Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AHWAL SUFI

Dosen Pengampu :
M. Indra Saputra, M.PD.I

Disusun oleh :
Kelompok 5
1. Rayhansyah (2011100405)
2. Diah Ayu Lestari (2011100250)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
UNIVERSITAS NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal, sehingga kita senantiasa berada
dalam genggamannya dengan penuh kepasrahan. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada sang pencerah alam semesta dengan cahaya keimanan. Yakni dengan
kehadiran baginda Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kebodohan
hingga ke alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Bapak M. Indra Saputra, M.PD.I selaku
dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk
menyusun makalah ini. Tidak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca
untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Harapan kami semoga makalah “Ahwal SUFI” yang kami susun ini menjadi suatu ilmu
yang bermanfaat. Amin
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandar Lampung, 18 0ktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................1
A.  Latar Belakang..................................................................................1
B.  Rumusan Masalah.............................................................................1
C.  Tujuan Masalah ................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................2
A.  Pengertian Ahwal .............................................................................2
C.  Macam-Macam Ahwal......................................................................4
BAB III PENUTUP...............................................................................11
A.  Kesimpulan.......................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling berhubungan. Namun
hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan, dan ada pula yang agak
jauh.
Secara harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran
itu antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati dan perbuatan),
saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai sifat para sahabat yang
menghuni serambi masjid nabawi di masa kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang
tumbuh di padang pasir), safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui
yang tinggal dekat ka’bah di masa jahiliyah.
Selain itu seseorang yang menuntut ilmu pengetahuan haruslah mempunyai jiwa yang
baik sehingga dapat menerima ilmu dengan baik pula. Contohnya kita tidaklah boleh selalu
merasa senang, sedih, takut dan sebagainya, jadi keadaan jiwa kita haruslah stabil. Dalam hal ini
disebut ahwal, dalam pengertian lain ahwal adalah situasi kejiwaan yang yang diperoleh seorang
sufi sebagai karunia dari Allah SWT, bukan dari hasil usahanya sendiri. Memperbaiki budi
pekerti dan membersihkan jiwa hanyalah bisa dilakukan dengan semata-mata mengikuti sunnah
nabi dimana berkat mengikuti sunnah nabi dan meneladaninya akan membuahkan hasil berupa
ahwal yang baik
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ahwal?
2. Macam-macam ahwal?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ahwal.
2. Untuk mengetahui macam-macam ahwal.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari “Hal” yang berarti keadaan mental seperti perasaan
senang, sedih, takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut Ahwal ialah takut (Khauf)
rendah hati (al-Tawadlu) patuh (taqwa) ikhlas (al-ikhlas) rasa berteman (al-Uns) gembira hati
(Al-Wajd) berterima kasih (Al-Syukr). Raja’, syauq dan mahabbah. Hal sangat berlainan
dengan maqam, karena maqam sebagai proses untuk mendekatkan diri kepada tuhan dengan
cara perjuangan melawan hawa nafsunya yang sangat terjal, sedangkan ahwal merupakan
sebuah fadhal (keutamaan) yang diberikan tuhan dengan cara spontan tanpa adanya proses.
Imam al-Ghazali mengatakan apabila seseorang sudah menetap dalam suatu maqam maka ia
akan memperoleh perasaan tertentu, itulah yang disebut Ahwal.
Telah disebutkan diatas bahwa penjelasan mengenai perbedaan maqamat dan hal
membingungkan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya
yang dipakai sebagai berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh
para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia
yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju Tuhan. Didalam
kenyataannya para Salik memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain
memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan
sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah
dan maqam adalah perolehan (kasb). Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak
ada hal yang terpisah dari maqam.
Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak
mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila
seseorang telah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan
tertentu dan itulah hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang
dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada
emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning. Seperti itulah kondisi
atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya

2
berubah dinamakan hal. Menurut Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke
maqam yang lebih tinggi sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum
beranjak naik, dari maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi
kenyataan.
Oleh karena itu, kenaikan seorang salik dari satu maqam ke maqam berikutnya
disebabkan oleh kekuasaan Allah dan anugerahNya, bukan disebabkan oleh usahanya sendiri.
pernyataan diatas memberikan pemahaman bahwa maqam bersifat lebih permanent
keberadaannya pada diri sang salik daripada hal. Selain itu, maqamat lebih merupakan hasil
upaya aktif para salik, sedangkan ahwal merupakan anugerah atau uluran Allah yang sifatnya
pasif. Dalam pembicaraan tentang tarekat sebagai perjalanan spiritual kita tidak bisa
mengabaikan dua istilah teknis yang sangat penting. Yaitu: “Maqamat dan ahwal” . Adapun
“ahwal” bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states)
yang di alami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Sekalipun sama-sama di alami dan di capai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi
menuju tuhannya. Namun menurut para sufi ada perbedaan yang mendasar antara “maqamat”
dan “ahwal” ini baik dari cara mendapatkannya maupun kelangsungannya. “Ahwal” sering
di peroleh secara spontan sebagai hadiah dari tuhan. Diantara “ahwal” yang sering di sebut
adalah takut, syukur, rendah hati, taqwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara
para penulis tasawuf, namun ke banyakan mereka mengatakan bahwa “ahwal” di alami
secara spontan dan berlangsung sebentar dan di peroleh tidak berdasarkan usaha sadar dan
perjuangan keras, seperti halnya pada “maqamat” melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-
kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa di sebut “lama’at”.
Selain soal cara memperoleh dan sifat keberlangsungannya, saya juga merasa penting
untuk menyinggung sifat pengalaman para sufi dalam pengalaman spiritualnya menuju
tuhan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah maqamat dan susunannya.
Demikian jika kalau kita baca naskah-naskah sufi ada yang mengatakan bahwa ridha
misalnya sebagai “maqam” (al-Kalabadzi, al-Ghazali dan Qusyairi), ada juga yang
mengganggap sebagai “akhwal”, seperti yang diyakini misalnya, oleh Abu Utsman al-Hiri.
Selain pelangsungan dalam “ahwal” ada yang mengatakan bahwa “beberapa ahwal adalah
seperti kilatan. Kalau itu dikatakan menetap maka menurut seorang guru Al-Qusyari, itu
sekedar omongan nafsu”. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman al-Hiri justru mengatakan, “Jika

3
hal tidak abadai dan tidak terdelegasikan, maka iti hanyalah kilatan dan pelakunya tidak
sampai pada hal yang sebenarnya. Hanya apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang
dinamakan hal. Bagi saya perbedaan persepsi terhadap baik maqamat maupun ahwal adalah
akibat pengalaman subyektif masing-masing sufi dalam perjalanan spiritualnya. Tidak
ubahnya seperti serombongan turis yang mengunjungi sebuah kota juga akan memiliki
persepsi dan diskripsi yang berbeda tentang kota itu. Pebedaan-perbedaan itu sama sekali
tidak berarti bahwa pengalaman mereka itu halusinasi atau palsu dan menunjukkan
ketidakobjektifan dunia yang mereka alami, dengan alasan yang sama bahwa kita tidak bisa
begitu saja menolak realitas “kota” yang dikunjungi para turis hanya karena perbedaan yang
terdapat dalam laporan masing-masing anggota rombongan tersebut tentang kota yang
mereka kunjungi. Jadi, pengalaman spiritual para sufi bisa subjektif tetapi dunia sufi yang
mereka alami tetaplah objektif dan real.

B. Macam-Macam Karakteristik Sufi


1. Muraqabah
Muraqabah adalah belajar menetapkan hati, melatih jiwa dan hati untuk ingat
kepada Allah dan selalu memperhambakan diri kepada Allah sehingga dengan sendirinya
ia akan merasa selalu dalam pengawasan Allah SWT. Berarti dirinya sudah memasuki
alam muraqabah.
Muraqabah sebagai salah satu ajaran tasawuf yang bertujuan memantapkan segi
hakikat untuk mencapai ma’rifat billah, menurut kaum shufi adalah keadaan seseorang
meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan
mengetahui seluruh gerak-gerik kita dan bahkan apa saja yang terlintas dalam hati kita.
Menurut Al-Qusyairi “muraqabah adalah bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan
selalu melihatnya”. Sedangkan menurut para ahli tasawuf “Barang siapa yang meraqabah
dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan memeliharanya dari berbuat dosa pada
anggota tubuh”.
Perkataan shufi ini dimaksudkan, bahwa orang yang selalu muraqabah dengan
Allah, pasti ia tidak akan mengerjakan dosa lagi, karena Tuhan telah menjauhkan ia dari
peruatan dosa. Berlainan dengan orang munafik, ia takut diawasi dan diintai orang lain.
Jadi kalau tidak dilihat orang maka beranilah ia membuat dosa disetiap kesempatan.

4
Muraqabah menurut para ahli shufi ada tiga tingkatan sebagaimana yang
disebutkan oleh Syaikh Ahmad al Husni dalam kitab Iqadhul Himam, yaitu :
1) Muraqabah Qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar
kehadiranya dengan Allah.
2) Muraqabatur Ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa
dalam pengawasan dan pengintaian Allah.
3) Muraqabatus sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap Sir/rahasia, agar selalu
meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.
Sedangkan cara bermuraqabah dengan Allah bisa di tempuh dengan berbagai macam
jalan, diantaranya :
a. Sesudah sembahyang tahajud ditengah malam dan sebelum shubuh datang menjelang,
duduk dengan kaifiyat iftiraasy, dengan sadar dan penuh kesungguhan mengkonsentrasi ,
menyatukan fikiran sambil berzikir, menunggu saat beraudensi dengan Tuhan maha
pengasih lagi maha penyayang.
b. Sesudah berwudhu duduk dengan pakaian bersih, duduk menekur dilantai masjid sambil
berzikir dengan lisan menunggu saatnya berhadapan dengan Tuhan dengan dzauq dan
bashirah.
Dari sini, maka sebaiknya janganlah berpikir apakah Allah dekat dengan kita, melainkan
usahakanlah agar kita dekat dengan Allah atau mendekatkan diri kepada Allah.

2. Al-Khauf
Khauf adalah rasa sakit serta bergetarnya hati karena ada sesuatu yang dibenci
dihadapannya. Perumpamaannya seperti jika seseorang yang akan dihukum pancung oleh
raja, lalu raja itu telah memerintahkan algojonya dan algojo itu telah memegang pedangnya,
maka ia telah merasa yakin akan kematiannya sebentar lagi, maka terasalah pedih hatinya
saat itu dan bergetar karena rasa takut yang sangat, dan inilah yang disebut Khauf.
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang
kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan
nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang

5
lari menuju Allah Khauf ini dapat menjadi kuat dan lemah tergantung pada keyakinan
seseorang pada ALLAH SWT. Dan selain Khauf yang disebabkan takut pada hukuman
sebagaimana diatas, ada pula Khauf yang disebabkan oleh karena takut akan kebesaran dan
keagungan sesuatu. Jika manusia itu memahami begitu banyaknya maksiatnya yang akan
dihadapkan pada ke-Maha Agungan ALLAH SWT dan ketidakbutuhan-NYA pada kita,
maka akan timbullah rasa takut.
Dampak dari Khauf yang benar adalah jika seseorang sudah benar pemahamannya, maka
mulailah rasa Khauf masuk dihatinya dan berdampak pada pucatnya wajah, tangis, gemetar,
dan dampaknya kemudian adalah meninggalkan maksiat, lalu komitmen dalam ketaatan, lalu
bersungguh-sungguh dalam beramal.
Khauf ada yang berlebihan, moderat dan kurang. Yang berlebihan adalah yang
mengakibatkan rasa putus asa dan berpaling dari taat, sementara yang kurang akan
mengakibatkan tidak meninggalkan maksiat yang dilakukan. Sementara yang
seimbang/moderat (I’tidaal) akan menimbulkan waspada, hati-hati (wara’), takwa,
mujahadah, fikir, dzikir, kesehatan fisik dan kebersihan akal.
Keutamaan Khauf disebutkan dalam hadits Nabi SAW: “Berfirman Allah SWT: Demi
Keagungan dan Kekuasaan-KU tidak mungkin berkumpul 2 rasa takut dalam diri hambaku
dan tidak akan berkumpul 2 rasa aman. Jika ia merasa aman pada-KU di dunia maka akan
aku buat takut ia di hari kiamat, dan jika ia takut pada-KU di dunia maka akan aman ia di
akhirat.” (HR Ibnu Hibban 2494)
1. Takutnya para Malaikat : “Mereka merasa takut kepada Rabb-nya, dan mereka melakukan
apa-apa yang diperintahkan ALLAH.” (QS An-Nahl 16/50).
2. Takutnya Nabi SAW. “Bahwa Nabi SAW jika melihat mendung ataupun angin maka segera
berubah pucat wajahnya. Berkata A’isyah ra: “Ya Rasulullah, orang-orang jika melihat
mendung dan angin bergembira karena akan datangnya hujan, maka mengapa anda cemas?”
Jawab beliau SAW: “Wahai A’isyah, saya tidak dapat lagi merasa aman dari azab, bukankah
kaum sebelum kita ada yang diazab dengan angin dan awan mendung, dan ketika mereka
melihatnya mereka berkata: Inilah hujan yang akan menyuburkan kita.” (HR Bukhari 6/167
dan Muslim 3/26) Dan dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi SAW jika sedang shalat
terdengar didadanya suara desis seperti air mendidih dalam tungku, karena tangisnya.

6
3. Khauf-nya shahabat ra. Abubakar ra sering berkata: “Seandainya saya hanyalah buah pohon
yang dimakan.” Umar ra sering berkata: “Seandainya aku tidak pernah diciptakan,
seandainya ibuku tidak melahirkanku.” Abu ‘Ubaidah ibnal Jarraah ra berkata: “Seandainya
aku seekor kambing yang disembelih keluargaku lalu mereka memakan habis dagingku.”
Berkata Imraan bin Hushain ra: “Seandainya aku menjadi debu yang tertiup angin kencang.
4. Khauf-nya Tabi’iin. Ali bin Husein jika berwudhu untuk shalat pucat wajahnya, maka
ditanyakan orang mengapa demikian? Jawabnya: “Tahukah kalian kepada siapa saya akan
menghadap?” Berkata Ibrahiim bin ‘Iisa as Syukriy: “Datang padaku seorang lelaki dari
Bahrain ke dalam mesjid saat orang-orang sudah pergi, lalu kami bercerita tentang akhirat
dan dzikrul maut, tiba-tiba orang itu demikian takutnya sampai menghembuskan nafas
terakhir saat itu juga.” Berkata Misma’: “Saya menyaksikan sendiri mau’izhoh Abdul
Waahid bin Zaid disuatu majlis, maka wafat 40 orang saat itu juga dimajlis itu setelah
mendengar ceramahnya.” Berkata Yaziid bin Mursyid: “Demi ALLAH seandainya Rabb-ku
menyatakan akan memenjarakanku dalam sebuah ruangan selama-lamanya maka sudah pasti
aku akan menangis selamanya, maka bagaimanakah jika ia mengancamku akan
memenjarakanku didalam api?!”
Demikianlah Khauf para Malaikat, Nabi-nabi, ulama dan auliya’, maka kita lebih
pantas untuk takut dibanding mereka. Mereka takut bukan karena dosa, melainkan karena
kesucian hati dan kesempurnaan ma’rifah, sementara kita telah dikalahkan oleh
kekerasan hati dan kebodohan. Hati yang bersih akan bergetar karena sentuhan kecil,
sementara hati yang kotor tak berguna baginya nasihat dan ancaman.

3. Al-Raja
Raja' adalah sikap mengharap dan menanti-nanti sesuatu yang sangat dicintai oleh si
penanti. Sikap ini bukan sembarang menanti tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu, sebab
penantian tanpa memenuhi syarat ini disebut berangan-angan (tamniyyan). Orang-orang yang
menanti ampunan dan rahmat ALLAH tanpa amal bukanlah Raja' namanya, tetapi berangan-
angan kosong.
Ketahuilah bahwa hati itu sering tergoda oleh dunia, sebagaimana bumi yang gersang
yang mengharap turunnya hujan. Jika diibaratkan, maka hati ibarat tanah, keyakinan
seseorang ibarat benihnya, kerja/amal seseorang adalah pengairan dan perawatannya,

7
sementara hari akhirat adalah hari saat panennya. Seseorang tidak akan memanen kecuali
sesuai dengan benih yang ia tanam, apakah tanaman itu padi atau semak berduri ia akan
mendapat hasilnya kelak, dan subur atau tidaknya berbagai tanaman itu tergantung pada
bagaimana ia mengairi dan merawatnya.
Dengan mengambil perumpamaan di atas, maka Raja' seseorang atas ampunan ALLAH
adalah sebagaimana sikap penantian sang petani terhadap hasil tanamannya, yang telah ia
pilih tanahnya yang terbaik, lalu ia taburi benih yang terbaik pula, kemudian diairinya
dengan jumlah yang tepat, dan dibersihkannya dari berbagai tanaman pengganggu setiap
hari, sampai waktu yang sesuai untuk dipanen. Maka penantiannya inilah yang disebut Raja'.
Sedangkan petani yang datang pada sebidang tanah gersang lalu melemparkan sembarang
benih kemudian duduk bersantai-santai menunggu tanpa merawat serta mengairinya, maka
hal ini bukanlah Raja' melainkan bodoh (hamqan) dan tertipu (ghuruur). Berkata Imam Ali ra
tentang hal ini:
"Iman itu bukanlah angan-angan ataupun khayalan melainkan apa-apa yang menghunjam
di dalam hati dan dibenarkan dalam perbuatannya."
Raja’ atau harapan menurut Al Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga berkaitan dengan
apa yang akan terjadi dimasa datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan akan
lenyapnya beban di hati. Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan.
Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih
sayang Allah Yang Maha Meliputi. Al Ghazali memandang Raja’ sebagai senangnya hati
karena menunggu Sang Kekasih datang kepadanya. Khawf dan Raja’ adalah dua kata yang
senantiasa bergandengan dan tidak akan terputus, jika terputus bukan Khawf dan Raja’
namanya. Jika seseorang berkata, “Aku berharap terbitnya matahari disaat terbit dan aku
takut terbenamnya disaat terbenam.”, ucapan itu menurut Al-Ghozali bukanlah Khawf dan
Raja’ karena ada yang terputus. Tapi jika ada yang mengatakan,” Aku berharap turun hujan
dan aku takut berhentinya.”, itulah ucapan yang menunjukkan keterpautan Khawf dan Raja’.
Abu Ali Al-Rudzbari memandang Khawf dan Raja’ seperti sepasang sayap burung.
Apalabila takut dan harap keduanya tidak ada, maka si burung akan terlempar ke jurang
kematiannya. Raja’ berarti suatu sikap mental optimism dalam memperoleh karunia dan

8
nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dalam pandangan Al
Sarraj, Raja’ merupakan hal yang mulia. Kemuliaan hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya,
 ” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab : 21).
 Firmannya yang lain
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka
siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya
dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti”. (QS. Al-Isra’ : 57)
Menurut Al-Sarraj Raja’ terdiri atas tiga bagian :
3) raja’ bersama Allah (fi Allah)
4) raja’ di dalam luasnya rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)
5) raja’ di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah).

4. Al-Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa
syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah
suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena
gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik
terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika
pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan
menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan
tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
Secara literal, syauq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi,
syauq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat. Jika
mahabbah sudah mantab akan tampak pula syauq. Menurut Abu Utsman siapa yang cinta
kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu tak mungkin ada
pada yang mencinta. Sementara itu, Dzunun memandang syauq sebagai derajat atau maqom
tertinggi. Jika sang hamba sudah mencapai derajat Syauq ini mati rasanya mudah dan ringan
karena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya.

9
Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa
senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu.
Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di setiap
denyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya kepada Allah, itulah
Syauq (rindu).
Menurut Al Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan.
a. pertama adalah mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya
tdntang pahala, karamah, keutamaan, dan keridlaan-Nya.
b. Kedua, mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan
bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya.
c. Ketiga, mereka yang menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa
hadir tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut nama-
Nya saja.

5. Al-Uns
Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj
‘Uns adalah perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat. Dzunun
memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap
Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul
Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain
dengan-Nya.”. Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika
sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu
yang menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan.
a. Pertama, mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa
intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
b. Kedua, Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun
selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang
menyibukkannya.

10
c. Ketiga adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan
keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘uns itu
sendiri.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Banyak orang mukmin yang sudah beribadah dengan baik kepada Allah SWT tetapi
mereka belum bisa khusyu’ dalam ibadahnya karena keadaan jiwa mereka belum tenang atau
stabil, sedangkan agar kita bisa dekat kepada Allah SWT adalah kejiwaan kita haruslah
tenang. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia pasti merasakan apa yang namanya keadaan
mental seperti senang, sedih, perasaan takut dan sebagainya, tetapi kita tidaklah boleh terlalu
terhanyut di dalam keadaan tersebut karena kita harus segera merubahnya menjadi lebih baik.
Selain itu kita haruslah mencontoh sifat sufi yang selalu melatih sifat mentalnya dengan
cara riyadlah yang berarti latihan mental, mujahadah yaitu bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan perintah Allah, uzlah yaitu mengasingkan diri dari pengaruh keduniawian,
muraqabah mendekatkan diri kepada Allah. Setelah itu adalah suluk yang berarti
menjalankan cara hidup seperti sufi yaitu berdzikir dan berdzikir.
Meski para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu
dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang
diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam
menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara ahwal tidak. Maqam sifatnya tetap dan
permanen, sedangkan ahwal tidak tetap, datang dan pergi.
Dalam macamnya, terdapat beberapa macam Ahwal yang diantaranya, Muuraqabah,
Khawf, Raja’, Syauq, ‘Uns, Thuma ‘Ninah, Musyahadah, Yaqin yang dimana pada setiap
macamnya memiliki tingkatan masing-masing

11
DAFTAR PUSTAKA
Azis, Saifullah, 1998, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Terbit Terang.
Nata, Abuddin, 1996, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Toriqudin, Mohammad, 2008, Sekularitas tasawuf, Malang: UIN-MALANG PRESS.

12

Anda mungkin juga menyukai