Anda di halaman 1dari 16

Konsep Ushul Fikih

Makalah disusun untuk tugas mata kuliah Study Materi di MTs dan MA
Dipresentasikan pada: Senin, 21 November 2022

Dosen Pengampu:
Dini Arifah Nihayati, M.H.

Disusun oleh kelompok 12/PAI K:


Mohammad Irsyad Mahfud (201200339)
Mohammad Fauzi Nordiansyah (201200340)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
TAHUN 2022
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Ilmu fiqih tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang muslim,
sebab ilmu fiqih merupakan ilmu yang berisikan aturan-aturan syariat yang
diperlukan kaum muslimin dalam beribadah dan bermuamalah. Salah satu
unsur dalam menyusun fiqih adalah ushul fiqih. Kebutuhan umat Islam
terhadap ilmu ushul fiqih seharusnya sudah tidak diragukan lagi. Kebutuhan
umat akan Ilmu Usul Fikih ini di antaranya adalah disebabkan oleh
berkembangnya permasalahan umat, sementara wahyu sudah tidak turun
lagi. Terhentinya wahyu ini membuat umat Islam membutuhkan suatu
kaidah dan metode yang bisa dijadikan patokan untuk mengambil hukum
Fikih. Metode inilah yang selanjutnya dinamakan dengan Usul Fikih.
Namun sayangnya dewasa ini, muncul pemikiran yang diusung suatu
golongan yang mencoba memahami nash (teks), baik Al-Quran maupun
Sunnah, secara langsung tanpa melalui perangkat metodologi yang jelas.
Bahkan tidak jarang, hanya dengan bermodalkan Al-Quran dan
terjemahannya. saja, mereka sudah berani menyimpulkan suatu hukum.
Dalam memahami Sunnah, mereka juga terkadang hanya terpaku pada satu
hadis dan melihat maknanya yang tekstual saja, tanpa mampu
memahaminya sesuai dengan cara-cara yang ditempuh para ulama terdahulu
(salafus shalih) dalam memahami nash. Kekeliruan metodologis dalam
memahami nash (teks) ini dapat berakibat fatal dalam memahami
ajaranajaran agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. Hukum-hukum yang disimpulkan dan dikeluarkan dari
metode yang tidak jelas juga akan semakin menjauhkan dari ruh dan maksud
dari pensyariatan (maqashid syariah).
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu fiqih dan ushul fiqih
2. Apa saja objek pembahasan ilmu fiqih dan ushul fiqih?
3. Apa tujuan mempelajari fiqih dan ushul fiqih?
4. Bagaimana pertumbuhan ilmu fiqih dan ushul fiqih?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian fiqih dan ushul fiqih.
2. Untuk mengetahui objek pembahasan ilmu fiqih dan ushul fiqih.
3. Untuk mengetahui tujuan mempelajari fiqih dan ushul fiqih.
4. Untuk mengetahui pertumbuhan ilmu fiqih dan ushul fiqih.
BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Fiqih dan Ushul Fiqih


1. Pengertian Fikih
Kata “fikih” ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata kerja dasar
bahasa Arab ‫ فقها فقه يفقه‬yang memiliki beberapa arti, yaitu; “memahami
secara mendalam, mengerti, dan ahli”. Paham di sini maksudnya adalah
paham dan mengerti maksud yang dibicarakan. Adapun “fikih” ditinjau dari
segi istilah, dikutip sebagaimana pendapat Abdul Wahab Khalaf1:
‫مجموعة األحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلَتها التفصيل َية‬

Artinya: Fikih adalah kumpulan (ketetapan) hukum syara’ yang


berkenaan dengan perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalilnya yang
jelas dan terperinci.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa fikih itu berkaitan
dengan berbagai ketentuan hukum syara’, baik yang telah ditetapkan
langsung oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits
maupun berbagai ketetapan maupun hukum syara’ yang ditetapkan oleh
para ahli fikih atau mujtahid dari masa ke masa.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan hukum syara’ adalah
ketentuan hukum yang terkait dengan perbuatan manusia dari berbagai
aspek kehidupan. Dengan kata lain, hukum syara’ adalah sejumlah
ketentuan hukum yang mengatur semua perbuatan manusia yang meliputi
nilai dan ukurannya,namun ia tidak mencakup persoalan yang berhubungan
dengan aqidah. Dalam pada itu, hukum syara’ haruslah didasarkan pada
dalil-dalil yang terperinci yang dijadikan pijakan dan merupakan sumber
pembentukan hukum syara’.

1
Abd. Al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Al-Majlis al-A`la al-Indonesia li al-
Dakwah al- Islamiyyah, 1972) hlm. 11
2. Pengertian Ushul Fikih
Adapun Kata “Usul al-fikih” terdiri dari dua kata, yaitu “Usul” dan
“al-Fikih” yang dipakai menjadi nama sesuatu tertentu dan kata-kata
tersebut tidak terlepas dari makna dasar setiap kata sebelum disatukan
menjadi nama sesuatu tertentu itu.2
Dilihat dari sudut tata bahasa Arab, rangkaian kata ushul dan fikih
tersebut dinamakan tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi pengertian
ushul bagi fikih, Usul ‫أصول‬adalah bentuk jamak dari kata asl ‫اصل‬yang
menurut bahasa diartikan dengan dasar suatu bangunan atau tempat suatu
bangunan.3 Asl berarti dasar, seperti dalam kalimat “Islam didirikan atas
lima usul (dasar atau fondasi)”. Masih banyak pengertian yang dapat
diambil dari kata asl seperti, cabang, yang kuat, fondasi suatu bangunan dan
seterusnya. Jadi Usul fikih berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fikih.
Akan tetapi pengertian yang lazim digunakan dalam ilmu usul fikih adalah
dalil, yang berarti usul fikih adalah dalil-dalil bagi fikih.
Sedang menurut istilah, asl dapat berarti dalil (landasan hukum),
seperti dalam ungkapan “asl dari wajibnya shalat adalah firman Allah dan
Sunnah Rasul”. Maksudnya ialah bahwa dalil yang menyatakan salat itu
wajib adalah ayat Alquran dan Sunnah Rasulullah. Ushul fikih sebagaimana
dijelaskan oleh Muhammad al-Syaukani bahwa fungsi ushul fikih adalah
mengetahui kaidah-kaidah yang dapat digunakan sebagai alat untuk
menggali (istimbath) hukum-hukum furu’ dari dalil-dalilnya yang rinci dan
jelas.
Selanjutnya definisi ushul fikih menurut Qutub Mustafa Sanu’
dalam kitab Mu’jam Mustalahat menurutnya ushul fikih adalah kaidah-
kaidah kulliyyah yang digunakan oleh seorang mujtahid untuk memahami
nash al-kitab dan al-sunnah.

2
Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut : Dar
al-Kutub al-Arabi, 1404 H.).9
3
Muhammad Abu Zahrah, Malik Hayatuh wa `Ara`uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dar al-Fikr al-
`Araby, tt.),7
Definisi di atas menyimpulkan bahwa ushul fikih merupakan sarana
atau alat yang dapat digunakan untuk memahami nash al-Qur’an dan as-
Sunnah agar dapat menghasilkan hukum-hukum syara’. Dengan kata lain,
ushul fikih merupakan metodologi atau teori yang tidak hanya digunakan
untuk memahami hukum-hukum syara’ saja, melainkan juga dapat
berfungsi untuk menetapkan dan menghasilkan hukum-hukum syara’ yang
bersifat furu’iyah.
B. Objek Pembahasan Fiqih dan Ushul Fiqih
1. Obyek Pembahasan Ilmu Fikih
Ilmu fikih merupakan cabang (furu’) dari ilmu ushul fikih. Yang
menjadi obyek pembahasan dari ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf
dilihat dari sudut hukum syara`.11 dan nilai-nilai hukum yang berkaitan erat
dengan perbuatan tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa perbuatan seorang
mukallaf itu berkaitan erat dengan taklif syar’i yang menjadi beban seorang
mukallaf dalam berbagai aspek kehidupannya. Perbuatan tersebut dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok besar : Ibadah, Muamalah, dan
`Uqubah.
Aspek ibadah menyangkut hubungan vertikal antara manusia
dengan Allah Swt. dan juga menyangkut segala persoalan yang berkaitan
erat dengan urusan mendekatkan diri kepada Allah Swt. seperti sholat,
puasa, zakat dan haji serta berbagai bentuk amal kebaikan yang lainnya.
Dari sini pula muncul istilah ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang memiliki syarat dan rukun yang
ditentukan oleh syari’at dan pelaksanaannya dijelaskan dalam al-Qur’an dan
al-Hadits.
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang sifat, bentuk, kaifiat dan
waktunya tidak dijelaskan secara rinci, namun al-Qur’an dan al-Hadits
hanya memberikan dorongan atau motivasi yang tinggi agar manusia
berkeinginan yang tinggi mengerjakan kebajikan dan amal shaleh dalam
berbagai hal dan kesempatan semata hanya mengharapkan ridlo Allah Swt.
seperti saling tolong-menolong dalam berbuat kebaikan, mencari ilmu,
meringankan beban sesama yang terkena musibah, dan lain sebagainya.
Ibadah ini merupakan kewajiban manusia sebagai hamba Allah Swt. dan
sekaligus merupakan bentuk pengabdian diri manusia sebagai hamba Allah
Swt. yang beriman dan bertaqwa.
Aspek mu’amalah meliputi hal hal yang berkaitan dengan interaksi
sesama manusia. Seperti hal-hal yang terkait dengan harta, jual-beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, titipan syirkah, siyasah dan lain sebagainya.
Aspek `uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak
pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan dan
lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti qisas,
had, diyat dan ta`zir..4
2. Objek Pembahasan Ushul Fikih
Objek kajian Usul Fikih Berdasarkan definisi yang dikemukakan
para ulama usul fikih di atas, seorang ahli fikih dan usul fikih dari Syiria,
Wahbah az-Zuhaili5 mengatakan bahwa yang menjadi objek kajian usul
fikih adalah dalil-dalil (sumber-sumber) hukum syar’i yang bersifat umum
yang digunakan dalam menemukan kaidah-kaidah yang global dan hukum-
hukum syar’i yang digali dari dalil-dalil tersebut. Pendapat ini sedikit
berbeda dengan kebanyakan ahli usul yang biasanya membatasi hanya pada
dalil-dalilnya saja, sementara Wahbah az-Zuhaili kelihatannya lebih teknis
dan lebih operasional.
Obyek pembahasan ilmu ushul fikih adalah syari’at yang bersifat
kulli atau yang menyangkut dalil-dalil hukum. Baik dalil-dalil hukum ini
menyangkut dalil-dalil hukum nash yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-
Hadis ataupun dalil-dalil yang ijtihadiyah.
Dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits kajiannya
berkaitan dengan berbagai bentuk karakteristik lafazd nash, yaitu :
a. Lafadz nash dari segi bentuknya

4
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009), 5.
5
Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 1, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986), 27.
b. Lafadz nash dari segi cakupan maknanya
c. Lafadz nash dari dilalahnya
d. Lafadz nash dari segi jelas dan tidak jelasnya serta macam-macam
tingkatannya
e. Lafadz nash dari segi penggunaannya
f. Hukum syara’ dalam kaitannya dengan makna hukum, pembagian
hukum dan obyek serta subyek hukum.
Dalil-dalil ijtihadiyah ini merupakan dalil-dalil yang dirumuskan
berdasarkan ijtihad ulama’. Dalil-dalil tersebut seperti :
a. Al-Ijmak
b. Al-Qiyas
c. Al-Istihsan
d. Al-Maslahah Mursalah
e. Al-Istishab
f. Sadzudz Dzari’ah
g. Al-‘Urf
h. Syar’u Man Qablana
i. Mazhab Sahabi

C. Tujuan Mempelajari Fiqih dan Ushul Fiqih


1. Tujuan mempelajari Fikih
Tujuan mempelajari fikih adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh
Abdul Wahab Khalaf adalah terkait dengan penerapan hukum syara’ yang
berhubungan dengan perbuatan ataupun perkataan seseorang. Dan fikih
merupakan rujukan bagi para hakim dalam menetapkan dan memutuskan
serta menerapkan hukum yang berkenaan dengan perbuatan dan perkataan
seseorang. Begitu pula fikih sebagai rujukan bagi setiap orang untuk
mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan dan perkataan
seseorang. Kemudian dengan mempelajari fikih manusia akan mengetahui
mana yang halal dan mana yang haram, mana yang boleh dan mana yang
tidak boleh. Kesemuanya itu merupakan kebutuhan manusia agar tercipta
kemaslahatan dalam hidup dan kehidupan manusia baik di dunia maupun
nanti di akhirat.
2. Tujuan mempelajari Ushul Fikih
Mengingat posisi Ushul Fikih ini sangat vital dalam hukum Islam, maka
mengetahui tujuan mempelajari Ushul Fikih ini sangat penting. Para ulama
telah menyimpulkan bahwa mempelajari Ushul Fikih sesungguhnya akan
membawa seorang muslim sampai pada pemahaman tentang seluk-beluk
dan proses penetapan hukum dan dalil-dalil yang melandasinya.Tujuan
mempelajari ilmu ushul fiqh adalah mengetahui dan menerapkan dalil-dalil
ijmaly untuk menggali hukum-hukum syar’i yang bersifat amaly tersebut,
tujuan kita mempelajari ushul fiqh adalah mengetahui nalar dan metode
yang dilakukan para mujtahid. Belajar ushul fiqh juga membuat kita dapat
memahami mustanad (pijakan) yang digunakan oleh seorang mujtahid.
Karena, ushul fiqh, sebagaimana ditegaskan Wahbah Az-Zuhaily,
merupakan salah satu ilmu yang harus dimiliki seorang mujtahid selain ilmu
bahasa Arab dan ilmu hadits.6 Sementara itu, sebagaimana dikatakan Wahab
Khalaf, tujuan dan manfaat mempelajari fiqh bersifat praktis, yaitu
mengetahui hukum-hukum fiqh atau hukum-hukum syar’i atas perbuatan
dan perkataan manusia. Selanjutnya, setelah mengetahui, tujuannya agar
hukum fiqh diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada artinya ilmu
tentang hukum fiqh yang tidak dipraktekkan dalam kehidupan. Secara lebih
perinci, Wahba Zuhaili menyebutkan bahwa tujuan dan manfaat
mempelajari Ushul Fikih itu sebagai berikut :
a. Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan oleh para
fuqaha’ atau mujtahid dalam istinbath hukum syara’.
b. Untuk memperoleh kemampuan dalam melakukan istinbath hukum
dari dalil-dalilnya, terutama bagi mujtahid. Seorang mujtahid
dituntut mampu menggali dan menghasilkan berbagai ketetapan
hukum syara’ dengan jalan istinbath

6
M. Noor Harisudin, ILMU USHUL FIQIH, Jember: Pena Salsabila, 2014, 7
c. Bagi mujtahid khususnya, akan membantu mereka dalam
melakukan istinbath hukum dari dalil-dalil nash.
Dengan mempelajari Ushul Fikih para peneliti (mujtahid) akan mampu
mentarjih dan mentakhrij pendapat para ulama terdahulu, atau menetapkan
hukum-hukum yang terkait dengan kepentingan manusia baik secara
individu maupun kolektif.

D. Pertumbuhan Fiqih dan Ushul Fiqih


1. Pertumbuhan dan Perkembangan Fikih
Hukum Fikih tumbuh berkembang seiring dengan perkembangan
Islam. Karena agama Islam adalah kumpulan dari beberapa unsur yaitu
aqidah, akhlak dan hukum suatu perbuatan. Jika kita ingin mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan Fikih, maka kita dapat melihatnya secara
periodesasi dan tahapan-tahapannya. Ulama telah membagi kepada berapa
periodesasi dari pertumbuhan dan perkembangan Fikih. Sebagaimana
dijelaskan oleh Jadul Haq Ali Jadul Haq bahwa pertumbuhan dan
perkembangan Fikih itu dapat dibagi menjadi lima periode. Pertama,
periode Nabi dan masa kedatangan Islam; kedua, periode sahabat dan
tâbî’in; ketiga, periode kodifikasi (tadwin) Fikih dan kematangannya;
keempat, periode berhentinya ijtihad; dan kelima, merupakan periode
kebangkitan
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fikih
a. Ushul fiqh masa Rasulullah SAW
Ushul fiqh lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah
kekuasaan umat Islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab
memeluk agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran
dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-
kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah
ilmu ushul fiqh, yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada
sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi,
sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah
sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh Kesimpulannya,
tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.7 Alasan ini benar
apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara
umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat,
misalnya dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat al-
Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah saw. Maka hal itu bisa
dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya
gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari al-Qur’an
atau bertanya kepada Rasulullah saw. Akan tetapi, cara pemecahan
demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan
demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu
pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
b. Ushul Fiqh Masa Sahabat
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para
sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk
memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas
khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang
hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah
Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir
mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.8
Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber
penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu
(nalar). Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para
sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk
memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas
khalifah.

7
Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-
Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. 122-123
8
Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT.
1994.19
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw, ushul fiqh
pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat
memang sering berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji
persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah
kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi.
Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk
menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat
masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau
permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian
hukum Islam kepada masalah metodologi.
c. Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabiin adalah masa setelah generasi sahabat. Patut dicatat bahwa
para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai
daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu
Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu
Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para
sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi
tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa.
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran
ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal
sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak
mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal
dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya
berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak
berbeda dengan metode istimbath sahabat.9
d. Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam
mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan
ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara

9
ZULHAMDI, Zulhamdi. Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh. At-Tafkir, 2018, 11.2:
62-77.
pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan
mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam
konsep ushul fiqh. Menurut para ahli baik dari kalangan Islam maupun
para ahli di luar Islam (orientalis), mengatakan bahwa Imam Syafi’i
adalah orang pertama yang merumuskan Ushul Fikih secara sistematis,
sehingga Ushul Fikih lahir sebagai cabang ilmu hukum Islam yang
posisinya sangat sentral dalam pemikiran hukum Islam. Imam Syafi’i
dipandang “The Founding Father of Islamic Law Theory” yaitu bapak
Ushul Fikih. Diakui meskipun sudah ada upaya sebelumnya untuk
merumuskan langkah-langkah dalam istinbath hukum yang dilakukan
oleh para pendahulu Imam Syafi’i, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik, akan tetapi belum merupakan suatu metode yang sistematis.
Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang
utama, yaitu:
1. Alquran
2. Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali
Alquran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber
kedua. engan kata lain, Ushul Fikih yang lahir sebagai suatu teori
hukum Islam merupakan hasil rumusan Imam Syafi’i. Rumusan itu
lahir setelah melewati telaah dan kajian akademik (kajian secara
mendalam) yang dilakukan oleh Imam Syafi’i terhadap berbagai
pemikiran Fikih yang masih sporadis atau belum sistematis dan masih
berserakan. Teori Ushul Fikih yang telah dirumuskan oleh Imam Syafi’i
secara sistematis itu dapat dilihat dalam karya monumental beliau, yaitu
kitab ar-Risalah yang hingga sekarang tetap menjadi rujukan oleh para
ahli hukum Islam dalam istinbath hukum. Setelah era Imam Syafi’i
berlalu, pembicaraan tentang Ushul Fikih tetap berlanjut dan semakin
meningkat. Kerangkah dasar yang telah diletakkan oleh Imam Syafi’i
ini dikembangkan oleh para murid, pengikutnya dan orang-orang yang
datang kemudian.
BAB III
Penutup

Konsep Ushul Fikih membahas pengertian Ushul Fikih. Dari definisi yang
telah dikemukakan para ulama ushul dapat dipahami bahwa Ushul Fikih merupakan
sarana atau alat yang dapat digunakan untuk memahami nash al-Qur’an dan as-
Sunnah agar dapat menghasilkan hukum-hukum syara’. Obyek pembahasan ilmu
Ushul Fikih adalah syari’at yang bersifat kulli atau yang menyangkut dalil-dalil
hukum. Baik dalil-dalil hukum ini menyangkut dalil-dalil hukum nash yang
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis ataupun dalil-dalil yang ijtihadiyah. Para
ulama telah menyimpulkan bahwa mempelajari Ushul Fikih sesungguhnya akan
membawa kita sampai kepada seluk-beluk dan proses penetapan hukum dan dalil-
dalil yang melandasinya.
Daftar Pustaka

Abd. Al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Al-Majlis al-A`la al-
Indonesia li al-Dakwah al- Islamiyyah, 1972)
Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut
: Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.)
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009)
Alwani. Thaha Jabir. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT.
1994
Harisudin. M. Noor, ILMU USHUL FIQIH, Jember: Pena Salsabila, 2014
Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf
al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994
Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 1, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986)
Zahrah. Muhammad Abu, Malik Hayatuh wa `Ara`uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dar al-
Fikr al-`Araby, tt.)
Zulhamdi. Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh. At-Tafkir, 2018, 11.2

Anda mungkin juga menyukai