DIPONEGORO TULUNGAGUNG
SEMESTER II
i
KATA PENGANTAR
Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT
dan tercatat sebagai amal shalih. Akhirnya penulisan makalah ini kami suguhkan
kepada segenap pembaca, dengan harap adanya saran dan kritik yang bersifat
konstruktif demi perbaikan. Semoga makalah ini bermanfaat dan mendapat ridha
Allah SWT.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan ……………………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ………………………………………………………..10
B. Saran ……………………………………………………………....10
C. Daftar Pustaka……………………………………………………...11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Maqamat dan ahwal dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf.
Tidak mungkin ada tasawuf ,baik ia sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai
amalan tanpa kehadiran maqamat dan ahwal. Dalam menjalani proses
maqamat,jiwa seorang sufi terbang mengembara mencari dan menemukan hakikat
hidup,manusia,dan Tuhan Yang Maha Agung dan Indah. Pada saat yang sama ia
juga mengalami ahwal,merasakan nikmatnya berada pada puncak spiritual yang
tidak dapat dikatakan dan tidak bisa dilukiskan keindahannya.
Puncak kenikmatan dan keindahan yang tidak terbatas itu oleh Abu Yazid
disebut ijtihad, al-Hallaj menyebutkan hulul, al-Gazali menamainya dengan
mahabbah. Begitulah setiap sufi memiliki istilah sendiri untuk melukiskan nikmat
dan indahnya bertemu sang kekasih walaupun kata-kata itu sebenarnya tidak dapat
menggambarkan sejatinya pertemuan itu karena keterbatasan-keterbatasan
(bahasa) manusia.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN MAKALAH
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Maqamat
2. Ahwal
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 1172.
2
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 77.
3
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 80-81.
2
tingkatan ahwal, yaitu al-muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah), Al-
Qurb (perasaan kedekatan kepada Tuhan), al- muhabbah (perasaan cinta kepada
Tuhan), al-khauf wa al-raja’ (perasaan harap-harap cemas terhadap Allah), al-
syauq (perasaan rindu), al-uns (perasaan tentram), al-musyahadah (perasaan
menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan al-yaqin (perasaan yakin kepada-
Nya).
Konsep Maqamat dan Ahwal di kalangan para Sufi pada dasarnya tujuan
dari tasawuf atau sufisme adalah berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
Meskipun banyak pertentangan berkenaan dengan asal-usul tasawuf sebagaiman
disebutkan di atas, bahwa tasawuf merupakan bagian dari Islam itu sendiri. Satu
alasan sederhana yang mendasari ini adalah bahwa tidak mungkin secara logika
bahwa jalan menuju Allah SWT, bukan berasal dari Allah SWT itu sendiri.
Pendapat ini setidaknya didukung oleh Gibb bahwa tasawuf atau sufisme adalah
pengalaman keagamaan yang otentik dalam Islam. 5
4
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, (Ciputat: Gaung Persada
Press,2004),56.
5
William C. Chittick, Sufisme: A Beginnaer’s Guide, h. 4.
3
masing pondasi tersebut mempunyai sepuluh tingkatan (maqamat).6 Hal ini
setidaknya menjadi bukti kuat bahwa sumber tasawuf sudah dapat dilihat pada
masa Nabi Muhammad SAW.
6
Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma’ fi al Tasawuf, (Mesir: Dar- al kutub al-Hadisah, 1950), h.
180.
7
Al Qusyairi, Ar-risalah al-Qusyairiyah, (Beirut: Dar al kutub T. Th), h. 132.
4
Pada umumnya mayoritas sufi membedakan antara maqam dan ahwal. Al-Ghazali
(w. 1111) misalnya, menyatakan bahwa maqam dan ahwal itu berbeda. Maqam
bersifat tetap, sedangkan ahwal bersifat berubah-rubah. 8
1. At-Taubat (taubat)
Taubat merupakan maqam pertama dan paling utama yang harus ditempuh
oleh seorang sufi dalam menapakai jalan menuju Allah SWT. Kebanyakan sufi
menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah SWT. Ibnu
‘Athaillah menjelaskan bahwa dalam maqam tobat seorang sufi harus kembali
8
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 206
9
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2000, h. 63.
10
Ibnu Athaillah, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, h. 43.
5
kepada Allah SWT dari segala perbuatan yang tidak diridoi-Nya dan menuju
perbuatan yang diridoi-Nya. Melepaskan pengaturan atas sesuatu yang telah
menjadi tanggungan Allah SWT dan berkonsentrasi pada tanggung jawab yang
diberikan oleh Allah SWTkepada dirinya sebagai manusia. 11
2. Az-Zuhd (zuhud)
Zuhud merupakan maqam yang penting yang harus dilewati oleh para sufi
dalam perjalanannya menuju Allah SWT. Menurut Imam Ali zuhud adalah
hendaklah seseorang tidak terpengaruh dan iri hati terhadap orang-orang yang
serakah teerhadap keduniawian, baik dari orang mu’min maupun orang kafir.
Sedangkan al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah bersifat dermawan
sehingga tidak ada yang dimilikinya dan tidak bersifat serakah. 12 Ibnu ‘Athaillah
membagi zuhud ke dalam dua tahapan, yaitu zuhud lahir yang jelas dan zuhud
batin yang samar.
3. As-Sabr (Sabar)
11
Ibnu ‘Athaillah, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, h. 43.
12
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 118.
13
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 119.
14
Ibnu ‘Athaillah, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, h. 44.
6
4. As-Syukr (syukur)
Al-Khauf atau rasa takut merupakan salah satu maqam penting dalam
tasawuf. Ketika seorang merasa takut kepada Allah SWT, ia akan selalu
melaksanakan semua kewajiban dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu Sufi
bernama Ruwaym berkata bahwa takut adalah ketika seseorang merasa takut
kepada Allah SWT, karena kebesaran dan kekuasaan-Nya, dan takut kepada
dirinya karena merasa takut terhadap sesuatu yang akan menimpa dirinya. 16
Sedangkan raja adalah maqam dimana orang hanya berharap atas segala
kebutuhanya kepada Allah SWT.
7. Al-Hubb (Cinta)
15
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 131.
16
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 127.
17
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 133.
7
Pilihan sang kekasih adalah pilihannya. Dengan demikian pada maqam cinta ini
seseorang akan selalu menerima segala aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT
dan menjauhi apa yang dibenci oleh Allah SWT.18
8. Ar-Ridha
Syekh Zunnun al Misri berkata bahwa ridha adalah keadaan hati seseorang
yang selalu merasa bahagia dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT
atas dirinya.
2. Al-‘Isyq (rindu)
18
Ibnu ‘Athaillah, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, h. 47.
8
3. Al-Uns (intim)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat al-uns (intim) adalah sifat merasa selalu
berteman, dan tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat al-
uns:
Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu
memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti hal-nya sepasang
pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia
adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaanya
semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman dengan Allah artinya
engkau selalu berada dalam pemeliharaan-Nya. 19
19
Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 77.
9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konsep Maqamat dan Ahwal di kalangan para Sufi pada dasarnya tujuan
dari tasawuf atau sufisme adalah berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Ali
bin Abi Thalib mengatakan bahwa iman itu dibangun atas empat pondasi yaitu
kesabaran (as-sabr), keyakinan (al-yaqinu), keadilan (al-‘adl) dan perjuangan (al-
jihadu). Dalam perkembangan selanjutnya konsep maqamat dan ahwal ini
merupakan salah satu konsep tasawuf yang pada giliranya mendapat perhatian
yang serius dari para Sufi. Adapun tujuan dari pembuatan konsep maqamat dan
ahwal oleh para sufi adalah supaya dapat memberikan suatu aturan yang dapat
dijalankan oleh pengikutnya sehingga jalan menuju Tuhan menjadi jelas dan
mudah.
Begitu juga dengan ahwal,terdapat beberapa bagian yang sering dijumpai oleh
para sufi, diantaranya: Al-Muhasabah & al-Muroqobah (waspada & mawas diri),
Al-‘Isyq (rindu), Al-Uns (intim).
B. SARAN
10
Untuk menuju kesempurnaan tentu butuh koreksi dari semua pihak yaitu
koreksi yang bersifat konstruktif agar pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih
baik, olehnya itu penulis mengharapkan adanya koreksi dari pembaca agar
kesempurnaan dalam penulisan makalah dapat tercapai.
C. DAFTAR PUSTAKA
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 1172.
2
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 77.
3
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 80-81.
4
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas,
(Ciputat: Gaung Persada Press,2004),56.
5
William C. Chittick, Sufisme: A Beginnaer’s Guide, h. 4.
6
Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma’ fi al Tasawuf, (Mesir: Dar- al kutub al-
Hadisah, 1950), h. 180.
7
Al Qusyairi, Ar-risalah al-Qusyairiyah, (Beirut: Dar al kutub T. Th), h. 132.
8
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 206
9
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2000, h.
63.
10
Ibnu Athaillah, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, h. 43.
11
Ibnu ‘Athaillah, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, h. 43.
12
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 118.
13
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 119.
14
Ibnu ‘Athaillah, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, h. 44.
15
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 131.
11
16
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 127.
17
Abu Bakar Al-kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, h. 133.
18
Ibnu ‘Athaillah, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, h. 47.
19
Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 77.
12