Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN KELIMA

PEMIKIRAN KALAM TENTANG


PERBUATAN, ATRIBUT TUHAN, SERTA
HARMONISASI AKAL DAN WAHYU

A. ALIRAN ASYARIYAH
1. Latar Belakang Munculnya Asyariyah

Ada beberapa teori yang menjelaskan kemunculan dan perkembangan Asyariyah


sebagai aliran Kalam, yang notabe sempalan pada awal kemunculannya hingga menjadi
aliran teologi yang dianut oleh mayoritas umat Islam di berbagai belahan dunia hingga
hari ini. Beberapa teori tersebut, sebagai berikut:

Pertama, Adanya momentum kehancuran aliran Mutazilah akibat pemaksaan paham


keagamaannya kepada masyarakat. Adalah usaha keras yang dilakukan kalangan
Mutazillah dalam menyebarkan mazhabnya menyebabkan aliran ini relatif cepat
berkembang. Menurut catatan Ibn Al-Murtadha, pemimpim Mutazilah, Wasil bin Atha
mengirim murid-muridnya ke berbagai tempat, seperti Khurasan, Armenia, Yaman,
Maroka dan lain-lain. Tidak kurang dari 30 ribu orang penduduk Maroko menjadi
pengikut aliran kalam yang dibangun wasil bin Atha. Mulai tahun 100 H atau 718 M,
kaum Mutazilah perlahan-lahan mendapat tempat di masyarakat Islam. Pengaruh itu
mencapai puncaknya, ketika para Khalifah Dinasti Abbasiyah mengakui aliran Mutazilah
dan menjadikannya sebagai mazhab yang dianut oleh negara.

Salah satu prinsip dasar mazhab Mutazilah, yaitu Amar Maruf Nahy Munkar,
mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Berbeda dengan ajaran Qadariyah
yang diadopsinya yang menganjurkan kebebasan manusia dalam berpikir dan berbuat -,
para pemuka Mutazilah cenderung memakai kekerasan dan menyiasrkan ajaran-
ajarannya. Salah satu ajaran yang ditonjolkan adalah paham ajaran yang ditonjolkan
adalah paham Al-Quran sebagai tidak Qadim, tetapi baru (hadits) dan diciptakan. Bagi
kaum Mutazilah, paham sebaliknya yaitu Al-Quran, paham sebaliknya yaitu Al-Quran
Qodim memaksa adanya yang Qodim di samping Tuhan, dan itu berarti menduakan
Tuhan. Perbuatan menduakan Tuhan dipandang adalah syirik yang dipandang sebaga
dosa besat dan tidak dapat diampuni Tuhan.
Bagi khalifah al-mamun,orang yang mempunyai fahamsyirk tidak dapat untuk
menempati posisi penting dala pemerintahan. Oleh karenanya,khalifah mengintruksikan
kepad para gubernurnya untuk mengadakan ujian terhadap para pejabat, para hakim dan
pemuka-pemuka agama yang bepengaruh di masyarakat. Dari sinilah timbul apa yang
disebut dengan mihnah (inquisition), yang dalam sejarah islam dikategorikan sebagai
fitnah ke dua ( setelah fitnah pertama dalam perang jamal dan siffin ). Konsekuensi dari
penerapan dakwah model ini adalah orang yang mengakui al-quran sebagai qodim. Ia
tidak bisa diangkut menjadi hakim, dan tidak bisa diangkut menjadi hakim, dan tidak bisa
menjadi saksi dalam persidangan dimahkamah.

Diantara orang-orang yang diuji terdapat pemuka agama yang sangat populer, yaitu
imam ahmat bin hambal dan muhamat bin nuh. Tetapi krdua tokoh kharismatik ini tidak
mau menerima paham mutazilah dan bersikeras menyatakan pendapat kebalikannya,
yaitu al-quran sebagai qodim. Salah satu dialok antara ishaq bin ibrahim (gubernur irak)
dengan imam ahmad bin hanbal adalah sebagai berikut:

Ishaq : apa pendapatmu tentang al-quran?

Ibn hanbal : sabda tuhan

Ishaq : apakah ia diciptakan?

Ibn hanbal : sabda tuhan.saya tidak dapat mengaaka lebih dari itu.

Ishaq : apa atri ayat allah maha medengar (al-sami) dan maha melihat (al-
bashir )? Disini ishaq ingin menguji paham antropormisme sekaligus.

Ibn hanbal : tuhan menafsirkan diri-nya dengan kata-kata itu.

Ishaq : apa artinya?

Ibn hanbal : tidak tahu, tuhan adlah sebagaimana dai sifatkan atas dirinya.

Jawaban-jawaban ibn hambal yang cenderung tidak mengakui kemahlukan Al-


quran menyebabkan dirinya dibelenggu,dipenjarakan dan dihadapkan kepada khalifah
Al-makmun di Tarsus. Hanya saja, sebelum sampai di kota tarsus, khalifah al-mamun
meninggal dunia, dan tetapi demikian, Ibn Hanbal tidak dibebaskan. Ujian-ujian seperti
ini berlanjut sepeninggal Al-Mamun, yaitu khalifah Al-Mutashim dan al-Watsiq (842-
847 M) dan ini memicu terjadinya perburuan terhadap orang-orang yang sepaham
dengan Ibn Hanbal. Begitu dahsyatnya fitnah akibat paham ini, maka akhirnya khalifah
al-Mutawwakkil membatalkan pemakaian aliran Mutazilah sebagai mazhab negara pada
848 M. Sejak tu, mulailah pengaruh Mutazilah menurun dan ditinggalkan oleh
masyarakat.

Kedua, Kaum Mutazilah (yang mulai redup dan cenderung ditinggalkan oleh
masyarakat) juga tidak banyak berpegang teguh pada al-Sunnah atau al-hadits. Ini bukan
lantaran mereka tidak percaya pada Hadits Nabi dan kata-kata para sahabat, akan tetapi
mereka meragukan organisasi Sunnah, sehingga mereka dipandang segabai golongan
yang tidak berpegang teguh pada sunah. Kelemahan Mutazilah pada sisi ini kemudian
dimanfaatkan oleh kaum Asyariyah dengan terang-terangan mengusung sunah dan
tradisi sahabat hingga menyebabkan term Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, seperti melekat
pada aliran Asyariyah dan ini tentunya memunculkan dukungan dari masyarakat.

Ketiga, bahwa Imam Abunal-Hasan Al-Asyari sebagai penganut dan kampiun


Mutazilah pada akhirnya meninggalkan ajaran Mutazilah dan mendirikan aliran baru
yang dinisbahkan kepada namanya, yaitu Al-Asyariyah. Menurut al-subki dan Al-Asakir,
seperti dikutip Harun nasution, bahwa Abu Hasan al-Asyari bermimpi bertemu Nabi
Muhammad SAW dan dalam mimpinya baginda Rasulullah mengatakan kepadanya,
bahwa mazhab ahli Hadis yang benar , dan Mutazilah dipandang salah. Tentu sebab
mistis ini memberi garansi kuat bagi madzhab Al-Asyariyah.

Keempat, sebab lain yang menaikkan popularitas Asyariyah adalah terjadinya


perdebatan antara Abu Hasan al-Asyari dengan gurunya Imam Al-Jubbai, dan dalam
perdebatan tersebut guru tak dapat menjawab pertanyaan sang murid. Salah satu
perdebatan itu adalah perdebatan mengenai nasib anak kecil di akhirat, sebagai berikut:

Al-Asyari : Bagaimana menerut pendapatmu tentang tiga orang yang meninggal


dalam keadaan berlainan, mukmin, kafir, dan anak kecil.

Al-Jubbai : Orang mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka, dan anak
kecil selamat dari neraka.

Al-Asyari : Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah
meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?
Al-Jubbai : Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat
dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan engkau (anak kecil)
belum beramal seperti itu.

Al-Asyari : Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. Seandainya aku
dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti orang
Mukmin.

Al-Jubbai : Allah menjawab: Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai


umur dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena
itu aku menjaga kebaikanmu. Aku mematikan sebelum engkau
mencapai umur dewasa.

Al-Asyari : Seandainya si kafir itu bertanya: Engkau telah mengetahui keadaanku


sebagaimana juga mengetahui keadannya, mengapa engkau tidak
menjaga kemashlahatanku, seperti anak kecil tadi? Maka A-Jubbai
daim saja, tidak meneruskan jawabnnya.

Dari kasus ini (dan beberapa kasus lainnya), Abu Hasan al-Asyari kemudian keluar
dari Mutazilah, ber-uzlah mengasingkan diri, dan kemudian mengproklamirkan aliran
baru. Dari sisi lain kita melihat jawaban-jawaban kaum Mutazilah dipandang tidak lagi
memuaskan dan meyelesaikan masalah yang dihadapi umat saat itu. Tentunya ini
memberi ruang terbuka bagi aliran lainnya, seperti Asyariyah dan Maturidiyah, dua
aliran kalam yang berseberangan dengan Mutazilah.

Alasan lain adalah kondisi pasca dibekukannya mazhab Mutazilah sebagai mazhab
negara yang membuat lawan-lawan Mutazilah mendapat tempat dan dihormati, seperti
Ibn Hanbal dan tokoh Fikih yang kebanyakan tidak bermazhab Mutazilah. Pada akhirnya
masyarakat tidak lagi terbebani oleh pemikiran dab manuver kaum Mutazilah, dan
mereka kemudian berpaling kepada aliran lain, yang salah satunya adalah Asyariyah.

Kemudian menarik untuk dicatat bahwa Asyari menganut mazhab fiqih al-Syafii.
Suatu kebetulan paham-paham Al-Asyari bersesuaian dengan pendapat Imam Al-Syafii,
sehingga banya di antara para ulama yang mengembangkan paham Asyariyah, seperti
Al-Baqillani, Ibn Faurak, al-Isfirayini, Al-Qusyairi, Al-Juwaini, dan al-Ghazali.

2. Tokoh Asyari
Aliran Asyariyah adalah aliran kalam yang dinisbahkan kepada Abu Hasan Ali bin
Ismail Al-Asyari. Ia keturunan dari Abu Musa al-Asyari, salah satu perantara dalam
sengketa antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Al-Asyari lahir tahun 260 H/873 M
dan wafat pada 324 H/935 M. Al-Asyari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya
di baghdad. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mutazilah dan mendalaminya.
Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya
digunakan untuk mengarang buku-buku kemutazilahan. Namun pada tahun 912 dia
mengumumkan keluar dari paham Mutazilah, dan mendirikan teologi baru yang
kemudian dikenal sebagai Asyariyah.
Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian
pergi ke Masjid basrah. Dihadapan banyak orang, al-asyari menyatakan bahwa pada,
pada mulanya ia berpendapat tantang al-quran sebagai makhluk; allah swt. Tidak dapat
dilihat mata kepala perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua
pendapat alira mutazilah). Kemudian ia mengatakan: saya tidak lagi memegangi
pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang mutazilah dan
menunjukan keburukan dan kelemahannya.

Banyak tokoh pemikir islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah
satunya yang terkenal adalah sang hujjatul islam imam al-ghazali, terutama dibidang ilmu
kalam. Walaupun banyak juga ulama yang menentang pemikirannya, tetapi banyak
masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti dan
mendukung paham imam ini dinamakan kaum/pengikut asyariyyah, dinisbatkan kepada nama
imamnya. Di indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham
ini, yang dipadukan dengan paham ilmu tauhid yang dikembangkan oleh imam abu manshur
al-maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat allah yang terkenal dengan nama
20 sifat allah, yang banyak diajarkan dipesantren-pesantren yang berisikan nahdhah al-
ulama (nu) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada umumnya.

Abu hasan al-asyari meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah


dalam berbagai lapangan. Kitabnya yang terkenal ada tiga: (1) maqalat al-islamiyyin; (2) al-
ibanah an ushulid diniyah; (al-luma. Tulisan-tulisan lainnya banyak menolak pendapat
aristoteles, golongan jahamiyah dan golongan murjiah. Akan tetapi fokus kegiatan al-asyari
adalah ditujukan untuk mengkonter pendapat ornag-orang mutazilah seberti ali al-jubai, abul
hudzail dan lain-lain.
3. paham asyariyah

Secara umum pandangan kaum asariyah berlawanan dengan paham mutazilah. Diantara
paham asyariyah, sebagai berikut.

a. Sifat tuhan
Sebagai penentanga mutazilah, imam abu hasan al-asyari melansir pahamnya yang
berbeda pendapat dengan paham guru dan kaum mutazilah. Al-asyari berpendapat,
mustahil tuhan mengetahui dengan dzat-Nya, karena dzat-Nya adalah pengetahuan
dan tuhan sendiri adalah pengetahuan, padahal tuhan bukan pengetahuan (al-ilm)
melainkan yang mengetahui. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuannya bukanlah dzat-nya. Demikian pula dengan sifat-sifat lain, seperti sifat
hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Salah satu tokoh mutaziah, abu huzail al-allaf, tokoh mutazilah yang diklaim
mendapat pengaruh dari teori-teori filsafat memberi penjelasan tentang tuhan yang
mengetahui dengan dzat-Nya dan bukan dengan sifat.
Abu huzail menulis
Sesungguhnya ilmu allah adalah allah azza wa-jalla, kekuasaan-Nya adalah Dia, dan
hidup-Nya adalah dia. Dan jika kamu mengatakan allah adalah maha mengetahui
maka artinya dia adalah pengetahuan. (inna ilma allah huwa allah wa qudratuhu hiya
huwa wa hayatuhu hiya huwa. (Wa idza qulta inna allah alimun faqad tsabata lillahi
taala ilman).
Pernyataan abu auzail ini dibantah oleh asyari bahwa, jika dikatakan ilmu allah
adalah allah sendiri, maka kita dapat mengatakan wahai pengetahuan, maafkan dan
kasihanilah aku), tetapi ia menolak hal itu. Oleh Karena itu, kata al-asyari, yang
benar adalah mengatakan bahwa allah maha mengetahui dengan sifat ilmu nya. Jadi,
tuhan mengetahui, berkuasa, mendengar, melihat dan lain-lain dengan sifat-Nya dan
bukan dengan dzat-Nya. Penjelasan lain, bahwa Allah itu mengetahui, melihat,
mendengar, kuasa, dan lain-lain dan allah juga mempunyai mata, wajah, tangan setra
bersemayam di singgasana. Hanya saja, semua ini dikatakan tanpa diketahhui
bagaimana cara dan batasnya.

b. Al-quran bukan diciptakan


Berbeda dengan kaum mutazilah yang mengatakan bahwa al-quran di ciptakan
(hadits/baru), maka abu al-hasan al-asyari melansir pendapat yang berbeda dengan
mengatakan bahwa al-quran tidaklah diciptakan. Menurut al-asyari, jika al-quran
diciptakan maka ia sesuai dengan ayat ini innama qawluna lisyain idza aradnahu an
naqula lahu kun fayakun (sesunguhnya perkataan kami terhadap sesuatu adalah
apabila kami menghendakinya maka jadilah ia). Untuk penciptaan al-quran tentu
perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun ini pelu kata kun yang lain, dan seterusnya
sehingga terdapat rentenan kun yang tidak berkesudahan. Jelas ini tidak mungkin,
dan oleh karenanya tidak mungkin al-quran itu diciptakan.

c. Melihat Allah
Imam al-asyari berpendapat bahwa allah dapat dilihat di akhir kelak dengan mata
kepala manusia. Menurut asyari, sifat-sifat yang akan membawa kepada arti
diciptakannya tuhan. Sifat dapatnya tuhan dilihat tidak mesti mengandung arti ia
mesti bersifat diciptakan. Den demikian jika dikatakan tuhan dapat dilihat, itu tidak
mesti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.
d. Perbuatan manusia
Pendapat asyariyah yang paling menyita perhatian adalah dengan tentang perbuatan
manusia. Imam al-asyari meluncurkan teori al-kasb sebagai jalan tengah antara
pandangan jabariyah dan qodariyah. Pandangan ini dapat diurai sebagai berikut:
(1) Perbuatan manusia bukanlah diwujudan oleh manusia sendiri, sebagaiman
dinyatakan mutazilah, melainkan diciptakan oleh tuhan. Argumen yang dimajuka
untuk menggugurkan pendapat mutazilah, adalah bahwa perbuatan kufur adalah
perbuatan buruk, tetapi orang kafir ingin menghendaki supaya perbuatan kufur itu
bersifat baik. Apa yang diinginkan oleh orang kafir ternyata tidak dapat
diwujudkan. Demikianlah pula, perbuatan iman sebagai perbuatan baik, tetapi
berat dan sulit dilaksanakan. Orang-orang mukmin tentu menginginkan supaya
perbuatan iman itu tidak berat dan tidak sulit, akan tetapi yang dikehendakinya itu
ternyata tidak dapat diwujudkan. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan
kufur bukanlah orang kafir sendiri (yang tak sanggup membuat kufur bersifat
baik) akan tetapi tuhanlah yang mewujudkan dan tuhan memang berkehendak
supaya kufur bersifat buruk.
(2) Bahwa yang menciptakan pekerjaan iman bukanlah orang mukmin (yang tak
sanggup membuat iman bersifat tidak berat dan tidak sulit), akan tetapi tuhanlah
yang menciptakanya dan tuhan memang menghendaki supaya iman bersifat berat
dan sulit. Dalam meneguhkan pendapatnya ini, imam al-asyari kemudian
melahirkan teori al-kasb bagi perbuatan manusia.
(3) Dalam mewujudkan perbuatannya manusia mempunyai usaha (kasb), hanya saja
daya yang ada dalam diri manusia tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap
kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka manusia bukanlah dalam
keadaan tak berdaya seperti pendapat kaum jabariyah, tetapi karena usahanya
(juga) tidak berpengaruh apa-apa pada kegiatannya maka ia pun bukanlah
makhluk bebas yang menentukan sendiri kegiatannya seperti pendapat kaum
qadariyah.
Konsep yang dibangun al-asyari dengan teori kasb ini menggambarkan betapa
sulitnya persoalan perbuatan manusia (antara perbuatan tuhan dan perbuatan manusai
itu sendiri). Teori al-kasb bahkan menjadi sasaran kritik tajam para ulama lain,
termasuk ibn taymiyyah yang menganggapnya sebagai keanehan atau absursditas
ilmu kalam. Dalam kaitan ini ibn taymiyyah melihat konsep ksab yang dibangun al-
asyari itu lebih mengarah kepada paham jabariyah dan qadariyah tentang perbuatan
manusia dapat dinyatakan sebagai berikut, bahwa allah telah menciptakan dalam diri
manusia kehendak (iradah), yang dengan iradah itu manusia mampu memilih jalan
hidupnya, baik maupun buruk. Dan demikian, manusia memiliki saham dalam
menentukan perbuatannya.

e. Tentang keadilan tuhan


Imam al-asyari berpendapat bahwa tuhan berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang
wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga tuhan bisa memasukkan
seluruh manusia ke surga dan ini tidak dikatakan tidak adil. Begitu juga tuhan bisa
memasukan manusia keneraka dan Dia tidak dikatakan zalim.
Konsep keadilan tuhan versi asyariyah ini juga ditegaskan oleh para pengikutnya, di
antaranya ditulis oleh pengrang klitab jawharat al-tauhid, bahwa jika Dia (Allah)
memberi pahala kita, maka semata karena kemurahan-Nya. Dan jiak Dia menyiksa
kita maka semata karena keadilan-Nya.
Maka berdasarkan pandangan ini keadilan tuhan dapat dipahami dengan memberi
pahala (seperti masuk surga atau pahala berlipat ganda) atas amal dan perbuatan baik
manusia berdasarkan kemurahan Allah (fadl al-allah) dan bukan karena amal itu
sendiri. Sebaliknya, allah dapat memberi siksaan atau azab (seperti masuk neraka)
atas amal dan perbuatan buruk manusia berdasarkan keadilan Allah (adl allah) dan
bukan semata karena perbuatan manusia itu.
Demikian beberapa paham asyariyah yang dikatakan oleh syekh imam al-asyari.
Paham ini kemudian dikembangkan oleh para murid dan penerusnya seperti imam al-
baqilani, al-ghazali dan al-juwaini.

4. asyariyah di tangan para penerusnya

Aliran asyariyah teemasuk cepat berkembang dan mendapat dukungan luas dikalangan
masyarakat. Sepeninggalan imam al-asyari, aliran ini mengalami perkembangan dan
perubahan yang cepat karena pada akhirnya aliran ini lebih condong kepada segi akal pikiran
murni dari pada dalil nash.

Akidah asyariyah menyebar luas pada zaman wazir nizham ul-muluk pada dinasti bani
saljuq dan seolah menjadi aqidah resmi negara. Paham asyariyah semakin berkembang lagi
pada masa keemasan madrasah an-nidzamiyah, baik yang berada di bagdad adalah universitas
terbesar di dunia saat itu. Didukung oleh pada petinggi negeri itu, seperti al-mahdi bin tumirat
dan nuruddin mahmud zanki serta sultan shalahuddin al-ayyubi. Dukungan juga diberikan
sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha madzhab asy-syafii dan madzhab al-malikiyah
periode akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah asyariyah ini adalah
akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.

a. Al-baqilani
Namanya abu bakar muhammad bin thayib ibn muhammad abu bakr al-baqilani,
ia lahir di kota basra, tempat kelahiran gurunya, yaitu abu hasan al-asyari, dan wafat di
bagdad tahun 1013 m. Ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam
pembelaan agama. Al-baqilani memperoleh ajaran al-asyari dari dua muridnya, ibn
mujahid dan abu al-hasan Al-bahili. Meski ia termasuk muridnya, penerus ajaran-ajaran
al-asyari, tetapi ia tidak sepenuhnya sepaham dengan pendiri asyariyah itu. Beberapa
pendapat al-baqillani dipandang memberikan pencerahan rasional untuk memperkukuh
pendapat gurunya, sebagai berikut.
Pertama, al-baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran
mutazilah sebagai dasar penetapan kekuasaan tuhan yang tak terbatas. Jauhar adalah
suatu hal yang mungkin, artinya bisa wujuda dan bisa tidak, seperti halnya aradh.
Menurutnya tiap-tiap ardh mempunyai lawan arrdh pula. Disinilah terjadinya
mukjizat, karena mukjizat tidak lain halnya penyimpangan dari kebiasaan.
Kedua, al baqillani memberi makna baru terhadap sifat allah disampaikan al-asyari
dengan menyebutkan kata hal sesuai dengan pendapat abu hasyim dari mutazilah.
Ketiga, al-baqillani berbeda pendapat dengan al-asyari tentang perbuatan manusia.
Menurutnya, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan
perbuatanya. Dalam hal ini, tuhan mewujudkan gerak dalam diri manusia,
sedangkanbentuk atau sifat dari gerak terdapat dalam diri manusia dihasilkan oleh
manusi itu sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil bentuk
duduk, berdiri, berbaring, dan berjalan. Gerak sebagai genus (jenis) dalah ciptaan
tuhan, tetapi duduk, berdiri, berbaring dan berjalan yang merupakan spectus (new)
dari gerak, adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang
diciptakan tuhan iru, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri, dan sebagainya. Dengan
demikian, antara al-asyari dan al-baqillani memiliki perbedaan signifikan. Yang
disebut pertama mengatakan bahwa daya manusia dalam al-kasb tidak mempunyai
efek, sedang tokoh yang disebut belakang menunjukan efek dari daya tersebut.

b. Al-juwaini
Namanya abdul malik bin abdillah al-juwani, dilahirkan khurasan (419 H) dan
wafat di bagdad tahn 478 H. Nama al-juwaini dikenal dengan nama imam al-haramain.
Beberapa pendapat al-juruwaini yang berbeda dengan al-asyari antara lain.
Pertama, tentang antropomorfisme. Menurut al-juwaini, tangan tuhan perlu
ditakwilkan dengan kekuasaan tuhan, mata dengan wujud tuhan sendiri. Juga, keadaan
tuhan duduk di singgahsana arasy dapat diartikan tuhan berkuasa dan maha tinggi.
Kedua, terkait perbuatan manusia. Pendapat al-juwaini tentang perbuatan
manusaia juga lebih maju daripada pendapat al-asyari. Daya yang ada dalam diri
manusia juga mempunyai efek, yang identik dengan sebab musabab. Menurut al-
juwaini, wujud perbuatan bergantung kepada daya yang ada dalam diri manusia, wujud
daya ini juga bergantung kepada sebab lain dan seterusnya hingga sampai kepada sebab
segala sebab, yaitu Tuhan. Di sini, Al-Juwaini mengambil paham tentang perbuatan
manusia dengan menyisipkan paham kausalitas yang biasa dianut kaum Mutazilah.
Tidak heran jika Ahmad Amin kemudian menyebutkan pendapat Al-Juwaini sebagai
kembali dengan jalan berkelok-kelok kepada ajaran Mutazilah.
c. Al-Ghazali
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelarnya Hujjatul
Islam, lahir tahun 450 H, di Thus kota kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali adalah ahli
pikir Islam yang memiliki puluhan karya seperti kalam, fikih, ushul fiqih, filsafat, dan
tasawuf. Sikap Al-Ghazali dan pendapatnya tentang kalam dikemukakan dalam bukunya
yang berjudul Faishalut Tafriqah bainal Islam wa al-Zindaqah dan Al-Iqtishah fi al-
Itiqad. Ketokohan Al-Ghazali bagi aliran Asyariyah dirasa sangat signifikan, karena ia
adalah tokoh yang paling besar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahl al-
Sunnah wa al-Jamaah. Al-Ghazali berbeda dengan pendahulunya, Al-Baqillani dan Al-
Juwaini, di mana ia lebih sepaham dengan pendapat-pendapat yang dimajukan oleh Al-
Asyari. Menurut Al-Ghazali perbedaan dalam soal-soal kecil baik yang bertalian dengan
masalah aqidah atau amalan, bahkan pengingkaran terhadap soal khilaffat yang sudah
disepakati oleh kaum Muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk mengkafirkan orang.
B. ALIRAN MATURUDIYAH
1. Pengertian Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyyah adalah aliran teologi pengikut Abu Manshur Muhammad Al-
Maturidi (w. 332 H). Ia bergelar al-Imam Al-Huda. Nama al-Maturidi adalah nisbah
kepada Maturid nama kampung di Samarkand, atau al-Hawami menyebutnya dengan
Matirib. Sejalan dengan itu, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam
kelompok Ahl al-Sunnah wa al-jamaah yang merupakan ajaran kalam yang bercorak
rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan
aliran yang memberikan autoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan
atau melampaui batas, yakni berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang
tidak bertentangan dengan syara, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara.
Keseimbangan dalam penggunaan akal dan naql ini membuat Maturidiyah leluasa
menjustifikasi dirinya sebagai Ahl al-Sunnah.
Adapun klaim tentang Ahl al-Sunnah oleh kalangan Asyariyah dan Maturidiyah
adalah beberapa pernyataan seperti dikatakan oleh Al-Zubaidi, bahwa jika dikatakan
Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asyariyah dan
Maturidiyah. Kemudian penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan,. ketahuilah
bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni
Abul Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Imam Al-Iji, penulis kitab Al-Mawaqif, mengatakan bahwa yang dimaksud al-
Firqah al-Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang rasulullah SAW berkata tentang
mereka, yakni orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para sahabatku berada
di atasnya. Mereka itu tiada lain adalah Asyariyah dan salaf dari kalangan Ahli Hadis
dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub mengatakan bahwa ahlus Sunnah adalah Abu Hasan al-Asyari dan
Abu Manshur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka
berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Kemudian dilihat dari prinsip yang dibangun oleh pendiri aliran Maturidiyah
mengenai penafsiran Al-Quran yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai
bantuan nash dalam penafsiran Al-Quran, maka dalam menafsirkan Al-Quran al-
Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (saamar maknanya) pada makna yang
muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia mentawilkan yang mutasyabih berdasarkan
pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Dari gambaran ini juga dapat
dinyatakan bahwa aliran kalam ini telah menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau
penafsiran ayat secara seimbang dan tidak berlebihan.
2. Sejarah Aliran Maturidiyah
Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad al-Maturidi lahir di Samarkand pada
pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak
banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut mazhab fiqih Abu
Hanifah, dan karenanya paham-paham teologinya banyak yang memiliki persamaan
dengan paham-paham yamg dimajukan Abu Hanifah. Abu Mansur al-Maturidi mencari
ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke tiga Hijriah, di mana aliran Mutazilah sudah
mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi
(wafat 268 H). Negeri samarkand pada saat itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih, terutama pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab
Syafii.
Sejarah menyebutkan bahwa aliran Maturidiyah merupakan salah satu aliran
kalam yang tampil bersama dengan Asyariyah untuk memenuhi kebutuhan mendesak
masyarakat dalam menyelamatkan diri dari ekstremitas kaum rasionalis Muutazilah,
maupun ekstremitas kaum tekstualis Hanabilah (para pengikut Imam Ibnu Hanbal). Pada
awalnya antara kedua aliran ini (Maturidiyah dan Asyariyah) dipisahkan oleh jarak di
mana Asyariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran
Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah di seberang sungai Oxus. Kedua aliran
ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Sehingga
tampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah fikih kedua
aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang
Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para
pengikut Imam Syafii dan Imam al-Malik mendukung kaum Asyariyah.
Memang aliran Asyariyah lebih dahulu menentang paham-paham dari aliran
Mutazilah. Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim
keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mutazilah (aliran teologi
yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asyariyah
(aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal
manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan
mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran
Mutazilah dan Asyariyah. Karena itu juga, aliran Maturidiyah sering disebut berada
antara teologi Mutazilah dan Asyariyah.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-
Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi
mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai
murid-murid dan salah seorang dari mereka adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi
(460-537 H). Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-
Maturidi, tetapi terdapat pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sepaham dengan al-
Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham
sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan;
golongan Samarkand yaitu pengikut-0pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan
Bukhara yaitu pengikut-pengikut alBazdawi.
3. Ajaran Aliran Maturidiyah
Dalam memahami ajaran Maturidiyah perlu dipahami terlebih dahulu beberapa
pendapat Asyariyah untuk melihat titik pembeda antara keduanya. Beberapa ajaran
Maturidiyah yang dapat didiskusikan dalam tulisan ini sebagai berikut.
a. Mengenai Sifat-sifat Allah SWT
Mengenai sifat-sifat Allah SWT, aliran Asyariyah mengatakan sifat-sifat Allah
itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya
Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayah, Sama, Bashar dan Kalam pada Dzat Allah. Menurut
mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Sementara itu bagi Mutazilah
tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya, sedangkan yang disebut dalam Al-Quran, seperti
Alim (Maha Mengetahui), Khabir (Maha Mengenal), Hakim (Maha Bijaksana), Bashir
(Maha Melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah SWT. Di antara dua paham ini,
al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah SWT.,tetapi ia mengatakan bahwa sifat-
sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-
Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya.
Al-Maturidi juga menerima segala sesuatu yang sifatnkan Allah SWT., kepada
diri-Nya sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan
bahwa Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan dari
mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang mengandung makna sifat-sifat,
seperti pernyataan bahwa Allah mempunyai wajah, tangan, mata, dan lainnya, maka al-
Maturidi berdiri pada posisi pentawil dan berjalan di atas prinsipnya, yaitu membawa
ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. Misalnya, ia menginterprestasikan
firman Allah: Lalu Dia bersemayam di atas Arsy ...., bahwa Allah menuju Arsy dan
menciptakannya dalam keadaan rata, lurus dan teratur. Dalam pada ini Maturidiyah
cenderung sependapat dengan aliran Mutazilah, yang mengatakan bahwa antara Dzat dan
sifat-sifat Allah itu tidak terpisah.
b. Melihat Allah SWT
Ada beberapa nash Al-Quran yang menegaskan bahwa Allah SWT. Dapat dilihat,
seperti firman Allah: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Tuhannya mereka melihat.
Berdasarkan firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat
pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu merupakan salah satu keadaan
khusus. Argumen ini diperkuat dengan firman Allah SWT. Yang lain, seperti dalam surah
Al-Qiyamah: 22-23, karena pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah
SWT. (bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk
Allah SWT., hanyalah Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui
kapan terjadinya hari kiamat.
c. Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang Mukmin yang berdosa adalah
menyerahkan persoalan mereka kepada Allah SWT. Jika Allah menghendaki maka Dia
mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah
SWT. Menghendaki, maka maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka.
Dengan demikian, orang Mukmin berda di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh
saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar, sebagai mana Dia berfirman:
ssungguhnya Allah tidak akan mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu,
bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
4. Pembagian Maturidiyah
Aliran kalam Matiuridiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni Samarkand dan
Bukhara. Yang disebut belakangan adalah aliran kalam yang dipimpin oleh Abu Al-Yusr
Muhammad Al-Bazdawi, pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Dan demikian, golongan Bukhara adalah pengikut aliran Kalam Al-
Bazdawi. Walaupun sebagai pengikut dan penerus aliran Al-Maturidiyah, Al-Bazdawi
selalu sepaham dengan Maturidi.
Ada beberapa perbedaan antara Kalam Maturidiyah samarkand dan Bukhara,
sebagai berikut:
Pertama, Mengenai pelaku dosa besar. Aliran Maturidiyah, baik Samarkand
maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai
Mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya
kelak di akhirat bergantung apa yang dilakukannya di dunia. Mjika ia meninggal tanpa
taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah
SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya ke
neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka
adalah balasan untuk orang musyrik. Ini sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam Al-
Quran Surah an-Nissa [4]: 48.
Kedua, mengenai iman dan kufur. Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah
Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar
bi al-lisan. Ia berargumentasi dengan ayat Al-Quran, orang-orang Arab Badawi itu
berkata: kami telah beriman . Katakanlah: kamu belum beriman, tapi katakanlah
kami telah tunduk. Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitun pahala amalanmu;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat tersebut di pahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu
tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan
oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan
lidah. Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi
menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya
ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi
bahwa ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu
hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya,
dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
Ketiga, mengenai perbuatan Tuhan. Mengenai perbuatan Allah SWT. ini, terdapat
perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran
maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik
saja. Demikian juga pengiriman par anabi dan Rasul dipandang Maturidiyah Samarkand
sebagai kewajiban Tuhan.
Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asyariyah
mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun sebagai mana yang
dijelaskan oleh Al-Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah
kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman
bagi orang-orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang
pengiriman rasul, sesuai dengan paham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutkak
Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Keempat, perbuatan manusia. Ada perbedaan antara aliran Samarkand dan aliran
Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia,
menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata
sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan
sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah Bukhara
memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk
melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat
melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya.
Kelima, sifat-sifat Tuhan. Aliran Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai
sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-
sifat jasmani haruslah diberi tawil. Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa
sifa bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang
memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini, Al-Maturidi
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah
kekuasaan Tuhan.
Keenam, kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan,
menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung
arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta
tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah
Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja
yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau
memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
Dari pemaparan dua aliran kalam di atas (baca: Asyariyah dan Maturidiyah)
dapat disimpulkan bahwa kedua aliran tersebut memberi tawaran alternasi dari kemelut
paham Jabariyah dan Qadariyah. Keduanya juga membatasi diri dari pemahaman liberal
Mutazilah dan lebih memilih untuk mendialogkan antara teks Al-Quran dan pandangan
rasional. Jika Asyariyah generasi awal cenderung membatasi kekuatan akal dan
berlindung dibalik kekuatan nash, maka generasi-generasi Asyariyah berikutnya
(kecuali Al-Ghazali) menawarkan kekuatan rasio yang pernah dikembangkan oleh
kaum Mutazilah. Pandangan generasi Asyariyah ini sedikit banyak memiliki kolerasi
dengan pandangan Imam dan pemimpin aliran Maturidiyah yang menawarkan solusi
balancing antara akal dan wahyu melaluikonsep tawil. Dengan demikian, pada akhirnya
estafeta pemikiran kalam pada masa klasik berakhir dengan kemenangan berimbang
antara akal dan wahyu.

Anda mungkin juga menyukai