Anda di halaman 1dari 11

Review Buku Ilmu Ushul Fiqih

Mia Permatasari

41182911210051

miapermatas26@gmail.com

Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Semester 4

Universitas Islam 45 Bekasi

Judul Buku : Ilmu Ushul Fiqih

Pengarang : Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i M.A.

Penerbit : Cv Pustaka Setia

Tahun Terbit : 2021

A. PENDAHULUAN
Buku ini mengantar para pengakaji ilmu ushul fiqih untuk mengawali diri
meniti karir sebagai mujtahid, atau sebagai peminat studi ushul fiqih. Buku ini
menyajikan jalan yang mesti dilalui oleh mereka yang berminat menjadi pakar hukum
islam . Dengan diterbitkan nya buku ini diharapkan para mahasiswa dapat memahami
secara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang dikaji dalam
ushul fiqih
Buku ini memiliki jumlah halaman sebanyak 356 dan terdapat 7 bab yaitu :
Pendahuluan yang menjelaskan ushul fiqih dan sejarah perkembangannya. Sumber
hukum, yakni Al-Quran, Sunnah, Ijma' dan Qiyas atau analogi Metode Ijtihad yang
meliputi penjelasan tentang ijtihad, ihtishan al-maslahah al-mursalah, al-ishtihab,
al-'urf, al-dzari'ah, madzhal shahabi, sya'man qablana.Qaidah-qaidah ushuliyah, lafadz
dan dalalahnya, ta'wil, khash amm, amar, nahyi, muthlaq, muqayyad, manthuq, dan
mafhum.Ta'arud al-adillah, yakni pertentangan dalil-dalil dan penyelesaiannya serta
menjelaskan nash dan tarjih. Qaidah-qaidah fiqih dan cabang-cabangnya.Unsur-unsur
hukum yang meliputi konsep-konsep hakim, mukallat perbuatan hukum, dan hukum
itu sendiri.
Penulis mengharapkan buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang ingin
mempelajari mengenai ushul fiqih.
B. ISI BUKU
1. Ushul Fiqih
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqh dapat dilihat dari dua aspek : Ushul
Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Usul Fiqih sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama,
Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang
masing-masing memilikipengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagal
"fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan" Adapun menurut istilah, ashl
mempunyai beberapa arti berikut ini :
1) Dilil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul Fiqij bahwa ashl
dari wajib nya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasul.
2) Qoidah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi yang artinya "Islam itu
didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).
3) Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih, yang artinya
"yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakimatnya" Maksudnya,
yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan
tersebut.
4) Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama
tidak ada dalil yang mengubahnya.
5) Far'u (cabang), seperti perkataan ulama ushul yang artinya Anak adalah cabang dari
ayah

Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai


pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah
(uahuliah) maupun amaliayh (furu'ah). Ini berarti fiqih sama dengan pengertian syari'ah
Islamiyah. Definisi pertama menunjukan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang berusaha
menjelaskan hukum. Sedangkan definisi kedua fiqih dipandang sebagai hukum. Pada
umumnya, dalam memberikan pengertian fiqih, ulama menekan kan bahwa fiqih adalah
syariat yang diambil dari dalilnya.

Dengan demikian, Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum
atau sumber hukum dengan semua seluk-beluknya dan metode pengaliannnya.

Objek Kajian Ushul Fiqih :

Dari definisi Usul Fiqib di atas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian Ushul Fiqih
secara garis besarnya ada tiga :

1) Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.


2) Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
3) Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua sumber
permasalahannya.

Perbedaan Ushul Fiqih dengan fiqih

Dari keterangan di atas, dapat terlihat dengan jalas bahwa Ushul Fiqih merupakan
timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya slalu dalil hukum, sementara
objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya.

Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqih

Secara rinci ushul Fiqih berfungsi sebagai berikut:

1) Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama


muntahid dalam menggali hukum.
2) Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid agar mampu
menggali hukum syara' secara tepat, sedangkan bagi orang awam supaya lebih
mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah
mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berjihad.
3) Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang
dikerkembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai
persoalan baru.
4) Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil dengan berpedoman
pada Ushul fiqih, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui syara.
5) Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan
berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
6) Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang
mereka gunaka. Dengan demikian, para peminat hukum Islam (yang belum mampu
berijtihad) dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alasan-alasan yang
tepat.

Sumber Pengambilan Uskni Fiqih

Dari definisi (pengertian) Ushul Fiqih di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber
pengambilan Ushul Fiqih itu berasal dari :

 Ilmu Kalam (theologi)


 Ilmu Bahasa Arab
 Tujuan syara (maqashid Asy-syari'ah)

Sejarah Perkmebangan Ushul Fiqih

Pada materi sejarah perkembangan ushul fiqih ini di bagi menjadi 6 poin inti yakni :
pendahuluan, pembukuaan ushul fiqih, tahapan-tahapan perkembangan ushul fiqih, pada
tahapan perkembangan ini terbagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap awal, tahap perkembangan
dan tahap penyempurnaan, Pengaruh manthiq Aristo dalam perkembangan Ushul Fiqih,
Peranan Ushul Fiqih dalam Pengembangan Fikih Islam, Aliran-Aliran Ushul Fiqih

2. Sumber -Sumber Hukum Islam


Pada sumber-sumber hukum islam ada 4 yaitu : Al-Qur’an, Sunah, Ijma, dan Qiyas.

Al-Quran

Menurut sebagian besar ulama, kata Al-Qur'an berdasarkan segi bahasa merupakan
bentuk mashdar dari kata qara'a yang bisa dimasukan pada wajan fu'lan, yang berarti
bacaan atau apa yang tertulis padanya, maqru.

Para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al-Qur’an, antara lain
sebagai berikut :

1) Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi


Muhammad SAW.
2) Bahasa Al-Qur’an adalah Bahasa Arab Quroisy.
3) Al-Qur’an itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara
mutawatir (di tuturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai
sekarang, mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan
dan penggantian satu katapun.
4) Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapatkan pahala dari Allah,
baik bacaan itu berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari
mushaf Al-Qur’an.
5) Al-Qur’an dimulai dari Surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Selanjutnya ada kehujjahan Al-Qur'an menurut pandangan ulama imam mazhab, ada
beberapa pandangan ada dadi pandangana iman hanifah, pandnagan imam malik,
pandangan imam asy-syafi'i, pandnagan imam ahmad ibnu hambal.

Kemudian selanjutnya ada Petunjuk (Dilalah) Al-Qur'an. Kaum muslimin sepakat


bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara' Mereka pun sepakat bahwa semua ayat
Al-Quran dari segi warud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath'i. Hal ini
karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada
sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya, yang tidak ada
pada qira'ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-
Quran yang didengar dari Nabi SAW atau hasil ijtihad mereka dengan jalan membawa
nash mutlaq pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri. Nash ada dua yaitu nash
yang qath'i dilalah-Nya dan nash yang zhanni dilalah-Nya.

Sunah

Arti sunah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang
senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW yang artinya : "Barang siapa
yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan
pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya".

Secara terminologi, pengertian sunah bisa dilihat dari tiga disiplin yaitu :

 Ilmu Hadis, para ahli hadis mengidentifikasi sunag dengan hadis, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan,
perbuatan, maupun ketetapannya.
 Ilmu Ushul Fiqih, menurut ulama ahli Ushul Fiqih, sunah adalah segala sesuatu
yang diriwayatkan dari Nabi SAW. berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan
yang berkaitan dengan hukum.

Kehujjahan Sunah dan Pandangan Ulama Madzhab Hadis Ahad

Para ulama sepakat bahwa hadis sahih itu merupakan sumber hukum, namun
mereka berbeda pendapat dalam menilai kesahihan hadis. Kebanyakan ulama hadis
menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, hadis itu terbagi dalam mutawatir dan
ahad, sedangkan Hadis Ahad itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : masyhur, aziz
dan gharib. Namun menurut Hanafiyah hadis itu terbagi tiga bagian yaitu : mutawatir,
masyhur, ahad.

Dilalah (petunjuk) Sunah

Ditinjau dari segi petunjuknya (dilalah), hadis sama dengan Al-Qur’an yaitu
Qath’iah dilalah dan bisa Zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang
qath’I dan ada yang zhanni. Dalam kaitannya antara nisbat As-Sunah terhadap Al-
Qur’an, para ulama telah sepakat bahwa As-Sunah berfungsi menjelaskan apa yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat mengenai kedudukan As-Sunah terhadap Al-Qur’an apabila As-Sunah itu
tidak sejalan dengan Zhahir ayat Al-Qur’an.

Kedudukan sunah terhadap Al-Qur’an

Sunah merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Karena Sunah


merupakan penjelas dari Al-Qur’an, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi
dari pada yang menjelaskan. Namun demikian kedudukan Sunah terhadap Al-Qur’an
sekurang-kurangnya ada tiga hal berikut ini :
1) Sunah sebagai Ta’kid (penguat) Al-Qur’an
2) Sunah sebagai penjelas Al-Qur’an
3) Sebagau Musyar’I (Pembuat Syari’at)

Ijma

Definisi Ijma menurut bahasa terbagi dalam dua arti: Bermaksud atau berniat dan
kesepakatan terhadap sesuatu. Ijma' Menurut Istilah Ulama Ushul Para ulama ushul
berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma' menurut istilah, di antaranya:

 Pengarang kitab Fushalul Bada'i berpendapat bahwa ijma itu adalah kesepakatan
semua mujtahid dari ijma umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah
beliau wafat terhadap hukum syara.
 Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma adalah
kesepakatan mujtahid suatu masa dari Ijma' Muhammad SAW terhadap masalah
syara (Al-Ghifari)

Syarat-Syarat ijma yaitiu Yang bersepakat adalah para mujtahid, para mujtahid harus
umat Muhammad SAW, Dilakukan setelah wafat nabi, kesepakatan mereka harus
berhubungan dengan syari'ar. Macam-macam Ijma yaitu : ijma sharih dan ijma sukuti,
Ijma Sharik Maksudnya semua Mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-
masing kemudian menyepakati salah satunya. Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid
berkumpul disuatu tempat, kemudian masing-masing, mengeluarkan pendapat terhadap
masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Ijma Sukuti adalah pendapat
sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi
mereka diam tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.

Qiyas

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyemaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama Ushul Fiqih memberikan definisi
yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dalam
Istinbath hukum. Dalam hal ini mereka terbagi dalam dua golongan yaitu :Golongan
Pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan
mujtahid. Sebaliknya menurut Golongan Kedua, Qiyas merupakaan ciptaan Syari, yakni
merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat
syari sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.

Rukun Qiyas

Dari pengertian Qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur
pokok (rukun) qiyas terdiri dari empat unsur yang berikut :

 Ashl (pokok), yaitu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan Ashl
menurut hukum teolog adalah suatu nash syara yang menunjukan ketentuan
hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum.
 Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Far’u itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis
(yang dianalogikan) dan masyabbah (yang diserupakan).
 Hukum Ashl, yaitu hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash.
 Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl
mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang sehingga
hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.
3. Metode Ijtihad
Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al juhd, yang berarti
al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqar (kesanggupan dan
kemampuan). Kata al-jahd beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Ijtihad adalah
masdar dari fill madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta' pada kata ja-ha-da
menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a'-la berarti "usaha ita lebih sungguh-sungguh".
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seoaramg taqih
(pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui
dalil syara (agama). Dalam istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan
bahkan para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu bis dilakukan di bidang fiqih.
Tingkatan Mujtahid ada 5 yaitu : mujtahid mustaqil, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil,
mujtahid muqayyad/mujtahid takhrij, mujtahid tarjih, mujtahid fatwa.

Dasar Hukum Ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber
hukum islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik
melalu pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat lainnya.

 Firman Allah SWT


 Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad.
Macam-macam Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad.
Imam Syafi’I menyamakan Ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama tetapi maksudnya
satu. Dia tidak mengakui Ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah
mursalah. Sementara itu para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas terhadap
ijtihad. Menurut mereka ijtihad mencakup Ra’yu, Qiyas, dan Akal.
Berdasarkan pendapat tersebut Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga
bagian yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-
Munawafaqat yaitu:
 Ijtihad Al-Batani, yaitu untuk menjelaskan hukum-hukum syara dan nash.
 Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan Ash-Sunah dengan menggunakan metode Qiyas.
 Ijtihad Al-Istihlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan Ash-Sunah dengan menggunakan Ra’yu berdasarkan
kaidah istishl

Syarat-syarat Ijtihad

Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad yang


harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara
umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan
sebagai berikut :

1) Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hokum yang terdapat dalam Al-
Qur’an baik menurut bahasa maupun syari’ah.
2) Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut
bahasa maupun syari’at.
3) Mengetahui nasakh dan mansukh dari AL-qur’an dan Ash-Sunah, supaya
tidak salah dalam menetapkan hokum, namun tidak diisyaratkan harus
menghapalnya.
4) Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma ulama,
sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma.
5) Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta mengistibathnya
karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6) Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan
dbahasa, serta berbagai problematikanya.
7) Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
8) Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum,
karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-
Syari’ah atau rahasia disyariatkannya suatu hukum.

Istihsan

Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-


hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. (Kamus Lisan al-Arab). Menurut
Istilah ulama ushul, istishan adalah sebagai berikut ini :

 Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz 1 137, "Istihsan adalah


semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya."
 Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, "Istihsan adalah suatu
keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari
Al-Quran dan As-Sunah."
 Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, "Istihsan adalah
pengambilan suatu kemaslahahan yang bersifat juz'i dalam menanggapi dalil
yang bersifat global."
 Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, Istihsan adalah perbuatan adil
terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain,
karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.

Kehujahhan Istihsan dan pendangan para ulama. Terdalat 5 ulama, yaitu ulama
hanafiyah, ulama malikiyah, ulama hanabilah, ulama syafi'iyah

Al-Maslahah Al-Mursalah

Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazh al manfa'at, baik
artinya ataupun wajan (timbangan kata) ,yaitu kalimat masdar yang sama artinya
dengan kalimat ash-shalah seperti halnya lafazh al manfa'at sama artinya dengan al-
nuf'u. Dengan demikian, al-Maslahah al-Marsalah adalah suatu kemaslahatan yang
tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu
kejadian yang tidak ada ketentuan syari'at dan tidak ada illat yang keluar dari syara
yang menentuka kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu
yang sesuai dengan hukum syara, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan
pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan santu manfaat, maka kejadian
tersebut dinamakan al-Maslahah al-Mursalah Tujuan utama al-Maslahah al-Mursalah
adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga
kemanfaatannya.

Objek Al-Maslahah Al-Mursalah

Dengan memperhatikan beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa


lapangan Al-Maslahah Al-Mursalah selain yang berlandaskan pada hukum syara
secara umum juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan
yang lainnya. Lapangan tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai
kemaslahatan. Dengan demikian, segi ibadah tidak termaksud dalam lapangan
tersebut. Yang dimaksud segi peribadahan adalah segala sesuatu yang tidak memberi
kesempatan kepada akal untuk mencari kemaslahatan juznya dari setiap hukum yang
ada didalamnya.
Istishhad Sebagai Dalil

Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.


Sedangkan menurut Ulama Ushul adalah menetapkan sesaat menurut keadaan
sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut
keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. Oleh sebab itu,
apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang
tidak ditemukan nash-nya dalam Al-Quran dan As-Sunah, juga tidak ditemukan dalil
syara' yang mengitlak-kan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh.

'URF

Arti 'urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan
yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Di kalangan masyarakat 'urf ini sering disebut sebagai adat.
Pengertian di atas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara. Di antara
contoh 'urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia
tentang jual beli tanpa mengucapka shigat. Sedangkan contoh uf yang bersifat ucapan
adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal ol-walad atas anak laki-laki buka
perempuan, dan juga tentang meng-itlak-kan lafazh al-lahm yang bermakna daging
atas asamak yang bermakna ikan tawar. Macam-macam 'urf, Urf terdiri dari dua
macam, yaitu 'urf sahih dan 'urf fasid (rusak). 'Urf sahib adalah sesuatu yang telah
saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan syara, tidak
menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Adapun 'urf fasid,
yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara,
atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling
pengertian di antara manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara
kelahiran anak, juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi.

Dzari'ah

Pengertian dzari'ah ditinjau dari segi bahasa adalah "jalan menuju sesuatu" .
Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari'ah dengan sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat
tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnu Qayyim Aj-
Jauziyah yang menyataka bahwa dzari'ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang
dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari'ah
itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzariah (yang dilarang), dan fath Adz-
dzari'ah (yang dianjurkan).

4. Qaidah-Qaidah Ushuliyyah
Qaidan Ushuliyyah
Dalil syara' itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan
mujmal) dan ada yang hanya ditujukan bagi suatu hukumn tentu dari suatu cabang hukum
tertentu pula. Dalil yang bersifat mayeluruh itu disebut pula qaidah ushuliyyah. Dari
pengertian Ushul Fiqih yang telah dikemukakan di atas terkandung maksud bahwa objek
bahasan Ushul Fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan qoidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan
untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan
dalalah lafazh atau kebahasaan.

Lafazh Dan Dalalahnya

Untuk menggali hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas dari pembahasan
kebahasaan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut
lafazh. Suata lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan tidak mempunyai kemungkinan
makna lain disebut mubayyum atau nash. Bila mempunyai dua makna atau lebih tanpa
dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut mujmal. Namun, bila diketahui makna
yang lebih teges dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian, yang disebut
mujmal adalah satu lafadz yang cocok untuk berbagai makna, tetap, tidak ditentukan
makna yang dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya
(Al-Ghazali 145).

Takwil ( Muawwal)

Secara Etimologi takwil berarti At-Tafsir, Al-Marja, Al-Mashir. Dengan demikian


pendapat Abu Ubaidah Ma'mar bin Al-Matsani dan keterangan yang dikemukakan oleh
Abu Ja'far Al-Thabary. Pengertian ini diambil dari hadits yang berarti "Barang siapa yang
puasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak puasa dan tidak ada balasan nya" Secara
TerminologiPara ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan takwil secan
terminologi. Para ulama salaf mendefinisikan takwil antara lain sebaga berikut :

 Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mashfa (Al-Ghazali, 1977, mendefinikan :


Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna
dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan
menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukan oleh lafadz
zharir.
 .Imam Al-Armudi dalam kitab Al-Mustashfa, mendefinisikan : "Membawa
makna lafazh zhahir yang mempunyai inhitmal (probabilitas) kepada makna
lain yang didukung dalil.

Kaum muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan definisi yang


dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih, yaitu: Menurut Wahab Khalaf : Memalingam
lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil Menurut Abu Zarhah: (Abu Zarhah 130) ,
mendefiniskan : Takwil adalah mengeluarkan lafah dari artinya yang zhahir kepada makna
lain, tetapi bukan zhahir-nya.

KHASH

Para ulama hul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada
hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian Definisi yang dapat dikemukan di sini,
antara lain: Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma'lum)
dan manunggal. Dan menurut Al-Bazdawi, definisi khash adalah setial lafadz yang yang
dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang
(musytarak). Dengan definisi di atas, ia mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari
bagian lafadz khash, dan bukan pula bagian dari lafazh 'amm.Pendapat ini dipegang pula
oleh sebagian ulama Syafi'iyah. Cara petunjuk lafadz atas satu arti ini bisa dalam berbagai
bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanum dipasangkan pada hewan berpikir, atau
berbentuk spesies (nau'un), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual
yang berbeda-beda tetapi terbatas bilangan angka-angka (3, 5,100, dan seterusnya).

'Amm

Pembahasan lafazh 'amm dalam ilmu Ushul Fiqih mempunyai kedudukan tersendiri,
karena lafah 'amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat
ulama dalam menetapkan hukum. Di lain pihak, sumber hukum Islam pun, Al-Quran dan
Sunah, dalam banyak hal memakai lafadzh umum yang bersifat universal. Lafazh 'amm
ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang
tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama Ushul Fiqih memberikan definisi 'amm
antara lain sebagai berikut:
 Menurut ulama Hanafiyah: "Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik
secara lafazh maupun makna(Al-Bazdarm 1:33)
 Menurut ulama Syafi'iyah, di antaranya Al-Ghazali :Satu lafazh yang dari
satu segi menunjukkan dua makna atau lebih
 Menurut Al-Bazdawi : lafadzh yang mencakup semua yang cocok untuk
lafadzh tersebut dengan satu kata

Amr (Perintah)

Menurut Jumbur ulama Ushul, definisi amr adalah lafadzh yang menunjukkan
tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Definisi di
atas tidak hanya ditujukan pada lafazh yang memakai sighat amr, tetapi ditujukan pula
pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimar perintah tersebut
terkadang menggunkan kalimat majazi (samar).

Nahyi (Larangan)

Menurut ulama ushul, definisi nahyi adalah kebalikan dari amr yakni lafadz yang
menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari
atasan kepada bawahan. Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga
dapat digunakan dalam berbagai arti. Makna Shighat Nahyi Para ulama ushul sepakat
bahwa hakikat dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa
beralih makna, kecuali bila ada suatu qarinah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang
hakikat tuntutan untuk meninggalkan larangan tersebut, apakah hakikatnya untuk tahrim,
karahah, atau untuk keduanya.

5. Taarud Al-Adhillah, Naskh, Dan Tarjih


Tu'rud al-adillah

Kata ta 'rud, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-adilah adalah bentuk
jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil. Adapun secara terminologi,
para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta'rud al-adillah di antaranya :

 Menurut Imam Asy-Syaukani, ta'rud al-adillah adalah suatu dalil yang


menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan,sedangkan dalil lain
menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-Syaukani 242)
 Menurut Kamal Ibnu Al-Human dan At-Taftazani, ta'r ud al-adillah adalah
pertentangan antara dua alil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara
keduanya (At-Taftazai 103)
 Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta'rul al-adillah adalah terjadinya pertentangan
hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil
lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat (All Hasaballah 334)

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa persoalan ta'rud al-adillah dibahas oleh
para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil, atau antara satu dalil dengan dalil
lainnya secara zhahir pada derajat yang sama.

Nasakh

Para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi
kriteria berikut ini: (Tajuddi 50)

 Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara' yang mengandung hukum dari
Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa
berlaku hukum yang di sebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
 Yang dibatalkan adalah syara yang disebut mansukh (yang dilsapus)
 Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istitsna
(pengecualian) tidak disebut nasakh.

Tarjih

Secara etimologi, tarjih berarti "menguatkan", sedangkan secara terminologi, ada dua
definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih.

Menurut Ulama Hanafiyah: "Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu
dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri. Menurut
Jumbur Ulama : Menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnnya untuk diamalkan
(ditetapkan) berdasarkan dalil tersebut.

C. PENUTUP
Sebagai pembaca, kita pasti ingin membeli buku yang berkualitas. Meskipun relatif,
kata yang baik ini dapat dipahami dari beberapa aspek umum, terutama bahasa yang
digunakan, struktur tulisan, kegunaan bagi pembaca, dan analisis penulis. Rincian berikut
berkaitan dengan aspek-aspek buku yang sedang diulas.
Dengan membaca buku ini, kita tahu bahwa bahasa yang digunakan cukup mudah
dipahami, meski ada beberapa kata yang sulit dipahami. Buku ini juga ditulis secara
sederhana, ringkas, dan sistematis hingga ke pokok-pokok yang esensial. Saya kira masih ada
materi yang belum dijelaskan, membuat pembaca bingung dan mencari artinya di sumber
lain.
Pembaca harus memilih buku atau referensi yang ingin mereka baca. Sulit untuk
menjadi sangat pemilih. Selektivitas membutuhkan kecerdasan dan pengetahuan. Menjadi
selektif membutuhkan waktu dan usaha, serta keberanian dan kebijaksanaan. Tetapi dengan
selektivitas kita mencapai kepuasan batin dan kemenangan.
Buku ilmu ushul fiqih dapat dijadikan sebagai sumber bagi mahasiswa. Buku ini
bermanfaat bagi mereka yang ingin mempelajari dan memahami apa yang dibahas dalam
bidang ushul-fiqh. Buku ini juga sangat bagus dan juga memiliki harga yang baik. 

Anda mungkin juga menyukai