Anda di halaman 1dari 19

Bagian Ketujuh

PEMIKIRAN KALAM TENTANG

EFEKTIFITAS IMAN DAN AMAL

DALAM MEMBANGUN PERADABAN

A. MALIK BEN NABI


1. Biografi Malik Ben Nabi
Malik Ben Nabi memilki nama lengkap yaitu Malik bin el-Haj Umar binel-Hadlari
bin Mustofa bin Nabi. Ia dilahirkan di kota Konstantin, Aljazair pada 2 Januari 1905 M.
Pada saat beliau lahir, Perancis telah mengukuhkan kolonialnya dan telah mengusai
negeri itu. Berkukuhnya Perancis di negara itu membuat rakyatnya tertindas sehingga
banyak di antara merekayang meninggalkan tempat untuk menyelamatkan harga diri
keluarga mereka dari ancaman penjajah. Peristiwa tragis ini sudah mulai diketahui oleh
Malik Ben Nabi, atas penjelasan nenek perempuannya yang tekun menceritakannya
kepada beliau dan didengarkan oleh beliau dengan sangat serius sehingga tanpa disadari
cerita itu telah membentuk jiwanya yang kemudian membentuk langkahnya di masa
mendatang.
Keluarga Malik Ben Nabi adalah keluarga yang tergolong miskin, di mana sang ayah
yang mempunyai ijazah diploma Sekolah Menengah pada saat itu tidak mempunyai
pekerjaan dan ibu yang bernama Zahira berjuang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
mereka. Walaupun keluarganya adalah keluarga miskin, tetapi beliau dapat bersekolah di
Sekolah Dasar Perancis sebagaimana layaknya dahulu anak-anak priyai Indonesia di
zaman Belanda. Hal ini tentunya disebabkan oleh ayahnya yang sudah dikaruniai
pekerjaan pada sebuah Komune Campuran setempat di Tebessa. Selain di Sekolah Dasar,
beliau juga pernah belajar di Madrasah yang menyiapkan para hakim, guru, dan
pembantu kesehatan.
Dengan demikian, Malik Ben Nabi sejak awal sudah mengenal dua sistem penddikan
yang berbeda yaitu barat dan Islam tradisional. Dengan bersekolah di dua tempat tersebut,
akhirnya beliau mendapat keuntungan yaitu mengusai dua bahasa yaitu Perancis dan Arab
yang merupakan bahasa ibunya. Setelah tamat Sekolah Dasar beliau melanjutkan ke
Sekolah Menengah yang masih berada di kota kelahirannya. Setelah menamatkan sekolah
menengah, ia kemudian melanjutkan studinya di Paris, Perancis. Di negeri ini, ia berhasil
meraih gelar insinyur dibidang elektro pada 1935. Usai usai menamatkan pendidikannya
itu, ia tidak langsung pulang ke negeri asalnya akan tetapi ia berkeliling ke negara-negara
Islam. Sewaktu ia berkeliling ke negara-negara Islam, banyak kejadian ia saksikan,
misalnya ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam tataan
kehidupan masyarakat di negara yang ia singgahi karena adanya penjajahan atau
imperialisme. Sementara di negaranya sendiri, yaitu Aljazair, terjadi juga hal yang serupa.
Tahun 1965 M, Malik Ben Nabi tiba di Kairo dan departemen penerangan Mesir
menerbitkn buku al-Fikrah al-Ifriqiyyah al-Asiawiyyah yang tulisannya dalam bahasa
Perancis. Melalui kontaknya dengan sejumlah mahasiswa di kairo, dia kemudian
menerjemahkan buku-bukunya yang sebagian besar masih tertulis dalam bahasa Perancis
ke dalam bahasa Arab, dan bahkan secara langsung menulis buku-bukunya yang lain
dalam bahas Arab pula. Tujuh tahun kemudian (tahun 1963), ia kembali ke kampung
halamnnya yaitu Aljazair, dan ditunjuk sebagai Direktur utama Pendidikan Tinggi
Aljazair. Di negeri kelahirannya inilah, ia menerbitkan Afaq Jazairiyyah, Yaumiyyat
Syahid li al-Qarn, al-Muslim fiAlam al-Iqtishad, dan Musykilat al-Afkar al-Islamiy.
Hanya empat tahun ia menduduki jabatan tersebut.
Pada 1967 ia melepaskan jabatannya dan menggunakan lebih banyak waktunya
berkonsentrasi dalam kerja intelektual dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar,
baik di dalam maupun di luar negeri. Ia telah melakukan sebuah upaya besar berupa jihad
intelektual demi majunya kembali peradaban Islam. Pada usia 68 tahun, tepatnya tanggal
31 Oktober 1973 Malik Ben Nabi kembali ke haribaan Allah SWT. untuk selama-
lamanya bertempat di Al-Jazair.
Kemudian terkait dengan karya-karyanya dapat dilihat dari aktivitas menulisnya.
Malik Ben Nabi mulai menulis dalam usia 40-an, yaitu usia yang tidak muda lagi bagi
pekerjaan penulisan. Sekalipun terlambat mulai menulis, namun tetap sebagai seorang
penulis yang andal. Hal ini terbukti dari karya-karyanya antara lain: (a) The Quranic
phenomenon (Fenomena Al-Quran) terbit tahun 1946, asli dalam bahasa perancis; (b)
Labbayka (Tentang haji) tahun 1947, novel sosial dalam bahasa Arab. (c) The Conditions
of the Renaisance (syarat-syarat kebangkitan) tahun 1948, asli dalam bahasa Perancis; (d)
Ocation de l Islam (tren dunia Islam) tahun 1954, terjemahan bahasa berjudul Islam in
History and Society; (e) The Afro-Asiatism (Gagasan Asia Afrika) tahun 1956, asli dalam
bahasa Perancis; (f) S.O.S. Algeria (1957, asli dalam bahasa Peramcis); (g) The Problem
of Culture (1957, asli dalam bahasa Arab); (h) The Ideological Struggle in Colonized
Countries (1957, asli dalam bahasa Arab); (i) The New Social Edification (1958, asli dala
bahasa Arab); (j) The Problem of Ideas in the Muslim World (1960, asli dalam bahasa
Arab); (k) Birth of a Society (1960, asli dalam bahasa Arab); (l) Memoires jilid 1 (1967,
asli dalam bahasa arab); (m) The Work of the Orientalist (1967, asli dalam bahasa
Perancis); (n) Islam in Democracy (1968, asli dalam bahasa Perancis); (o) The Sense of
the Stage ditulis tahun 1970, asli dalam bahasa Arab; (p) Memories Jilid II ditulis tahun
1970, asli dalam bahasa Arab; (q) The Muslim in the wordl of the Economics ditulis tahun
1972, asli dalam bahasa Arab; (r) The Role of the Muslim in the Last Third of the 20th
Century, ditulis tahun 1972, asli dalam bahasa Arab.
Karya-karya monumental inilah pada umumnya telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa dan terutama bahasa Arab. Melalui karya-karyanya inilah Malik Ben
Nabi menjadi pemikir di tengah-tengah pemikiran Islam modern, dan melalui karya inilah
beliau menuangkan segala ide dan gagasan cemerlang.
2. Pemikiran Kalam Malik Ben Nabi
Persepsi tentang harkat dan martabat manusia yang mempunyai hubungan signifikan
dengan masalah hak individual dan hak sosial (masyarakat) merupakan realitas yang tidak
bisa diingkari. Hak pribadi dalam masyarakat menghasilkan adanta tanggung jawab
bersama terhadap kesejahteraan warga, dan hak masyarakat atas pribadi para warganya
menghasilkan kewajiban setiap pribadi warga itu kepada masyarakat. Hak individu yang
tak teringkari itu berpangkal pada prinsip teologis, yakni adanya tanggung jawab manusia
kepada Tuhan dalam pengadilan di hari perhitungan (Yaum al-Hisab).
Individualitas tanggung jawab manusia dalam pengadilan Illahoi itumembawa
implikasi prinsipil dalam pola kehidupan manusia, yakni manusia tidak akan dituntut
perbuatannya kecuali atas apa yang pernah dilakukannya. Salah satu konsekuensi logis
dari individualitas tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan adalah adanya pra-
anggapan bahwa seorang individu berkemungkinan dan mampu memilih sendiri secara
bebas keyakinannya tentang apa yang benar dan terbaik dilakukannya.
Menurut Nurcholis Majid, dalam tataran praktis praktis individu tidak lagi sebagai
individu yang lepas dan bebas sepenuhnya. Ia kini berada dalam jaringan pergaulan
dengan individu lain, sehingga ia harus memperhitungkan tindakannya agar bernilai
saleh (sesuai dengan hak dan kepentingan individu lain). Karenanya, jika individu
melanggar batas individu lain dengan sendirinya melahirkan chaos atau dalam
termonologi agama disebut dosa. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Murtadha
Muthahhari, bahwa apabila seorang individu bisa memiliki dosa individu, maka
masyarakat (sosial) juga memiliki dosa sosial. Untuk terhindar dari dosa sosial perlu
adanya pola pemecahan masalah sosial, yakni pola perubahan masyarakat ke arah yang
lebih baik, yang dalam istilah lain disebut tranformasi sosial. Maka, berangkat dari sini,
penulis meletakkan teologi sosial sebagai transformasi sosial.
Lebih lanjut, makna pemecahan masalah sosial atau oleh Less dan Presley disebut
social engineering (rekayasa sosial), atau oleh M.N. Ross disebut social planning
(perencanaan sosial), atau disebut Ira Kaufman dengan change management (menejemen
perubahan) mengandung penolakan esensial terhadap determinisme sejarah serta
penerimaan terhadap eksistensi masyarakat sebagai sebagi suatu entitas yang tidak hanya
sekadar kumpulan individu-individu. Tranformasi sosial merupakan bentuk kepimilikan
dan kepedulian terhadap eksistensi sosial itu sendiri. Ia timbul karena adanya desakan
untuk membentuk sebuah masyarakat sebagai mana yang seharusnya (das sollen), tetapi
dalam kenyataannya kita menemukan realitas seadanya (das sein). Dengan kata lain,
tranformasi merupakan perubahan kepada kondisi yang lebih baik. Atau tranformasi
sosial mengasumsikan terjadinya progres atau kemajuan dalam masyarakat.
a. Manusia Sebagai Agen Perubahan
Menurut Malik Ben Nabi, alam manusia (alam al-insan) merupakan bagian yang
terpenting jika dibandingkan dengan dua bagian kebudayaan lainnya: alam tanah
(alam at-turab) dan alam waktu (alam al-waqt). Manusia disinyalir akan
menentukan arah suatu kebudayaan yang pada akhirnya membawa kepada sebuah
perubahan sosial. Suatu perubahan dari kondisi yang tidak baik menjadi kondisi yang
lebih baik.
Dalam konteks perubahan yang dilakukan oleh umat Islam, Malik Ben Nabi
menyajikan fakta historis dalam tiga fase. Pertama, periode keimanan (marhalat al-
iman) yang dimulai sejak awal diturunkannya Al-Quran dan berakhir pada perang
Siffin. Pada masa ini, unsur spiritual umat Islam masih begitu kuat, dan baru mulai
mengendur setelahperistiwa perang siffin. Kedua, fase kebudayaan Islam (marhalat
as-saqafah al-Islamiyyah) yang ditandai dengan terjadinya pematangan dalam
pemikiran dan pemahaman terhadap Al-Quran dan al-Hadits sebagai konsep.
Keadaan ini disinyalir melahirkan kecemerlangan peradaban yang berakhir dengan
runtuhnya Dinasti Muwahhidin. Sedang periode ketiga adalah periode
keterbelakangan dan kemunduran yang dimulai setelah runtuhnya Dinasti
Muwahhidin ini adalah manusia yang qabil li al-istimar (imperialable:siap [di-]
jajah), lebih dari sekedar terjajah (mustamar).
Memang, antara al-istimar (Imperial: penjajahan) dan qabiliyyat al-istimar
(imperialability: kondisi Muslim yang tidak memiliki apa-apa yang ia butuhkan untuk
mengembangkan dirinya dan untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya, kata Malik,
adalah seorang Muslim yang terjajah. Ia termasuk mustadafin )orang-orang lemah)
yang mudah-mudahan Allah akan memaafkan kondisi mereka itu.
Akan tetapi, jika seorang Muslim itu tidak (mau) berpikir untuk menggunakan
apa yang ia miliki, mengerahkan segala kemampuannya untuk meningkatkan taraf
hidupnya, maka ia adalah Muslim yang siap (di-) jajah, kata Malik lagi. Ini berarti,
sebelum pihak luar datang untuk menjajah, ia sendiri memang sudah berada dalam
kondisi terjajah atau siap [di-] jajah). Dapat kita simpulkan, bahwa faktor intern orang
Muslim sendiri itu lebih berperan dalam mengantarkan pada kondisinya yang
sekarang. Kesadaran ini sering terlupakan ketika kita mencoba mencari sebab
kemunduran masyaraklat Muslim, dengan cepat-cepat mengatakan bahwa kondisi itu
merupakan akibat penjajahan barat yang kejam. Sementara apa yang melatar
belakangi barat hingga bernafsu menjajah masyarakat Muslim, yang seperti dilihat
Malik Ben Nabi lebih berda pada masyarakat Muslim itu sendiri, sering terlupakan.
Analisis Malik ini menjadi semakin berarti ia menyitir ayat Al-Quran yang
berarti Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum
sebelum mereka sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka(QS. Ar-Rad:
11). Sebab, kalimat ma bi qawmi dalam ayat itu berarti apa yang ada pada suatu
kaum (kelompok masyarakat) berupa kemunduran, kemajuan dan bentuk lahiriyah
peradaban. Sedangkan kalimat ma bi anfu-sihim yang terdapat dalam ujung ayat,
bisa diartikan sebagai apa yang terdapat pada diri mereka berupa kesadaran yang
terdapat pada umat seperti pemikiran, cara berpikir, mentalitas dan semangat dan
semangat progresevitasnya, atau kalimat ma bi anfu-sihim). Hal inilah yang
belakangan ini menjadi perhatian utama upaya memajukan kembali peradaban Islam
yang dilakukan baik oleh perorangan maupun kelompok.
Perubahan memang harus dimulai dari dalam diri masing-masing individu (fard)
Muslim, untuk dapat mentransformasikannya menjadi person (syakhs). Tranformasi
ini begitu penting, sebab akan memberikan kepadanya untuk memodifikasi elemen
terpenting yang terdapat dalam dirinya yang dapat menghubungkannya dengan
komunitasnya, serta untuk mengembangkan dalam dirinya kecendrungan-
kecendrungan sosial yang dapat menghubungkan dirinya pada masyarakatnya. Sebab,
menurut Malik, person (syakhs) bukan sekadar individu yang memiliki kekhasan,
tetapi merupakan individu yang lebih sempurna yang akan mampu memproduksi
peradaban, dan pada saat yang sama, sekaligus sebagai produk peradaban itu sendiri.
Interdependesi aktif antara person (syakhs) denagn kelompok masyarakat ini pada
gilirannya akan menghasilkan pergeseran serta perubahan pada umat manusia ini juga
akan berpengaruh pada pergerakan dalam perjalanan masyarakat dan sejarah. Dan
begitu sebaliknya. Sebab, seperti banyak pemikir Muslim lainnya. Malik melihat
bahwa pada diri manusia terdapat dua ciri pokok. Pertama, mutlak dan tidak bisa
dipengaruhi oleh sejarah, tetapi merupakan kejadian alami (natural) dan semata-mata
pemberian Tuhan. Sedang ciri kedua tidak mutlak, berubah-ubah dan dipengaruhi
oleh perubahan sosial dalam sejarah. Ciri kedua ini, menurut Malik, merupakan
entitas sosial. Pada kasus pertama (ciri kemutlakan manusia), Malik
menghubungkannya dengan sifat-sifat anatomis dan fisiologis yang membentuk
eksternal manusia. Sedang yang kedua (ciri keberubahan), adalah format mental dan
psikologis, yang terbentuk oleh perilaku sosial dan perjalanan sejarah. Struktur (pola)
pemikiran sosio-historis ini, tampaknya menjadi perhatian besar sekaligus merupakan
ciri khas Malik. Dari sini, ia kemudian berpendapat bahwa aksi sosial dan perjalanan
sejarah merupakan sebuah hasil dari tiga elemen manusia: tangan (yad), hati (qalb),
dan pikiran (aql). Setiap aktivitas sosial, oleh karena itu, diperoleh dari
motivasi/dorongan hati, petunjuk dan pertimbangan akal, dan sekaligus gerakan fisik.
b. Konsep Pergerakan Sejarah
Menurut Malik, berbagai peristiwa dan pergerakan sejarah tidak lepas dari
interaksi tiga alam penting: (a) alam figur (alam al-asykhash), (b) alam pikiran
(alam al-afkar) dan (c) alam meteri (alam al-asyya). Meski figur dan tokoh (asy-
khash ) merupakan unsur terpenting dari tiga unsur yang ada itu, malik melihat bahwa
alam pemikiran (alam al-afkar) pun memainkan peran yang cukup domonan. sebab,
kekayaan suatu komunitas sebenarnya bukan diukur dari banyaknya materi yang
dilmiliki oleh masing-masing anggotanya, melainkan diukur dariide-ide dan
pemikiran yang mereka telurkan.
Kesalahan yang terjadi di banyak komunitas Muslim, terutama sekali mereka yang
memproduksi minyak seperti bangsa-bangsa Arab, Menurut Ben Nabi, adalah bahwa
begitu mereka mendapatkan independesi politik dari bangsa kolonial, mereka
kemudian menerapkan peradaban materi (al-hadlarah asy-syaiiyyah) yang berdasae
pada penumpukan kekayaan. Sementara pengembangan pemikiran melalui interaksi
dengan bangsa lain, sedikit terkesampingkan, kalau tidak terlupakan sama sekali.
Menurut Malik, upaya dan pengembangan dan pembangunan sebuah komunitas
(Muslim), bisa saja diilhami pemikiran komunitas lain (Barat). Artinya, interaksi
antara satu peradaban dengan peradaban lainnya justru akan mengembangkan kedua
peradaban itu secara bersamaan. Maka, menurutnya, sebuah peradaban tidak akan
mungkin dapat tercipta, maju, dan berkembang tanpa adanya interaksi positif antar
umat manusia. Bagaimanapun, kemajuan peradaban Barat tidak akan tercapai begitu
saja tanpa adanya interaksi dengan peradaban Islam dengan jalan mengambil
pemikiran-pemikiran positif-progresif Islam. Sementara, kekelahan masyarakat
Muslim sekarang dalam persaiangan peradaban dengan Barat, sebenarnya lebih
disebabkan oleh kesalahan mereka dalam membedakan antara kebutuhan riil (adl-
dlaururat al-haqiqiyyah) dengan kebutuhan sampingan (adl-dlarurat al-muzayyafah).
Kerancauan ini, juga mempengaruhi alam figur dan alam pikiran umat Islam, yang
pada gilirannya akan menimbulkan dekadensi moral dan tingkah laku yang tidak
teratur.
c. Memulihkan Efektivitas Keimanan
Dalam menyikapi kemunduran umat Islam, term iman menjadi kajian yang
menarik untuk dijadikan bahan diskusi, apakah umat Islam memiliki keteguhan iman
ataukah ada persoalan lain dengan keimanan yang dimiliki mereka. Dalam kaitan ini,
Malik Ben Nabi berkesimpulan bahwa persoalan yang sebenarnya yang dihadapi umat
Islam bukanlah bagaimana mengajarkan orang-orang Muslim keimanan dan
keyakinan agamanya, melainkan, lebih dari itu, bagaiamana memulihkan kembali
efektivitas iman dan keyakinan itu agar mempunyai dampak sosial. Dengan
ungkapan lain, Malik mengatakan, persoalannya sekarang bukanlah bagaimana
membuktikan adanya Tuhan kepada seorang Muslim, tetapi bagaimana membuat
kesadaran seorang Muslim akan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu dapat mengisi
jiwanya sehingga menumbuhkan kekuatan moral (moral force).
Dari sinilah Malik Ben Nabi, mengajukan tawaran modifikasi bagi kesadaran dan
cara berpikir serta kondisi sosial manusia melalui aktualisasi empat nilai dasar kultur,
yakni; konstitusi moral (al-dustur al-khuluqi) , rasa keindahan (al-dzawq al-jamali),
logika berkarya (al-manthiq al-amali), dan teknik industri (ilm al-shinaah). Menurut
Malik, keempat elemen ini cukup mewakili seluruh unsur masyarakat yang
menghendaki sebuah perubahan.
1) Konstitusi Moral (al-dustur al-khuluqi), dan rasa keindahan (al-Dzawq al-Jamali)
Pembicaraan tentang moral atau etika tidak sekadar sesuatu yang
mengisyaratkan masalah kesopanan semata, melainkan meliputi pengertian yang
mendasar sebagai konsep yang komprehensif yang menjadi pangkal pandangan hidup
tentang baik dan buruk. Oleh karena itu, konstitusi etis (al-dustur al-Khuluqi) dalam
makna yang seluas-luasnya mencakup keseluruhan pandangan dunia (world outlook)
dan pandangan hidup (way of life). Menurut Karl Barth, sebagaimana dikutip oleh
Nurcholis Madjid, bahwa etika (dari ethos) adalah sebanding dengan moral (dari
mos). Keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Perkataan jerman
Sitte (dari jerman kuno, situ) menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia,
suatu konstansi tindakan manusia. Karena itu, secara umum etika atau moral adalah
filsafat, ilmu atau disiplin tentang mode-mode tingkah laku manusia atau konstansi
tindakan manusia.
Jika merujuk kepada pengertian ini, maka konstitusi moral yang ditawarkan oleh
Malik Ben Nabi berkaitan dengan kemampuan moralitas manusia (moral force) dalam
merespon perubahan kehidupan modern. Artinya, sesuai dengan tugasnya konstitusi
moralm diharapkan mengikat bagian-bagian budaya sehingga satu sama lain dapat
berjalin dan memberi karakter khas kepada kebudayaan. Di sisi lain ikatan-ikatan
moral tersebut diyakini dapat menciptakan watak dan karakter tersendiri bagi cara
hidup masyarakat dan tingkah laku individunya.
Secara khusus, tegas Malik, yang dalam kenyataannya merupakan interaksi
organik dan memiliki fungsi sosial yang sangat penting. Hal ini disebabkan interaksi
tersebut menentukan karakter kebudayaan dan arah peradaban secara keseluruhan,
ketika ia menempelkan karakter khusus tersebut pada pola hidup masyarakat dan
tingkah laku individunya.
Hubungan organik keduanyabbegitu kentara ketika kita hanya memberi prioritas
kepada cita rasa keindahan, yang telah membesarkan suatu peradaban, tetapi nerakhir
dalam kebakaran besar yang apinyadisulut oleh seorang laki-laki semisal Nero atau
wanita semisal Messaline. Pada sisi lain, kita juga melihat bagaimana suatu
kebudayaan yang hanya memberi prioritas pada prinsip-prinsip moral telah
menciptkan peradaban kebutuhan yang statis dan membatu, serta berakhir tergulung
dalam keterbelakangan yang dikomandani oleh para panglima tarekat.
Jika kita menelusuri lebih lanjut, kita akan menemukan betapa prinsip etika dan
estetika akan mempengaruhi pada bidang kehidupan lainnya, mulai dari persoalan
struktur keluarga yang patrilineal dan matrilineal, persoalan aliran seni untuk seni
(art of art) pada masyarakat yang mendahulukan nilai etika sampai pada persoalan
metode politik. Dalam konteks politik ini, kita juga dapat melihat betapa glamornya
bangunan pencakar langit karena motif estetika, sementarakesejahteraan rakyat
menjadi terbengkalai, dan sebaliknya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa nilai
etika dan estetika sangat memengaruhi arah kepada transformasi (perubahan) yang
dicananglkan.
2) Orientasi Kerja (al-Manthiq al-Amali)
Masalah orientasi kerja atau mungkin disebut etos kerja selalu menjadi
perbincangan serius ketika dikaitkan dengan pandangan tentang tranformasi sosial.
Persoalan yang mencuat dalam pembahasan orientasi kerja ini adalah fakta di mana
belum ada negeri berpenduduk Muslim yang benar-benar menjadi negara maju. Boleh
jadi pembicara an mengenai tingkat pertumbuhan masyarakat di negara-negara Islam
seakan-akan berbicara tentang arah sesuatu yang nyaris tidak berwujud. Lapisan-
lapisan masyarakat yang terdiri para pengangguran yang ada di negara-negara Islam,
menjadi lapisan yang menggumpal tempat kita meletakkan tanda tanya besar di
bawah judul tranformasi sosial ini. Apakah dalam Islam ada pembicaraan mengenai
kerja? Atau adakah gagasan Al-Quran yang memotivasi pemeluknya untuk berkarya?
Jika jawaban dari pertanyaan di atas bertolak belakang dengan realitas masyarakat
Islam yang disinyalir sebagai tempat berjubelnya para pengangguran yang miskin dan
kumuh, maka alasan mana lagi yang pantas dibicarakan. Memang, gagasan AL-
Quran begitu mempesona ketika mengumumkan kriteria al-mukminun dengan
persyaratan kerja. Setiap kali kata Amanu (orang-orang yang beriman) muncul maka
disitu selalu diikuti oleh kata wa amil al-shalihat (dan orang-orang yang melakukan
amal saleh).
d. Teknik Industri (ilm al-Shinaah)

Pesonal industri di sini bukan dalam pengertian yang sempit, tetapi meliputi
berbagai teknologi, profesi, kemampuan dan terapan berbagai ilmu. Dalam persoalan
ini problema terbesar yang dihadapi umat Islam adalah persoalan bagaimana
mencetak individu yang sanggup memikul risalah dalam sejarah ini. Kita tidak ingin
lagi mewarisi generasi yang terdiri dari orang-orang yang sok pintar atau orang-orang
awam teknologi. Sebab, orang-orang yang sok pintar dan serba tanggung, yang
dikendalikan oleh oleh naluri dan bukan oleh wahyu dan akalya, tidak lebih seperti
air yang telah melewati turbin dan telah kehilangan daya pembangkitnya. Hal senada
dikatakan oleh Hodgson, bahwa kemajuan pada zaman ini merupakan hasil
transmutasi atau perubahan besar masyarakat melalui ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam teknologi. Maka, sikap positif kepada teknologi dan industri
melalui sistem keimanan akan melengkapi setiap proses yang terjadi dengan inter
dinamics yang secara sejati mendorong maju ke depan. Dunia Islam bukan seperti
anak kecil yang selalu merengek meminta pasokan (import) benda-benda jadi dari
dunia lain, tanpa adanya kreasi untuk mencoba mencipta. Bagaimana umat Islam
mengimpikan sebuah transformasi, apabila untuk keperluan jarum pentul saja masih
harus mengimport dari Cina.

Akhirnya, penulis merasa invold untuk menegaskan kembali bahwa


sesungguhnya sistem keimanan dalam Islam ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan kata lain, fakta bahwa alam raya yang berpermulaan dari tiada
(creatio ex nihillo)mengindikasikan pembuktian akan adanya Tuhan yang ternyata
juga mendapat dukungan dari teori ilmiah modern. William Craig, seorang ahli
filsafat modern dari Barkeley mengatakan bahwa argumen kosmologis Kalam
membimbing kita kepada pernyataan tentang adanya Khaliq yang personal bagi alam
raya yang ada tanpa berubah dan lepas sebelim penciptaan dan dalam waktu sesudah
penciptaan. Apa yang diharapkan dari pembuktian kosmologis ini tiada lain supaya
menjadi bahan subtansiasi keyakinan kaum Muslim sendiri bahwa sistem teologi kita
sebenarnya ditopang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, umat
Islam harus selalu menyambut ilmu teknologi sebagai peneguh imannya, bukan
sebagai ancaman. Jika prinsip ini secara potensial berwujud pada umat Islam, maka
yang harus diusahakan selanjutnya adalah reaktualisasi prinsip tersebut melalui
berbagai kegiatan praktisnya.

B. MUHAMMAD ABID AL-JABIRI


1. Biografi danKarya Intelektual
Muhammad Abid Al-Jabiri lahir tahun 1936 di Maroko. Al-Jabiri sempat
mengeyam pendidikan dasrnya pada madrasah-madrasah suffi, kemudian melanjutkan
ke sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh Perancis. Pada 1960 bertepatan
dengan mencuatnya perang Suez di Timur Arab, Al-Jabiri melanjutkan pendidikan
strata satu (S1) pada Universitas Muhammad Al-Khamis Rabat dengan mengambil
sepealisasi bidang Filsafat umum, tahun 1967 memperoleh gelar magister, dan gelar
Doktroralnya diperoleh dari universitas yang sama pada tahun 1970.
Muhammad Abid al-Jabiri adalah sosok pemikir Muslim modern (thinker)
dan (kritikus) pemikiran Arab-Islam yang berafiliasi kepada tipologi reformistik
dengan kecenderungan dekrontruktif. Metode dekrontuksi bermula dari penganalisaan
terhadap struktur-struktur yang melingkupi dan mengitari terbentuknya suatu wacana.
Setelah analisis struktural ini baru diadakan pembongkaran atas struktur tersebut. Dari
sini, usaha dekontruksi dimaksudkan untuk mengubah yang tetap kepada perubahan,
yang absolut kepada yang relatif, dan yang a-historis kepada historis. Dengan
demikian corak dari proyek kritik akal Arab-Islam (Masyru Naqd al-Aql al-Arabi
al-Islami) merupakan simbol diaspora intelektual dan kultural Muhammad Abid al-
Jabiri.
Kemudian sejalan dengan perkembangan kemodern, dunia Islam dihadapkan
pada tantangan yang semakin kompleks. Barat dengan modernismenya sering kali
bersikap picik, arogan, dan kaku anti Islam. Sementara bangsa-bangsa Muslim, meski
disinyalir memiliki kaitan historis dengan barat yang melahirkan kemodern itu,
disebabkan oleh berabagai pengalaman interaktif yang justru sering melahirkan
permusuhan, maka proses modernisasi mengalami kesulitan psikologis. Sehingga
muncul suara-suara apologetis menyerang" dengan tuduhan-tuduhan etno-sentrisme
terhadap barat. Kondisi ini memberi ilham bagi perkembangan pemikiran Al-Jabiri
dimana ia tidak apriori debgan modernisasi barat, tetapi ia justru menginsafi hal
tersebut sebagai indikasi kejumudan dan kemandekan umat Islam. Maka, memasuki
dasawarsa 90-an Muhammad Abid Al-Jabiri mengembangkan paradigma baru yang
sesuai ndengan ajaran Islam dan kebutuhan hakekat umat Islam itu sendiri. Paradigma
yang dimaksud Al-Jabiri berorientasi pada rekrontruksi epistemologi ilmu
pengetahuan. Bagi Al-Jabiri, umat Islam tidak sepantasnya hanya menerima dan
mengambil alih paradigma pengetahuan barat yang bertitik tolak dari materielisme-
positivisme, akan tetapi harus membangun paradigma baru yang sesuai dengan
sumber-sumber ajaran Islam dan tuntutan umat Islam.
Dalam konteks ini Al-Jabiri beruya mengaloborasi paradigma ilmu
pengetahuan dengan mengedepankan dua gagasan spektakuler. Pertama, mengajukan
gagasan pembentukan struktur rasionalitas Arab-Islam, dan kedua, mengedepankan
gagasan rekrontruksi realitas Arab-Islam. Kedua gagasan tersebut tercermin dalam
karya besarnya, yaitu Takwin al-Aql al-Arabi (Formasi Akal Arab) terbit tahun 1984;
dan Bunyah al-Aql Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Linudzm al-Ma;rifah fi al-
Tsaqafah al-Arabiyah (Struktur Akal Arab Islam: Kritik bagi sistem ilmu
pengetahuan dalam kebudayaan Arab) terbit tahun 1986. Kemudian pendekatan
epistemologi sebagai refresentasi paradigma pengetahuan dipertegas dengan
pendekatan politis-etis sebagai bagian dari rekrontuksi realitas Arab-Islam.
Rekrontuksi politis-etis ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul al-Aql al-Siyasi
al-Arabi: Muhaddidat wa Tajalliyyat (Akal politik Arab-Islam: Motif-motif dan
Manifestasi) terbit tahun 1990, dan al-Aql al-Akhlaqi: Dirasah Tahliliyyah
Naqdiyyah linudzm al-Qayyim fi al-Tsaqafah al-;Arabiyyah (Akal Etika Arab-Islam:
Studi Analitik-kritik tentang struktur Nilai dalam kebudayaan Arab-Islam) terbit
tahun 2001. Dengan hadirnya buku seri keempat maka gagasan yang dibangun Al-
Jabiri berupaya memberi pijakan mendasar dan kukuh bagi sistem dan paradigma
ilmu pengetahuan sekaligus paradigma kebudayaan Arab-Islam.
2. Pemikiran Kalam Muhammad Abid al-Jabiri
a. Konsep tentang kebangkitan Dunia Islam
Muhammad Abid al-Jabiri (1936-2010) adalah filosof Muslim (dan pada
beberapa bagian pemikirannya terdapat kecenderungan teologis) yang konsen
memikirkan kemajuan dunia Islam. Bagi Al-Jabiri, persoalan kemunduran
(inhithath) adalah salah satu persoalan utama filsafat dan pemikiran teologis umat
manusia pada umumnya. Sehingga tidak ada kecenderungan intelektual yang tidak
membicarakan alasan-alasan dan sifat dari kondisi ini. Dalam menyikapi
kemunduran umat Islam, khususnya dunia Arab, para pemikir Muslim disinyalir
telah gagal memberikan sebuah alternatif yang kukuh terhadap persoalan
kemunduran ini. Al-Jabiri, melihat berbagai solusi yang ditawarkan oleh kalangan
revivalis dan liberalis telah gagal mendiagnosis penyakit intelektual dunia Islam,
khususnya dunia Arab. Kelompok pertama karena meletakkan solusi pada masa
lalu Islam, zaman keemasan, sedangkan kalangan yang disebut terakhir
meletakkan solusi pada Reneisance Eropa.
Muhammad Abid al-Jabiri menyimpulkan bahwa wacana kebangkitan
(nahdhah) dalam pemikiran Arab modern, apakah bersifat islamis, nasionalis,
liberal, atau marxis, sekalipun adalah wacana yang bersifat kompromisitis dan
bertentangan dengan dirinya, terutama karena ia menawarkan solusi-solusi dan
tesis-tesis yang sudah jadi. Menurutnya, konseptualisasi wacana nahsdhah
didasarkan pada model-model cetakan yang sama sekali tidak merefleksikan
kondisi-kondisi sosial dan kultur sekarang. Implikasinya, pemikiran Arab-Islam
telah gagal membangun wacana yang koheren, yang dapat mengatasi masalah dan
persoalan-persoalan yang diperdebatkan seratus tahun yang lalu.
Untuk memecahkan permasalahan-permasalahan itu dan membangun
kembali Islam yang lebih menjanjikan, maka tidak ada jalan lain kecuali
melakukan kritik diri, yakni memecahklan terlebih dahulu permasalahan-
permasalahan yang ditinggalkan oleh masa lampau. Untuk melakukan kritik
dengan benar meminjam istilah Freud harus bertolak dari kesadaran Sang Ego (al-
Ana) yang subtansial, sebelum melakukan eleminasi terhadap sang Id, baik yang
dinisbahkan kepada legasi masa lampau, maupun legasi dari Barat. kenalilah
dirimu (know thyself), demikian Socrates menganggapnya sebagai puncak dari
tujuan pengetahuan. Artinya, kenalilah dirimu dari sebuah proses sejarah yang
terus berlangsung hingga sekarang. Oleh sebab itu, adalah sangat urgen
memulainya dengan melakukan sistemisasi dokumentasi masa lampau yang
terangkum dalam turats, yakni pola-pola pemikiran dan tingkah laku masa
lampau.
Turats yang pada awalnya sebagai harta pusaka yang bersifat materiel
kemudian dipahami sebagai warisan pemikiran. Turats dalam pemahaman baru
ini lebih ditekankan sebagai khazanah yang membedakan karakteristik manusia
dengan makhluk lainnya manusia adalah rasional being (makhluk berpikir), homo
sapiens (makhluk yang berakal), homo creator (makhluk ynag berkarya) atau
historical being (makhluk yan bersejarah). Manusia berbeda dengan burung atau
makhluk lainnya. Burung, misalnya, sejak beribu-ribu tahun yang lalu hingga
sekarang tidak mengalami perubahan monumental. Burung adalah hewan yang
tidak bersejarah, tidak menyimpan peristiwa, tidak mengakumulasikan
pengalaman, dan tidak mewarisi eksperimen. Manusia adalah kebaikan itu semua,
karena dengan fenomena sejarah, manusia telah melahirkan turats yang terus
mengawal laju perkembanga umat dari masa kemasa.
Dengan demikian, pembaruan tehadap kondisi kemunduran umat islam ini
dilakukan denganmenyikapi warisan pemikaran (baca: pengetahuan) yang telah
diwariskan dari generasi sepanjang sejarah islam. Dari sinilah muhammaad abid
al-jibiri menggagas proyek kritik akal arab (disingkat KAA), suatu upaya koreksi
dan kritik terhadap pengetahuan masa lalu. Oleh karena itu, tantangan yang
dihadapi dunia arab-islam dewasa ini adalah melewati jenis pengetahuan
anakronistik yang didasarkan kepada pembakuan pola-pola masa lalu menuju
jenis pengetahuan baru yang didasarkan kepada kritik epistemologis. Maka
konsep kebangkitan dunia islam dalam perspektif muhammad abid al-jibiri
bertumpu pada konsep pengetahuan yang digagasnya. Disini al-jibiri
memunculkan konsep pengetahuan yang berkembang di dunia islam. Dari ketiga
pengetahuain ini, al-jibiri cenderung berpihak kepada pengetahuan burhani
sebagai pengetahuan yang mesti dikembangkan oleh umat islam hari ini.
b. Konsep tentang akal
Sebuah bangunan pemikiran kalam tidak terlepas dari kajian tentang akal
sebafai elemen terpenting dalam membangun peradaban. Konsep akal dalam
perspektif al-jabiri erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan yang menjadi citra
peradaban manusia. Dalam kaitan ini, penyebutan akal atau nalar dalam teori
hasan anafi tiada lain merupakan sarana untuk mendapatkan pengetahuan. Maka,
akal dalam konsepsi al-jabiri identik dengan pengetahuan. Pada titik ini, al-jabiri
tampak ingin mengatakan bahwa kemajuan umat islam harus dimulai dengan
mengelaborasi akalnya sendiri, yang tiada lain adalah pengetahuan inilah umat
islam akan mampu berperan maksimal di pentas peradaban.
Penggunaan kata aql dalam konsep al-jabiri dimaksudkan sebagai pengalih
bahasan dari pemikiran sebagai instrumen untuk memproduksi pemikiran (al-fikr
kaadah li intaj al-fikr), dan pemikiran dalam arti kumpulan pemikiran itu sendiri
(al-fikr biwasfihi al-afkar dzatuha). Disini dapat diperjelas kembali bahwa
pemikiran adlaj sekumpulan pandangan dan pemikiran yang dengannya
masyarakat mengunkapkan concers-nya. Adapun pengertian akal sebagai
pengetahuan didasarkan kepada pembedaan yang dibuat para filosof klasik ketika
sebagai kemampuan untuk mengetahui (al-quwwah al-mudrikah). Dalam kaitan
ini al-jabiri menulis :
Akal arab yang hendak kita analisis, dengan analisis kritis, bukan kategori
hampa, bukan konsep metafisis, dan bukan semboyan ideologis untuk memuji
atau mencaci. Akan tetapi, sejumlah konsep dan aktivitas kognitif yang
mengarahkan, dengan tinkat kekuatan dan ketakaman tertentu, pandangan orang-
orang arab terhadap segala sesuatu dan cara kita berinteraksi denganya dalam
upaya mencari pengetahuan, wilayah produksi dan reproduksinya.
Disini, al-jabiri melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur pemikiran
yang mengatur dengan ketat pola pandang orang arab dan pola interaksinya
dengan segala sesuatu memang ada. Ini berarti, orang arab adalah individu anak
manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam peradaban arab,
hingga (peradaban itu) membentuk referensi pemikiran yang utama.
Sebagai sebuah ontologi, akal arab dapat dilihat dari adanya sesuati yang
menjadi lawannya. Dalam teori logika dikatakan bahwa sesuatu itu bisa diketahui
dengan melihat antonimnya. Istilah antonim ini tidak mesti sebagai sesuatu yang
paradoksial atau kontradiktif, melainkan sekedar perbedaan. Cara inilah yang akan
digunakan untuk menjelaskan apakah itu akal arab, yaitu dengan
memperbandingkan dengan dua akal lainnya, yakni akal yunani dan akal Eropa.
Pertanyaannya kemudian, mengapa harus akal yunani dan akal eropa yang
digunakan sebagai perbandingan? Tidakkah itu berarti kita menafikan peradaban
lain, seperti mesir kuno, babilona, persia, cina dan anak benua india? Menurut al-
jabiri, kita menggunakan kedua peradaban besar itu, paling tidak, karena dua
sebab berikut. Pertama, hanya peradaban arab, yunani dan eropa yang
menempatkan akal sebagai faktor dominan dalam infa struktur kehidupannya,
berbeda dengan peradaban-peradaban lain yang banyak dipengaruhi oleh mitos,
sihir, dan legenda. Yang kedua, lebih dari itu, hanya ketiga peradaban tersebut
yang melangkah maju lebih jauh, bukan hanya berpikir menggunakan akal tetapi
juga berpikir kedalam eksistensi akal.
Kenyataan akal arab sebagai sebuah ontologi telah diyakini keberadaanya,
maka pertanyaan selanjutnya adalah sebagaimana akal arab dapat menjadi sebuah
epistem atau sistem pengetahuan? Jika dalam istilah lalande, la raison constitutee
(akal terbentuk) adalah sistem kaidah yang ditetapkan dan dapat diterima dalam
setu era historis tertemtu, maka era historis mana dalam kebudayaan arab yang
dirujuk sebagai sistem kaidah itu?
Sistem pengetahuan (epistem/nizham al-marifi) adalah sejumlah konsep,
prinsip dasar dan aktivitas untuk memperoleh pengetahuan dalam suatu era
historis tertentu, yaitu struktur bawah sadarnya. Dalam bahasa yang ringkas,
sistem pengetahuan dalam suatu kebutuhan tertentu adalah struktur bawah
sadarnya. Lalu, apa itu struktur bawah sadar?
Ketika berbicara tentang struktur, kata al-jabiri, maka yang kita bicarakan di
situ adalah adanya faktor-faktor permanen dan faktor-faktor yang berubah. Lalu
ketika struktur itu dikaitkan dengan akal arab, maka yang dimaksud adalah faktor-
faktor permanen dan faktor-faktor yang berubah dalam kebudayaan Arab yang
membentuk akal itu. Konsekuensinya, tentu ada keterkaitan akal dengan
kebudayaan. Keterkaitan ini tidak akan menjelaskan apa-apa sebelum dijelaskan
terlebih dahulu arti kebudayaan itu sendiri. Maka disini, al-jabiri berhutang
kepada e. Herriot, seorang ahli sejarah dan politikus prancis, yang segala yang
lainnya telah sama sekali terlupakan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akal arab adalah apa yang
disisakan oleh kebudayaan arab untuk orang-orang arab, setelah mereka
melupakan apa yang diajarkan kebudayaan tersebut. Yang disisakan adalah faktor-
faktor permanen dan yang terlupakan adalah faktor-faktor yang berubah. Yang
tetap utuh adalah faktor-faktor permanen kebudayaan arab, yakniakal itu sendiri.
Pertanyaan kemudian, apa yang tetap utuh dalam kebudayaan arab, sejak era
jahiliyah hingga sekarang? Pertanyaan lain yang merupakan kebalikannya dan
dipandang lebuh tajam adalah apa yang berubah dalam kebudayaan arab sejak era
jahiliyah hingga sekarang? Pertanyaan kedua ini, kata al-jabiri, memiliki pengaruh
yang besar karena akan menyeret era jahiliyyah sebagai era kebudayaan arab-
islam. Siapapun tidak akan menyangkal bahwa al-qias, amr ibn ummu kulsum,
unsurah, labid, labighah, zuhair ibn salma... ibn abbas, ali bin abi thalib, malik,
sibawaih, asy-syafii, ibn hanbal, al-kindi, at-tabari, al-farabi al-jahid, al-samal, al-
ghazali, ibn taymiyyah, orang-orang setelahnya seperti al-afghani, abduh, dan
rasyid ridha..., sebagai bangsa arab yang hidup dalam penggung kebudayaan arab.
Implikasinya jelas, bahwa era jahiliyyah dan era islam bersifat eklusif satu
sama lain. Al-jabiri menolak keras pendapat pemikir muslim yang berpendapat
bahwa sistem pengetahuan memiliki argumen kuat. Terlebih dalam kebudayaan
yunani dan eropa modern konsep akal berkaitan dengan upaya memahami sebab
yakni pengetahuan. Dalam kerangka baru yunani dan eropa modern terdapat dua
unsur permanen yang mengarahkan akal, yaitu (1) hubungan akal dan alam
sebagai hubungan langsung, dan (2) kemampuan akal untuk menjelaskan dan
menyingkapkan rahasia-rahasia alam. Unsur pertama menjadi dasar cara pandang
terhadap wujud dan yang kedua menjadi dasar cara pandang terhadap
pengetahuan, seperti halnya dalam kebudayaan yunani dan eropa modern, konsep
akal dalam pemikiran arab juga meramabah wilayah pengetahuan. Kata akal
dalam kamus-kamus bahasa arab memiliki arti al-hajru wa an-nahyu (menjegah
dan menghalangi. Dalam istilah orang arab, orang berakal adalah orang yang
mampu menelaah dan berpikir secara menyeluruh, dan dari sini dimungkin
menyatakan konsep akal berkaitan dengan pengetahuan. Lebih jauh lagi, karena
konsep akal dalam pemikiran arab memiliki hubungan signifikan dengan perilaku
tatak rama, seperti ditunjukan dari makna dasarnya mencegah dan menghalangi
sehingga konsep pengetahuan di dunia Arab dibangun berdasarkan akhlak.
c. Konsep tentang iman dan amal shaleh
Dalam upaya membangun peradaban islam kedepan, muhammad abid al-
jabiri berpandangan bahwa umat islam harus berpijak pada nilai-nilai etika yang
didasarkan kepada etika keimanan dal amal shalej. Konsep etika ini sesungguhnya
merupakan panduan dengan kosep teologis yang dibangunnya, sehingga nilai-nilai
etika yang digulirkan adalah etika yang bersumber pada nilai-nilai teologis. Dalam
pada ini muhammad abid al-jabiri telah melampaui sistem etika yang diusung oleh
yunani, persia dan bangsa dan berpaling kepada etika sosial atau etika
kemasyarakatan berbasis amal saleh dan kemaslahatan sebagai sosial bagi bangsa
arab dan dunia islam. Etika sosial ini merupakan representasi langsung dari akhlaq
al-quran sebagai warisan islam yang paling murni dan otoritatif.
Menurut al-jabiri, nilai etika sosial ini bersumbu pada keimanan, dan
keimanan itu sendiri (dalam islam) diorientasikan bukan untuk Allah karena Allah
Dzat Yang Maha Kaya, melainkan untuk manusia. Sehingga tidak heran jika
dalam al-quran kata al-iman seringkali disandingkan dengan konteks sosial dan
kontentum kemanusiaan, seperti dalam beberapa ayat alladzina amanu wa amil
alshalihat (yaitu orang-orang yang beriman dan beramal saleh).
Kata-kata al-iman dalam al-quran disandingkan dengan kata amal al shalih
dengan relasi syarat dan masyrut, yakni syarat keimanan adalah terwujudnya amal
shaleh. Konteks kesatuan anata iman dan amal saleh yang diulang-ulang dalam al-
quran mencerminkan bahwa amal saleh merupakan representasi nilai etika al-
quran, atau nilai-nilai etika islam yang sesungguhnya.
Disisi lain, sinergi antara keimanan dan amal saleh melahirkan term
keagamaan yang menjadi puncak karakter kesempurnaan menusia, yakni takwa.
Dalam berbagai ayat al-quran, ketaqwaan mengmbil bentuknya dalam harmoni
kaum mukmin dengan allah dan harmoni dengan sesama manusia. Dengan kata
lain sisi keimanan tidak mencerminkan ketaqwaan, malainkan harus dibarengi
dengan amal saleh. Jelaslah, jika ketaqwaan merupakan nilai utama dalam isalm
sebagai agama, maka amal saleh merupakan nilai utama dalam akhlak yang
mencerminkan etika islam, dan demikian demikian dapat dikatakan sebagai etika
amal saleh.
Menurut muhammad abid al-jabiri, etika amal saleh atau para fuqaha
menyebutnya dengan kemaslahatan (etika kemaslahatan) ndeikembangkan
pertamakali seorang ulama besar maghribi bermana izz al-din abd al-salam (lahir
di damaskus 557h). Ulama yang pernah hijrah dari damaskus ke mesir pada 639
H ini menulis buku terkenal, yajni qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam (kaidah-
kaidah hukum dalam konteks kemaslahatan manusia) dan syajarah al-maarif wa
al ahwal wa shalih al-aqwal al-amal (pohon pengetahuan dan tindakan :
implementasi kata-kata pada tindakan praksis). Buku pertama yang sering disebut
dengan al-qawaid al-qubra merupakan representasi dari etika sosial, yang
menuntun manusia tentang cara berinteraksi dengan sesama manusia, hewan, dan
lingkungan sekitar. Buku ini memberi solusi dan jawaban bagi buku klasik yang
ditulis al-mawardi berjudul adab al-dunya wa al-din dan buku karya raghib al-
asfahani berjudul al-dzariah ila makarim al-syariah. Sedangkan buku kedua yang
sering disebut al-qawaid al-shugra berorientasi pada etika spiritual (akhlak al-
ruhiyah) berisi tentang hak-hak khalik, hak-hak manusia kepada allah dan hak-
hak manusia terhadap semuanya. Buku ini lebih merupakan sebuaj alternasi bagi
persoalan-persoalan etika yang digagas oleh al-muhasibi dalam bukunya al-riyah
lihuquq allah dan ihya ulumuddin karangan al-ghazali. Boleh jadi penulisan dua
buku karya izza al-din abd al-salam dimaksudkan untuk menampilkan rujukan
autentik tentag atika islam sebagai alternatif dari etika warisan persia, etika
warisan yunani dan etika warisan para sufi.
Etika kemaslahatan yang berorientasi kemasa depan dan bukan kemasa lalu,
dirajut oleh prasangka yang mendekati kebenaran. Sebuah prasangka tentunya
didasarkan kepada pertimbangan akal, karena potensi akal akan mampu
menjelaskan hakikat kemaslahatan (juga kemudharatan), terutama yang terkait
dengan kemaslahatan duniawi. Melalui potensi akal (termasuk didalamnya
pengalaman-pengalaman, tradisi, dan prasangka yang mendekati benar), masalah-
masalah duniawi sejatinya dapat dipecahkan, dan jika terjadi sesuatu yang tidak
dijumpai dalam pengalaman, tradisi atau prasangka yang mendekati kebenaran,
maka premis rasional menjadi tolak ukurnya.
Kemudian perkara-perkara yang terkait dengan kemaslahatan ukhrawi (juga
kemudaratannya) dapat ditelusuri dari syara. Sedangkan perkara-perkara yang
terkait dnegan kemaslahatan duniawiukhrawi secara bebarengan sering kali
dijumpai landasannya dalam syara dan jika tidak dijumpai dalam syariat maka
dapat ditelusuri dari dalil-dalilnya, yakni al-quran, sunah, ijmak, dan qiyas.
Kemaslahatan ini terbagi menjadi tiga bagian: kemaslahatan yang wajib,
kemaslahatan yang disunatkan, dan kemaslahatan yang diperbolehkan. Oleh
karena kemaslahatan terbagi tiga, yakni kemaslahatan ukhrawi, maka perbuatan
manusiapun terbagi menjadi tiga kategori, (1) perbuatan-perbuatan yang menjadi
sebab terciptanya kemaslahatan atau kemufsadatan duniawi, (2) upaya-upaya yang
berimplikasi bagi munculnya kemaslahatan dan mafsadat ukhrawi dan (3)
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan terciptanya kemaslahatan duniawi-
ukhrawi. Dalam konteks ini, yang diperintahkan adalah memunculkan perbuatan-
perbuatan atau upaya-upaya yang berimplikasi pada kemaslahatran tersebut, dan
sebaliknya yang di larang adalah berbagai upaya yang mengaraj kepada
munculnya mafsadat.

Anda mungkin juga menyukai