Abstrak
Tulisan ini membahas tentang konsep dasar dari ushul fiqih dan bagaimana
sejarah perkembangan aliran-aliran ushul fiqih mulai dari zaman Rasulullah saw sampai
kepada zaman sekarang. Tulisan ini memberikan jawaban ilmiah tentang pengertian dan
sejarah perkembangan dari aliran-aliran ushul fiqih. Untuk mengumpulkan,
menganalisis dan menafsirkan data digunakan metode studi pustaka dengan berbagai
macam sumber literatur. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa yang di maksud dengan
ushul fiqih adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada
mujtahid tentang metode-metode untuk mengambil hukum-hukum suatu perbuatan dari
dalil-dalil yang terperinci. Ilmu ushul fiqh diperlukan oleh para ahli fiqih atau orang-
orang yang mendalami sedikit atau banyak tentang fiqih. Upaya penyempurnaan ilmu
ushul fiqih terjadi pada masa sahabat dan tabi’in melalui ijtihad. Penambahan pun
terjadi terutama pada masa Imam Syafi’i yang mulai membukukan kitab ushul fiqih
yang terkenal dengan nama Ar-Risalah. Kitab inilah yang kemudian menjadi acuan para
ulama fiqih dalam berlomba-lomba untuk membukukan pemikiran ushul fiqihnya, mulai
dari perkara yang diajarkan guru Mazhab sampai kepada kasus-kasus masyarakat.
Implikasi dari ushul fiqih ini agar kita dapat memahami hukum syari'ah yang telah
menjadi dasar kebaikan agama, dan juga agar dapat memecahkan persoalan furu'iyyah
yang tidak tercatat dalam Al-qur'an dengan mengikuti kaidah dari ulama-ulama yang
berijtihad.
PENDAHULUAN
Pertanyaan paling mendasar dari suatu peristiwa yang terjadi di masyarakat yang
hukumnya tidak tertera di dalam Al-Qur'an adalah Apakah hukum mengerjakan hal
tersebut, apakah hal tersebut boleh dilakukan atau pun dilarang di dalam syariat agama
Islam. Maka diperlukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Ushul fiqih adalah ilmu untuk berijtihad dalam beberapa masalah yang hadir pada
setiap zaman, terkadang kasus-kasus yang muncul itu belum pernah ada sebelumnya
dengan kata lain yaitu masalah-masalah baru yang muncul dan belum ada hukumnya di
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Semua orang mampu berijtihad, namun berbeda antara
1
ijtihad para sahabat, para tabi’in dan begitupun para ulama. Ijtihad tersebut ditentukan
oleh kadar keilmuannya karena kadar keilmuanlah yang mampu memberi nilai dari
sebuah pendapat yang ia kemukakan, yang nantinya akan dipertanggungjawabkan , jika
ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua kebaikan, jika ijtihadnya salah maka ia
mendapatkan satu kebaikan. Artinya islam adalah agama yang penuh rahmat bagi umat
Nabi Muhammad SAW.
Ilmu ushul fiqih selalu berkembang dari zaman ke zaman, mulai dari zaman para
sahabat sampai saat ini. para mujtahid saling mengedepankan pendapat mereka selama
pendapat tersebut tidak bertentangan dengan syariah. Ada penambahan bahkan ada juga
penyempurnaan ilmu ushul fiqih. Pada ijtihad para sahabat sampai dengan para
mujtahid setelah sahabat, terutama pada masa Imam Syafi’i mulai dari membukukan
kitab ushul fiqih yang terkenal dengan nama ar-Risalah sebagai acuan para ulama fiqih
untuk menetapkan hukum-hukum baru yang timbul di masyarakat.
Kata "ushul fiqih" merupakan gabungan dari dua kata yaitu kata "ushul" dan kata
"fiqih". Kata "fiqih" berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti,
atau paham. Secara istilah fiqih adalah Ilmu tentang hukum-hukum syara' yang bersifat
amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil- dalil tafsili. Sedangkan kata "ushul"
yang merupakan jamak dari kata "ashal" ( )أصلyang secara etimologi berarti "sesuatu
yang menjadi dasar bagi yang lainnya".Ushul fiqih adalah ilmu pengetahuan tentang
kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum dari dalil-dalil yang
terperinci.1
Ushul fiqih secara istilah teknik hukum yang berarti: "Ilmu tentang kaidah-kaidah
yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara' dari dalilnya yang terinci,"
atau dalam artian sederhana adalah: "Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya".
Menurut Abdul Wahab Khallaf, ushul fikih adalah pengetahuan tentang kaidah-
kaidah dan kajian-kajian yang digunakan untuk menemukan hukum-hukum syara’ suatu
perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Abu Zahrah mengatakan bahwa ilmu ushul fikih adalah pengetahuan tentang
kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada mujtahid tentang metode-metode untuk
mengambil hukum-hukum suatu perbuatan dari dalil-dalil yang terperinci.
1
Muktar Yahya dan Fatchurrahma, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islam,(Bandung:Al-Ma’afif, 1996), h. 17
2
Seorang ulama ushul besar al- Amidi mendefinisikan ushul fiqih adalah dalil- dalil
fiqih dari segi penunjukannya kepada hukum- hukum syara’ serta bagaimana orang-
orang yang kompeten menegakkan hukum dari dalil- dalil secara global, bukan secara
spesifik (tafshili).
Menurut istilah yang digunakan oleh para ahli ushul fiqih ini, ushul fiqih itu
adalah suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat
digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at islam dari sumbernya.
Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi
sesuatu hukum, kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil
ayat-ayat Al-quran dan Sunnah Rasul yang berhubungan. dengan perbuatan mukallat,
dirumuskan berbentuk "hukum fiqh" (ilmu fikih) supaya dapat diamalkan dengan
mudah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ushul fikih juga dikatakan sebagai kumpulan
kaidah atau metode yang menjelaskan kepada ahli hukum islam (fukaha) tentang cara
menetapkan, mengeluarkan atau mengambil hukum dari dalil- dalil yurak, yakni al-
Qur'an dan Hadis Nabi atau dalil- dalil yang disepakati para ulama.
Ushul fiqih baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan
umat Islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam.
Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa
perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash,
maka lahirlah ilmu ushul fiqih, yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Ushul fiqih telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah saw. sendiri. Rasulullah
saw. dan para sahabat berijtihad dalam persoalan- persoalan yang tidak ada pemecahan
wahyunya. Ijtihad tersebut tetap dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa
persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama di kemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat
bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk
wudhu. Keduanya lalu bertayamum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat.
Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu
mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw.
dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulangi. Rasulullah bersabda:
“Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu secara mencukupi.” Kepada orang yang
berwudhu dan mengulangi shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: "Bagimu dua
pahala."
3
b. Ushul Fiqih pada masa Sahabat
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para
sahabat telah mempraktikkan ijma, qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana
hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulis dalam al-Qur'an dan as-Sunnah.
Pertama, khalifah biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama
tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli
dalam bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para
sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Kedua, sahabat
mempergunakan pertimbangan akal (ra'yu), yang berupa qiyas dan maslahah.
Penggunaan ra'yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan
untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah saw.
Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang
sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqih pada era
sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda
pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog
semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus
tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis
untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih
terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul,
belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
Pada periode tabi'in lapangan istinbath atau perumusan hukum semakin meluas
karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa
orang ulama tabi'in tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang
muncul, umpamanya Sa'id ibn Musayyab di Madinah dan Ibrahim al-Nakha'i di Irak.
Masing-masing ulama ini mengetahui secara baik ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an
dan mempunyai koleksi yang lengkap tentang hadis Nabi. Jika mereka tidak
menemukan jawaban hukum dalam Al-Qur'an atau hadis, sebagian dari mereka
mengikuti metode maslahat dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha istinbath
4
hukum yang dilakukan Ibrahim al-Nakha'i dan ulama Irak lainnya mengarah kepada
mengeluarkan 'Illat hukum dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang lama
yang baru bermunculan kemudian hari.
Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang
hidup di kalangan penduduk Madinah, sebagaimana dinyatakan dalam buku dan
risalahnya. Terlihat usahanya menolak hadis yang dihubungkan kepada Nabi karena
hadis itu menyalahi nash Al- Qur'an. Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis
dibandingkan Abu Hanifah, mungkin karena begitu banyaknya. hadis yang dia temukan.
Dalam penggunaan qiyas, ia memberikan persyaratan yang begitu berat. Tetapi di balik
itu, Imam Malik menggunakan maslahat mursalah yang tidak digunakan ulama jumhur
sebagai imbangan dari istihsan yang digunakan Abu Hanifah. Metode yang digunakan
Imam Malik dalam merumuskan hukum syara' merupakan pantulan dari aliran Hijaz,
sebagaimana metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.
Di dalam bukunya ini beliau menguraikan Al- Qur'an, penjelasan Sunnah terhadap
Al- Qur'an, dari hal ijtihad, qiyas, dan sebagaimana yang berhubungan dengan dasar-
dasar beristinbat. Karena kitab singkat tetapi merupakan kitab ushul fiqih yang pertama
dibukukan orang dan yang dapat sampai kepada kita, maka beliaulah yang terkenal
sebagai perintis ilmu ushul fiqih.
5
ada yang mengumpulkan beberapa kitab ushul fiqih dalam suatu kitab dan ada pula
yang meringkasnya. Mereka itu adalah, antara lain:
1. Imam Abu Hamid al- Gazali (wafat pada tahun 505 H) telah menyusun Kitab ushul
fiqih yang diberi nama al- Mustasfa.
2. Imam Saifuddin al- Amidi (wafat pada tahun 631 H) telah menyusun kitab yang
diberi nama Al- Ihkam fi ushûl al- Ahkam.
4. Abu Ishaq al- Syatibi (wafat pada tahun 780 H) telah menyusun kitab ushul fiqih
yang lengkap. Karya besar ini membahas qaidah-qaidah ushuliyah juga dijelaskan
maksud syar'i dalam memberikan beban kepada orang mukalaf. Padahal, pembahasan
terakhir ini mungkin pernah dibahas oleh pengarang ushul fiqih sebelumnya secara
mendalam. Kitab yang mudah menyusun bahasanya ini dan jelas tujuannya ini bernama
al- Muwafaqat.
5. Imam Muhammad bin Ali al- Syaukani (wafat pada tahun 1255 H) telah menyusun
kitab ushul fiqih dengan ringkas, namun tuntas dengan diberi nama Irsyad al- Fuhul.
6. Syaikh Muhammad al- Hudari Bik (wafat pada tahun 1345 H) juga. menyusun secara
ringkas dengan nama Ushul al- Fiqh
1. Aliran Jumhur
Aliran ini dikenal juga dengan aliran Syafi'iyah atau aliran Mutakalimin. Aliran
ini dikenal dengan aliran jumhur ulama karena merupakan aliran yang dianut oleh
mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah terutama dalam
cara penulisan ushul fiqih. Disebut aliran Asyafi'iyah karena orang yang paling utama
mewujudkan cara penulisan ushul figh seperti ini adalah Imam Syafi'i, dan dikenal
aliran Mutakalimin karena para pakar di bidang ini setelah Imam Syafi'i adalah dari
kalangan Mutakalimin (para ahli ilmu kalam), misalnya Imam al- Juwaini, al- Qadhi
Abdul Jabber, dan al- Imam al- Ghazali.
Beberapa ciri dari aliran ini adalah bahwa pembahasan ushul fiqih disajikan secara
rasional, filosofis, teoretis, tanpa disertai contoh, dan murni tanpa mengacu kepada
mazhab fiqih tertentu yang sudah ada. Kaidah-kaidah ushul fiqh mereka rumuskan tanpa
2
Mardani, Ushul Fiqih, hal. 16-18
6
peduli apakah mendukung mazhab fiqih yang mereka anut atau justru berbeda, bahkan
bertujuan untuk dijadikan timbangan bagi kebenaran mazhab fiqih yang sudah terbentuk.
2. Aliran Hanafiyah
Adalah aliran yang dikemukakan oleh kalangan ulama Hanafiyah. Disebut aliran
Fuqaha (ahli-ahli fiqih) karena dalam sistem penulisannya banyak diilustrasikan oleh
contoh-contoh fiqih. Dalam menguraikan kaidah ushul figh mereka berpedoman kepada
pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta
melengkapinya dengan contoh- contoh.
3.Aliran Campuran
1. Imam Hanafi
Imam Hanafi memiliki nama asli Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan At-Taymi,
(Abu Hanifah) lahir di Kufah, Irak pada 80 H/699 M. Di antara kitab yang masyhur dan
menjadi rujukan penting itu ialah Zhahirur Riwayat. Kitab ini berisi pendapat Abu
Hanifah mengenai masalah pokok masailul ushul yang dikumpulkan oleh murid dan
sahabatnya. kitab tersebut terdiri dari 6 kitab, yaitu Kitab al-Mabsuth, Kitab al-Jami'ush
Shaghir, Kitab al-Jami'ul Kabir,Kitab as-Sairu ash-Shaqhir, Kitab as-Sairul Kabir, dan
Kitab az-Zidayat. Selain kitab-kitab yang menghimpun pandangan Imam Hanafi
tersebut, terdapat karya lainnya misalnya saja Kitab Masa-ilun Nawadhir, al-Fatawa al-
Waqi'at, al-Musnad, al-Makharij, Fiqih al-Akbar, al-Faraidh, dan asy-Syuruth yang di
dalamnya berbicara persoalan muamalah.
2. Imam Maliki
Imam Maliki nama lengkapnya ialah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin
Abi Amir bin Amr bin Al- Haris bin Ghaiman bin Jutsail bin Amr bin Al- Haris Dzi
Ashbah, lahir di Madinah pada 93 H dan wafat pada 14 Rabiul Awal 179 H. Landasan
utama bagi mazhab Maliki adalah Kitab al- Muwaththa dan pendapat-pendapat yang
disebut samma'at atau riwayat dari Imam Malik yang diriwayatkan oleh murid-
muridnya, dalam menetapkan sumber hukum mazhab Maliki menggunakan nash (Al-
Qur'an dan sunnah rasul yang mutawattir ), zhahir nash, dalil nash (mafhum
7
mukhalafah), amal perbuatan pendudukan Madinah, Khabar ahad (yang dirawikan
seseorang), ijma', fatwa sahabat, qiyas, istihsan, syadz dari'ah (menutup jalan yang
membawa kerusakan), mura'atul khilaf (menghormati pendapat), istishab (berpegang
pada hukum semua), dan maslahah al- mursalah (syariah sebelum Islam).
3. Imam Syafi'i
Imam Syafi'i memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris asy-Syafi'i lahir di Gaza,
Palestina pada 150 H/767 M dan meninggal di Fustat, Kairo 204 H/820 M. Jika
berdasarkan jumlah penganutnya, mazhab ini merupakan mazhab terbesar nomor dua
setelah mazhab Hanafi. Karya dari Imam Syafi'i adalah Ar-Risalah dan Kitab Al Umm.
Sumber penetapan hukum mazhab Syafi'i menggunakan Al-Qur'an, sunnah rasul, ijma'
dan qiyas. Mazhab ini berada di tengah-tengah antara mazhab Hanafi dan mazhab
Maliki yang sangat kontras.
4. Imam Hambali
Imam Hambali memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin
Hilal bin Asad Al- Marwazi Al Baghdadi. Lahir pada Rabi'ul Awwal 164 H di Bagdad
dan wafat pada 12 Rabiul Awwal 241 H. Karya dari Imam Hambali ialah Kitab Al-
Musnad, Az- Zuhud, Fadhail Ahlil Bait, Jawabatul Qur'an, Al Imaan, Ar- Radd'alal
Jahmiyyah, Al Asyribah dan Al- Faraidh.
Sumber ketentuan hukum yang digunakan ialah berpegang pada kelima ushul,
yaitu nash dari Al- Qur'an dan sunah, fatwa sahabat, ijtihad sahabat yang lebih dekat
dengan Al- Qur'an dan sunnah, mengambil hadis mursal dan dhaif serta lebih
diutamakan dari qiyas.
1. Kitab Ta'sis al- Nazhar, karya Abu Zaid al- Dabbusi (w. 430 H).
2. Kitab Ushul al- Bazdawi, karya Ali bin Muhammad al- Bazdawi (w. 438 H).
8
3. Kitab Ushul al- Syarakhshi, karya Abu Bakr Syams al- Aimmah al- Syarakhshi
(w.483 H).
1. Kitab Badi' al- Nizam, karya Ahmad ibn Ali al- Sa'ati al- Baghdadi (w. 694 H) yang
menghimpun Kitab Ushul al- Bazdawi dan Kitab al- Ihkam karya al- Amidi (w. 631 H).
2. Kitab Tangihul Ushul, karya Syekh Sadrus Syariah Abdullah bin Mas'ud al Bukhari
(w. 747 H) yang diberi syarah yang berjudul al- Taudhih. Dalam kitab tersebut
menghinpun Kitab Ushul al- Bazdawi,Kitab Mashul karya al- Razi, dan Kitab
Mukhtashar karya Ibnu Hajib. Kitab Jam'u al- Jawami', karya Tajuddin Abdul
Wahhabas- Subki al- Syafi'i (w. 771 Η). d. Kitab al-Tahrir, karya Kamaluddin Ibnul
Humam (w. 861 Η).
PENUTUP
Ushul fiqih adalah Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha
merumuskan hukum syara' dari dalilnya yang terinci," atau dalam artian sederhana
adalah: "Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari
dalil-dalilnya. Perbedaan metode yang dilakukan oleh para ulama-ulama terdahulu
dalam menentukan suatu hukum, melahirkan aliran-aliran dalam ushul fiqih. Aliran
tersebut yaitu aliran Syafi'iyah, Hanafiyah dan aliran campuran. Di mana aliran-aliran
tersebut telah menghasilkan karya-karya yang begitu banyak, yang dapat di jadikan
acuan bagi para ulama masa kini dalam menghadapi persoalan di masyarakat, sehingga
memudahkan kita dalam belajar tentang ushul fiqih.
DAFTAR PUSTAKA
10