Pokok Pembahasan
1. Pengertian Rawi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan
2. Syarat-syarat Perowi
Berakal, cakap/cermat, adil, dan Islam adalah syarat syarat yang mutlak
perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak
akan dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru,
menjawab: “Orang yang meriwayatkan hadist dari orang terkenal yang justru tidak
mereka kenal, hadistnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu
hadist yang disepakati banyak orang bahwa hadist tersebut salah.Maka hadist-
hadist yang diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak dipakai.Adapun selainya,
boleh diriwayatkan.”[3]
dipenuhi oleh seorang perawi bila hadistnya ingin diterima yakni adil dan
pemahaman hadist berarti tidak adil.Mengenai persyaratan harus Islam dan berakal,
keduanya sudah menjadi syarat penting dan mutlak, sehingga Syu’bah tidak perlu
menyebutkanya lagi.Sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang yang adil tapi
menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil balig[4].
Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka dengar pada masa
kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri.
b. Cermat
ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, teliti
didamaikan.Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist
Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari
orang yang aneh pula”.[7] Allah akan menghargai orang orang yang bersikap
cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana,
mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. hadist shahih diketahui bukan
hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan
banyak mendengar.[8]
c.Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi
pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang
saksi.Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau
baik harus dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya
d. Muslim
meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau
menanggungnya.[11]
3. Penerimaan Hadits
hadits tidak disyaratkan harus beragama Islam dan baligh, namun setidak-
tidaknya harus sudah tamyiz.Jadi orang kafir dan anak-anak dinyatakan sah
pendapat ini tidak benar, sebab banyak kaum muslimin secara ijma’ menerima
atau tidak mempersoalkan riwayat sahabat, baik diterima sebelum atau sesudah
baligh.
Para ulama berbeda pendapat tentang minimal usia disunatkan mendengar hadits
4. Untuk masa sekarang yang benar adalah mulai umur sedini mungkin
4.Periwayatan hadits
Al ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.
Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang
tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya
suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur
ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan
1. Islam
dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang
fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir.
Kaitannya dengan masalah ini dapat kita bandingkan dengan firman Allah surat
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
2. Baligh
orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak
3. ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) adalah suatu sifat yang melekat
pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut,
tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan
4. Dhabit
Dhabit ialah :
تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذ لك من وقت التحمل الي وقت الجاء
“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang
di atas, antara suatu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang
disampaikan tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan hadits-hadits yang
Yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari
kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun
untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat
Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis
darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat
kepada kebenaran. Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: ، سمعت
dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada سمعنا سمعت, karena kata bias
hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk
orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang
sah.‘Ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad kedua
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah حدثنا او اخبرنا،عليه قرأت
teria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli
hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada
sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal
keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau
ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama
bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan
hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau juz’ atau
kitab.
membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid:
“Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan
Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu
d. Al-Munawalah ()المناوله
ahli hadits dalam menerima munawalah ini.Bahkan ada yang menjadikan “Al-
Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah” setingkat dengan as-Sima’.Namun
Ijazah adalah. أ نبأني، أنباء ناSedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-
e. Al-Mukatabah ()المكتبه
orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada
dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu
Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya
guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah
kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah
dalam keshahihan dan kekuatan. Lafadz yang digunakan adalah أجزت لك ما كتبته
[اليك20]
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah قال
كتب الي فالن، أخبرني فالن كتابة، حدثني فالن كتابة، حدثنا فالن
mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid
g. AI-Washiyyah ()الوصيه
tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat
kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga
seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal
dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan
orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar
dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada
mempelajarinya dari mushhaf saja dan jangan menerima ilmu dari orang-orang
a. Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata
takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan,
pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadits
biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah
Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam
b. al-Hakim
diriwayatkan, baik dari segi sanad maupun matan, jarh (tercela)nya, ta’dil
perjalanannya, guru guru, dan sifat sifatnya yang dapat diterima maupun yang
ditolak.Ia harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits beserta
sanadnya. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain Ibn Dinar (w. 162
H), Al Laits ibn Sa'ad, seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya (w.
175 H), Imam Malik (w. 179 H), dan Imam Syafi’i(w. 204 H).[24]
c. al-Hujjah
Al-Hujjah, Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal
300.000 hadits, baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya,
Muhammad ibn Al Walid (w. 149 H), dan Muhammad Abdullah ibn Amr (w. 242
H).[25]
d. al-Hafizh
Al-Hafidh Ialah gelar utk ahli haditsyg dapat menshahihkan sanad dan
hadits. Para muhaditsin yg mendapat gelar ini antara lain Al-Iraqi Syarafuddin ad-
e. al-Muhaddits
dan al-muhaddits itu searti.Tetapi menurut mutaakhkhirin al-hafidh itu lbh khusus
mengetahui sanad-sanad illat-illat nama-nama rijal ali dan nazil -nya suatu hadits
gelar ini antara lain Atha bin Abi Ribah {seorang mufti masyarakat Mekah wafat
Bukhari-Muslim.[27]
f. al-Musnid
Al-Musnid Yakni gelar keahlian bagi orang yg meriwayatkan sanadnya