Mia Permatasari
41182911210051
miapermatas26@gmail.com
A. PENDAHULUAN
Buku ini mengantar para pengakaji ilmu ushul fiqih untuk mengawali diri
meniti karir sebagai mujtahid, atau sebagai peminat studi ushul fiqih. Buku ini
menyajikan jalan yang mesti dilalui oleh mereka yang berminat menjadi pakar hukum
islam . Dengan diterbitkan nya buku ini diharapkan para mahasiswa dapat memahami
secara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang dikaji dalam
ushul fiqih
Buku ini memiliki jumlah halaman sebanyak 356 dan terdapat 7 bab yaitu :
Pendahuluan yang menjelaskan ushul fiqih dan sejarah perkembangannya. Sumber
hukum, yakni Al-Quran, Sunnah, Ijma' dan Qiyas atau analogi Metode Ijtihad yang
meliputi penjelasan tentang ijtihad, ihtishan al-maslahah al-mursalah, al-ishtihab,
al-'urf, al-dzari'ah, madzhal shahabi, sya'man qablana.Qaidah-qaidah ushuliyah, lafadz
dan dalalahnya, ta'wil, khash amm, amar, nahyi, muthlaq, muqayyad, manthuq, dan
mafhum.Ta'arud al-adillah, yakni pertentangan dalil-dalil dan penyelesaiannya serta
menjelaskan nash dan tarjih. Qaidah-qaidah fiqih dan cabang-cabangnya.Unsur-unsur
hukum yang meliputi konsep-konsep hakim, mukallat perbuatan hukum, dan hukum
itu sendiri.
Penulis mengharapkan buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang ingin
mempelajari mengenai ushul fiqih.
B. ISI BUKU
1. Ushul Fiqih
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqh dapat dilihat dari dua aspek : Ushul
Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Usul Fiqih sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama,
Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang
masing-masing memilikipengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagal
"fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan" Adapun menurut istilah, ashl
mempunyai beberapa arti berikut ini :
1) Dilil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul Fiqij bahwa ashl
dari wajib nya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasul.
2) Qoidah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi yang artinya "Islam itu
didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).
3) Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih, yang artinya
"yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakimatnya" Maksudnya,
yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan
tersebut.
4) Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama
tidak ada dalil yang mengubahnya.
5) Far'u (cabang), seperti perkataan ulama ushul yang artinya Anak adalah cabang dari
ayah
Dengan demikian, Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum
atau sumber hukum dengan semua seluk-beluknya dan metode pengaliannnya.
Dari definisi Usul Fiqib di atas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian Ushul Fiqih
secara garis besarnya ada tiga :
Dari keterangan di atas, dapat terlihat dengan jalas bahwa Ushul Fiqih merupakan
timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya slalu dalil hukum, sementara
objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya.
Dari definisi (pengertian) Ushul Fiqih di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber
pengambilan Ushul Fiqih itu berasal dari :
Pada materi sejarah perkembangan ushul fiqih ini di bagi menjadi 6 poin inti yakni :
pendahuluan, pembukuaan ushul fiqih, tahapan-tahapan perkembangan ushul fiqih, pada
tahapan perkembangan ini terbagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap awal, tahap perkembangan
dan tahap penyempurnaan, Pengaruh manthiq Aristo dalam perkembangan Ushul Fiqih,
Peranan Ushul Fiqih dalam Pengembangan Fikih Islam, Aliran-Aliran Ushul Fiqih
Al-Quran
Menurut sebagian besar ulama, kata Al-Qur'an berdasarkan segi bahasa merupakan
bentuk mashdar dari kata qara'a yang bisa dimasukan pada wajan fu'lan, yang berarti
bacaan atau apa yang tertulis padanya, maqru.
Para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al-Qur’an, antara lain
sebagai berikut :
Sunah
Arti sunah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang
senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW yang artinya : "Barang siapa
yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan
pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya".
Secara terminologi, pengertian sunah bisa dilihat dari tiga disiplin yaitu :
Ilmu Hadis, para ahli hadis mengidentifikasi sunag dengan hadis, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan,
perbuatan, maupun ketetapannya.
Ilmu Ushul Fiqih, menurut ulama ahli Ushul Fiqih, sunah adalah segala sesuatu
yang diriwayatkan dari Nabi SAW. berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan
yang berkaitan dengan hukum.
Para ulama sepakat bahwa hadis sahih itu merupakan sumber hukum, namun
mereka berbeda pendapat dalam menilai kesahihan hadis. Kebanyakan ulama hadis
menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, hadis itu terbagi dalam mutawatir dan
ahad, sedangkan Hadis Ahad itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : masyhur, aziz
dan gharib. Namun menurut Hanafiyah hadis itu terbagi tiga bagian yaitu : mutawatir,
masyhur, ahad.
Ditinjau dari segi petunjuknya (dilalah), hadis sama dengan Al-Qur’an yaitu
Qath’iah dilalah dan bisa Zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang
qath’I dan ada yang zhanni. Dalam kaitannya antara nisbat As-Sunah terhadap Al-
Qur’an, para ulama telah sepakat bahwa As-Sunah berfungsi menjelaskan apa yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat mengenai kedudukan As-Sunah terhadap Al-Qur’an apabila As-Sunah itu
tidak sejalan dengan Zhahir ayat Al-Qur’an.
Ijma
Definisi Ijma menurut bahasa terbagi dalam dua arti: Bermaksud atau berniat dan
kesepakatan terhadap sesuatu. Ijma' Menurut Istilah Ulama Ushul Para ulama ushul
berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma' menurut istilah, di antaranya:
Pengarang kitab Fushalul Bada'i berpendapat bahwa ijma itu adalah kesepakatan
semua mujtahid dari ijma umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah
beliau wafat terhadap hukum syara.
Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma adalah
kesepakatan mujtahid suatu masa dari Ijma' Muhammad SAW terhadap masalah
syara (Al-Ghifari)
Syarat-Syarat ijma yaitiu Yang bersepakat adalah para mujtahid, para mujtahid harus
umat Muhammad SAW, Dilakukan setelah wafat nabi, kesepakatan mereka harus
berhubungan dengan syari'ar. Macam-macam Ijma yaitu : ijma sharih dan ijma sukuti,
Ijma Sharik Maksudnya semua Mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-
masing kemudian menyepakati salah satunya. Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid
berkumpul disuatu tempat, kemudian masing-masing, mengeluarkan pendapat terhadap
masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Ijma Sukuti adalah pendapat
sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi
mereka diam tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyemaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama Ushul Fiqih memberikan definisi
yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dalam
Istinbath hukum. Dalam hal ini mereka terbagi dalam dua golongan yaitu :Golongan
Pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan
mujtahid. Sebaliknya menurut Golongan Kedua, Qiyas merupakaan ciptaan Syari, yakni
merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat
syari sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.
Rukun Qiyas
Dari pengertian Qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur
pokok (rukun) qiyas terdiri dari empat unsur yang berikut :
Ashl (pokok), yaitu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan Ashl
menurut hukum teolog adalah suatu nash syara yang menunjukan ketentuan
hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum.
Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Far’u itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis
(yang dianalogikan) dan masyabbah (yang diserupakan).
Hukum Ashl, yaitu hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash.
Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl
mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang sehingga
hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.
3. Metode Ijtihad
Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al juhd, yang berarti
al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqar (kesanggupan dan
kemampuan). Kata al-jahd beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Ijtihad adalah
masdar dari fill madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta' pada kata ja-ha-da
menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a'-la berarti "usaha ita lebih sungguh-sungguh".
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seoaramg taqih
(pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui
dalil syara (agama). Dalam istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan
bahkan para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu bis dilakukan di bidang fiqih.
Tingkatan Mujtahid ada 5 yaitu : mujtahid mustaqil, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil,
mujtahid muqayyad/mujtahid takhrij, mujtahid tarjih, mujtahid fatwa.
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber
hukum islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik
melalu pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat lainnya.
Syarat-syarat Ijtihad
1) Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hokum yang terdapat dalam Al-
Qur’an baik menurut bahasa maupun syari’ah.
2) Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut
bahasa maupun syari’at.
3) Mengetahui nasakh dan mansukh dari AL-qur’an dan Ash-Sunah, supaya
tidak salah dalam menetapkan hokum, namun tidak diisyaratkan harus
menghapalnya.
4) Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma ulama,
sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma.
5) Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta mengistibathnya
karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6) Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan
dbahasa, serta berbagai problematikanya.
7) Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
8) Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum,
karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-
Syari’ah atau rahasia disyariatkannya suatu hukum.
Istihsan
Kehujahhan Istihsan dan pendangan para ulama. Terdalat 5 ulama, yaitu ulama
hanafiyah, ulama malikiyah, ulama hanabilah, ulama syafi'iyah
Al-Maslahah Al-Mursalah
Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazh al manfa'at, baik
artinya ataupun wajan (timbangan kata) ,yaitu kalimat masdar yang sama artinya
dengan kalimat ash-shalah seperti halnya lafazh al manfa'at sama artinya dengan al-
nuf'u. Dengan demikian, al-Maslahah al-Marsalah adalah suatu kemaslahatan yang
tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu
kejadian yang tidak ada ketentuan syari'at dan tidak ada illat yang keluar dari syara
yang menentuka kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu
yang sesuai dengan hukum syara, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan
pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan santu manfaat, maka kejadian
tersebut dinamakan al-Maslahah al-Mursalah Tujuan utama al-Maslahah al-Mursalah
adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga
kemanfaatannya.
'URF
Arti 'urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan
yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Di kalangan masyarakat 'urf ini sering disebut sebagai adat.
Pengertian di atas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara. Di antara
contoh 'urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia
tentang jual beli tanpa mengucapka shigat. Sedangkan contoh uf yang bersifat ucapan
adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal ol-walad atas anak laki-laki buka
perempuan, dan juga tentang meng-itlak-kan lafazh al-lahm yang bermakna daging
atas asamak yang bermakna ikan tawar. Macam-macam 'urf, Urf terdiri dari dua
macam, yaitu 'urf sahih dan 'urf fasid (rusak). 'Urf sahib adalah sesuatu yang telah
saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan syara, tidak
menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Adapun 'urf fasid,
yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara,
atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling
pengertian di antara manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara
kelahiran anak, juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi.
Dzari'ah
Pengertian dzari'ah ditinjau dari segi bahasa adalah "jalan menuju sesuatu" .
Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari'ah dengan sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat
tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnu Qayyim Aj-
Jauziyah yang menyataka bahwa dzari'ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang
dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari'ah
itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzariah (yang dilarang), dan fath Adz-
dzari'ah (yang dianjurkan).
4. Qaidah-Qaidah Ushuliyyah
Qaidan Ushuliyyah
Dalil syara' itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan
mujmal) dan ada yang hanya ditujukan bagi suatu hukumn tentu dari suatu cabang hukum
tertentu pula. Dalil yang bersifat mayeluruh itu disebut pula qaidah ushuliyyah. Dari
pengertian Ushul Fiqih yang telah dikemukakan di atas terkandung maksud bahwa objek
bahasan Ushul Fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan qoidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan
untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan
dalalah lafazh atau kebahasaan.
Untuk menggali hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas dari pembahasan
kebahasaan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut
lafazh. Suata lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan tidak mempunyai kemungkinan
makna lain disebut mubayyum atau nash. Bila mempunyai dua makna atau lebih tanpa
dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut mujmal. Namun, bila diketahui makna
yang lebih teges dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian, yang disebut
mujmal adalah satu lafadz yang cocok untuk berbagai makna, tetap, tidak ditentukan
makna yang dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya
(Al-Ghazali 145).
Takwil ( Muawwal)
KHASH
Para ulama hul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada
hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian Definisi yang dapat dikemukan di sini,
antara lain: Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma'lum)
dan manunggal. Dan menurut Al-Bazdawi, definisi khash adalah setial lafadz yang yang
dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang
(musytarak). Dengan definisi di atas, ia mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari
bagian lafadz khash, dan bukan pula bagian dari lafazh 'amm.Pendapat ini dipegang pula
oleh sebagian ulama Syafi'iyah. Cara petunjuk lafadz atas satu arti ini bisa dalam berbagai
bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanum dipasangkan pada hewan berpikir, atau
berbentuk spesies (nau'un), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual
yang berbeda-beda tetapi terbatas bilangan angka-angka (3, 5,100, dan seterusnya).
'Amm
Pembahasan lafazh 'amm dalam ilmu Ushul Fiqih mempunyai kedudukan tersendiri,
karena lafah 'amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat
ulama dalam menetapkan hukum. Di lain pihak, sumber hukum Islam pun, Al-Quran dan
Sunah, dalam banyak hal memakai lafadzh umum yang bersifat universal. Lafazh 'amm
ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang
tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama Ushul Fiqih memberikan definisi 'amm
antara lain sebagai berikut:
Menurut ulama Hanafiyah: "Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik
secara lafazh maupun makna(Al-Bazdarm 1:33)
Menurut ulama Syafi'iyah, di antaranya Al-Ghazali :Satu lafazh yang dari
satu segi menunjukkan dua makna atau lebih
Menurut Al-Bazdawi : lafadzh yang mencakup semua yang cocok untuk
lafadzh tersebut dengan satu kata
Amr (Perintah)
Menurut Jumbur ulama Ushul, definisi amr adalah lafadzh yang menunjukkan
tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Definisi di
atas tidak hanya ditujukan pada lafazh yang memakai sighat amr, tetapi ditujukan pula
pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimar perintah tersebut
terkadang menggunkan kalimat majazi (samar).
Nahyi (Larangan)
Menurut ulama ushul, definisi nahyi adalah kebalikan dari amr yakni lafadz yang
menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari
atasan kepada bawahan. Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga
dapat digunakan dalam berbagai arti. Makna Shighat Nahyi Para ulama ushul sepakat
bahwa hakikat dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa
beralih makna, kecuali bila ada suatu qarinah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang
hakikat tuntutan untuk meninggalkan larangan tersebut, apakah hakikatnya untuk tahrim,
karahah, atau untuk keduanya.
Kata ta 'rud, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-adilah adalah bentuk
jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil. Adapun secara terminologi,
para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta'rud al-adillah di antaranya :
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa persoalan ta'rud al-adillah dibahas oleh
para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil, atau antara satu dalil dengan dalil
lainnya secara zhahir pada derajat yang sama.
Nasakh
Para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi
kriteria berikut ini: (Tajuddi 50)
Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara' yang mengandung hukum dari
Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa
berlaku hukum yang di sebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
Yang dibatalkan adalah syara yang disebut mansukh (yang dilsapus)
Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istitsna
(pengecualian) tidak disebut nasakh.
Tarjih
Secara etimologi, tarjih berarti "menguatkan", sedangkan secara terminologi, ada dua
definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih.
Menurut Ulama Hanafiyah: "Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu
dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri. Menurut
Jumbur Ulama : Menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnnya untuk diamalkan
(ditetapkan) berdasarkan dalil tersebut.
C. PENUTUP
Sebagai pembaca, kita pasti ingin membeli buku yang berkualitas. Meskipun relatif,
kata yang baik ini dapat dipahami dari beberapa aspek umum, terutama bahasa yang
digunakan, struktur tulisan, kegunaan bagi pembaca, dan analisis penulis. Rincian berikut
berkaitan dengan aspek-aspek buku yang sedang diulas.
Dengan membaca buku ini, kita tahu bahwa bahasa yang digunakan cukup mudah
dipahami, meski ada beberapa kata yang sulit dipahami. Buku ini juga ditulis secara
sederhana, ringkas, dan sistematis hingga ke pokok-pokok yang esensial. Saya kira masih ada
materi yang belum dijelaskan, membuat pembaca bingung dan mencari artinya di sumber
lain.
Pembaca harus memilih buku atau referensi yang ingin mereka baca. Sulit untuk
menjadi sangat pemilih. Selektivitas membutuhkan kecerdasan dan pengetahuan. Menjadi
selektif membutuhkan waktu dan usaha, serta keberanian dan kebijaksanaan. Tetapi dengan
selektivitas kita mencapai kepuasan batin dan kemenangan.
Buku ilmu ushul fiqih dapat dijadikan sebagai sumber bagi mahasiswa. Buku ini
bermanfaat bagi mereka yang ingin mempelajari dan memahami apa yang dibahas dalam
bidang ushul-fiqh. Buku ini juga sangat bagus dan juga memiliki harga yang baik.