkan pokok-pokok hukum Islam dalam suatu kajian yang ternyata akan
segera berakhir, sesuai dengan ketetapan Allah swt berikut ini:
ِ ِ‫َ ٍة غَ ْْي متَ َجان‬ ْ ‫اْل ْس ََل َم ِديْ نًا فَ َم ِن ا‬
ِْ ‫ت لَ ُكم‬ ِ ِ ُ ‫ْت لَ ُك ْم ِديْ نَ ُك ْم َواَ ْْتَ ْم‬
‫ف‬ ُ َ َ ‫ف ََْ َم‬ْ ِ ‫ضطَُّر‬ ُ ُ ‫ت عَلَْي ُك ْم ن ْع َم ِِت َوَرض ْي‬ ُ ‫الْيَ ْوَم اَ ْك َمل‬

)3:‫اَّللَ غَ ُف ْوٌر َرِح ْي ٌم (املائدة‬


َّ ‫ِِلشثْ ِم فَِإ َّن‬

Artinya: Pada hari ini telah ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku cukupkan
kepadamu nikmat ku, dan telah ku ridhai islam itu jadi agama bagimu. Maka, barang siapa terpaksa
karena kelaparan tanpa segala berbuat dosa, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang. (Q.S al-Maidah: 3)
Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada permasalahan
perkembangan dan evolusi hukum Islam, yang ditandai dengan sejumlah permasalahan yang
muncul namun belum sepenuhnya terselesaikan oleh hukum-hukum Al-Qur'an. dan Sunnah.
Dalam konteks ini, para ulama sebagai ahli waris Nabi Muhammad saw waratsat al-anbiya

1
Muhammad al-Khudari Beik, Tarikh Tasyri’ al Islami (Indonesia: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1981),
hlm. 220
menurut Al-Qur'an dan Sunnah diberi kesempatan untuk berdebat dalam rangka memperjelas atau
mengubah hukum Islam.2
Oleh karena itu, ushul fiqh secara historis sejalan dengan perkembangan kegiatan ijtihad,
sejak zaman sahabat. Hanya pada periode itulah ushul fiqh sahabat masih bersifat praktis-terapan,
seperti ketika sahabat akan mengeluarkan fatwa atau menyampaikan pendirian hukum selama
proses peradilan. Ibnu Mas'ud, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan beberapa tokoh lainnya
dikenal sebagai pionir industri hukum yang selalu berkembang menjadi produk-produk baru.
Dahulu kegiatan, tata cara, dan pola ijtihad dilakukan untuk mengenalkan kajian hukum
dari Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini dikarenakan masyarakat memahami makna tema dan konteks
yang menjadi wahyu atau penampakan Nabi Muhammad SAW (asbab nuzul al-ayat dan asbab
wurud al-ahadits), serta hal-hal terkait lainnya. Sebagai contoh, para sahabat juga mempelajari
bahasa Arab, termasuk banyak kaidah, dan mereka sadar akan penggunaan huruf “lafal” dalam Al-
Quran dan Sunnah.3 Dua puluh Lebih lanjut, kondisi Islam pada saat ini sangat homogen; Islam
belum merambah ke dunia Arab, oleh karena itu belum menjalin hubungan dengan cara hidup
asing di sana. Oleh karena itu, kegiatan ijtihad pada masa itu tidak ada atau tidak memerlukan
kerangka teori ushul fiqh. Setelah hegemoni Islam berdiri, beberapa wilayah di dunia terpecah
belah.
Setelah dunia Islam meluas hingga mencakup wilayah di luar Arab Saudi dengan praktik
keagamaan dan struktur sosial yang berbeda, seperti Suriah, Irak, Palestina, dan Roma, muncullah
gerakan keagamaan baru dengan status hukum yang sulit dipastikan dari Al-Qur'an dan Sunnah. .
Untuk menjelaskan hal ini, para anggota kelompok sekarang berada dalam keadaan berijtihad;
namun, pada fase ini, pekerjaan ijtihad mereka menjadi kurang formal. Untuk mengetahui benar
atau tidaknya hasil penyelidikan tersebut, para anggota kelompok harus selalu kompak dalam
menghadapi permasalahan mendesak dan permasalahan yang menimpa banyak orang. Artinya,
hasil penyelidikan merupakan konsensus bersama (ijmak).
Alquran dan Sunah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang dapat dimengerti manusia.
Namun dalam praktiknya, jarang sekali ulama menemui kesulitan dalam memahami Al-Quran dan
Sunnah, khususnya ulama non-Arab ('ajam). Sebagai contoh, banyak ayat-ayat dalam Al-Qur'an

2
Sa’di Abu Habib, Ensiklopedi Ijmak, terj. M. Sahal Machfudz dan A. Mustofa Bisri, cet, ke 5 (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2011), hlm.xxxv.
3
Muhammad al-Hudhari Beik, UShul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1988 M), hlm. 3-4
dan Sunnah yang memiliki makna beragam sehingga memungkinkan penafsirannya berdasarkan
keadaan dan keadaan dunia Islam. Zanni dan dapat ditafsirkan nas eksistensi ini merupakan bukti
universalitas ajaran Islam, dimana pengambilan konklusi hukum berdasarkan perangkat
metodologi (thuruq al-istinbath) membutuhkan kreativitas intelektual. Menurut Al-Juwaini (478
H), 90% fatwa yang dikeluarkan para nabi dan tabi'in serta generasi selanjutnya bersumber dari
Al-Qur'an bukan dari nas-nas syarak diam. Pada dasarnya, mayoritas fatwa yang dikeluarkan oleh
para pemimpin agama selama bertahun-tahun adalah untuk produk-produk tersebut
2. Kegunaan/ Tujuan Ushul Fiqh
Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah dengan
menggunakan teori kaidah-kaidah dan ushul fiqh yang khusus berkaitan dengan dallil tertentu
sehingga menghasilkan hukum syarak yang bersumber dari dallil tersebut. Berdasarkan ushul fiqh
dan penjelasannya, maka akan dipahami nash-nash syarak dan akan dipahami hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya, beserta hal-hal apa saja yang dapat mencegah salah tafsir terhadap hukum
suci tersebut. Dalam contoh ini juga disebutkan bahwa ada beberapa kehalusan yang menjadi
menarik ketika terjadi pertentangan antara satu kata dengan kata lainnya. 4
Termasuk menetapkan metode yang paling aplikasi untuk menggali hukum dari
sumbernya terhadap sesuatu kejadian konkrit yang tidak ada nashnya, dan mengetahui dengan
dasar-dasar sempurna dan metode yang para mujtahid digunakan dalam mengambil hukum
sehingga terhindar dari taklid. Selain itu, hukum Islam mengatur metode penerapan hukum pada
kasus-kasus individual, atau taktik yang tidak dibahas secara rinci, seperti penggunaan qiyas,
istishab, dan metode lain yang sesuai.
Menurut al-Khudhari Beik, tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh berikut adalah sebagai berikut:
1. Menguraikan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mujtahid agar dapat menafsirkan hukum
syara' dengan benar.
2. Sebagai bantuan dalam memahami dan menerapkan hukum syariah melalui metode yang
dikembangkan oleh para mujtahid, guna menyikapi berbagai usulan baru yang muncul.
3. Melestarikan agama dari penggunaan sumber dan dalil hukum. Sebuah validitas kebenaran
sebuah ijtihad sebagaimana ushul fiqh.
4. Menyoroti tantangan dan kesulitan yang dihadapi para mujtahid, terlihat dari senjata yang
mereka gunakan.

4
Abdullah Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 14
5. Mengetahui kelebihan dan kekurangan suatu pendapat tertentu sehubungan dengan dalil yang
digunakan dalam suatu proses hukum, sehingga ulama dapat memilih satu dalil atau pendapat
tertentu dengan menganalisis pendapatnya.5

5
Ibid. 17

Anda mungkin juga menyukai