DISUSUN OLEH:
2021/2022
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik guna memenuhi tugas dari
gurutta Rudhi, S.Q, M.Ag pada mata kuliah ushul fiqih dengan judul:
Kedudukan Fatwa Sahabat dan ‘Urf.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Syarat-syarat Pemakaian Fatwa Sahabat dan ‘Urf Sebagai Sumber Hukum ......14
Kesimpulan ........................................................................................................17
Saran ...................................................................................................................17
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Fiqh merupakan salah satu ilmu yang perlu diketahui oleh seluruh
umat muslim karena yang menyangkut hukum-hukum Islam. Secara
keseluruhan, ilmu tersebut tidak mudah dipahami. Oleh karena itu, mereka
perlu sebuah pengantar dari ilmu tersebut sangat penting karena dapat
mengarahkan pemahaman menuju Ilmu Fiqh yang susungguhnya.
Selain itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan, Ilmu Fiqh akan terus dan
harus berkembang. Sekalipun demikian, perubahannya dalam sejarah
menunjukkan dinamika. Kadang-kadang ia berubah sangat pesat. Adakalanya
pula terlihat lambat. Bahkan, tidak jarang tampak statis. Padahal, tuntutan
atas perkembangannya merupakan konsekuensi logis dari beban dan tuntutan
perubahan masyarakat dan umat Islam sendiri.
Di makalah ini, akan membahas sesuatu yang berhubungan kehidupan
sosial masyarakat yaitu kebiasaan atau dalam bahasa Ilmu Fiqh “ ‘Urf “.
B. Rumusan masalah
a. Apa pengertian dari fatwa sahabat dan ‘urf?
b. Apa saja macam-macam dari fatwa sahabat dan ‘urf?
c. Bagaimana kedudukan fatwa sahabat dan ‘urf sebagai sumber hukum?
d. Bagaimana kehujjahan fatwa sahabat dan ‘urf sebagai dalil syara’?
e. Apa saja syarat-syarat pemakaian fatwa sahabat dan ‘urf sebagai sumber
hukum?
C. Tujuan penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari fatwa sahabat dan ‘urf
b. Untuk mengetahui macam-macam dari fatwa sahabat dan ‘urf
c. Untuk mengetahui kedudukan fatwa sahabat dan ‘urf sebagai sumber
hukum
d. Untuk mengetahui kehujjahan fatwa sahabat dan ‘urf sebagai dalil syara
e. Untuk mengetahui syarat-syarat pemakaian fatwa sahabat dan ‘urf
sebagai sumber hukum
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Menurut Ulama’ Ushul Fiqih sahabat ialah mereka yang bertemu dengan
Nabi Muhammad S.A.W. dan beriman dengannya, bersahabat dengannya
dalam tempo masa yang agak panjang dan mengambil ilmu darinya sehingga
wajar dikatakan mereka dianggap sebagai sahabat atau teman rapat dari segi
hurufnya seperti Khulafa’ Al-Rasyidin, Ibnu Abbas, Saidatina Aisyah dan
lain-lain.[4]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa fatwa sahabat adalah
jawaban, pendapat, atau putusan atas sebuah masalah hukum yang
disampaikan atau diberikan oleh Sahabat Nabi. Dalam definisi yang lain
Fatwa Sahabat diartikan juga sebagai pendapat sahabat Nabi mengenai
ketentuan hukum suatu kasus yang tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur’an
maupun Sunnah (Hadits).
2. Pengertian ‘Urf
Dari segi etimologi al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain,
ra’ dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang
dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan
kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
Adapun dari segi terminologi. Kata ‘urf mengandung makna:
ُن َخا ص
َُ أ َْولَْفظُ تَ َعا َرف ْوا إطْالَقَهُ َعلَى َم ْع، اع بَْي نَ ه ُْم
َُ اعلَْيهُ م ُْن كلُ ف ْعلُ َش
َ وسارْو
َ ُماَ ْاعتَ َادهُ اَّناس
ُال ََتَلاَفهُ اللُّغَةُ َوال يَتَ بَ َادرُ َغ ْْيَهُ عْن َُد ِسَاعه
Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini kita
mengetahui bahwa ‘urf dalam sesuatu perkara tidak bisa terwujud kecuali
apabila ‘urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya berlaku pada perkara
tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai ‘urf tersebut selalu
6
memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi unsur pembentukan
‘urf ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya
terdapat pada keadaan terus-menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak
demikian, maka disebut perbuatan perseoranagan.
7
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi;
padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila
seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu
memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya
beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena
kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata
daging pada daging sapi.
• Al-‘urf al-‘amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah
kebiasaan masyrakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait
dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-
hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan
makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan
masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
2.) Dari segi cakupannya:
• Al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum).
Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil,
seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci,
tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad
sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku
bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang
adalah duapuluh kilogram.
• Al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu.
Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada
barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam
barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau
juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang
tertentu.
8
3). Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ :
• Al-‘urf al-Shahih ( kebiasaan yang dianggap sah)
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan
kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.
Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah
kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
• Al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang
berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti
peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar
sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak
sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya
10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan
utang sebesar 10% tidaklah membertakan, karena keuntungan yang diraih
dari sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang
10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat
tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.[9]
C. Kedudukan Fatwa Sahabat dan ‘Urf sebagai Sumber Hukum
1) Kedudukan Fatwa Sahabat Sebagai Sumber Hukum
Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena fatwa
merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam (fuqaha)
tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang muncul dikalangan
masyarakat. Ketika muncul suatu masalah baru yang belum ada ketentuan
hukumnya secara tegas (eksplisit), baik dalam Al-Qur’an, Hadits, Ijma’
maupun pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan salah
satu institusi normative yang berkompeten menjawab atau menetapkan
hukum masalah tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka fatwa bisa
diartikan sebagai penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, sehingga
9
kaidah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan menggali hukum-hukum
syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihad).[10]
2) Kedudukan ‘Urf Sebagai Sumber Hukum
Dalam kehidupan sosial dalam masyarakat manusia yang tidak
mempunyai undang-undang (hukum-huum), maka ‘urf lah (kebiasaan) yang
menjadi Undang-undang yang mengatur mereka. Jadi sejak zaman dahulu
‘urf mempunyai fungsi sebagai hukum dalam kehidupan manusia.
Sampai sekarang, ‘urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang,
dimana unsur-unsurnya banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku,
kemudian dikeluarkan dalam bentuk pasal-pasal dalam undang-undang.
Syari’at Islam datang kemudian banyak mengakui tindakan tindkan dan
hak-hak yang sama-sama dikenal oleh Syari’at Islam dan masyarakat Arab
sebelumnya, disamping banyak memperbaiki dan menghapuskan kebiasaan-
kebiasaan yang lain. Selain itu, Syari’at Islam juga membawa hukum-hukum
baru yang mengatur segala segi hubungan manusia satu sama lain dalam
kehidupan sosialnya, atas dasar keperluan dan bimbingan kepada
penyelesaian yang sebaik-baiknya, karena Syari’at-syari’at Tuhan dengan
aturan-aturan keperdataannya (segi keduniaannya) dimaksudkan untuk
mengatur kepentingan dan hak-hak manusia. Oleh karena itu kebiasaan yang
telah ada bisa diakui asal dapat mewujudkan tujuan-tujuannya serta sesuai
dengan dasar-dasarnya yang umum.
Meskipun kata-kata ‘urf disini sebenarnya diartikan menurut arti bahasa,
yaitu perkara yang biasa dikenal dan dianggap baik, namun bisa juga dipakai
untuk menguatkan ‘urf menurut arti istilah, karena apa yang biasa dikenal
oleh orang banyak dalam perbuatan-perbuatan dan hubungannya satu sama
lain termasuk perkara yang dianggap baik oleh mereka dan dikenal oleh
pikiran mereka.[11]
D. Kehujjahan Fatwa Sahabat dan ‘Urf Sebagai Dalil Syara’
1) Kehujjahan Fatwa Sahabat Sebagai Dalil Syara’/Syar’i
Fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah sebagai dalil syar’i, karena fatwa
sahabat tersebut tidak lepas dari beberapa kemungkinan yaitu: [12]
a) Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari Rasulullah S.A.W.
10
b) Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan fatwa
dari Rasulullah S.A.W.
c) Fatwa tersebut mereka pahami dari ayat-ayat suci Al-Qur’an yang
tidak jelas.
d) Fatwa tersebut telah mereka sepakati, akan tetapi hanya disampaikan
oleh seorang mufti.
e) Fatwa tersebut merupakan pendapat sahabat secara pribadi, dimana
mereka memiliki tingkat keilmuan dan pemahaman yang tinggi
mengenai latar belakang suatu kitab Al-Qur’an dan hadits, ataupun
permasalahan-permasalahan yang berkembang sepanjang pantauan
mereka terhadap Rasulullah S.A.W., baik perbuatan dan tingkah laku,
ucapan, tujuan dan menyaksikan turunnya wahyu serta ta’wil dan
tafsirnya secara kongkrit.
2) Kehujjahan ‘Urf Sebagai Dalil Syara’
‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada
umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta
menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal
ini bukan berarti urf tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya
sumber syari’at islam. Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat kalangan
ulama ushul fiqh, diantaranya:
Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah
untuk menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman
Allah dalam surat al A’rof ayat 199:
ي
َُ ْ ض َعنُ اْجلَاهل
ُْ ف َواَ ْعر
ُ خذُ اْ َلع ْف َُو َوأم ُْر ِبْلع ْر.
Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa yang
sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am artinya Allah
memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan suatu hal yang baik, karena
merupakan perintah, maka urf dianggap oleh syara’ sebagai dalil hukum.
11
Maka dari pernyataan di atas, dapar dikatakan bahwasannya sesuatu yang
sudah lumrah dilakukan manusia di dunia untuk kemaslahatan hidupnya,
maka hal itu dianggap benar oleh syari’at islam meskipun tidak ada dalil yang
menyatakannya baik dalam al qur’an ataupun sunnah.
ُم َاراَهُ اْمل ْسلم ْو َُن َح َسنًُا فَه َُو عْن َُد للاُ َح َسن.
َ
“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik
pula menurut Allah”.
Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik bagi orang
islam berarti hal itu baik pula di sisi Allah yang di dalamnya termasuk juga
urf yang baik. Yang mana berdasarkan dalil-dalil tersebut, urf yang baik
adalah suatu hal yang baik di hadapan Allah.
12
“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukutn
tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan
apa yang dianggap baik (istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum dengan
istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedomani ketentuan
yang telah digariskan sebelumnya”.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu”.
13
E. Syarat-syarat Pemakaian Fatwa Sahabat dan ‘Urf sebagai Sumber
Hukum
1) Salah satu syarat menetapkan fatwa adalah harus memenuhi metodologi
(manhaj) dalam berfatwa, karena menetapkan fatwa tanpa mengindahkan
manhaj termasuk yang dilarang oleh agama. Menetapkan fatwa yang
didasarkan semata karena adanya kebutuhan (li al-hajah), atau karena adanya
kemaslahatan (li al- mashlahah), atau karena intisari ajaran agama (li
maqashid as-syariah), dengan tanpa berpegang pada nushus syariyah,
termasuk kelompok yang kebablasan (ifrathi).
Oleh karena itu dalam berfatwa harus tetap menjaga keseimbangan, antara
harus tetap memakai manhaj yang telah disepakati para ulama, sebagai upaya
untuk tidak terjerumus dalam kategori memberikan fatwa tanpa pertimbangan
dalil hukum yang jelas.
sebagai upaya untuk mempertahankan posisi fatwa sebagai salah satu
alternatif pemecah kebekuan dalam perkembangan hukum Islam adapun
kaidah istinbat (hukum) yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa
sebagaii berikut :
a. Metode Bayani
Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks al-Quran dan as-
Sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisis
kebahasaan. Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh
mencakup:
a) Analisa bedasarkan segi makna lafaz
b) Analisa bedasarkan segi pemakaian makna
c) Analisa bedasarkan segi terang dan samarnya makna
d) Analisa bedasarkan segi penunjukan lafaz kepada makna menurut
maksud pencipta nash
b. Metode Ta’lili
Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum
terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat.
Istinbat ini ditunjukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan
14
merujuk kepada kejadian yang sudah ada hukumnya karena adanya
kesamaan illat
c. Metode Istishlahi
Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan, dan
merumuskan hukum syara‟ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk
peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash, belum
diputuskan dengan ijma’ dan tidak memungkinan dengan qiyas atau
istihsan.[15]
2) Syarat-syarat ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam :
a. ‘Urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakannya berlaku
Yang dimaksud dengan terus menerus berlakunya ‘urf ialah bahwa
‘urf tersebut berlaku untuk semua peristiwa tanpa kecualinya, sedan yang
dimaksud dengan kebanyakan berlakunya ‘urf ialah bahwa ‘urf tersebut
berlaku dalam kebanyakan peristiw. Yang menjadi ukuran kebanyakan
berlakunya menurut hitungan –statistik. Kalau sesuatu perkara sama
kekuatannya antara dibiasakan dengan tidak dibiasakan, maka perkara
tersebut dinamai ‘urf-mustarak (‘urf rangkap). ‘Urf semacam ini tidak
bisa dijadikan sandaran dan dalil dalam menentukan hak-hak dan
kewajiban karena apabila perbuatan orang banyak pada sesuatu waktu
bisa dianggap sebagai dalil, maka peninggalannya pada waktu yang lain
dianggap sebagai penentang dalil tersebut.
b. ‘Urf yang dijadidkan sumber hukum bagi sesuatu tindakan harus terdapat
pada waktu diadaknnya tindakan tersebut.
Bagi ‘urf yang timbul dari sesuatu perbuatan tidak bisa dipegangi,
dan hal ini adalah untuk menjaga kestabilan ketentuan sesuatu hukum.
Misalnya, kalau kata-kata “Sabilillah” dalam pembagia harta zakat
menurut ‘urf pada suatu ketika diartikan semua keperluan jihad untuk
agama, atau semua jalan kebaikan dengan mutlak, menurut perbedaan
pendapat para ulama dalam hal ini, atau kata-kata “Ibnus-Sabil” diartikan
kepada orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Kemudian
pengertian yang dibiasakan tersebut berubah, sehingga Sabilillah diartikan
anak pungut yang tidak mempunyai keluarga, maka nas-nas hukum
15
tersebut tetap dirtikan kepada pengertian ‘urf pertama, yaitu yang berlaku
pada waktu kelurnya nas tersebut, karena pengertian tersebut itulah yang
dikehendaki oleh Syara’, sedang pengertian-pengertian yang tibul sesudah
keluarnya nas tidak menjadi pertimbangan. Oleh karena itu Ibnu Nujaim
berkata sebagai berikut :
ُ ب ْلعرفُ الطاا ر
ئ
“’Urf yang menjadi dasar kata-kata ialah ‘urf yang menyertai dan
mendahului, bukan ‘urf yang datang kemudian. Oleh karena itu para
fuqaha mengatakan: “Tidak ada pertimbangan terhadap ‘urf yang
datang kemudian”.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
17
penegasan (nas) yang berlawanan dengan ‘urf, pemakaian ‘urf tidak akan
mengakibatkan dikesampingkannya nas yang pasti dari Syari’at.
B. Saran
Sebaiknya mahasiswa harus bisa lebih memahami dari materi apa yang akan
dibahas.Untuk institusi pendidikan,sebaiknya institusi selalu mengupdate
referensi buku-buku berbentuk hard copy maupun soft copy mengenai materi
terbaru dan jika bisa buku hasil terjemahan lebih di perbanyak.
18
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Alfatawa, (Serang: Yayasan Ulumul
Qur’an, 2000).
[2] Hooker, MB., Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial,
(Jakarta, Teraju, 2003).
[4] Saharia, HJ. Ismail, Perbahasan Ushul Fiqh, Satu Pengenalan Awal, (Melaka,
Kolej Universiti Islam Melaka, 2014).
[5] Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2010).
[6] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan
Bintang, 1995).
[7] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta,
Pustaka Amani, 2003).
[8] Miftahul Romdon, Fatwa Sahabat Sebagai Hukum Syara, diakses dari
http://miftahuromdhon.blogspot.com/2017/03/fatwa-sahabat.html
19
[10] M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum
Positif (Analisis Yuridis Normatif), (Jurnal ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun
IV, 2010).
[11] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan
Bintang, 1995).
[12] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo, al-Nasr wa al-
Tauzi’, 1978).
[13] Fathin Nabela, Ahmad Zamroni, dan Alfian Suhendarsyah, Urf Dalam
Hukum Islam, diakses dari http://tafsirhadits2012.blogspot.com/2013/05/urf-
dalam-hukum-islam.html?m=1, diakses pada tanggal 20 Mei 2013.
[14] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan
Bintang, 1995).
[15] Moh. Abu Zahroh, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan
Bintang, 1995).
20