Anda di halaman 1dari 19

SASARAN DAKWAH DAN APLIKASINYA DI MASYARAKAT

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Sosiologi Dakwah

Dosen Pengampu : Suprihatiningsih

Disusun Oleh :

1. Muhlisin Aliyu (1901016125)


2. Husain Rizky Zaidaan (1901016127)
3. Retno Dwi Novitasari (1901016131)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mad’u adalah objek dakwah bagi seorang da’i yang bersifat individual, kolektif, atau
masyarakat umum. Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah
satu unsur yang penting dalam sistem dakwah yang tidak kalah peranannya dibandingkan
dengan unsur unsur dakwah yang lain oleh sebab itu masalah masyarakat ini seharusnya di
pelajari dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah yang sebenarnya.
Maka dari itu sebagai bekal dakwah dari seorang da’i atau muballig hendaknya
memperlengkapi dirinya dengan beberapa pengetahuan dan pengalaman yang erat
hubungannya dengan masalah masyarakat terutama di kalangan masyarakat pedesaan,
perkotaan, terasing sampai masyarakat marginal serta penerapan aplikasi dakwah dalam
berbagai hal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana klasifikasi mad’u secara sosiologis beserta pilihan metodenya?
2. Bagaimana penerapan aplikasi dakwah sebagai ajakan?
3. Bagaimana penerapan aplikasi dakwah sebagai komunikasi?
4. Bagaimana penerapan aplikasi dakwah sebagai pembebasan?
5. Bagaimana penerapan aplikasi dakwah sebagai penyelamatan?
6. Bagaimana penerapan aplikasi dakwah sebagai membangun peradaban?
C. Tujuan
1. Mengetahui klasifikasi mad’u secara sosiologis beserta pilihan metodenya.
2. Mengetahui penerapan aplikasi dakwah sebagai ajakan.
3. Mengetahui penerapan aplikasi dakwah sebagai komunikasi.
4. Mengetahui penerapan aplikasi dakwah sebagai pembebasan.
5. Mengetahui penerapan aplikasi dakwah sebagai penyelamatan.
6. Mengetahui penerapan aplikasi dakwah sebagai membangun peradaban
BAB II

PEMBAHASAN

A. Klasifikasi mad’u secara sosiologis beserta pilihan metodenya.


Secara mendasar klasifikasi, mad’u ini tidak ada hubungannya dengan memetak-metak
kelompok ataupun pengkastaan golongan manusia atas manusia lainnya. Lebih dari itu,
pengklasifikasian mad’u memiliki maksud tersendiri yakni untuk memperoleh pengetahuan
tentang karakter-karakter yang khas dimiliki oleh suatu kelompok mad’u tertentu yang tidak
terdapat pada lainnya. Ada banyak Ulama yang menjelaskan tentang sasaran atau orang-orang
yang perlu di dakwahi. Sebagaimana menurut Muhammad Abu Fath Al-Bayanun Dakwah itu
ditujukan untuk orang kafir agar masuk Islam, juga di tujukan kepada Muslim untuk
memperbaiki keislaman mereka serta meningkatkan keimanan mereka. Kalau orang-orang kafir
di seru itu terdiri dari berbagai macam jenis dan modelnya, demikian juga objek dakwah dari
kalangan muslimin pun bermacam-macam. Hal ini tidak lain sebagai pengetahuan bagi para da’i
dalam menentukan kebijakan dakwah tentang bagaimana cara mensikapi dan berinteraksi dengan
masing-masing kelompok masyarakat sebagai mad’u tersebut. Karena, tentu sebelum melakukan
dakwah seorang da’i perlu mengetahui bagaimana latar belakang dari sasaran dakwah tersebut,
sehingga pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh sasarannya. Dengan begitu
disini kami akan membahas terkait klasifikasi mad’u berdasarkan sosiologisnya beserta metode
dakwahnya, sebagai berikut :
1. Masyarakat pedesaan
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah
camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia. Menurut Sutardjo Kartohadikusumo bahwa Desa adalah suatu kesatuan
hukum tempat tinggal suatu masyarakat berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Adapun
karakteristik dari masyarakat desa sendiri antara lain:1
a. Masyarakat desa pada umumnya kehidupannya masih erat hubungannya dengan alam, mata
pencaharian tergantung pada alam, hidup sederhana, rukun dan bergotong royong. Dengan
1
Akhmad Sukardi, “Dakwah Pada Masyarakat Pedesaan (Suatu Tinjauan Sosiologis)”. Jurnal
Al-Munzir, (Vol 8 No 2, 2015), hlm 134-135.
pola hidup seperti ini, masyarakat desa sangat akrab pada desa atau alam dan lingkungan
sekitarnya sehingga ada falsafah jawa yang mengatakan bahwa masyarakat desa lebih baik
tinggal di desanya saja, walaupun makan atau tidak makan, miskin atau kaya.2
b. Masyarakat religius/animisme/dinamisme. Masyarakat desa masih relatif sederhana, sangat
patuh terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.3
c. Mata pencaharian masyarakat desa sebagian besar hidup dengan mata pencaharian pertanian
(termasuk perkebunan, peternakan dan perikanan), baik bertani dengan cocok tanam di
ladang maupun di sawah,4 berdagang kecil (dagang kecil-kecilan) dan bagi desa pinggiran
kota bekerja di pabrik-pabrik. Selain itu mereka pemberani merantau keluar kota-kota besar
untuk mencari pencaharian. Hal ini didorong oleh adanya keinginan untuk mengubah nasib
dan meningkatkan status sosial dan status ekonomi.5
d. Kehidupan sosial budayanya bersifat statis, dan menoton dengan tingkat perkembangan yang
lamban.
e. Masyarakatnya kurang terbuka, kurang kritis, pasrah terhadap nasib, kurang kreatif, dan
cenderung mempertahankan yang sudah ada dan sulit untuk menerima unsur-unsur baru.
f. Memiliki sistem nilai budaya (aturan moral) yang mengikat dan dipedomani warganya dalam
melakukan interaksi sosial. Aturan itu umumnya tidak tertulis.
g. Penduduk desa bersifat konservatif, tetapi sangat loyal kepada pemimpinnya dan menjunjung
tinggi tata nilai dan norma-norma yang berlaku.
h. Masyarakat desa sangat menjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan gotong royong,
kekeluargaan, solidaritas, musyawarah kerukunan dan keterlibatan sosial. Sehingga, interaksi
yang terjadi dalam masyarakat pedesaan lebih intim dan langgeng.

Dari karakteristik yang ada, masyarakat pedesaan atau tradisional secara sistem memang
memiliki sifat yang kaku dan terkadang susah dalam hal menerima hal baru di lingkungannya,
sehingga perlu mengunakan berbagai pendekatan-pendekatan dalam ranah dakwah. Oleh karena
itu, sebelum melakukan dakwah seorang da’i harus mengetahui metode apa yang tepat agar
pesan yang disampaikan bisa diterima oleh sasaran yang kita akan hadapi, terutama pada
karakter masyarakat pedesaan. Berdasarkan karakteristik masyarakat desa diatas, ada beberapa
2
(Asmuni Syukir’ 1983: 88-89).
3
(Asmuni Syukir’ 1983:89).
4
(Asep Muhyiddin, Agus Ahmad Safei, 2002 : 146)
5
(Asmuni Syukir, 1983: 90).
model metode pengembangan dakwah di masyarakat pedesaan menurut Muhyiddin dan Safei
(2001: 151) sebagai berikut:

a. Pertama, menggunakan bahasa yang mudah dan sederhana serta kultur yang disesuaikan
dengan masyarakat pedesaan. Berbicara dengan seseorang sebaiknya disesuaikan dengan
budaya dan kultur yang disekelilingnya. Demikian halnya dengan dakwah, ketika
mengkomunikasikan ajaran Islam sebaiknya materi yang disampaikan disesuaikan dengan
tingkat intelektual mad’u setempat. Apabila diperlukan menggunakan bahasa yang ilmiah,
maka disampaikan dengan bahasa yang ilmiah, apabila yang dibutuhkan hanya dapat
dipahami dengan bahasa yang sederhana, maka cara penyampaiannya juga sederhana, tidak
perlu yang sulit-sulit. Akan sangat bagus, apabila dai ketika menyampaikan dakwahnya
menggunakan bahasa setempat, akan lebih mengena dan mudah dicerna oleh para audiennya.
b. Kedua, kerjasama dengan tokoh panutannya. Sebelum da’i berdakwah di pedesaan, ia harus
kenal dengan para tokoh panutan di lokasi tersebut, itu akan lebih memudahkan dalam
berdakwah. Ia dapat berkolaborasi dengan tokoh setempat dalam menginformasikan pesan-
pesan dakwah. Karena seperti diketahui, masyarakat pedesaan akan lebih mendengar apa
yang disampaikan oleh tokoh panutannya dibandingkan dengan orang lain. Disinilah
diperlukan kerjasama antara dai dengan tokoh setempat.
c. Ketiga, menggunakan bahasa lisan yang komunikatif. Hampir sama dengan yang pertama,
yaitu menggunakan bahasa yang sederhana, tapi penekanannya yang berbeda. Artinya
penggunaan bahasa yang komunikatif hendaknya para da’i tidak monoton dalam
menyampaikan pesan dakwahnya. Komunikasi yang dijalin tidak searah saja, tetapi
sebaliknya komunikasi yang dilakukan harus ada timbal baliknya, ada tanya jawab maupun
diskusi yang dikembangkan setelah penyampaian dakwahnya.
d. Keempat, menggunakan metode karya nyata yang sesuai kebutuhan. Karya nyata dapat
dipahami sebagai suatu produk yang dapat dijadikan sebagai sarana dan wasilah dakwah.
Produk atau karya nyata banyak sekali macamnya. Semisal dalam pendidikan, da’i dapat
bekerja sama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat untuk mendirikan TPQ
(Taman Pendidikan al-Quran), MADIN (Madrasah Diniah) bila di desa tersebut belum
memilikinya. Apabila sudah memilikinya, maka yang diperlukan adalah meningkatkan
kualitas pembelajaran dan kuantitas para peserta didiknya, disamping memikirkan masalah
lainnya seperti membangun saluran air, memperbaiki jalan yang rusak, membuat sumur
untuk pengairan sawah, dan sebagainya.
e. Kelima, mendekatinya sesuai dengan karakteristik masyarakat perdesaan. Beberapa
karakteristik masyarakat pedesaan adalah ketaatan, gotong-royong dan kepedulian. Mereka
taat akan petuah-petuah yang disampaikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat,
semisal ada satu keluarga yang sedang membangun rumah, mereka secara sukarela bergotong
royong membantunya, demikian juga mereka lebih peduli dengan segala sesuatu yang terjadi
di masyarakatnya. Karakteristik tersebut dapat dijadikan dan disisipi dengan pesan-pesan
dakwah sebelum memulai kegiatan, semisal gotong-royong tadi.
f. Keenam, mencarikan solusi dari problem yang muncul. Masyarakat pedesaan identik dengan
masalah kemiskinan, walau sebenarnya masalah kemiskinan bukan terjadi hanya di pedesaan,
di perkotaan juga ada masalah kemiskinan, hanya saja kemiskinan banyak menimpa orang-
orang yang berada di desa karena disebabkan banyak faktor. Kemiskinan hanya salah satu
problem yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan. Selain kemiskinan, masih ada problem
yang muncul dan terjadi di masyarakat, semisal masalah pendidikan, akses informasi,
infrastruktur yang belum memadai dan sebagainya. Kemiskinan dan problem yang ada harus
dicarikan solusinya, dai, ormas keagamaan, para tokoh agama, dan tokoh masyarakat serta
pemerintah desa memiliki peran yang sentral untuk mencarikan solusi yang dihadapi oleh
mereka.
2. Masyarakat perkotaan
Masyarakat perkotaan sering disebut (urban community), masyarakat kota lebih
ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan
masyarakat pedesaan. Kota adalah suatu pemilihan yang cukup besar, padat dan permanen,
dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya, oleh karena itu urgensi memahami
dan menjelaskan perlunya variasi strategi atau metode dakwah dalam menghadapi dinamika
masyarakat perkotaan (modern) sebab memiliki ciri yang berbeda dengan masyarakat pedesaan
yang tentunya pelaku dakwah senantiasa mempunyai materi dakwah yang kondisional. Sehingga
kita perlu mengetahui karakteristik masyarakat perkotaan terlebih dahulu, antara lain:6
a. Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang
kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.

6
Iskandar. “Dakwah Pada Masyarakat Perkotaan”, hlm 35-36.
b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada
orang lain (Individualisme). Sehingga kebersamaan dan kolektivitas berkurang karena
disibukkan dengan profesi setiap individu dalam menjalankan kehidupannya
c. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas
yang nyata.
d. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh
warga kota.
e. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga
kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-
kebutuhan seorang individu.
f. Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam
menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
g. Sebagian besar masyarakat kota memang materialistik. Hal tersebut dipengaruhi tingkat
persaingan yang tinggi dan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan diperlukan
pengorbanan yang besar.7
Masyarakat kota merupakan masyarakat yang telah maju dalam berbagai bidang,
sehingga perlu ada filterisasi pola hidup yang cenderung lebih banyak menjadi individualisme
dan materialisme yang merupakan salah satu dari karakteristik masyarakat perkotaan, sehingga
perlu ada langkah-langkah kongkrit dakwah yang harus dilakukan dalam menghadapi serbuan
pola hidup individualisme dan materialisme yang dibangun dari kacamata keislaman. Hal ini
dapat dengan melakukan dakwah dengan pedekatan persuasif dan inovatif hal ini dimaksudkan
sebagai upaya memasukkan ajaran agama selaras dengan kepentingan masyarakat. Artinya da’i
harus mampu memahami mad’u nya. Jika dikaitkan dengan tipologi masyarakat pada umumnya,
dapat diutarakan bahwa masyarakat kota dikategorikan sebagai masyarakat inovatif, karena
umumnya mereka senantiasa berfikir ke depan.
Teknik pelaksanaan dakwahnya lebih ditekankan kepada cara yang sesuai bagi situasi
masyarakat kota. Dalam hal ini lebih sesuai apabila menggunakan media dakwah yang relevan
dengan kesibukan masyarakat kota. Seperti halnya dengan dakwah kontemporer secara realitas
para pelaku dakwah menggunakan fasilitas teknologi modern seperti menyampaikan nilai-nilai
Al-Qur’an dengan metode tematik. Walaupun kita sadari bahwa para pelaku dakwah banyak

7
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah, (Cet.I; Surabaya: Usha offset printing, 1983), h. 91.
yang tidak bisa mengoperasionalkan komputer dengan baik, sehingga banyak tidak mampu untuk
membuka Holy Qur’an yang lagi berkembang dewasa ini. Munculnya Holy Qur’an, Holy Hadits
dan beberapa CD kitab kutubut-tis’a merupakan kemajuan yang luar biasa, dakwah lewat
Multimedia Messaging Service (mms) sebagai media untuk mengirim pesan-pesan normatif,
tentunya mempercepat pesan-pesan dakwah dalam masyarakat perkotaan.
3. Masyarakat terasing
Masyarakat terasing merupakan golongan suku bangsa yang terisolasi dan masih hidup
dari berburu, meramu atau berladang padi dan umbi-umbian dengan cara ladang berpindah-
pindah. Secara teritorial, istilah masyarakat suku terasing umumnya diartikan sebagai masyarakat
yang terisolasi dan memiliki kemampuan terbatas untuk berkomunikasi dengan masyarakat
masyarakat lain yang lebih maju, sehingga bersifat terbelakang serta tertinggal alam
pengembangan kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, keagamaan dan ideologi.8
Sebagaimana dikemukakan oleh Mubyarto, indikator atau ciri-ciri dari masyarakat suku terasing
pada umumnya antara lain:
a. Hidup berkelana, menetap sementara atau menetap dalam kelompok terpencar. Hal ini karena
komunitas adat terpencil itu kehidupannya sangat tergantung dengan alam sekitarnya dan
pekerjaan mereka sebagai peladang berpindah dan berburu.
b. Sumber penghidupannya tergantung dengan alam sekitarnya seperti berburu, meramu,
menangkap ikan, dan bercocok tanam secara berpindah-pindah.
c. Perilaku hidup sehat masih sangat rendah yakni menyangkut kesehatan diri dan kesehatan
lingkungannya yang kurang bersih.
d. Busana yang dipakai masih sangat sederhana dan ada yang sekadar menutup aurat.
e. Kondisi pemukiman yang tidak layak huni, seperti rumah yang tanpa ventilasi dan sering
menyatu dengan gudang dan kandang ternak.
f. Tingkat pengetahuan dan teknologi (bercocok tanam dan pengolahan pangan) yang dikuasai
masih sangat sederhana dan terbatas.
g. Sistem kepercayaan umumnya masih menganut animisme dan dinamisme.
h. Keterikatan pada sistem nilai dan adat istiadat sehingga cenderung bersikap tertutup dan sulit
untuk menerima inovasi.9
8
Departemen Sosial RI, Pembinaan Terhadap Masyarakat Terasing, (Jakarta: Departemen Sosial RI,
1989), h. 1.
9
Mubyarto, op. cit., h. 17.
Kelompok-kelompok masyarakat terasing tersebut antara lain: orang Sakai yang mendiami
daerah pinggir sungai Indragiri Riau, orang Kubu di Jambi, orang Akit atau Talang di hulu
sungai Siak, Kampar, Mandan, dan Rokan. Kemudian orang Mentawai dan Enggano di Sumatera
Barat, orang Dayak Punan di Kalimantan, orang Badui di Jawa Barat, orang To Pembuni dan To
Seko di Sulawesi Selatan, orang Donggo di pergunungan Bima, orang Tugutil di Pulau
Halmahera, orang Baham, Bauzi, Mek, Dani Asmat, Senggi, Arso di Papua, orang laut di Nusa
Tenggara, dan lain-lain.
Dari Kenyataan di atas maka sangat diperlukan pembinaan sosial kemasyarakat yang
terus menerus, baik dari pemerintah sendiri maupun dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)
serta organisasi sosial keagamaan yang berkepentingan untuk mengangkat derajat kehidupan
mereka. Sementara, masyarakat terasing sebagai kelompok spesifik dan minoritas memerlukan
pendekatan-pendekatan khusus, baik budaya, cara hidup, tingkat kesehatan, interaksi sosial,
maupun kehidupan keagamaan. Karenanya kehadiran dakwah menjadi sangat urgent dalam
komunitas mereka.
Secara umum, permasalahan dakwah yang melingkupi kehidupan masyarakat suku
terasing ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, beberapa permasalahan dakwah yang bersifat
ekstern terhadap suku terasing ini, di antaranya adalah; masalah pendidikan, masalah sistem
kepercayaan, dan masalah mata pencaharian serta ekonomi. Kedua, permasalahan dakwah yang
bersifat intern, misalnya materi dakwah yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi dan
kehidupan masyarakat suku terasing, terkadang da’i tidak menguasai secara fasih bahasa,
budaya, atau pun nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat suku terasing, terkadang
timbul perasaan atau sikap yang kurang simpatik dari da’i, dan lain-lain. Oleh karena itu
perlunya mengetahui terlebih dahulu kondisi dan situasi dari sasaran masyarakatnya guna
menentukan metode apa yang sesuai dengan keadaan tersebut terutama pada masyarakat terasing
ini. Adapun metode yang digunakan dalam memberikan dakwah kepada masyarakat terasing
sebagaimana diutarakan Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safei, antara lain adalah:
a. Keterlibatan da’i secara langsung dalam pengentasan kemiskinan, keterbelakangan, dan
pencarian solusi dari serbaneka persoalan kehidupan yang sedang mereka hadapi.
b. Manajemen pembangunan masyarakat yang baik dan teratur dalam rangka perekayasaan
sosial dan pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, peningkatan
kualitas SDM, pranata sosial keagamaan serta menumbuhkan pengembangan
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
c. Peningkatan sosial budaya masyarakat melalui upaya pentransformasian dan
pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan masyarakat luas seperti
kegiatan humaniora, seni budaya, penggalangan ukhuwah Islamiyah, pemeliharaan
lingkungan, kesehatan, dan lain-lain.
d. Melalui program jaring pengaman sosial (social safety net) yang lebih menyentuh
persoalan kebutuhan primer dan berorientasi pada kesetiakawanan serta kepedulian
sosial.
e. Melalui pemberdayaan (empowerment) fungsi dan kerjasama institusi-institusi sosial
yang memiliki visi, misi dan tugas yang sama dalam menangani problematika sosial
kehidupan masyarakat.
f. Melalui upaya kondisioning dalam pemahaman, sikap dan persepsi tentang
keberagamaan dan pembangunan manusia seutuhnya.
g. Membentuk jaringan kerjasama yang terkoordinir secara baik, sehingga tumpang tindih
program dapat dihindari, hemat tenaga dan biaya yang dikeluarkan serta waktu yang
lebih efisien.10
Berdasarkan kenyataan di atas, pola dakwah terhadap masyarakat suku terasing utamanya
adalah dakwah bil-hal. Dawam Rahardjo menyatakan bahwa masalah terpokok dan mendasar
yang menyangkut kehidupan rakyat banyak saat ini adalah ketertinggalan, keterbelakangan, atau
kemiskinan, yakni kemiskinan struktural, yang sering dikatakan timbul akibat sistem eksploitasi
yang tidak adil, sehingga sebagai solusinya perlu dilaksanakan pembangunan masyarakat yang
berwawasan dakwah bil-hal, yakni kegiatan dakwah yang lebih diarahkan kepada gerakan nyata
pembangunan, yang sifatnya pemberdayaan (empowering).11
4. Masyarakat marjinal
Masyarakat marginal adalah kelompok masyarakat yang tersisih atau disisihkan dari
pembangunan, sehingga tidak mendapat kesempatan untuk menikmati indahnya pembangunan,
dan biasanya lebih dikenal dikalangan umum. Masyarakat marginal adalah kelompok-kelompok
social yang dimiskinkan oleh pembangunan, sehingga biasanya masyarakat marginal pun sering

Asep Muhyiddin, dan Agus Ahmad Safei, op. cit., h. 155-156


10

11
Dawam Rahadjo, dalam Ade Ma’ruf dan Zulfan Heri (Peny.), Muhammadiyah dan Pemberdayaan
Rakyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 124.
mendapatkan tindak kekerasan dari elemen masyarakat lain dan juga sering mendapatkan
kekerasan sistematik yang dilakukan oleh negara (penguasa). Masyarakat marginal adalah
sekelompok masyarakat kecil prasejahtera atau kaum pinggiran. Dalam kata lain masyarakat
marginal adalah sekelompok masyarakat kecil yang terpinggirkan. Masyarakat marginal
termasuk kaum miskin yang bercirikan miskin dari segi pangan, ekonomi, pendidikan dan
tingkat kesehatan yang rendah.
Ciri-ciri masyarakat marginal sebagai berikut :
a. Tidak mempunyai mata pencarian yang jelas, tetap dan kehidupan mereka tergantung pada
situasi serta kondisi yang ada. Atau mempunyai mata pencarian yang tetap tetapi penghasilan
yang mereka dapatkan dibawah kebutuhan hidup.
b. Pola kehidupannya lebih emosional, peka dan sensitive trhadap masalah-masalah yang
berkenaan dengan kebutuhan pokok sehari-hari.
c. Kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang dan jelas alias
tunawisma, sehingga harus hidup berpindah-pindah.
d. Tingkat pemahaman, pengetahuan, sikap, dan persepsi tentang keagamaan mereka relative
masih rendah.
Dari karakteristik masyarakat marginal yang ada maka perlu adanya pendekatan metode
dakwah yang sangat serius. Khusunya dalam masalah dakwah yang terjadi pada masyarakat
pinggiran adalah permasalahan kesejahteraan pangan dan pendidikan, dan persoalan inilah yang
dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan dan psikologis yang lemah. Kemiskinan masyarakat
kelas bawah pinggiran adalah kemiskinan yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya,
baik jiwa, agama, keturunan maupun akalnya. Kemiskinan masyarakat pinggiran inilah yang
merupakan sasaran dakwah paling fundamental yang harus didekati dengan pendekatan
komprehensif, terutama dalam pemenuhan kebutuhan primer, misalnya; makan, tempat tinggal
dan pendidikan.12 Mengatasi problem kemiskinan di masyarakat ini, setidaknya terdapat dua
jalan dalam berdakwah. Pertama, memberi motivasi kepada kaum muslimin yang mampu
menumbuhkan solidaritas sosial. Kedua, dakwah dalam bentuk aksi-aksi nyata dan
programprogram yang langsung menyentuh kebutuhan sasaran dakwah.13 Oleh karena itu, perlu
menggunakan berbagai metode dalam mencapai keberhasilan dakwah antara lain:

12
Acep Aripudin, Sosiologi Dakwah, (Bandung: Rosdakarya, 2013), hlm. 22.
13
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hlm. 127.
a. Metode pertama adalah metode bi al-hikmah. Kata hikmah berasal dari kata “hakama” yang
berarti kebijaksanaan.14 Hikmah dalam konteks dakwah adalah penyampaian ajaran Islam
untuk membawa orang kepada kebenaran dengan mempertimbangkan kemampuan dan
ketajaman rasional atau kadar akal penerima dakwah.15 Menyampaikan dakwah di tengah
masyarakat pinggiran tidaklah mudah, karena kehidupan mereka di jalan yang “keras” dapat
mempengaruhi cara berperilaku anak-anak di sana. Ketika penyampaian materi
penekanannya adalah bi-al-hal dari para pengajar, baik dari ucapan maupun perilaku. Sebagai
da’i (pengajar) dituntut untuk mampu menempatkan bahasa yang sesuai dengan apa yang
mereka pahami (bahasa kaum).
b. Metode kedua adalah metode mujadalah. Mujadalah dari jadala yang mempunyai arti
berdebat. As-shobuni mengartikan munazarah yaitu berdebat dengan mengemukakan
argumen atau alasan yang mendukung ide atau pendapat yang dipegang. 16 Dalam berdiskusi
(mujadalah) Allah mengingatkan harus dengan ihsan, karena seringkali terjadi di masyarakat
dalam perbedaan pendapat. Masyarakat pinggiran yang mayoritas tentunya mempunyai
pemahaman agama yang masih minim. Maka ketika selesai penyampaikan materi dakwah
oleh para da’i, diberikan kesempatan untuk tanya jawab agar tidak terjadi perselisihan paham
yang mereka belum mengetahui landasan hukumnya.
c. Metode ketiga adalah metode propaganda. Metode ini berusaha mensyiarkan Islam dengan
cara mempengaruhi dan membujuk massa secara massal, cepat dan retorik. 17 Mengajak
masyarakat marginal untuk belajar agama khususnya me”ngaji” secara istiqomah tidaklah
mudah, dikarenakan mereka harus berbagi waktu dengan pekerjaan mencari uang.
Dari beberapa metode diatas tentu dalam lingkup penerapan dakwah kepada masyarakat
marginal tidaklah mudah, perlu adanya strategi yang memadai untuk mencapai keberhasilan
dakwah tersebut. Oleh karena itu, Para pelaku dakwah dalam menyampaikan pesan cenderung
mengajak masyarakat untuk lebih mengutamakan kesabaran, akan tetapi sikap masyarakat
marginal pada golongan modernis menganggap bahwa kaum marginal lebih cenderung pasrah
kepada keadaan. Cara berpikir melihat masalah keterbelakangan sebagai akibat dari ‘ada yang

14
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm.
287.
15
Aripudin, Op.Cit, 9
16
Muhammad Ali Ash-Shobuni, Shoffatu at-Tafasir, Jilid 2 (Beirut: Dar al Qolam, 1986), hlm. 149.
17
Amin, Loc. Cit, hlm. 103.
salah’ dalam mempolarisasi teologi umat Islam sehingga masyarakat marginal cenderung
fatalistik artinya perlu ada penafsiran baru terhadap keseluruhan konsep keagamaan secara
rasional. Dengan begitu formulasi dakwah bagi kaum marginal seperti anak jalanan yang
dicontohkan sebagai masyarakat termarginalkan, maka perlu memberikan pemahaman tentang
dinamika dakwah marginal, olehnya instrumen terpenting dalam menunjang terlaksananya
kegiatan dakwah diperlukan transformasi ilmu dan keterampilan bukanlah berupa masjid,
mushola, surau maupun pondok pesantren atau juga madrasah diniyyah melainkan rumah atau
gubuk sebagai tempat berteduh sekaligus tempat berlangsungnya transformasi ilmu dan
keterampilan yang biasa dikatakan rumah singgah, dimana rumah tersebut dibangun atau
dibiayai dari iuran sedikit hasil kerja atau aktivitas keseharian mereka.
Usaha-usaha yang dilakukan adalah berangkat dari dakwah yang di formulasikan bagi
mereka anak jalanan sebagai bagian dari kaum marginal. Dakwah yang berupa pemberdayaan
potensi-potensi yang ada pada mereka melalui berbagai pelatihan dan penyuluhan akan memberi
mereka suatu keterampilan yang mereka butuhkan. Pelatihan-pelatihan tersebut berupa
penyuluhan, pelatihan keterampilan dan juga pendampingan. Menjadi titik sentral pengkajian
menyangkut dakwah pada masyarakat marginal adalah dinamika anak jalanan, karena salah satu
fenomena sosial yang tidak pernah selesai yang merupakan masyarakat marginal adalah
munculnya anak jalanan di perkotaan akibat adanya kekurangan dalam pemenuhan hak-hak
seseorang sebagai anggota keluarga, warga masyarakat, dan hak sebagai manusia.18
B. Penerapan aplikasi dakwah sebagai ajakan.
Dakwah merupakan suatu ajakan atau seruan terhadap individu atau sejumlah orang,
untuk mengikuti amalan ajaran dan nilai-nilai Islam. Bagi yang belum Islam diajak untuk
menjadi muslim dan bagi yang sudah Islam diajak untuk menyempurnakan Islamnya. Dan yang
sudah mendalam didorong untuk mengamalkan dan menyebarkannya. Secara fakta sosial orang
beragama itu seperti menuntut ilmu, ada tingkatan ilmunya yang masih minim karena belajarnya
hanya sampai taman kanak-kanak, SD (MI) atau hanya lulus pemberantasan buta huruf saja, dan
ada yang sudah memahami agama karena di tunjang pendidikan formal seperti SMP (MTs),
SMA (MA), S1, S2 dan ada yang sampai S3.
Oleh sebab itu dakwah tidak hanya berlaku untuk mereka yang belum Islam saja atau
Islamnya yang masih lemah, dakwah juga berlaku bagi yang tingkat keIslamannya sudah tinggi

18
Syamsuddin, Loc. Cit
sekalipun. Sebab betapa tingginya keislaman seseorang mereka adalah manusia juga, yang punya
hawa nafsu yang sering lupa. Dakwah berarti upaya memanggil kembali hati nurani untuk
menghilangkan sifat-sifat buruk dan menggantinya dengan sifat-sifat yang mulia yang tunduk
dan patuh kepada Allah SWT, dimana sifat itu adalah sifat-sifat yang sesuai dengan hati nurani
manusia. Jadi yang didakwahi adalah siapa saja, termasuk ustadz, kyai, mubaligh, zuama,
pemimpin dan lain sebagainya. Yang sedang lupa atau imannya menurun karena kualitas iman
seseorang bersifat fluktuatif.
C. Penerapan aplikasi dakwah sebagai komunikasi.
Dakwah juga dapat dipahami sebagai proses komunikasi ‘tabligh’ setiap muslim, seperti
juga Nabi Muhammad SAW diperintahkan mengkomunikasikan ajaran Islam, bentuk
komunikasi yang terjadi secara lisan, maupun tulisan, atau dapat terjadi secara individual
maupun massal, baik secara personal ‘face to face’ maupun secara modern yang dilakukan para
ustadz, kyai, mubaligh lewat media elektronik dan media cetak. Dalam komunikasi selain itu
terjadi transformasi biasanya diikuti proses internalisasi iman dan Islam, pengamalan,
pentradisian ajaran dan nilai-nilai islam serta perubahan keyakinan, sikap dan perilaku manusia.
Perubahan keyakinan, sikap dan perilaku itu terjadi setelah ada proses komunikasi dan
transformasi ajaran dan nilai-nilai islam itu sendiri.19
D. Penerapan aplikasi dakwah sebagai pembebasan.
Islam mengandung ajaran dan petunjuk tentang bagaimana membebaskan diri dari
belenggu dengan alam, materi, budaya dan tradisi. Bagaimana membebaskan diri dari
kebodohan, melepaskan diri dari kebekuan berpikir, melepaskan diri dari kemiskinan dan
bagaimana kita bisa melepaskan diri dari kemalasan. Selain dibebaskan dari belenggu
kemusyrikan bangsa Arab juga dibebaskan dari belenggu tradisi perbudakan, yaitu
menghilangkan perbudakan dan menempatkan semua orang dalam kehidupan yang bebas dan
merdeka. Ayat-ayat makkiyah adalah ayat-ayat pembebasan yang melepaskan masyarakat pada
masa itu dari berbagai belenggu kehidupan, menjadi umat yang merdeka dalam pengertian yang
seluas-luasnya. Dakwah juga berarti membebaskan manusia dari kebodohan, bahkan sebenarnya
manusia itu sebenarnya dianjurkan untuk menuntut ilmu agar tidak bodoh. Bahkan manusia itu
diprogram oleh Allah untuk menjadi pembangun peradaban di muka bumi, karena itu manusia
dibekali akal pikiran yang menjadi perangkat paling penting untuk membangun peradaban iman,

19
Syamsuddin, Pengantar Sosiologi Dakwah, Kencana, (Jakarta, 2016), hlm 37-38.
karena itu manusia dibekali akal pikiran yang menjadi perangkat paling penting untuk
membangun peradaban.
Dakwah membebaskan manusia dari kemiskinan karena kemiskinan akan bisa
mengurangi martabat manusia, kemiskinan juga bisa menyebabkan manusia menjadi lemah
karena kekurangan makan, gizi, vitamin, karbohidrat dan mengakibatkan daya tubuh menjadi
lemah dan mudah terkena penyakit. Dengan pendekatan pemberantasan kemiskinan yang
diajarkan oleh islam itu maka hubungan antara kelompok miskin dengan orang kaya tetap
terjaga. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di lingkungan kaum komunis yang justru
membenturkan antara orang miskin dengan orang kaya. Ada tiga pendekatan islam tentang
kemiskinan yaitu :
1. Mendorong manusia untuk mencari rizki.
2. Perintah infak, sedekah dan lain sebagainya untuk membebaskan manusia dari
kemiskinan.
3. Mengancam orang yang kaya yang tidak menafkahkan harta kekayaannya untuk
kepentingan umat.
Dengan pendekatan-pendekatan dalam pemberantasan kemiskinan seperti yang diajarkan oleh
Islam, maka hubungan antara kelompok miskin dan kaya akan tetap harmonis.
E. Penerapan aplikasi dakwah sebagai penyelamatan.
Dakwah di sini sebagai penyelamatan manusia di muka bumi dari berbagai hal yang
mungkin timbul atau yang telah terjadi yang dapat merugikan manusia, orang yang berbuat
kesalahan atau dosa sebenarnya sedang mengalami dehumanisasi. Orang yang berbuat kesalahan
atau dosa sebenarnya sedang mengalami degradasi. Seorang manusia dalam arti sebenarnya
kalau ia berkarya betapapun kecil ia dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban
manusia, ia juga telah memberikan kontribusi pada sebuah peradaban, karena ia ikut
membersihkan jalan di mana ia bertugas, sebaliknya orang yang melakukan tindakan kejahatan
ia telah merusak peradaban. Di sisi lain dakwah membebaskan manusia dari kebodohan, karena
ajaran islam menganjurkan agar manusia senantiasa berpikir dan menuntut ilmu. Dapat
dikemukakan bahwa makin tinggi moral dan ilmu suatu masyarakat maka makin tinggi pula
peradaban mereka, dalam bahasa Al Quran dikatakan orang yang beriman dan berilmu akan
diangkat derajatnya menjadi lebih tinggi.
F. Penerapan aplikasi dakwah sebagai membangun peradaban.
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi yang seharusnya
mengikuti konsep dan kebijakan yang diwakilinya. Manusia seharusnya memiliki akhlak yang
mulia seperti akhlak Allah artinya manusia harus memiliki ilmu, sebab Allah maha mengetahui,
oleh karena manusia harus kreatif, mencintai sesama, pemaaf, berupaya menjadi kaya, adil dan
seterusnya. Dalam membangun peradaban di muka bumi ini, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi. Pertama, manusia harus beriman hanya kepada Allah, Tuhan yang maha esa, sehingga
manusia makhluk yang bebas dari berbagai macam belenggu kecuali keterlibatan dengan Allah
semata-mata.20 Kedua, untuk membangun peradaban manusia diperlukan ilmu pengetahuan.
Mungkin manusia harus melakukan kajian terhadap ayat-ayat kauniyah. Dengan memahami
ayat-ayat kauniyah yang mengandung sunnatullah, manusia akan memperoleh nilai tambah
untuk mengolah sumber daya alam yang disediakan Allah SWT.
Dakwah Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umat baik di dunia dan di akhirat, dengan memeluk
Islam, berpedoman pada Al-Qur’an dan sunnah. dan tentunya, selain mewujudkan itu, bahwa
hakikat dakwah juga ingin memberikan kontribusi perbaikan. 21 Seorang da’i atau mubaligh
dalam menentukan strategi dakwahnya sangat memerlukan pengetahuan dan kecakapan di
bidang metodologi. Selain itu bila pola berpikir kita berangkat dari pendekatan sistem (system
apprach), di mana dakwah merupakan suatu sistem dan metodologi merupakan salah satu
komponen dan unsurnya, maka metodologi mempunyai peranan dan kedudukan yang sejajar atau
sejajar dengan unsur-unsur lainnya seperti tujuan dakwah, sasaran masyarakat, subyek dakwah
(da’i atau mubaligh).22 Dan tidak bisa ditinggalkan pentingnya sebuah materi dakwah juga
menentukan metode yang seperti apa yang nantinya akan dipergunakan dalam berdakwah.
Ketika seseorang ingin berdakwah harus memperhatikan media dakwah yang mana juga
memiliki peranan atau kedudukan sebagai penunjang tercapainya tujuan. Media dakwah
mencangkup keseluruhan aktivitas (kegiatan) dakwah walaupun itu bersifat sederhana dan
sementara.23
Dengan demikian media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai
alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat berupa

20
Syamsuddin, Pengantar Sosiologi Dakwah, Kencana, (Jakarta, 2016), hlm 40-41.
21
(Basit, Abdul, 2005).
22
(Depdikbud, 1990).
23
(Ghazali, M. Bahri, 1997).
barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu dan sebagainya. Dalam semua aktivitas
dakwah tentunya sebuah sasaran haruslah dirumuskan agar tujuan umum dakwah dapat tercapai
dengan cara dan tahapan yang realistis.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dalam mewujudkan tujuan dakwah maka seorang da’i terlebih dahulu mengetahui bagaimana
kondisi dan situasi yang akan jadi sasaran dakwah nantinya. Oleh karena itu kita perlu
klasifikasikan mad’u dalam segi sosiologisnya dahulu baru kita mengetahui kondisi dan situasi
yang sebenarnya, kemudian menentukan metode yang tepat terhadap sasaran dakwah tersebut
agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan efisien. Dalam pengklasifikasian
secara sosiologis ini ada beberapa ruang lingkup dalam masyarakat itu sendiri antara lain:

1. Masyarakat pedesaan
2. Masyarakat perkotaan
3. Masyarakat terasing
4. Masyarakat marginal
Dari keempat pengklasifikasian tersebut kita akan tahu dalam menentukan metode yang sesuai
dengan karakteristik dari masing-masing lingkup masyarakat tersebut. Kemudian, dari situ kita
dapat mengetahui bagaimana penerapan aplikasi dakwah dalam berbagai hal yang telah
dijelaskan di atas antara lain:
1. Penerapan aplikasi dakwah sebagai ajakan
2. Penerapan aplikasi dakwah sebagai komunikasi.
3. Penerapan aplikasi dakwah sebagai pembebasan.
4. Penerapan aplikasi dakwah sebagai penyelamatan.
5. Penerapan aplikasi dakwah sebagai membangun peradaban.

DAFTAR PUSTAKA

Syamsuddin. 2013. Sosiologi Dakwah. Makassar: Alauddin University Press.

Aulia, Rahma. “Dakwah Dalam Perspektif Ilmu Dakwah Kontemporer”.

Syamsuddin. 2016. Pengantar Sosiologi Dakwah. Jakarta: Kencana.

Sukardi, Akhmad, 2015, “Dakwah Pada Masyarakat Pedesaan (Suatu Tinjauan Sosiologis)”,
Jurnal Al-Munzir, Vol 8 No 2.

Jamalie, Zulfa, 2015, “Pola Dakwah Pada 'Masyarakat Suku Terasing' Di Kalimantan Selatan”.
Jurnal Dakwah, Vol XVI No 1. Banjarmasin: IAIN Antasari.

Iskandar. Dakwah Pada Masyarakat Perkotaan.


Mustofa, Bisri. 2018. “Dakwah Persuasif Pada Masyarakat Marjinal Di Ujung Bom Kelurahan
Kangkung Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung”. Fakultas Dakwah Dan
Ilmu Komunikasi, UIN Raden Intan Lampung: Lampung.

Zaini, Ahmad, 2016, “Upaya Pengembangan Metode Dakwah Di Pedesaan”. Community


Developmen, Vol 1 No 2. STAIN Kudus: Kudus.

Farihah, Irzum, 2015, “Mcdoaldisasi Dakwah Masyarakat Pinggiran”. Jurnal Dakwah, Vol XVI
No 1. STAIN: Kudus.

Aripudin, Acep, 2013, Sosiologi Dakwah, Bandung: Rosdakarya.

Mahfudh, Sahal, 2011, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS.

Munawwir, A.W. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.

Ash-Shobuni, Muhammad Ali. 1986, Shoffatu at-Tafasir, Jilid 2, Beirut: Dar al Qolam.

Rahadjo, Dawam dalam Ade Ma’ruf dan Zulfan Heri (Peny.). 1995. Muhammadiyah dan
Pemberdayaan Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

RI, Departemen Sosial. 1989. Pembinaan Terhadap Masyarakat Terasing. Jakarta: Departemen
Sosial RI.
Sukardi, Akhmad, 2015, “Dakwah Pada Masyarakat Pedesaan (Suatu Tinjauan Sosiologis)”.
Jurnal Al-Munzir, Vol 8 No 2.

Anda mungkin juga menyukai