Anda di halaman 1dari 15

.

Pokok Pembahasan

1. Pengertian Rawi

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan

hadits[2].Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau

menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

2. Syarat-syarat Perowi

Berakal, cakap/cermat, adil, dan Islam adalah syarat syarat yang mutlak

untuk menjadi seorang perawi agar riwayatnya dapat diterima.Apabila seorang

perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak

akan dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru,

keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Syu’bah bin

al~Hajjaj(160 H) pernah ditanya: “Siapakah yang hadistnya terpakai ?” Syu’bah

menjawab: “Orang yang meriwayatkan hadist dari orang terkenal yang justru tidak

mereka kenal, hadistnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu

hadist.Atau bila dia sering melakukan kesalahan-kesalahan.Atau meriwayatkan

hadist yang disepakati banyak orang bahwa hadist tersebut salah.Maka hadist-

hadist yang diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak dipakai.Adapun selainya,

boleh diriwayatkan.”[3]

Tampaknya Syu’bah ingin menegaskan bahwa dua syarat yang harus

dipenuhi oleh seorang perawi bila hadistnya ingin diterima yakni adil dan

cermat.Sering melakulan kesalahan berarti tidak cermat, dan menyalahgunakan

pemahaman hadist berarti tidak adil.Mengenai persyaratan harus Islam dan berakal,

keduanya sudah menjadi syarat penting dan mutlak, sehingga Syu’bah tidak perlu

menyebutkanya lagi.Sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang yang adil tapi

bukan Islam atau orang yang cermat tapi tak berakal.


a. Berakal

Menurut para ahli hadist berakal berarti identik dengan kemampuan

seseorang untuk membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan

menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil balig[4].

Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka dengar pada masa

kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri.

Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia

membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.[5]

b. Cermat

Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan

ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, teliti

dan terpercaya.tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang

tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat

didamaikan.Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist

yang mereka riwayatkan, maka kecermatannya masih diragukan.[6]

Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari

orang yang aneh pula”.[7] Allah akan menghargai orang orang yang bersikap

cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana,

mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. hadist shahih diketahui bukan

hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan

banyak mendengar.[8]

c.Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi

pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang

merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai

berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang

diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan,

menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala

tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan

agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan

mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi

agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya.”[9]

Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang

saksi.Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua

saksi.Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau

berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya

sendiri.[10] Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang

baik harus dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya

dengan ukuran ukuran moral seorang rawi

d. Muslim

Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas.Seorang rawi harus

meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau

khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama

Islam.Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman

tentang semuanya kepada manusia.Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku

ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau

menanggungnya.[11]
3. Penerimaan Hadits

Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu

periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode

penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits

kepada orang lain mereka istilahkan dengan al aada. [12]

3.1 Syarat menerima riwayat hadits

Menurut pendapat yang sahih, perawi pada waktu menerima riwayat

hadits tidak disyaratkan harus beragama Islam dan baligh, namun setidak-

tidaknya harus sudah tamyiz.Jadi orang kafir dan anak-anak dinyatakan sah

menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan penyampaiannya tidak sah

sebelum masuk Islam dan baligh.[13]

Ada sebagian pendapat menyatakan, bahwa perawi hadits dalam

melaksanakan kegiatan penerimaan riwayat hadits dinyatakan harus baligh

pendapat ini tidak benar, sebab banyak kaum muslimin secara ijma’ menerima

atau tidak mempersoalkan riwayat sahabat, baik diterima sebelum atau sesudah

baligh.

Para ulama berbeda pendapat tentang minimal usia disunatkan mendengar hadits

1. Menurut ulama Syam minimal berumur 30 tahun

2. Menurut ulama Kufah, minimal berumur 20 tahun

3. Menurut ulama Basrah, minimal berumur 10 tahun

4. Untuk masa sekarang yang benar adalah mulai umur sedini mungkin

sekiranya yang bersangkutan sudah mampu mendengarnya, karena semua

hadits sudah tercatat dalam kitab-kitab hadits.

4.Periwayatan hadits
Al ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.

Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang

tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya

suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur

ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan

hadits, sebagaimana berikut ini [14] :

1. Islam

Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim,

dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang

fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir.

Kaitannya dengan masalah ini dapat kita bandingkan dengan firman Allah surat

Al-hujuraat ayat 6 sebagai berikut :

6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik

membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak

menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya

yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

2. Baligh

Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika

meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh. Hal ini

didasarkan pada hadits rasul:


‫رفع القلم عن ثال ثة عن المجنون المغلوب علي عقله حتي يفيق وعن نائم حتي يستيقظ وعن‬

‫الصبي حتي يحتلم‬

Hilangnya kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu

orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak

sampai iamimpi (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

3. ‘Adalah

Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) adalah suatu sifat yang melekat

pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut,

tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan

kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan

menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan

selalu menjaga kepribadian.

4. Dhabit

Dhabit ialah :

‫تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذ لك من وقت التحمل الي وقت الجاء‬

“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang

ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan”

Jalannya mengetahui kedhabitan perawi dengan carai’tibar terhadap

berita-beritanya dengan berita-berita yang shiqqah dan memberikan keyakinan.

Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan

di atas, antara suatu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang

disampaikan tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan hadits-hadits yang

lebih kuat ayat-ayat al qur’an.

5. Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya


a). As-Sima’, (‫السماع‬, mendengar

Yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari

kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun

untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat

tertinggi.Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar dari seorang guru

disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja.

Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis

darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat

kepada kebenaran. Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: ، ‫سمعت‬

‫ أخبرني‬، ‫ أخبرنا‬، ‫ حدثني‬، ‫ حدثنا‬، ‫سمعنا‬.

Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama,

menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah

kemudian ‫ حدثني‬، ‫حدثنا‬. Alasannya adalah kata menunjukkan kepastian

periwayat mendengar secara langsung hadits yang diriwayatkannya.

Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata ‫ حدثني‬، ‫حدثنا‬disatu sisi

dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada ‫سمعنا سمعت‬, karena kata bias

berarti guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima

riwayat yang menyatakan sami’tu tadi. Sedangkan kata ‫ حدثني‬,‫ أخبرني‬memberi

petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya

kepada periwayat yang menyatakan ‫ حدثني‬,‫أخبرني‬tersebut.[15]

b. Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh (‫القرأة علي الشيخ‬, membaca di hadapan guru)

Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran).

Ada juga menyebutnya‫( عرض القرأة‬menyodorkan bacaan). Karena murid

menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan

bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca


hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah

diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan

hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk

mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa

orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang

semuanya mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru. Imam

Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca

mengalami kekeliruan atau kesalahan.Bila tidak, maka tahammulnya tidak

sah.‘Ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad kedua

Mayoritas ulama memperbolehkan metode ini.Namun diriwayatkan pula, ada

sebagian mereka yang tidak memperbolehkan menerimanya.

Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah ‫ حدثنا او اخبرنا‬،‫عليه قرأت‬

‫ قرئ علي فالن و انا اسمع‬، ‫[قرأة عليه‬16]

c. Al-Ijazah (‫األجازة‬, sertifikasi atau rekomendasi)

Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk

meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu,

sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak

mendengar bacaan gurunya, seperti: ‫(أجزت لك أن نروي عني‬aku mengijazahkan

kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku).[17]

Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kri-

teria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli

hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada

pada murid harus dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-benar

sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal

keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau
ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama

mutaqaddimin, semisal al-Hasan al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil,

Abban ibn ‘Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan lain-lain.Semuanya

memperbolehkan mengamalkan ijazah dan menyingkirkan segala sesuatu yang

menghalanginya.Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan

bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan

hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau juz’ atau

kitab.

Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru

membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid:

“Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan

kepadamu untuk meriwayatkannya dariku”. Inilah yang mereka sebut dengan

Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu

pula.Sebagian ulama menyebutkan delapan jenis ijazah.Bahkan ada yang

menyebutkannya sampai Sembilan jenis.

d. Al-Munawalah (‫)المناوله‬

Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli

kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk

diriwayatkan.[18]Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada

muridnya seraya berkata : Inilah haditsku, atau inilah riwayat-riwayat yang

kudengar, tanpa mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku, atau aku

memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama

memperbolehkan metode ini.sementara sebagian yang lain tidak

memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas ulama

ahli hadits dalam menerima munawalah ini.Bahkan ada yang menjadikan “Al-
Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah” setingkat dengan as-Sima’.Namun

yang benar menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ia tetap berada di bawah

tingkat as-Sima’ dan al-Qira’ah.Al-Qadhiy ‘Iyadh dan al-’Iraqiy juga

mengutip adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah

ini.Tak seorang pun yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti

halnya dalam ijazah.

Lafadz yang digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-

Ijazah adalah. ‫ أ نبأني‬، ‫ أنباء نا‬Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-

Magrunah bila Al-Ijazah adalah ‫ ناولنا‬، ‫[نا و لني‬19]

e. Al-Mukatabah (‫)المكتبه‬

Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta

orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada

dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu

mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya.

Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya

guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah

kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah

dalam keshahihan dan kekuatan. Lafadz yang digunakan adalah ‫أجزت لك ما كتبته‬

‫[اليك‬20]

Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah ‫قال‬

‫ كتب الي فالن‬، ‫ أخبرني فالن كتابة‬، ‫ حدثني فالن كتابة‬، ‫حدثنا فالن‬

f. I’lam asy-Syeikh (‫)اعلم الشيخ‬

Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa

hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat

miliknya dan telah didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau


perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah

kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan

seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meri-

wayatkannya.Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah

mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid

untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan

keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa

yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan

keridhaannya untuk menerima dan meriwayatkannya.Inilah pendapat yang

dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqaddimin, seperti Ibn Juraij, juga

mayoritas ulama muta’akhkhirin.

g. AI-Washiyyah (‫)الوصيه‬

Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum

meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan seorang untuk boleh

meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat

langka.Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran metode

tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat

kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat

bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya

untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan

kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga

memberikan upah pengangkutannya.[21]

h. Al-Wijadah (‫الوجده‬, penemuan)

Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata

Wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggunakannya


dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada

proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya,

seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal

dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan

orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar

penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa

dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada

kitab itu ataupun melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya

kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana

itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk

menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada riwayat akurat dari

sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayatkan dari shahifah-shahifah dan

kitab-kitab, namun demikian periwayatan dengan metode wijadah ini pada

masa klasik amat langka.Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan

periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan

kitab.Bahkan sebagian besar ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan

dari shahifah-shahifah. Sehingga sangat populer di kalangan mereka

ungkapan: “Jangan kalian membaca al-Qur’an dari orang-orang yang

mempelajarinya dari mushhaf saja dan jangan menerima ilmu dari orang-orang

yang menerimanya dari shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara mereka

yang, menilai dha’if periwayatan dari kitab-kitab.Lafadz yang digunakan ‫وجدت‬

‫ بخط فالن‬atau ‫ فالن بخطه‬.‫وجدت فى كتاب‬

6. Istilah yang berkaitan dengan periwayatan hadits

Yang dimaksud dengan Rijal al-Hadits adalah orang-orang yang terlibat

dalam periwayatan sebuah hadits, baik ia sebagai periwayat yang berkedudukan


sebagai sanad maupun yang ia sebagai mukharrij yang berkedudukan sebagai

rawi yang menghimpun hadits berkenaan dalam kitabnya.[22]

a. Mukharrij

Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata

takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan,

mengeluarkan dan menarik.sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang

mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang

pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadits

biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah

mengeluarkan hadits tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam

Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam

Muslim dan begitu seterusnya.[23]

b. al-Hakim

Al Hakim,yaitu orang yang mengetahui seluruh hadits yang pernah

diriwayatkan, baik dari segi sanad maupun matan, jarh (tercela)nya, ta’dil

(terpuji)nya, dan sejarahnya. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya,

perjalanannya, guru guru, dan sifat sifatnya yang dapat diterima maupun yang

ditolak.Ia harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits beserta

sanadnya. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain Ibn Dinar (w. 162

H), Al Laits ibn Sa'ad, seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya (w.

175 H), Imam Malik (w. 179 H), dan Imam Syafi’i(w. 204 H).[24]

c. al-Hujjah

Al-Hujjah, Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal

300.000 hadits, baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya,

kecacatannya, dan biografinya (riwayat hidupnya). Para muhaddits yang


mendapat gelar ini antara lain ialah Hisyam ibn Urwah (w. 146 H), Abu Hudzail

Muhammad ibn Al Walid (w. 149 H), dan Muhammad Abdullah ibn Amr (w. 242

H).[25]

d. al-Hafizh

Al-Hafidh Ialah gelar utk ahli haditsyg dapat menshahihkan sanad dan

matan hadits dan dapat men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawinya.Seorang al-

hafidh harusmenghafal hadits-hadits sahih mengetahui rawi yg waham {banyak

purbasangka} illat-illat hadits dan istilah-istilah para muhaditsin.Menurut

sebagian pendapat al-hafidh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000

hadits. Para muhaditsin yg mendapat gelar ini antara lain Al-Iraqi Syarafuddin ad-

Dimyathi Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Daqiqil Id.[26]

e. al-Muhaddits

Al-Muhaddits Menurut muhaditsin-muhadditsin mutaqaddimin al-hafidh

dan al-muhaddits itu searti.Tetapi menurut mutaakhkhirin al-hafidh itu lbh khusus

daripada al-muhaddits. Kata At-Tajus Subhi Al-muhaddits ialah orang yg dapat

mengetahui sanad-sanad illat-illat nama-nama rijal ali dan nazil -nya suatu hadits

memahami kutubus sittah Musnad Ahmad Sunan al-Baihaqi Majmu Thabarani

dan menghafal hadits sekurang-kurangnya100 buah. Muhaditsin yg mendapat

gelar ini antara lain Atha bin Abi Ribah {seorang mufti masyarakat Mekah wafat

115 H} dan Imam Az-Zabidi {salah seorang ulama yg mengikhtisharkan kitab

Bukhari-Muslim.[27]

f. al-Musnid
Al-Musnid Yakni gelar keahlian bagi orang yg meriwayatkan sanadnya

baik menguasai ilmunya maupun tidak.Al-musnid juga disebut dengan at-thalib

al-mubtadi dan ar-rawi.[28]

Anda mungkin juga menyukai