Anda di halaman 1dari 9

TITIK TEMU ANTARA SYARI’AT DAN TASAWUF

MAKALAH
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Akhlaq Tasawuf
Dosen Pengampu : Munawir, S.Ag, M.Ag

Kelompok : …

1. Ahmad Fikri Alfadli NIM : ……………..


2. Ilham NIM : ……………..

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN PENYIARAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
BANYUWANGI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya, penyusun bisa menyusun dan menyajikan Makalah Tela’ah
dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Bahasa Arab yang berisi tentangJenis-Jenis dan
Organisasi Kurikulum. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah memberikan dorongan dan motivasi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam
menyusun makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya.
Penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan Makalah ini terdapat kekeliruan
sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud penulis.

Banyuwangi, 30 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..…ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….…..iii

Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………………….
1.2 Rumusan Masalah…………………..…………………………………………
1.3 Tujuan………………………………………………………………………….

Bab II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Syari’at……………………………………………………………
2.2 Pengertian Tasawuf…………………………………………………………...
2.3 Maqomat dan Ahwal………………………………………………………….
2.4 Titik Temu Antara Syari’at dan Tasawuf……………………………………...

Bab III PENUTUP


3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………
3.2 Saran………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berbagai upaya dilakukan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari
jalan yang dapat membuat mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa
melihat Tuhan dengan hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan.Ajaran- ajaran
seperti ini terdapat dalam tasawuf.

Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf
akan tetapi kegiatan tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat
menjadi rosul, ia telah sering kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan.
Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang
hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk merenung dalam
rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan
beribadah, sehingga jiwanya menjadi lebih suci.
Amalan tersebut mewarnai kehidupan para sahabatnya. Mereka meneladani
kehidupan Rosululloh dan membaktikan hidup mereka demi kepentingan agama. Bahkan
diantara mereka ada yang sangat tekun beribadah dan hidup zuhud. Mereka ini lebih dikenal
dengan sebutan Ahli al- Shuffah.Kelompok inilah yang kemudian disebut- sebut sebagai cikal
bakal munculnya kaum shufi. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa asal usul kata
tashawuf diambil dari kata shuffah yang kemudian ditransfer kedalam bahasa Eropa, sofa.
Tasawuf dan tharekat terus berkembang dan tersebar diberbagai wilayah di dunia Islam, baik
pada periode klasik, pertengahan maupun modern.Pada periode pertengahan, wilayah
nusantara sudah ikut mengembangkan tasawuf mulai dari Aceh, Palembang, Demak,
Mataram, dan lain-lain. Kemudian diwilayah Pekalongan, Jawa Tengah munculah tharekat
Budiah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Rifa’i, tharekat ini berkembang sampai sekarang.
Pada dasarnya tasawuf bersifat batin.Sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’ah/
syari’at. Syari’at merupakan ajaran islam yang tersimpul dalam ibadah yang mengambil
bentuk sholat, puasa, zakat, haji dan ajaran- ajaran mengenai akhlak islam. Aspek lahir
(syari’at) dan aspek batin (tasawuf) tidak dapat dipisahkan sehingga antara syari’at dan
tasawuf memiliki keterkaitan yang sangat erat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
Bagaimana titik temu antara syari’at dengan tasawuf?
Dan berdasarkan rumusan masalah di atas,maka penulis mengambil judul “TITIK TEMU
ANTARA SYARI’AT DAN TASAWUF”.

1.3 Tujuan

Ada pun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah :


1. Memenuhi tugas dari Dosen.
2. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang titik temu syari’at dengan tasawuf.
3. Menambah wawasan baik pembaca mau pun penulis tentang hubungan syari’at dan tasawuf.
4. sebagai sarana pelatihan dalam melakukan penelitian suatu objek dan penyusunan makalah
agar dapat bermanfaat bagi pendidikan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Syari’at

Syari’at adalah cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah. Di dalam syari’at
terdapat hakikat dan antara syari’ah dah hakikat tidak boleh dipisahkan. Hakikat sendiri yaitu
tasawuf, seperti yang diisyaratkan dalam definisi ihsan: “engkau beribadah seakaan-akan
melihat Tuhan, dan seandainya engkau tidak melihatnya, niscaya Dia melihatmu.”

Hakikat adalah pelengkap ibadah.Syariat yang dilakukan tanpa memperhatikan unsur hakikat
seperti sebuah bangunan kosong dan belum dihias. Sadangkan hakikat tanpa syari’at akan
seperti perhiasan tanpa dihias. Oleh karena itu, sepatutnya kedua aspek penting dalam agama
Islam tersebut jangan terpisah satu sama lain, tetapi dilaksanakan secara saling melengkapi
dan harus diperlakukan secara seimbang.

Didalam ajaran dasar Islam terdapat tiga komponen yaitu Islam, iman, dan ihsan. Istilah lain
dari ketiga komponen ini yaitu syari’at/syariah, aqidah, dan akhlak.

Islam berarti syari’at yang intinya adalah ketundukan seseorang kepada Allah. Iman berarti
hakikat dan yakin yang intinya adalah ikhlas. Sedangkan ihsan berarti ma’rifat yang intinya
adalah leburnya seseorang di dalam keabadian Allah Swt atau bentuk pengamalan dari
syari’at Islam.

2.2 Pengertian Tasawuf

Tasawuf secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu tashawwuf yang berakar dari kata
shafa (suci), shaff (barisan), shuffah (serambi tempat duduk), shaufanah (nama pohon yang
kurus yang hidup di padang pasir), shophos (hikmah), shuf (bulu domba).

Untuk menyatakan hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah
rohani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, ia hanya dapat diketahui
bukan pada hakekatnya, melainkan gejala-gejala yang tampak dalam upaya, cara, dan sikap
kehidupan para shufi. Sekalipun demikian para shufi membuat definisi tasawuf, meski saling
berbeda, sesuai dengan pengalaman empiric masing-masing dalam mengamalkan tasawuf.

Secara istilah, menurut para ahli bahwa tasawuf diantaranya: Menurut Ma’ruf al-Kurkhi,
tasawuf ialah berpegang pada apa yang ada pada tangan manusia.

Ahmad al-Jariri ketika ditanya seseorang: Apa itu tasawuf ?Ia menjawab: Masuk ke dalam
setiap akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang rendah (tercela).
Sementara Abu Ya’qub al-Susi menjelaskan bahwa sufi ialah orang yang tidak merasa sukar
dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsu.

Definisi-definisi diatas menunjukkan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf itu dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekatkan
diri kepada Alloh dengan menekankan pentingnya akhlah atau sopan santun baik kepada
Allah maupun kepada makhluk. Selanjutnya definisi tasawuf itu mengalami perkembangan,
hal ini terlihat dari definisi yang dikemukakan oleh Dzul al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf
adalah usaha mengalahkan segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan
memilih seorang shufi dan mengalahkan segala sesuatu. Pada definisi ini, pembahasan
tasawuf ini memasuki memasuki wilayah cinta Illahi yang dikenal dengan mahabbah.Shufi
adalah orang yang mencintai Allah sampai mengalahkan segala-galanya.Kemudian definisi
tasawuf berkembang lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid al-Busthami yang
mendefinisikan tasawuf dengan sifat al-Haqiqi yalbisuha al-Kholqu (sifat Allah yang
dikenakan pada hamba-Nya). Hal ini menunjukan adanya perkembangan dari Abu Yazid bin
al-‘Ibrat badalan min al isyarat (mengungkapkan secara lisan akan kondisi batin atau
mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan).

Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa tasawuf disamping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak manusia agar jiwanya
menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-
dekatnya.

2.3 Maqamat dan Ahwal

Tasawuf dari suatu segi merupakan suatu ilmu. Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan
jalan bagaimana seorang muslim dapat berada dekat dengan Allah sedekat- dekatnya. Untuk
dapat mendekatkan diri sedekat- dekatnya kepada Allah, seorang muslim harus menempuh
perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa arab disebut dengan maqamat , yang
merupakan bentuk jamak dari maqam.

Pengertian maqam menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu
dengan yang lainnya saling melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam adalah kedudukan
seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah (al-
‘ibadat), kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat), latihan-latihan kerohanian (al-
riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata hanya untuk berbakti kepada
Allah (al-inqitha’ ila Allah) . Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 14
dan surat al-Shaffat ayat 164.

Di dalam beberapa literatur tasawuf, konsep maqamat sering dibandingkan penggunannya


dengan konsep ahwal (bentuk jamak dari hal). At-thusi menjelaskan bahwa ahwal adalah
suasana yang menyelimuti kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang shufi karena
ketulusannya dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh melalui al-
‘ibadat, al-mujahadat, dan al-ritadhat seperti dalam maqamat. Adapun suasana hati yang
termasuk dalam kategori ahwal ini misalnya : merasa senantiasa diawasi Allah (al-
muraqabat), rasa dekat dengan Allah (al-qurb), rasa cinta dengan Allah (mahabbat), rasa
harap- harap cemas (al-khauf wa al-raja’), rasa rindu (al-syauq), rasa berteman (al-uns), rasa
tentram (al-thuma’ninat), rasa menyaksikan Allah dengan mata hati (al-musyahadat), dan rasa
yakin (al-yaqin).

Senada dengan al-Thusi, al-Qusyairi mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi pekerti
yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis tuntutan
dari berbagai kewajiban, lebih lanjut dijelaskan bahwa ahwal merupakan anugerah Allah,
sedangkat maqamat merupakan hasil usaha, Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujud
kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang melalui kerja keras.

Dengan demikian, antara maqamat dan ahwal terdapat perbedaan yang tajam. Maqamat,
demikian Sayyid Husain Nashr, termasuk kategori tindakan-tindakan yang bertingkat dan
memiliki pertalian satu sama lain yang apabila telah tertransedensikan akan tetap menjadi
milik yang langgeng bagi seorang shufi yang telah melampauinya. Sedangkan ahwal
termasuk kategori anugerah Allah atas hati hamba-Nya dan bersifat sementara.

Kendatipun demikian, jika diamati secara cermat kategori maqamat dan ahwal berbeda,
karena ada kalanya seorang penulis kitab tasawuf memasukan suatu konsep kedalam kategori
maqamat, sementara penulis yang lain memasukanya kedalam kategori ahwal. Dikalangan
ulama tasawuf tidak ada kesepakatan mengenai hal ini. Perbedaan ini nampaknya disebabkan
oleh adanya perbedaan pengalaman rohaniyah yang ditempuh oleh masing-masing shufi.

2.4 Titik Temu Antara Syari’at dan Tasawuf

Menurut sebagian ulama, syari’at/syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling
berhubungan sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran ilmu yang
mendalam. Syari’ah mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek lahiriyah,
sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalam iman pada aspek batiniyah.Aspek
lahir dan batin keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dikatakan al-Hujwiri bahwa
aspek lahir tanpa aspek batin adalah kemunafikan, sedangkan aspek batin tanpa aspek lahir
adalah bid’ah.

Ungkapan diatas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut:


Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin menyebutkan : Barang siapa menghiasi
lahiriyahnya denga syari’at dan mencuci kotoran batiniyahnya dengan air thariqat, maka ia
dapat meancapai haqiqat.

Imam Ali Ad-Daqqaq mengatakan,”Perlu diketahui bahwa sesungguhnya syariat itu adalah
hakikat. Bahwa sesungguhnya syariat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah
SWT. Demikian juga hakikat adalah syariat untuk mengenal Allah (makrifat kepada Allah).
Hakikat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah.

Imam Syafi’i juga mengatakan, ”Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin
memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau
menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan taqwa.Sedangkan orang
yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa
dia menjadi baik?

Anda akan menemukan islam yang sebenarnya dalam tasawuf. Tasawuf bukanlah kumpulan
orang berjenggot, bersorban, bukanlah selalu dzikir di masjid tapi selalu dzikir selama
putaran waktu, dalam tasawuf anda akan menemukan cinta sejati, rindu yang tiada tara.
Tasawuf bukanlah kemiskinan dan kefakiran tapi dalam tasawuf anda akan menemukan
kekayaan. Tasawuf bukanlah kesyirikan justru anda akan menemukan keesaan-Nya. Untuk
menggapainya perlu guru yang betul, perlu dicari guru yang mengerti tasawuf bukan kulit
luarnya tapi keseluruhan.

Dalam belajar ilmu tasawuf ada orang yang mempelajarinya secara matang sehingga benar
dalam mengimplementasikannya. Dan ada juga yang tidak matang, sehingga menimbulkan
citra negatif saat mengamalkannya karena dilakukan secara membabibuta.

”Tasawwuf bagi Fiqih laksana Ruh untuk jasad”


”Mengamalkan Fiqih tanpa Tasawwuf bagai jasad tanpa Ruh”
”Sedangkan mengamalkan Tasawwuf tanpa fiqih laksana Ruh tanpa jasad
keduanya harus Integra”.

Pendapat-pendapat ulama di atas sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-
Qusyairi dan al-Ghazali. Menurut al-Qusyairi: Setiap pengalaman syari’ah yang tidak
didukung dengan pengalaman hakikat, maka tidak akan diterima, dan setiap pengalaman
hakikat tidak didukung dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat mencapai tujuan yang
dikehendaki.

Al-Ghazali mengatakan : Tidak akan sampai ketingkat yang terakhir (menghadap Allah
dengan benar, yaitu hakikat) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya
(memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu syari’ah). Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan
(tidak dapat menembus kedalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan
lahirnya (syarat dan rukun ibadah). Memperhatikan pendapat-pendapat diatas, terlihat secara
jelas bahwa antara syari’ah dan tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak
dapat dipidahkan. Karena antara syari’ah dengan tasawuf saling berketerkaitan sekali.

Di sini timbul pertanyaan : mengapa para ulama memadukan antara syari’ah dan tasawuf ?
padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad
Amin yang telah disebutkan dalam pendahuluan, bahwa fuqaha sebagai ahli syari’at sangat
mengutamakan amal-amal lahiriyahnya, seedangkan kaum shufi sebagai ahli haqiqat sangat
mengutamakan amal-amal batiniyah.

Pada dasarnya Al-Qur’an dan Al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu batin, demikian
menurut al-Thusi, Oleh karena itu syari’ah pada umumnya juga mengandung ilmu lahir dan
batin. Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang mengandung kedua unsur baik
ilmu lahir maupun ilmu batin itu mengandung semacam spesialisasinya, sehingga syari’ah
lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu batin dikembangkan ilmu tasawuf atau
ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan
disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syari’ah yang
mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan rasio dan logika dalam membahas dalil al-
Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf cenderung
menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.

Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisai ilmu-ilmu agama Islam
sebagaimana tersebut diatas sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi
masyarakat islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan
merisaukan umat islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga
sering terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan)
atau saling tuduh menuduh zindik (zindik menzindikkan) dikalangan umat islam sendiri.
Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah amal lahir atau amal bathin, dan
mana yang lebih utama, apakah amal lahir ataukah amal bathin.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa syari’at mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan tasawuf sunni, yakni tasawuf yang hanya sampai pada batas ma’rifat,
karena tasawuf mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Ajaran yang menekankan aspek akhlak baik dalam hubungan antar manusia dan Tuhan
maupun dalam hubungan antar sesama manusia dalam lingkungannya.
2. Ajaran diselaraskan sepenuhnya dengan pertimbangan ilmu syari’ah.
3. Ajaran tidak mengandung syathabat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran islam
menurut ulama syari’at.
4. Dalam tasawuf sunni masih terlihat secara jelas perbedaan antara ‘abid dan Ma’bud, Serta
antara Kholik dan makhluk.

Dengan demikian terlihat bahwa syari’ah menolak ajaran tasawuf falsafi yang bertujuan
untuk mencapai kemanunggalan antara manusia dan Tuhan baik berupa ijtihad, hulul, wahdat
al-wujud maupun yang sejenisnya menurut pandangan syari’ah kemanunggalan antara
manusia dan Tuhan mustahil terjadi, karena Tuhan adalah Dzat yang wajib adanya, Maha
Sempurna, dan bersifat Qadim, sedangkan manusia (makhluk) adalah mungkin adanya, tidak
sempurna, dan bersifat hadits. Oleh karena itu, mustahil terjadi kemanunggalan antara
manusia dan Tuhan.Barangkali inilah yang menjadi landasan ulama syari’ah untuk menolak
ajaran tasawuf tersebut.

3.2 Saran

Penulis menyarankan kepada pembaca pada umumnya khususnya kepada


mahasiswa/mahasiswi IAIN Raden Intan Lampung agar dapat mengaplikasikan dan
mengamalkan hakikat alam terhadap manusia mau pun fungsi adanya manusia untuk alam
sehingga dapat tercipta hubungan harmonis antara alam dan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution1973.Filsafat dan Mistitisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang

http://madtauhid.wordpress.com/2009/07/24/hubungan-tasawuf-dengan-syariat/

Anda mungkin juga menyukai