Anda di halaman 1dari 7

BAB II

ISI
2.1 Definisi Zikir serta Zikir dalam perspektif al-Ghazali
Zikir secara etimologi atau bahasa artinya mengingat, sedangkan menurut istilah
adalah memabasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian dan pengagungan kepada
Allah Swt. Dalam pandangan al-Ghazali, zikir kepada Allah merupakan hiasan kaum
sufi dan sebagai salah satu syarat bagi orang yang menempuh jalan Allah, dengan
zikir hati bisa menjadi tenang, Sebab syarat utama dalam menempuh jalan Allah Swt
adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah, menenggelamkan hati
secara total dengan zikir kepada Allah dan fana (lebur) dengan Allah Swt.

Terkait dengan fungsi zikir, imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum Addin
menjelaskan bahwa dengan zikir hati menjadi tenang, zikir juga bisa mendatangkan
ilham, menghalangi ruang gerak setan sehingga setan menjauh dari hati manusia dan
dalam kondisi itulah malaikat memberikan ilham kedalam hati manusia. Dalam
risalah al-Qusyairiyah dijelaskan bahwa zikir adalah rukun (tiang) yang paling kuat
sebagai jalan menuju Allah swt, atau bahkan saka guru tarekat mengatakan bahwa
seseorang tidak akan bisa sampai kepada Allah bila tidak menjalankan zikir secara
tetap.

Pentingnya zikir untuk mencapai pengalaman ketuhanan didasarkan pada


argumentasi tentang peranan zikir bagi hati atau qalbu yang menjadi instrumen
marifatullah. Hati manusia menurut imam al-Gazali (Ihya Ulumuddin) tidak

ubahnya seperti telaga yang di dalamnya mengalir bermacam-macam air, baik dari
dalam maupun dari luar, artinya pengaruh pengaruh yang datang ke dalam hati ada
kalanya dari luar seperti panca indra, dan adakalanya dari dalam seperti hayal,
syahwat, amarah dan akhlak atau tabiat manusia.

Simuh dalam bukunya Tasawuf dan perkembangannya dalam islam mengutip pada
kitab al-hikam bahwa zikir adalah sebuah pintu yang paling besar untuk mencapai
fana dan marifah pada Allah, maka masukilah dan sertailah setiap keluar masuknya
nafadz dengan zikir. Zikir dalam ajaran Tasawuf merupakan pintu gerbang utama
untuk mencapai penghayatan marifat kepada Allah, oleh karena itu dalam ajaran
Tasawuf, tata cara zikir dan aturan-aturan wiridnya menjadi peranan yang sentral yang
mewarnai dan menjadi ciri-ciri pembeda antara satu tarekat dengan tarekat yang lain.

Zikir menurut tuntunan syariat Islam dan al-Quran adalah menyebut nama dan
mengingat Allah Swt dalam setiap keadaan, yang bertujuan untuk menjalin ikatan
batin (kejiawaan) antara hamba dengan Allah sehingga timbul rasa cinta dan jiwa
muraqabah (merasa dekat dan merasa di awasi oleh Allah Swt). Senada dengan apa
yang dijelaskan oleh Hasan al-Banna bahwa zikir menurut ketentuan syari adalah
zikir yang menyebut nama Allah dengan membaca tasbih, tahlil, takbir, Istigfar,
membaca al-Quran, membaca doa yang matsur, selain itu juga majlis-majlis yang
diadakan untuk Dawah Islamiyah. Terkait dengan hal demikian Allah Swt berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir
yang sebanyak-banyaknya Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.
( Al-ahzab 41-42 )

Hal ini tentunya jauh berbeda dengan ajaran tasawuf, karena tekanan ajaran tasawuf
adalah untuk mencapai penghayatan fana dan marifat atau bahkan ada yang ingin
mencapai penghayatan bersatu dengan Allah. Maka zikir dalam Tasawuf di jadikan
wasilah atau tangga untuk mencapai penghayatan fana dan marifat.

2.2 Sama
Secara etimologi sama artinya pendengaran, menerima wahyu, melakukan panduan
suara. Dalam ajaran tasawuf di tunjukkan dengan nada-nada musik rohani, sedangkan
samaiyyah di artikan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan akherat
atau hal yang ghoib.

Adapun secara terminology mengutip istilah Ibnu Ajibah Al-Husni bahwa, Simaatau
sama adalah mendengarkan syair-syair dengan melodi dan musik. Simak sering di
wujudkan dalam bait-bait syair, lagu-lagu, Hymne-hymne, kasidah-kasidah, puisipuisi cinta yang dilakukan dengan suara merdu dan dinyayikan dengan melodi-melodi
dan suara bersama alat-alat musik, Sehingga dalam konteks Sufi, Sama artinya segala
sesuatu yang berhubungan dengan musik atau nyanyian yang dimaksudkan untuk

peningkatan Rohani dan penyucian diri. Ihsan ilahi dalam bukunya (Darah Hitam
Tasawuf) mengutip perkataan Ibnu Ajibah al-Husni bahwa Sima adalah
mendengarkan syair-syair dengan melodi dan music, dan sima tersebut di jadikan
sebagai salah satu kebutuhan tasawuf. Bahkan orang Sufi mengatakan sima adalah
cahaya santapan rohani bagi orang-orang kalangan sufi dikarenakan sima adalah
sebagai penggambaran lembut tentang seluruh perbuatan dan dengannya watak bisa
diketahui.
Orang sufi berpandangan bahwa untuk mengantarkan sufi ke maqam muhabbah
diperlukan sama (mendengar bunyian-bunyian merdu) karena dengan cara itu dapat
menggerakkan rasa mahabbah dalam qalbu. Dalam buku Darah hitam Tasawuf
ditegaskan bahwa sima mempunnyai kedudukan tinggi dalam pandangan orang-orang
sufi yang menyaingi kedudukan al-Quran yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai
petunjuk untuk manusia, rahmat dan obat bagi orang-orang beriman.

Imam alGazali dalam memberikan rumusan tentang etika dalam sama, setidaknya
dapat disimpulkan dalam pernyataan beliau:
a. Dalam melakukan proses sama hendaknya memperhatikan waktu, tempat dan
orang-orang.
b. Mendengarkan secara serius apa saja yang di katakan oleh penyayi,
menghadirkan hati, sedikit menoleh kesamping dirinya dan menghindari
pekerjaan yang tidak bermanfaat.
c. Jika dalam melakukan proses sima bisa membahayakan seorang syaikh atau
murid, maka syaikh tidak selayaknya mendengarkan simak teresebut bersama
muridnya.

d. Seorang sufi tidak meninggikan suara dan harus mengendalikan diri sebisa
mungkin.
e. Menyesuaikan diri dengan para pendengar sima lainya.
Bagi Ibnu Taimiyah, cara sama yang ditempuh kaum sufi hanya akan membawa sufi
ke mahabah yang semu, karena satu-satunya sarana ke maqam mahabbah adalah
ketaatan kepada Allah Swt yang sekaligus akan mendatangkan kebahagiaan yang
sempurna. Sama di kalangan sufi berbeda dengan sama para nabi (sama anambiya).

2.3 Fana
Dari segi bahasa fana berasal dari kata faniyah yang berarti musnah dan lenyap.
sedangkan secara terminologi sebagaimana yang di kutip oleh simuh bahwa fana
atau ecstasy adalah proses beralihnya kesadaran dari alam indrawi ke alam kejiwaan
atau alam batin. Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan alJunaidi bahwa al-Fana adalah hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang
bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang di lihatnya. situasi demikian akan beralih
karena hilangnya sesuatu yang terlihat dan berlangsung terus silih berganti sehingga
tidak ada lagi yang disadari dan di rasakan oleh indra.

Menurut Ibnu Taimiyah, al-Fana yang berkembang dikalangan kaum sufi terbagi
dalam tiga bentuk, ketiga bentuk tersebut antara lain:
1. Peleburan kehendak dan pengabdian diri kepada selain Allah, dimana
kehendaknya menurut batas-batas kehendak tuhan dan tidak ada ke inginan selain
keinginan Tuhan, tingkatan fana seperti ini adalah tingkatan para Rasul, ambiya
dan lainnya.
2. Peleburan kesaksian selain Allah, artinya pudarnya kesaksian seseorang terhadap
sesuatu selain Allah Swt, yang kadang di akibatkan oleh kehanyutan hati dan
kontinyuitas dalam dzikir dan ibadah.
3. Peleburan wujud selain Allah, yang merupakan fana yang bisa mengantarkan
pada situasi hulul dan al-ittihad.

Bentuk Fana yang pertama kadang disebut peleburan ibadah kepada selain Allah, padahal
kedua fana tersebut saling mengisi satu sama lain dan inilah sifat Fana yang terpuji. Fana
tersebut bukanlah sebuah tujuan atau syarat untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi
bertujuan untuk melebur ibadah kepada selain Allah dan melebur kehendak selain Allah,
peleburan kehendak dan pengabdian diri kepada selain Allah merupakan perwujudan makna
kalimat syahadat, hal ini merupakan realisasi makna firman Allah hanya kepadamulah kami
menyembah dan hanya kepadamulah kami meminta pertolongan.

2.4 Korelasi antara zikir, fana dan Sama


Fungsi zikir dalam pandangan sufi sangat erat hubungannya dengan tercapainya
kefanaan dan kemarifatan. Karena salah satu jalan untuk mencapai fana (ectasy)
disamping mendalamnya cinta rindu adalah dengan meditasi (pemusatan pikiran)
dengan perantara dzikir. karena menurut kaum sufi zikir merupakan pintu yang paling
besar untuk mencapai fana dan marifatullah. Disamping menggunakan wasilah
dengan zikir atau meditasi, para sufi menemukan jalan atau cara lain yang dapat
mengantarkan dirinya ke dalam al-Fana, hal ini terjadi setelah abad ke sembilan,
dimana antara ordo-ordo terekat kemudian mempergunakan musik, nyanyian dan taritarian untuk mempercepat tercapainya penghayatan yang dinamakan fana (ecstasy).
Semua ini kemudian di istilahkan oleh orang sufi dengan sebutan sama. Praktek
sama ini secara formal cepat menyebar dalam kalangan para sufi yang memancing
perselisihan pendapat yang cukup tajam.

Anda mungkin juga menyukai