Anda di halaman 1dari 21

PERBEDAAN ANTARA ILMU USHUL DAN FIQIH

Oleh
Rahmaniah 2204117435
Semester III Lokal C Prodi Pendidikan Agama Islam
STAI RAKHA Amuntai 2023
Email: rahmaniahzn@gmail.com

Abstrak

Fiqih merupakan seperangkat aturan hukum atau tata aturan yang


menyangkut kegiatan dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi, bertingkah laku
dan bersikap yang bersifat lahiriah dan amaliah, bersumber dari hasil penalaran dan
pemahaman yang mendalam terhadap syariah oleh para mujtahid. Sedangkan ushul
fiqih merupakan metodologi perumusan hukum Islam dari sumbernya. Hasil
perumusan tersebut menghasilkan hukum Islam (fiqih), yang kemudian dipergunakan
oleh umat Islam sebagai norma dan aturan dalam kehidupan sehari-hari. Fiqih
sudah terbentuk sejak masa Nabi Muhammad Saw. dan berkembang pada saat masa
sahabat serta para mujtahid sesuai dengan kondisi dan perkembangan kehidupan
umat Islam. Objek utama dalam pembahasan ushul fikih ialah dalil-dalil syariat
yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Tujuan penulisan untuk
mengetahui perbedaan ilmu fiqih dan ushul fiqih melalui definisi, pembahasan,
sejarah, pembentukan, perbedaan, contoh, pembidangan, kriteria, pemetaan dari
ushul dan fiqih.

A. PENDAHULUAN

Ilmu Fiqh yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Hadist Nabi, ternyata mampu
bertahan dan terus mengetahui kehidupan muslim, baik individu maupun kelompok. Ushul
fiqh juga merupakan suatu ilmu yang berisikan tentang kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya. Bahasan tentang kaidah-kaidah kebahasaan ini

1
penting mengingat kedua hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan sunnah berbahasa arab, untuk
membimbing mujtahid dalam memahami al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam
menetapkan hukum tentu perlu mengetahui tentang lafal dan ungkapan yang terdapat pada
keduanya. Fiqh telah lahir sejak periode sahabat, yaitu sesudah Nabi SAW wafat, sejak saat
itu sudah digunakan para sahabat dalam melahirkan fiqh, meskipun ilmu tersebut belum
dinamakan ushul fiqh.

Pembahasan ini membahas tentang apa saja yang mendasari perbedaan, pembentukan,
kriteria, pembidangan serta pemetaan dari fiqih dan ushul fiqih beserta contohnya.
Pembidangan fiqih juga sangat penting untuk diketahui yang terdiri dari fiqih ibadah dan
fiqih muamalah. fiqih ibadah yaitu semua perbuatan yang berkaitan dengan Thaharoh, Shalat,
Puasa, Zakat, Haji, Qurban, Nadzar, Sumpah dan semua perbuatan manusia yang
berhubungan dengan Tuhannya. Sedangkan fiqih muamalat yaitu semua bentuk kegiatan
transaksional seperti; deposito, jual beli, pidana, perdata antar sesama manusia baik secara
individu maupun lembaga bahkan negara. Ilmu Ushul fiqih juga terdiri dari Al-Qur’an,
hadits, sunah, ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan istishab.

Perbedaan ushul fiqh dan fiqh, yaitu bahwa ushul fiqh adalah metode atau kaidah atau
dalil atau dasar yang harus ditempuh dalam upaya memperoleh kejelasan norma syara’ atas
hukum suatu perbuatan dari dalil-dalilnya. Selain itu, juga harus terampil dan profesional
dalam menetapkan dalil mana yang harus didahulukan, di nomor duakan dan seterusnya.
Sedangkan fiqh adalah hasil yang berupa norma-norma hukum yang didapat dengan tata cara
tersebut diatas. Hubungan antara ushul fiqh dengan fiqh adalah seperti hubungan ilmu logika
dengan ilmu-ilmu lain yang berbasis filsafat, atau seperti hubungan ilmu nahwu dengan tata
cara berbicara dalam bahasa Arab atau tata cara menulisnya. (Zahrah: 6) Artinya ushul fiqh
itu menuntun dan mengarahkan seorang mujtahid dalam beristinbath atau berijtihad serta
menghindarkannya dari kesalahan sebagaimana ilmu logika dan ilmu nahwu.

Dengan demikian, ushul fikih merupakan metodologi perumusan hukum Islam


(istinbath) dari sumbernya. Hasil istinbath tersebut menghasilkan hukum Islam (fiqih), yang
kemudian fikih tersebut dipergunakan oleh umat Islam sebagai norma dan aturan dalam
kehidupan sehari-hari.

2
B. PEMBAHASAN

1. Definisi Ushul Fiqih dan Fiqih

Ushul fiqih berasal dari dua kata yaitu ushul dan kata fiqh. Kata ushul
merupakan jamak plural dari kata asal secara etimologis mempunyai arti berakar,
berasal, pangkal, asal, sumbu, pokok, induk, pusat, aset, dasar,, semula, asli, kaidah,
dan silsilah.1 Ushul Fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang
membawa kepada usaha merumuskan hukum dari dalil-dalil yang terperinci. 2 Dalam
artian sederhana unsur fiqih adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.

Umpamanya dalam kitab-kitab fiqih ditemukan ungkapan “mengerjakan salat


itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan salat itu disebut “hukum syara”. Tidak
pernah disebut dalam Alquran maupun hadits bahwa salat itu hukumnya wajib. Yang
tersebut dalam Al-Qur’an hanyalah perintah mengerjakan salat yang berbunyi salah
kebijakan masalah titik ayat Alquran yang mengandung perintah salat disebut dengan
sorotik dalam merumuskan kewajiban salat yang disebut hukum saraf dari firman
Allah yaitu aki musalah.

Yang disebut dengan salat itu ada aturannya adalah bentuk kaidah
umpamanya setiap perintah itu menunjukkan wajib. Pengetahuan tentang kaidah-
kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari diri dengan syarat
tersebut itulah yang disebut dengan ilmu ushul fiqih.3

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Ushul fiqih adalah pedoman
atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti
seorang Faqih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syarat dari
dalilnya sedangkan fikih adalah hukum-hukum syarat yang telah digali dan
dirumuskan dari diri dari dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu. Adapun hal-
hal yang berbincangkan dalam Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah fiqhiyah, kaidah-
kaidah ushuriyah, kaidah-kaidah bahasa, dan metode-metode dalam ijtihad.4
1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: ponpes al-Munawwir 1 1983),h. 29-30.
2
Muktar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986),h.
17.
3
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, jilid 1,h.36.
4
Syakir Jamaluddin, Kuliah Fiqih Ibadah, (Yogyakarta: LPPI UMY, 2010), h. 3.

3
Kata fiqh adalah bahasa arab yang berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan
yang bermakna mengerti atau memahami. Fiqih secara etimologi berarti paham.
Dalam kamus Al-Misbah Al-Munir disebut, “ fiqih (fikih) adalah memahami sesuatu.
Ibnu Faris mengatakan, “ Setiap pemahaman terhadap sesuatu berati fiqih baginya.
Penggunaan kata fiqih secara etimologi, selain berarti pemahaman juga berarti
pengetahuan (ilmu) tentang sesuatu dan kecerdasan.

Secara definitif, fiqih Berarti ilmu tentang hukum-hukum syar'i yang bersifat
Amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili. Dalam definisi ini,
fiqih diibaratkan ilmu karena fiqih itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqih itu
tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan di atas, fiqih itu bersifat zhanni. Fiqih
adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhan-Nya, sedangkan ilmu tidak
bersifat zhanni seperti fiqih. Namun karena zhan dalam fiqih ini kuat, maka ia
mendekati kepada ilmu karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk
fiqih.5

Pada hakikatnya fiqih dapat dipahami dari empat sudut pandang. Pertama,
fiqih merupakan ilmu tentang syara’. Kedua, fiqih mengkaji hal-hal yang bersifat
Amaliah Furu’iyah (praktis dan bersifat cabang). Ketiga, pengetahuan tentang hukum
syara’ yang didasarkan pada dalil-dali tafsiri yakni Alquran dan Sunnah. Keempat,
fiqih digali dan ditentukan melalui penalaran dan istidlal (penarikan kesimpulan)
mujtahid.6

2. Ranah Bahasan Ushul Fiqih dan Fiqih

Adapun yang menjadi bidang pembahasan ilmu Ushul fiqih ialah dalil-dalil
syara' sendiri dari segi bagaimana penunjukannya pada suatu hukum secara ijmali
(garis besar). Misalnya, Alquran dalam dalil syara’ yang pertama. Cara
penunjukkannya pada hukum tidak hanya menurut satu bentuk saja, tetapi ada
kalanya dengan bentuk kalimat perintah (sighat amar), kalimat melarang sighat nahi
dan adakalanya menggunakan kalimat yang bersifat umum, mutlak, dan sebagainya.
Para ahli ushul membahas itu semuanya agar dapat memperoleh ketentuan hukum
yang ditunjukkan atas bantuan Penelitian terhadap gaya dan rasa bahasa Arab dan
pemakaiannya dalam syariat. Jika pembahasan mereka dapat menemukan bahwa

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 1,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 3.
6
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 9.
4
sighat (bentuk) amar itu mengandung perintah, sighat nahi tu mengandung petunjuk
haram, dan kalimat yang bersifat umum itu harus mencakup pengertian keseluruhan,
maka mereka lalu menciptakan kaidah-kaidah yang lain.

Sementara itu, yang menjadi pembahasan ilmu fiqih ialah perbuatan orang
mukallaf dari sisi penetapan hukum syariat padanya. Faqih (ahli fiqih) dalam
membicarakan perbuatan-perbuatan orang mukallaf dalam bidang muamalah, seperti
jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan gadai-menggadai. Dalam bidang
munakahat seperti mengadakan akad pernikahan, nafkah, dan hadhanah
(pemeliharaan anak). Dalam bidang ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Dalam
bidang jinayah (kepidanaan) dan urusan pengadilan seperti mencuri, membunuh,
menuduh dan berbuat zina, dan sumpah palsu yang bertujuan mengetahui apakah
ketetapan hukum bagi setiap tindakan-tindakan tersebut sesuai dengan ketentuan
syariat atau tidak.

3. Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih

a) Ushul fiqih merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqih
(faqiih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil
syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dalil tersebut berdasarkan
kualitasnya. Dalil dari Alquran harus didahulukan dari pada qiyas serta
dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Alquran dan hadis. Sedangkan
fiqih adalah hasil hukum-hukum syar’i berdasarkan metode-metode
tersebut.
b) Dilihat dari objek pembahasannya, ilmu Ushul fiqih membahas tentang
kaidah-kaidah yang bersifat umum (kulli) dan hukum yang bersifat umum.
Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu fiqih adalah dalil yang
bersifat juz’i, sehingga menghasilkan hukum Juz'i pula yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf.
c) Dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, Ushul fiqih bertujuan untuk tidak
menerapkan kaidah-kaidah yang bersifat kulli terhadap nas-nas syariat
sedangkan ilmu fiqih bertujuan untuk menerapkan hukum syariat terhadap
perbuatan dan ucapan mukallaf.

5
d) Ushul fiqih merupakan dasar kebijakan bagi ilmu fiqih, sedangkan fiqih
merupakan hasil atau produk dari ushul fiqh. Dengan kata lain dari usul
Fiqih akan melahirkan fiqih.
e) Dilihat dari sifatnya, Ushul fiqih lebih bersifat kebahasaan (teoritis)
sedangkan fiqih lebih bersifat praktis.

4. Contoh Ushul Fiqih dan Fiqih

Sebagai contoh pengambilan bunga tabungan di bank konvensional adalah


riba. Ini adalah obyek bahasan fiqih, karena mengambil bunga tabungan adalah
perbuatan mukallaf. Sedangkan dalil keharaman tersebut adalah dalil Alquran surat
al-Baqarah/2 ayat 275 yang berarti “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. Ketika seorang membicarakan dalil keharaman bunga, sebenarnya ia telah
masuk kepada wilayah ushul fiqih.

Kedua, fiqih itu adalah produk dan hasil kerja dari ushul fikih, sedangkan
ushul fikih adalah alat untuk menghasilkan produk tersebut. Sebagai contoh: wajibnya
shalat adalah ketentuan hukum fiqih. Sedangkan alat (kaidah) yang digunakan untuk
menetapkan wajibnya shalat adalah dalil perintah shalat dan dalil inilah yang menjadi
obyek kajian ushul fikih.

5. Sejarah Ushul Fiqih dan Fiqih

1. Sejarah Ushul fiqih

A. Masa Sahabat

Wafatnya Rasulullah SAW menggores catatan baru dalam


penetapkan hukum. Munculnya para sahabat besar setelah Nabi wafat
melahirkan permasalahan baru yang tidak ada pada zaman Nabi terkait
dengan metode penetapan hukum. Untuk menetapkan hukum baru
maka diantara sahabat berijtihad dengan bersumber kepada Al-Qur’an
dan Hadis. Maka pada masa sahabat ini sumber hukum bukan lagi
hanya Al-Qur’an dan Hadis tetapi ditambah dengan ijtihad sahabat.

Menurut Abu Zahra munculnya ilmu Ushul fiqih berbarengan


dengan ilmu fiqih, meskipun ilmu fiqih lebih dahulu dibukukan
sebelumnya. Karena menurutnya fiqih sebagai produk tidak mungkin

6
terwujud tanpa adanya metodologi istinbat. Dan metode istinbath ini
sendiri adalah inti dari bagian ushul fiqih.7

Fiqih sebagai produk ijtihad telah muncul sejak masa sahabat.


Dalam melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan
kaidah-kaidah ushul fiqih meskipun kaidah ushul fiqih ketika itu
belum dibukukan sebagai sebuah disiplin ilmu. Kemahiran mereka
dalam ijtihad di samping dari pengaruh bimbingan Rasul juga
penguasaan mereka terhadap bahasa Arab yang sangat baik. Mereka
yang kemudian dikenal banyak melakukan ijtihad adalah yang
mengikuti langsung praktek tasyri’ dari Rasulullah SAW. Mereka
adalah orang yang dekat dengan Rasul selalu menyertainya dan
menyaksikan langsung praktek ijtihad Rasul. sehingga mereka sangat
memahami bagaimana cara memahami ayat dan menangkap tujuan
pembentukan hukumnya.

Dapat disimpulkan, bahwa para sahabat telah menggunakan


ijma', qiyas dan istislah (muslahah mursalah) jika hukum sesuatu tidak
ditemukan dalam Al-Quran dan sunnah. Dengan demikian, prakarsa
Ijtihad yang dilakukan oleh sahabat setelah wafat Rasulullah telah
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat ketika itu. Menurut Abu
Zahra, ijtihad para sahabat kemudian mewariskan metodologi yang
dijadikan dasar dalam merumuskan Ushul fiqih.8

B. Masa Tabi’in

Pada masa ini Daulah Islamiyah sudah semakin berkembang


dan banyak muncul kejadian baru. Berbagai kesulitan perselisihan dan
pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu persatu
bermunculan. Semua persoalan ini menambah beban kepada Imam
mujtahid untuk membuka cakrawala yang lebih luas terhadap lapangan
Ijtihad yang membawa konsekuensi semakin meluasnya lapangan
hukum syariat Islam (hukum fiqih) dan hukum beberapa peristiwa
yang masih bersifat kemungkinan (prediksi). Sumber yang mereka

7
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.), hlm 11.
8
Ibid, hlm. 11.
7
gunakan pada periode ini adalah sumber hukum pada 2 periode
sebelumnya (periode Nabi dan sahabat). Jadi sumber hukum fiqih pada
masa periode ini terdiri dari hukum Allah (al-Qur’an) , rasulnya
(hadis) fatwa dan keputusan sahabat Rasul serta fatwa mujtahidin.

Abu Zahra dalam bukunya Ushul fiqih menyimpulkan bahwa


pada masa tabiin ini, metode istinbath sudah mengalami perluasan
yang pesat dikarenakan banyaknya kejadian yang muncul akibat
bertambah meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Sumber istinbath
hukum pada masa tabiin merujuk kepada Al-Quran, sunnah
Rasulullah, fatwa sahabat, Ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah jika
tidak didapati hukumnya dalam nas.9

C. Mujtahid sebelum Imam Syafi'i

Pada masa Imam mujtahid sebelum imam Syafi’i dikenal dua


tokoh besar, yaitu Imam Abu Hanifah dan imam Malik bin Anas.
Kedua tokoh mujtahid ini telah memperlihatkan penggunaan metode
yang lebih jelas.

Imam Abu Hanifah Al Nu'man (w. 150 H), pendiri mazhab


Hanafi menggunakan dasar istinbatnya secara berurutan yaitu Al-
Qur'an, sunnah dan fatwa sahabat dan jika tidak terdapat pada ketiga
sumber hukum di atas maka ia berpegang kepada pendapat yang
disepakati oleh para sahabat. Imam Malik bin Anas dalam ijtihadnya
juga memiliki metode yang cukup jelas, seperti terlihat pada sikap
dalam mempertahankan praktik ahli Madinah sebagai sumber hukum.
Salah satu hal yang penting yang perlu dicatat bahwa sampai pada
masa Imam Malik ilmu ushul fiqih belum dibukukan secara sistematis.

2. Sejarah fiqih

A. Zaman Rasulullah SAW

1. Periode Mekkah (610 M – 623 M)

9
Ibid, hlm. 11.

8
Metode Mekkah ini istilah fiqih belum dikenal, tetapi banyak
menekankan pada keyakinan akidah Islam yang berbentuk
kepercayaan pada keesaan Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-
kitab-Nya, hari kiamat, serta qada dan qadar sehingga nyaris tidak
berbicara mengenai aturan-aturan hukum beribadah. Hal ini
dikarenakan pembentukan keimanan merupakan modal yang sangat
kuat dan penting dalam upaya penerimaan segala tindak laku ibadah
yang akan ditawarkan saat itu untuk periode selanjutnya.

Pada masa ini Nabi Muhammad SAW hanya


mengonfirmasikan dirinya sebagai utusan Allah (Rasulullah l),
sedangkan aturan-aturan akhlak belum dijadikan institusi keagamaan.
Adapun akhlaknya yang baik, jujur, sering bersemedi (tahannus) dan
pekerja keras hanyalah merupakan temperamen dirinya secara pribadi
dan belum menjadi kewajiban umat untuk mengikutinya. Saat ini
belum ada perangkat aturan yang baku dalam menetapkan bentuk,
waktu, serta luasnya kegiatan yang dianggap ibadah tersebut.
Demikian juga, batas-batas komunitas para penganut belum ditegaskan
secara jelas. Aturan hukum itu baru dimulai ketika perintah untuk
pertama sekali melakukan hijrah ke Madinah sebagai upaya tindakan
penyelamatan diri dari penyiksaan kaum kafir Quraisy.

Sementara salat itu sendiri merupakan hadiah dari perjalanan


isra' dan Mi'raj masih merupakan refleksi tanda penghambaan diri
makhluk kepada khaliq-nya. Aturan waktu, cara, dan jumlah rakaat
belum terungkap dengan jelas saat ini. Pelaksanaan salat hanya
diserahkan kepada pribadi-pribadi yang berkenaan saja tanpa ada unsur
pemaksaan. Pelaksanaan salat yang masih muda ini dilakukan secara
sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui masyarakat kafir Quraisy
demi keselamatan diri sendiri.

2. Periode Madinah (623 M – 12 Rabiul Awwal 11 H/8 Juni 632 M)

Periode ini ditandai dengan adanya pengaturan hidup sebagai


hamba dan sebagai anggota masyarakat. Hukum yang dipakai
berdasarkan Wahyu dan ditafsirkan secara ketat oleh Nabi Muhammad

9
SAW sendiri dengan bimbingan dan arahan dari Allah SWT. Ayat-
ayat itu banyak mengandung dasar hukum, baik yang mengenai Islam
maupun mengenai hidup kemasyarakatan yang disebut dengan ayat
Al-Ahkam. Ayat Al-Ahkam inilah yang menjadi dasar bagi hukum
yang dipakai untuk mengatur masyarakat dalam Islam.

Pembinaan hukum pada era Mekah bersifat Global (mujmal)


yang hanya sedikit saja Alquran mengemukakan hukum-hukum secara
detail (tafsiliyah). Adapun pembinaan hukum pada era Madinah
Alquran telah mengemukakan di dalam perincian-perincian hukum
dibandingkan dengan Mekah terlebih-lebih yang berhubungan dengan
kebendaan. Oleh sebab itu, sebagian besar ayat-ayat yang dapat
diistinbatkan hukumnya adalah madaniyah, sedangkan ayat-ayat
Makkiyah hanya menerangkan hukum-hukum yang memelihara aqidah
seperti haramnya sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah di
dalamnya.

B. Zaman Khulafa’al-Rasyidin (11 H/632 M-41 H/662 M)

Sepeninggal Rasulullah SAW kaum muslimin dipimpin oleh empat


khalifah secara bertahap, yaitu Abu Bakar As Siddiq, Umar Bin Khattab,
Utsman bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Pada era kepemimpinan mereka
disadari banyak persoalan hukum yang muncul tanpa bimbingan nabi mereka
lagi. Mereka harus berusaha mencari jalan keluar/ijtihad dari persoalan yang
dibutuhkan masyarakat.

Dari kondisi seperti inilah, bermunculan mujtahid-mujtahid Fardiy


(parsial) dari kalangan sahabat-sahabat. Ada yang menyelesaikan hukum
secara sendiri dan ada pula yang mereka musyawarahkan. Sebagian sahabat
yang menerima Hadits dari Nabi SAW dahulu menjadikan hal itu sebagai
istinbath hukumnya, sedangkan sahabat yang tidak menerima Hadits dengan
sendirinya bertanya kepada sahabat yang lebih mengetahui Hadits yang
berkenaan dengan persoalan hukum yang dihadapi masyarakat.

Pada waktu yang bersamaan para khalifah tidak memutuskan sendiri


hukum, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat-sahabat lain. Putusan
yang diambil dengan suara bulat (yang lazim disebut dengan ijma’/konsensus

10
sahabat) lebih kuat dari putusan yang dibuat oleh satu atau beberapa orang
saja. Pada zaman Abu Bakar konsensus masih dapat dipertahankan, tetapi
pada zaman Umar Bin Khattab pengadaan konsensus mendapati kesulitan. Hal
ini dikarenakan sahabat-sahabat telah mulai berpisah tempat tinggal di
daerah-daerah yang jauh di bawah kekuasaan Islam. Ada yang menetap di
Mesir, Suriah, Irak, dan Persia.10

Kenyataan di atas memberi gambaran bahwa pada periode ini telah


bermunculan sahabat-sahabat menjadi mujtahid sekaligus memunculkan
murid-murid mereka seperti sahabat kecil dan tabi'in yang berprofesi yang
sama. Namun kualitas mereka berijtihad sangat dipengaruhi oleh banyak atau
sedikitnya Hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW, atau Sahabat
Kecil.

C. Zaman abad l Hijriyah (41 H/662 M) Sampai dengan Abad Vll Hijriyah
(656 H/1258 M)

Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, sebagian sahabat


pergi meninggalkan kota Madinah menuju kota-kota yang baru dibangun
seperti kufah, Mekah, Basrah, Syam, Mesir, dan lain-lain. Di kota-kota ini
mereka mengajarkan fiqih, mengembangkan agama dan meriwayatkan hadis-
hadis. Umat Islam di daerah-daerah itu pun berdatangan ke kota-kota pusat
daerah untuk menerima fiqih dan ilmu dari sahabat-sahabat itu. Murid-murid
itu digelar sebagai tabi’in sebagaimana murid tabi’in disebut dengan tabi’
tabi’in. Hasil dari itu melahirkan banyak tabi’in yang pandai dan pintar
menyamai gurunya, bahkan melebihi dalam urusan fiqih dan hukum Islam.
Dalam periode inilah fiqih dipandang sebagai sesuatu ilmu yang berdiri
sendiri.11

Setelah periode ini, mulailah kemampuan ijtihad berangsur-angsur


menurun kualitasnya sampai menuju pertebidan abad Vll Hijriah (656 H/1258
M-1198 H/1800 M). Sikap taklid yang melanda kaum muslim telah
menurunkan semangat ijtihad saat itu. Fanatisme mazhab, ideologi terhadap
keagungan guru tertentu sangat berlebihan, dan eksistensi sufisme telah

10
Harun Nasution, Islam, jilid 2,h.5.
11
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 73.
11
mengikat pemikiran kaum muslim sehingga bermunculan kitab-kitab syarh
dan hasyiah (hawasyih) sebagai wujud kelemahan intelektual untuk
menentukan karya-karya baru di bidang fiqih ini.

6. Pembentukan Ushul Fiqih dan Fiqih

● Pembentukan ilmu ushul fiqih

Pada periode inilah ilmu ushul fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis
pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi'i, ilmuwan berkebangsaan Quraish. Ia
memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya
serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyusunannya ini, Imam Syafi'i
bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi
pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih
yang bermacam-macam, sehingga Ia memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqih
ahli Madinah dan fiqih ahli Irak. Berbekal pengalaman beliau yang pernah "nyantri"
kepada Imam Malik (Ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (Ulama Irak dan
salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika
berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan
kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar
dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan
nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi'i adalah orang pertama yang
membukukan Ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama "al-Risalah".

Setelah Islam meluas dan bangsa Arab bergaul dengan bangsa-bangsa lain,
dibuatlah peraturan-peraturan bahasa Arab agar bangsa lain mudah mempelajari Al-
Qur'an. Disamping itu banyak peristiwa lain yang menyebabkan para ulama berusaha
mencari dan menentukan hukum-hukumnya. Dengan demikian, timbullah fikiran
untuk membuat peraturan-peraturan dalam ijtihad pengambilan hukum untuk
memperoleh pendapat-pendapat yang benar. Adapun orang yang mula-mula
mengumpulkan dan menyusun ilmu ushul fiqih adalah Imam Muhammad bin Idris
asy-Syafi'(150-204 H).

Adapun beberapa faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul


fiqih, diantaranya :

12
1. Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat akibat
interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.
2. Perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang
menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui
kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat
membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
3. Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya
dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad
kian mendesak.
● Pembentukan fiqih

Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan
mulai munculnya kecenderungan taklid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan
akibat sampingan dari tersisanya warisan fiqih yang amat kaya berkat pembukuan
pemikiran fiqih yang disertai dengan dalil-dalil nya, dan perselisihan pendapat antara
mazhab-mazhab beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan
yang tersisa pada periode ini adalah upaya tahrij, yaitu mempergunakan sarana
metodologis yang telah tersedia dalam madzhab-mazhab tertentu untuk menghadapi
kasus-kasus hukum baru.

Karena faktor mulainya tampilnya qawaid fiqhiyah sebagai disiplin ilmu


tersendiri, ditandai dengan himpunnya kaidah-kaidah fiqhiyah itu dalam karya yang
terpisah dalam bidang lain, pada periode pembukuan qawaid fiqhiyah telah dibukukan
dan memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu khasanah ilmu
islam yang berharga. Abu Tahir al Dabbas, seorang dijaga yang hidup pada abad
ketiga dan keempat Hijriyah adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid
fiqhiyah. Pada waktu itu, dia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah. Usaha ini
kemudian diteruskan oleh abu al-Hasan al Karakhi dengan menghimpunkan sejumlah
39 qaidah. Kemudian Abu Zaid Abd Allah Ibn Umar al-Din al Dabusi al Hanafi telah
menyusun kitab Ta'sis al-Nazar pada kurun kelima hijrah. Kitab ini memuat sejumlah
6 qaidah fiqhiyah beserta dengan pembahasan terperinci berkenan qawaid tersebut.

Tumbuhnya hukum-hukum fiqih ini bersama-sama tumbuh nya agama Islam.


Karena pada hakikatnya adalah himpunan dari pada akidah, akhlaq dan hukum

13
amaliyah. Hukum-hukum amaliyah pada masa Rasulullah telah dibentuk dari
beberapa hukum yang telah ada di dalam Al-Quran termasuk pula hukum yang keluar
dari Rasulullah SAW. Dalam fatwanya dalam suatu kejadian atau keputusan terhadap
suatu perselisihan dan atau jawaban terhadap suatu soal. Jadi hukum-hukum fiqih itu
dalam periode pertamanya terjadi dari hukum Allah SWT dan Rasul Nya dengan
sumbernya ada Al-Qur’an dan hadits.

Pada masa sahabat ditemukanlah kejadian-kejadian baru yang tidak pernah


terjadi pada masa Rasulullah SAW, maka berijtihadlah ahli ijtihad diantara mereka
dan mereka pun menetapkan beberapa hukum syariat Islam yang disandarkan
beberapa hukum dalam periode pertama, jadi sumbernya adalah Al-Qur'an, hadis dan
ijtihad. Tetapi pada masa ini hukum-hukum itu belum dikodifikasikan dan belum pula
disyariatkan hukum mengenai kejadian-kejadian yang masih bersifat kemungkinan
kecuali hanya mengenai kejadian yang sudah terjadi pada masa itu belum pula
menjelma sebagai bentuk ilmu pengetahuan karena hanya merupakan bagian dari
pada kejadian dari pada bersifat perbuatan, himpunan ini juga belum disebut ilmu
fiqih dan tokohnya di kalangan para sahabat nabi belum dikatakan fuqaha.

Bahwa pada abad ke-2 Hijriyah ketika daulah Islamiyah sudah makin
berkembang dan sudah banyak pengikut-pengikut Islam dari selain bangsa Arab,
banyak pula kejadian baru banyak pula kesulitan, bahasan yang harus diselesaikan.
Pada inilah dimulai dikodifikasi hukum-hukum tersebut bersama-sama dengan
permulaan kodifikasi hadis dan menjelmalah hukum itu sebagai ilmu pengetahuan
karena sudah dilengkapi dengan dalil-dalilnya, illatnya dan dalil-dalil pokok yang
umum dan tokoh-tokoh ilmu ini disebut faqaha sedang ilmunya disebut fiqih, adapun
ilmu fiqih yang pertama kali dikodifikasikan ialah kitab al-Muwatta' karangan Imam
Malik bin Anas disusun atas dasar permintaan khalifah Mansur yang berisi mengenai
sunnah dan fatwa sahabat serta Tabi’in dan Tabi' Tabi'in yang sah menurut Imam
Malik.12

7. Pembidangan Fiqih dan Ushul Fiqih

Pembidangan ilmu fiqih :

1. Fiqih Ibadah

12
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Rajawali;1994 hal.9

14
Fiqih ibadah yaitu semua perbuatan yang berkaitan dengan Thaharoh,
Shalat, Puasa, Zakat, Haji, Qurban, Nadzar, Sumpah dan semua perbuatan
manusia yang berhubungan dengan Tuhannya.

2. Fiqih Muamalat

Fiqih muamalat yaitu semua bentuk kegiatan transaksional seperti;


deposito, jual beli, pidana, perdata antar sesama manusia baik secara individu
maupun lembaga bahkan negara.

Pembidangan ushul fiqih:

1. Al-Qur’an

Kata Alquran dalam bahasa Arab berasal dari kata Qara'a artinya
membaca. Bentuk mashdarnya artinya ' bacaan' dan 'apa yang tertulis
padanya'. Secara istilah Alqur'an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad, tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai
kepada kita dengan jalan mutawatir, bila membacanya mengandung nilai
ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.

2. Hadist

Secara bahasa hadis itu berarti al-jadid (yang baru), al-qarib (yang
dekat), aa-khabr (berita/khabar). Secara istilah hadits adalah rekaman atas
semua ucapan, perbuatan dan taqrir (persetujuan) Nabi Muhammad SAW.
selama menjadi Nabi dan Rasul Allah SWT.

3. Sunnah

Pengertian sunnah bisa dilihat dari dua disiplin ilmu:

1. Ilmu hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunnah dengan


hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan maupun
ketetapannya. lmu Ushul Fiqih, menurut ulama ahli Ushul
Fiqh, sunnah adalah segala yang diriwayatkan oleh Nabi saw.,
berupa perbuatan, perkataan dan ketetapan yang berkaitan
dengan hukum.

15
4. Ijma'

Kata Ijma secara bahasa berarti: kesepakatan atau konsensus. Jumhur


ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa ' ijma ' adalah Kesepakatan seluruh
mujtahid Islam dalam suatu masa sesudah wafat Rasulullah saw.akan suatu
hukum syariat yang amali.

5. Qiyas

Kata qiyas itu artinya : ukuran, sukatan, timbang/an. Para ahli ushul
fiqih memberi definisi Qiyas secara istilah bermacam-macam: Mengeluarkan
hukum yang sama dari yang disebutkan kepada yang tidak disebutkan dengan
menghimpun antara keduanya. Membandingkan yang didiamkan kepada yang
dinashkan ( diterangkan) karena ada illat hukum. Menyatukan sesuatu yang
tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan
hukumnya oleh nash dikarenakan kesatuan illat hukum antara keduanya.

6. Istihsan

Adapun menurut istilah syara’ sebagaimana didefinisikan oleh Abdul


Wahhab Khallaf, istihsan ialah berpindahannya seorang mujtahid (jelas)
kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
pengecualian yang digunakan adanya dalil yang membenarkannya.

7. Maslahah Mursalah

Maslahah artinya baik (lawan dari buruk), manfaat atau terlepas dari
kerusakan. Adapun kata mursalah secara bahasa artinya terlepas dan bebas
maksud ia terlepas dan bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari
keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya sesuatu itu dilakukan.
Maslahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada Nas hukumnya dalam
Alquran maupun hadis Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang baik menurut
akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan menghindari
keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat maka pada hakekatnya tidak
bertentangan dengan tujuan syarat secara umum.

8. Istishab

16
Kata Istishab berasal dari kata suhbah artinya ' menemani ' atau '
menyertai'. atau al-mushahabah : menemani , juga istimrar al-suhbah ; terus
menemani. Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada pada sejak
semula tetap berlalu sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah.

8. Kriteria fiqih dan Ushul Fiqih

1) Bahwa fiqih Islam pada dasarnya kembali kepada wahyu Illahi.


2) Bahwa hukum Islam didorong pelaksanaannya oleh aqidah dan akhlak. 13
3) Bahwa pembalasan yang diperoleh dari melaksanakan hukum Islam adalah dunia dan
akhirat.14
Ketentuan-ketentuan hukum Islam mempunyai dua macam balasan, yaitu
balasan dunia dan balasan akhirat. Rangkapnya balasan ini sangat erat hubungannya
dengan ciri khas hukum Islam yang sebelumnya, yaitu pendasaran ketentuan-
ketentuannya dengan akhlak dan agama. Balasan di akhirat lebih besar daripada
balasan di dunia, dan oleh karena itu, setiap orang mukmin mempunyai kesadaran
yang kuat tentang keharusan mentaati setiap ketentuan-ketentuan hukum Islam dan
melaksanakan perintah-perintah dan larangannya, meskipun andai kata ia dapat
menghindarkan diri dari balasan di dunia. Ketentuan-ketentuan yang bisa
menimbulkan rasa kesadaran yang sedemikian rupa hanya ketentuan-ketentuan yang
bersumber kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya.15
4) Bahwa naz'ah (tabi'at kecenderungan) hukum Islam adalah jama'ah. 16
Hukum Islam bermaksud mewujudkan kebaikan manusia sebagai
perseorangan maupun sebagai masyarakat, namun segi kebaikan masyarakat ini lebih
menonjol, dan oleh karena itu maka corak hukum Islam adalah Al-Jama'iyyah.
Adapun maksud Al-Jama’iyyah ialah lapangan yang lebih luas, meliputi lapangan
kebendaan dan lainnya, sehingga mencakup hak-hak dan kewajiban bersama-sama.17
5) Bahwa hukum Islam menerima perkembangan sesuai dengan masa dan tempat.
6) Bahwa hukum Islam tidak dipengaruhi oleh undang-undang buatan manusia, baik
Romawi, maupun yang lain-lain.

13
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal 152
14
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, hal. 14
15
Ahmad Hanafi, pengantar Sejarah Hukum Islam, hal. 20
16
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, hal. 152
17
Ahmad Hanafi, pengantar Sejarah Hukum Islam, hal... hal. 21-22

17
7) Bahwa tujuan susunan hidup manusia yang khusus dan umum, mendatangkan
kebahagiaan alam seluruhnya.18

Ushul fikih memiliki peran sentral dalam proses istinbath ahkam (penggalian hukum),
karena tiada satu hukum dalam hukum-hukum fikih yang tidak didasarkan kepada kaidah-
kaidah ushul fikih. Jika diibaratkan, ushul fikih merupakan pabrik, nash-nash al-Qur’an dan
Hadis sebagai bahan-bahannya, sementara fikih adalah produk dari pabrik itu sendiri.

Secara istilah, ushul fikih adalah kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan-


pembahasan yang dijadikan perantara untuk menggali hukum-hukum syar’i dari dalil-
dalilnya yang terperinci. Dengan demikian, tidak akan ada produk hukum fikih tanpa melalui
proses penggalian menggunakan teori ushul fikih.

Berbeda dengan ilmu tafsir dan hadis (yang hanya menggunakan peran teks wahyu),
ilmu matematika dan ilmu filsafat (yang hanya menggunakan peran nalar logika), Ilmu ushul
fikih di samping kaidah-kaidahnya didasarkan kepada teks-teks wahyu, ia juga menggunakan
peran nalar logika dalam membuat kaidah-kaidahnya.

9. Pemetaan Fiqih dan Ushul Fiqih

18
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, hal. 152

18
o Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan bidang ubudiah, seperti shalat,
puasa, dan ibadah haji. Inilah yang kemudian ia sebut dengan fiqih ibadah.
o Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, seperti
perkawinan, perceraian dan status nasab. Inilah yang kemudian ia sebut sebagai ahwal
al-syakhsiyah.
o ketentuan hukum yang berkaitan dengan hubungan sosial antara umat islam, dalam
konteks hubungan ekonomi dan jasa. Seperti jual beli, sewa-menyewa dan gadai.
Bidang ini kemudian ia sebut sebagai fiqih muamalah.
o Ketentuan hukum yang berkaitan dengan sanksi-sanksi terhadap pelaku tindak
kejahatan kriminal. Seperti qisas, diyat dan hudud. Bidang ini kemudian disebut
sebagai fiqih jinayah.
o Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur masalah-masalah hubungan warga negara
dengan pemerintahannya, serta hubungan antara satu negara dengan yang lainnya.
Pembahasan bidang ini dinamakan sebagai fiqih siyasah
o Ketentuan-ketentuan yang mengatur etik pergaulan antara seorang muslim dengan
yang lainnya dalam tatanan kehidupan sosial. Bidang ini kemudian disebut sebagai
Al-ahkam khuluqiyah.19

19
Musthafa Ahmad Zarqa. 1986. Fiqh Islam Fi Tsaubihi Jadid : Al-madkhal Fiqh Am. Damaskus: Dar Fikr. Juz 1
hlm 55.

19
10. Simpulan

Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syar'i yang bersifat amali yang digali dari
dalil-dalil terperinci. Adapun objek pembahasan dalam ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf
dilihat dari sudut hukum syara, perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kelompok
besar: ibadah, dan muamalah . Fiqih telah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW akan
tetapi belum berbentuk ilmu serta belum terkodifikasi, namun sekitar abad ke-2 Hijriyah
mulai terkodifikasi, adapun kitab fiqih yang pertama dikodifikasikan adalah kitab al-
muwatho karangan Imam Malik.

Ushul fiqih ialah ilmu yang mengkaji tentang dalil fiqih berupa kaidah untuk
mengetahui cara penggunaannya, mengetahui keadaan orang yang menggunakannya
(muttahid) dengan tujuan mengeluarkan hukum amali ( perbuatan) dari dalil dalil secara
terperinci dan jelas .Objek pembahasannya mengkaji dalil yang masih bersifat umum dilihat
dari ketetapan hukum yang umum pula puncak tujuan mempelajarinya adalah untuk
memelihara agama Islam dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil-dalil syara’, hingga
terhindar dari kecerobohan yang menyesatkan.

Sejarah perkembangan ilmu ushul fiqih terbagi kepada dua periode: Pertama: periode
ushul fiqih sebelum dibukukan meliputi masa sahabat, masa tabi’in, dan mujtahid sebelum
imam Syafi’I, Sumber hukum pada masa sahabat meliputi al-Qur’an dan Hadits tetapi di
tambah dengan ijtihad sahabat. Kemudian masa tabi’in, tabi’ al-tabi’in serta imam-imam
mujtahid (abad ke-2 dan ke-3 H). Pada masa ini, istinbat sudah mengalami perluasan
dikarenakan banyaknya kejadian yang muncul akibat bertambah meluasnya wilayah
kekuasaan Islam, sumber hukum yang digunakan meliputi al-Qur’an, sunah Rasulullah, fatwa
sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah, masa sebelum imam Syafi’I di kenal dua tokoh
utama yaitu: pertama Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H), dasar istinbatnya secara
berurutan menggunakan al-Qur’an sunah, fatwa sahabat dan pendapat yang disepakati oleh
para sahabat. Kedua, Imam Malik bin Anas, selain Al-Qur’an dan Hadits ia menggunakan
praktik ahli Madinah. Imam Malik seperti halnya Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan
karyanya dalam bidang ushul fiqih. Ilmu ushul fiqih tumbuh pada abad kedua hijrah yang
dilatarbelakangi oleh perdebatan sengit antara ahlul hadis dan ahlu al-ra’yi. Penghujung abad
kedua dan awal abad ketiga hijrah muncul Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150 H – 204 H),
yang membukukan ilmu ushul fiqih dengan karyanya yang bernama al-Risalah.

20
Daftar Pustaka

Nurhayati, M. Ag, and Ali Imran Sinaga. Fiqh dan ushul fiqh. Kencana, 2018.
Shidiq, Sapiudin. Ushul fiqih . Kencana, 2017.
Syarifudin, H.Amir. Ushul Fiqih Jilid I. Jil. 1.Prenada Media, 2014.
Effendi, H. Satria, dan M. Zein. Ushul Fiqih: Edisi Pertama . Prenada Media, 2017.
Haries, DR H. Akhmad, MSI S AG, dan HS Maisyarah Rahmi. Ushul Fiqh: Kajian

Komprehensif Teori, Sumber Hukum dan Metode Hukum Istinbath . Penerbitan Media
Bening, 2021.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid 1. Republika Penerbit, 2017.

Pudjihardjo, M., Desi Tri Kurniawati, and Nur Faizin. Ushul Fikih Ekonomi Syariah.
Universitas Brawijaya Press, 2021.

Adam, Panji. Hukum Islam: Konsep, Filosofi dan Metodologi. Sinar Grafika, 2021.

Rosyadi, Imron, dan Muhammad Muinudinillah Basri. Usulan Yurisprudensi Hukum


Ekonomi Syariah . Pers Universitas Muhammadiyah, 2020.

Latip, Abdul. "Ushul Fiqih dan Kaedah Ekonomi Syariah." Medan: Merdeka Kreasi Group
(2021).

Hermawan, Iwan. Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam. Hidayatul Quran, 2019.
Al-Khin, Mustafa Said. Sejarah Ushul Fiqih . Perpustakaan Al-Kautsar, 2014.
Zaki, Muhammad. "Fikih, Ushul Fikih dan Qawaid Al-Fiqhiyyah dalam Lintasan Sejarah."

21

Anda mungkin juga menyukai