Anda di halaman 1dari 9

Mirza Adliawan : 165020307111061

Hanif Raihan : 165020300111056

RESUME BAB 1 & 2 USHUL FIQH

BAB I : PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN FIQH DAN USHUL FIQH

 PENGERTIAN FIQH

Menururt Bahasa kata Fiqih berasal dari kata “faqqaha-yufaqqihu-fiqhan” yang


berarti paham, mengerti dan ahli dalam ilmu fiqih. Adapun fiqih dalam istilah syara’,
sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Al-Jarjani dalam kitab At-ta’rifat, yaitu
fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan pembuatan
manusia yang diambil dari dalil-dalil yang jelas dan terperinci. Sementara itu,
menurut Abdul Wahab Khalaf, secara istilah fiqih adalah, kumpulan atau ketetapan
hokum syara’ yang berkenaan dalam pembuatan manusia yang dipetik dari dalil-
dalilnya yang jelas dan terperinci

Berdasarkan pernyataan dari Abdul Wahab Khalaf, dapat dipahami bahwa Fiqh itu
sesungguhnya menyangkut berbagai ketentuan hukum syara’ baik yang telah
ditetapkan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah
maupun berbagai ketetapan hukum syara’ yang ditetapkan/ dihasilkan oleh para
fuqaha’atau mujtahid lewat kegiatan ijtihad pada setiap kurun waktu

Semua ketentuan hukum syara’ ini adalah berpijak atau didasarkan kepada dalil –
dalil yang terperinci, baik sifatnya sumber – sumber yang mansus (Al-Quran dan al-
Sunnah) maupun sumber – sumber yang yang gair mansus (Ijtihad)

 PENGERTIAN USHUL FIQH

Secara Bahasa Ushul Fiqh terdiri dua unsur kata, yaitu kata “ushul” dan kata “fiqh”.
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “al-ashl” yang berarti sesuatu yang
menjadi dasar atau landasan bagi lainya.

Adapun menurut istilah yang dijelaskan oleh Muhammad al-Syaukani yaitu ushul fiqh
adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengali
(istanbat) hukum-hukum furu’ dari dalil-dalilnya yang rinci dan jelas

Terdapat 4 definisi dari Ushu Fiqh (menurut Muhammad al-Syaukani, Qutub Mustafa
Sanu, kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah) yang jika disimpulkan yaitu
merupakan alat atau sarana yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash Al-
Quran dan as-Sunnah dalam rangka menghasilkan hokum – hokum syara’. Dengan
kata lain, ushul fiqh mengandung todologi atau teori yang bukan saja memahami
hokum – hokum syara’, melainkan juga berfungsi untuk menetapkan dan
menghasilkan hokum – hokum syara’ yang bersifat furu’iyah

B. OBJEK PEMBAHASAN FIQH DAN USHUL FIQH


 OBJEK PEMBAHASAN ILMU FIQH

Objek pembahasan atau kajian ilmu fiqh ialah menyangkut perbuatan mukalaf dan
nilai – nilai hokum terkait dengannya. Adapun lingkup pembahasan terkait dengan
aspek ibadah, mu’amalah, dan ‘uqubah.
Aspek ibadah adalah menyangkut hubungan vertical antara manusia dan Allah. Aspek
ibadah ini mencakup segala persoalan yang terkait dengan urusan mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Seperti sholat, puasa, zakat, dan haji serta berbagai bentuk amal
kebajikan lainnya.

Aspek mu’amalah yang terkait dengan interaksi dan berbagai tranksaksi antar-sesama.
Misalnya hal-hal yang terkait dengan harta, jual-beli, sewa menyewa, pinjam-
meminjam, titipan syirkah, siyasah, dan masalah perkawinan.

Kemudian, dalam ilmu fiqh dibahas juga persoalan ‘uqubah, yang berkaitan dengan
tindakan pidana dan kejahatan serta sanksi-sanksinya, seperti pembunuhan, pencurian,
perampokan, kejahatan, pemberontakan, peperangan, masalah ketatanegaraan serta
hubungan antarnegara.

 OBJEK KAJIAN USHUL FIQH

Objek kajian dari ushul fiqh adalah dalil-dalil hukum. Baik dalil hukum mansus,
ghairu mansus ataupun dalil ijtihadiyah.

Dalil-dalil mansus ialah Al-Qur’an dan al-Sunnah kajiannya menyangkut berbagai


bentuk karakteristik lafaz nash, yaitu:
1) Lafaz nash dari segi bentuknya.
2) Lafaz nash dari segi cakupan maknanya.
3) Lafaz nash dari segi dilalahannya.
4) Lafaz nash dari segi jelas dan tidak jelasnya dan macam-macam dan
tingkatannya.
5) Lafaz nash dari segi penggunaannya.
6) Hukum syara’ dalam kaitannya dengan makna hukum, pembagian dan objek
serta subjek hukum.
Sedangkan dalil-dalil yang gair mansus ialah dalil-dalil yang dirumuskan berdasarkan
ijtihad ulama. Dalil-dalil tersebut sebagai berikut:
1) Al-ijma’
2) Al-Qiyas
3) Al-Istihsan
4) Al-Mashalih Mursalah
5) Al-Istishab
6) Al-‘Urf
7) Soduzzari’lah
8) Qaul Sahabi
9) Syar’u Manqablana.

C. TUJUAN MEMPELAJARI FIQH DAN USHUL FIQH


 TUJUAN MEMPELAJARI FIQH

Tujuan akhir dari mempelajari fiqh adalah sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab
Khalaf yaitu terkait dengan penerapan hukum syara’ kepada perbuatan manusia baik
perbuatan maupun perkataan. Dan juga fiqih sebagai rujukan bagi hakim dan
merupakan rujukan bagi setiap orang untuk mengetahui hukum syara’ yang berkaitan
dengan perbuatan dan perkataan. Mempelajari fiqh juga berkaitan dalam
membedakan mana yang halal dan haram, yang boleh dan yang tidak boleh.
Semuanya berkaitan dengan kepentingan manusia agar terciptanya kemaslahatan dan
ketertiban dalam kehidupan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

 TUJUAN MEMPELAJARI USHUL FIQH

. Menurut Wahba Zuhairi tujuan dan manfaatnya sebagai berikut:

1. Mengetahui kaedah-kaedah dan cara-cara yang digunakan oleh para


fuqaha atau para mujtahid dalam istinbat hukum syara’
2. Untuk memperoleh kemampuan dalam melakukan istinbat hukum dari
dalil-dalilnya terutama bagi mujtahid
3. Dan para mujtahid khususnya akan membantu mereka dalam istinbat
hukum dari dalil-dalilnya. Dan akan mampu mentarjih dan mentakhrij
pendapat para ulama terdahulu atau menetapkan hukum-hukum yang
terkait secra individu maupun kolektif
4. Merupakan suatu jalan memelihara agama dan sendi-sendi hukum syariat
beserta dalil-dalilnya.
5. Mampu menerapkan kaidah-kaidah ushul yang tidak terdapat di nash
mansus
D. SEJARAH PERTUMBUHAN FAN PERKEMBANGAN FIQH DAN USHUL
FIQH
 FIQH
Untuk mengetahui sejarah pertumbuhan fiqh maka kita dapat melihatnya secara
periodisasi dan tahapan-tahapannya.
1) Periode Kenabian
Periode ini awal dari pertumbuhan fiqh.

2) Periode Sahabat dan Tabi’ in


Periode ini ditandai dengan munculnya manhaj yang akan dapat melahirkan
rumusa-rumusan dari fiqh.

3) Periode Kodifikasi Fiqh


Periode ini merupakan masa perkembangan fiqh yang luar biasa atau yang
biasa dikenal dengan masa keemasan fiqh islam. Periode ni ditandai dengan
lahirnya ulama-ulama besar yang mempunyai cara tersendiri untuk
memecahkan berbagai persoalan hukum.

4) Periode Kemunduran
Periode ini terjadi yaitu setelah memsuki abad keempat hijriyah. Faktor yang
menyebabkan masa kemunduran ini adalah :
a. Terpolanya pemikiran hukum/fiqh kepada beberapa mazhab.
b. Hilangnya kebebasan berpikir dari kalangan ulama dan fukaha
c. Munculnya sikap taqlid yang luar biasa di kalangan madzab.
d. Adanya suatu sikap pandangan yang muncul di kalangan ulama bahwa
fiqh dan seluk beluk hukumnya sudah sempurna sehingga tidak perlu
unuk melahirkan ketentuan fiqh yang baru.

5) Periode Kebangkitan
Periode ini merupakan wujud kesadarn dari kembali bangkitnya fiqh islam.
Periode ini muncul pada akhir abad ke-13 Hijriyah atau abad ke-19 Masehi.
Kebangkitan fiqh islam kembali merupakan suatu keharusan karena pada saat
itu kita sedang memasuki abad modern sehingga banyak persoala-persoalan
baru yang belum pernah ada sebelumya.

 USHUL FIQH

Menurut Amir Syarifuddin munculnya ushul fiqh ini bersamaan dengan munculnya
ilmu fiqh, meskipun penyusunan fiqh terjadi lebih dulu disbanding ushul fiqh.
Penyusunan Fiqh sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat, yaitu pada periode
sahabat dan pada periode ini pemikiran tentang ushul fiqh juga telah ada.

Menurut para ahli baik dari kalangan islam maupun para ahli di luar islam, imam
syafi’i adalah orang pertama yang merumuskan ushul fiqh secara sistematis sehingga
ushul fiqh lahir sebagai cabang ilmu hukum Islam yang posisinya sangat sentral
dalam pemikiran hokum islam. Ia dijuluki sebagai ‘The Founding Father of Islamic
Law Theory”, yaitu bapak Ushul Fiqh.

BAB II : TENTANG HUKUM SYARA’ DAN PEMBAGIANNYA

Hukum syara' atau sering disebut dengan hukum syari'at merupakan sekumpulan
aturan yang mengatur berbagai persoalan yang berkaitan dengan perbuatan orang
mukalaf. Bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan ummat manusia baik di dunia
maupun di akhirat nanti.

 AL-HAKIM

Secara etimologi, al-hakim diartikan dengan “yang menjadi sumber lahirnya hukum
syara’”.Adapun menurut istilah, syari’, yang dimaksud dengan al-hakim adalah Allah
SWT yang menjadi sumber hukum syara’ yang berkaitan dengan semua perbuatan
orang mukalaf. Dengan kata lain pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa
kewenangan penciptaan hukum syara’ adalah Allah SWT sendiri. Persoalan yang
muncul kemudianm adalah bagaimana peran rasul dan para mujtahid dalam
melahirkan hukum-hukum syara’ yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara
dua golongan.

Golongan pertama menyebutkan bahwa pencipta hukum syara’ hanyalah Allah


semata sedangkan rasul dan para mujtahid hanya sebagai penyampai dan penggali
hukum syara’.

Sementara di golongan kedua, selain rasul dan para mujtahid menyampaikan hukum,
mereka juga menciptakan hukum yang tidak dijelaskan oleh Allah secara tekstual
dalam wahyu-Nya

Dapat dipahami bahwa peran mujtahid bukanlah pencipta hukum, melainkan hanya
melahirkan dan menggali hukum hukum dengan memperhatikan dalil dan isyarat
yang dapa dijadikn patokan dalam penetapan suatu ketetapan hukum. Karena pada
hakikatnya pencipta hukum itu hanya Allah semata.

 AL-HUKM
Secara istilah, bagaimana dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah, bahwa yang
dimaksud dengan Al-Hukm adalah adalah tuntuan syari’ (Allah) yang berkaitan
dengan perbuatan orang mukalaf, baik sifatnya mengandung perintah maupun
larangan, adanya pilihan atau adanya sesuatu yang dikaitkan dengan sebab, syarat,
atau hal yang menghaangi adanya sesuatu.
Dari pengertian diatas, terdapat 3 unsur penting yang harus dipahami. Pertama, unsur
tuntutan yang disebut dengan Iqtida’ / thalab, yaitu tuntutan kepada mukalaf untuk
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Kedua, unsur Takhyir (pilihan)
dimana syari’ memberikan dua pilihan kepada mukalaf antara berbuat dan tidak
berbuat. Ketiga, Perbuatan seorang mukalaf itu dikaitkan dengan hal hal yang
menyertainya, baik sebab, syarat, maupun sesuatau yang menghalanginya.

 PEMBAGIAN HUKUM SYARA’


1. Hukum Taklifi
Seperti dijelaskan oleh Ali Yafie, hukum taklifi menyangkut penerapan hukum
syara’. Artinya sifat taklif yaitu berupa tuntutan (thalab) untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu, baik pada tingkat mengikat (luzum) maupun ia
berupa perbuatan. Terdapat 5 macam :

1) Wajib
adanya tuntutan untuk melaksanakan perbuatan yang sifatnya mengikat
2) Sunnah
adanya tuntutan syari’ untuk melakukan suatu perbuatan yang sifatnya
tidak harus dikerjakan
3) Haram
adanya tuntutan syari’ terhadap mukalaf untuk meninggalkan suatu
perbuatan secara tegs dan mengikat.
4) Makruh
tuntutan syari’ untuk meninggalkan suatu perbuatan secar tegas dan
mengikat
5) Mubah
oleh syari’ diberikan pilihan antara melakukan dan meninggalkan
2. Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan hokum wadh’I adalah kihtab (tuntutan) syari’ yang
mengandung pengertian bahwa terwujudnya suatu perbuatan dikaitkan dengan
faktor penyebabnya (sebab), factor ketergantungannya kepada sesuatu yang lain
(syarat), atau penghalang. Ketiga factor tersebut berpengaruh terhadap sah
tidaknya suatu perbuatan. Apabila suatu perbuatan terdapat kesesuaian dengan
yang dituntut dan disyariatkan syari’, maka perbuatan tersebut hukumnya sah.
3. Makmum Fih
Mahkum fih ialah perbuatan orang mukalaf yang berkaitan dengan hukum syara’.
Esensi mahkum fih berkenaan dengan objek hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukalaf, baik kaitannya dengan tuntutan untuk berbuat, meninggalkan
larangan, maupun adanya pilíhan. Mahkum fih (perbuatan hukum) itu akan dapat
realisasinya dalam lima kategori ketentuan hukum syard yaitu wajib, sunah
(nadb), haram, makruh, dan mubah. Untuk melihat lebih jauh bagaimana esensi
dari mahkum fih ini, menurut Abdul Wahab Khalaf paling tidak diperlukan tiga
syarat yang harus diperhatikan :
1) Sebuah perbuatan harus diketahui dengan betul oleh mukalaf dan ia
mampu melaksanakan perbuatan tersebut sesuai tuntutan
2) Mukalaf mengetahui sumber perbuatan berasal dari pihak yang
mempunyai otoritas pemberi beban atau pihak yang wajib di patuhi aturan-
aturannya
3) Perbuatan dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukalaf. Dalam konteks
ini, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, tidak sah memberikan
hal yang tidak mungkin

4. Makmum ‘Alaih
Ialah orang mukalaf yang dibebani hukum syara’atau disebut subjek hukum.
Diperlukan 2 syarat berikut :
1. Bahwa mukalaf harus memiliki kesanggupan untuk memiliki khitab Allah
yang dibebankan atas dirinya.
2. Orang mukalaf itu mempunyai kemampuan untuk menerima pembebanan
hukum (taklif). Memiliki kemampuan untuk menerima taklif ini dapat
dibedakan menjadi 2 macam:
a. Ahliyatul wujub, yaitu kemampuan menerima hal dan kewajiban.
b. Ahliyatul ada', yaitu kecakapan bertindak.

1). Hubungan manusia dengan Ahliyatul wujub


a. ketika ahliyatul wujub tidak sempurna, hanya bisa menerima hak tanpa
memenuhi kewajiban. Misalnya seperti janin yang belum bisa melakukan apapun
b. ketika ahliyatul wujub sempurna, bisa menerima hak serta memenuhi
kewajiban. Melekat selama masih hidup
2). Hubungan manusia dengan Ahliyatul ada’

a. Ketika tidak memiliki Ahliyatul ada’, seperti orang gila dan anak kecil
b. Ketika Ahliyatul ada’ yang dimiliki tidak sempurna, seperti anak mumayiz
(belum dewasa dan lemah kemampuan akalnya). Jika mumayiz melakukan
transaksi, sah atau tidaknya dilihat dari tiga sisi:
• Dalam hal transaksi yang mengandung manfaat seperti hibah, shadaqah adalah
sah tanpa perlu izin dari walinya
• Dalam hal transaksi yang berhubungan dengan hak milik, maka tidak sah
sekalipun terdapat izin dari walinya
• Dalam hal transaksi yang mengandung manfaat dan mengandung unsur
pemindahan hak milik, sah jika mendapatkan izin dari wali dan tidak sah jika
tidak mendapat izin dari wali

c. Ahliyatul ada’ sempurna, dimiliki oleh orang dewasa dan berakal. Dewasa
disini berarti sudah cukup umur atau telah datang bulan (bagi perempuan) dan
mimpi basah (bagi laki-laki)

Hal yang menghalangi kecakapan bertindak dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu bersifat samawiyah (luar kemampuan dan kehendak manusia) dan kasabiyah
(dari manusia sendiri). Dalam Ushul fiqh disebut dengan "awarid ahliyah." Yang
menghalangi kecakapan bertindak seseorang itu dapat dibedakan kepada 2
macam, yaitu yang bersifat samawiyah dan kasabiyah.
Yang termasuk dalam kategori ini (samawiyah) adalah sebagai berikut:
a. Keadaan belum dewasa (anak anak)
b. Sakit gila
c. Kurang akal
d. Tertidur
e. Lupa
f. Sakit
Sedangkan yang termasuk dalam kategori kasabiyah yaitu:
Boros, mabuk karena meminum arak, bepergian, lalai, bergurau, bodoh, terpaksa.
Dalam praktiknya, dilihat dari segi ahliyatul wujub dan ahliyatul ada', 'awarid ini
pasti akan ditemui dalam kehidupan manusia, baik yang sifatnya samawiyah
maupun Kasabiyah.

Anda mungkin juga menyukai