Disusun Oleh:
Ismail Hasan
16530018
Muhammad Izzul Haq Zain
16530021
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Kepenulisan ............................................................................. 1
A. Kesimpulan ........................................................................................ 7
ii
BAB I
Pendahualuan
A. Latar Belakang
Salah satu kelompok besar yang muncul pada masa tersebut adalah
Sunni, atau juga dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dalam kelompok
ini, muncul kitab-kitab tafsir yang memiliki kecenderungan terhadap ideologi
Ahlus Sunnah. Oleh karenanya, makalah ini akan membahas terhadap Ahlus
Sunnah, karakteristik tafsirnya, dan juga metodenya dalam menafsirkan Al-
Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ?
2. Bagaimana metode dan karakteristik penafsiran Ahlus Sunnah ?
3. Bagaimana tafsir dan corak penafsiran Ahlus Sunnah ?
C. Tujuan Kepenulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah
2. Untuk mengetahui metode dan karakteristik penafsiran Ahlus Sunnah ?
3. Untuk mengetahui tafsir dan corak penafsiran Ahlus Sunnah ?
1
Dwi Ulya Mailasari, “PENGARUH IDEOLOGI DALAM PENAFSIRAN” 7 (2013): 54.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Muhammad Syihabuddin Muhsin, Mansyurah Fatawa Kibar Ahli Sunnah Wal Jama’ah, vol. 1 (Tanpa
Penerbit, Tanpa Tahun), 1.
3
Umma Farida, “Membincang Kembali Ahlussunnah Wa Al-Jama’ah: Pemaknaan Dan Ajarannya
Dalam Perspektif Mutakallimin” 2, no. 1 (June 2014): 44.
2
Artinya ; hendaklah kalian jama’ah dan berhati-hatilah terhadap
perpecahan. ( HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah ) .
Selain itu, lafadz jama’ah tidak disyaratkan untuk banyak dan sedikitnya
orang, tetapi setujunya kepada yang haq, walaupun berbeda dengan mayoritas
orang seantero jagat.
Artinya ; Dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai. (QS. Ali-Imran: 103) . Ibnu Mas’ud berkata
bil jama’ah. ‘Abdullah berkata bahwa hablullah allah itu adalah jama’ah.
Sedangkan Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah salafnya umat ini dari
kalangan sahabat dan tabi’in dan orang yang berkumpul di atas kebenaran yang
jelas dari Al-quran dan Sunnah Rasulullah yang imamnya Rasul itu sendiri, dan
setiap orang yang menyerukan kepada segala yang diserukan oleh Rasulullah,
Sahabat, dan Tabi’in dengan cara yang baik.4 Hasan Ayyub mengatakan : Ahlu
Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang
– orang yang mengikuti jalan mereka. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus
Shalih dalam memahami aqaid. Al-ayji mengatakan: “Adapun Al-Firqotun
Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang
mereka : “mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan
para sahabatku berada di atasnya”. Mereka adalah Asy-ariyah dan salaf dari
kalangan Ahli Hadits dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.5
1. Pendapat pertama, istilah ini telah ada sejak masa Rasulullah, bahkan beliau
sendiri yang memunculkan istilah tersebut melalui hadits yang diucapkan.
4
Muhammad Syihabuddin Muhsin, Mansyurah Fatawa Kibar Ahli Sunnah Wal Jama’ah, 1:41.
5
Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi, Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Surakarta: Islam House, 2013), 10–
11.
3
2. Pendapat kedua, istilah ini lahir pada akhir windu kelima tahunan Hijriyah,
yang dimaksudkan untuk menciptakan kesatuan dan persatuan ketika
penyerahan jabatan dari Hasan Bin Ali kepada Muawwiyah Bin Abi Sufyan.
3. Pendapat ketiga, istilah ini lahir pada akhir abad II Hijriyah sebagai respon
dari berkembangnya aliran Muktazilah.6
B. Metode dan Karakteristik Penafsiran Ahlus Sunnah
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Mahmud Basuni Faudah berpendapat
bahwa golongan Ahlus Sunnah berpegang pada dalil yang dikutip dari Nabi
Muhammad saw, para sahabat, dan juga para tabi’in. Selain itu, Ahlus Sunnah
juga menggunakan akal. Akan tetapi jika dalam sebuah ayat sudah terdapat nash
yang shahih dan terkonfirmasi datang dari Rasulullah, maka mereka akan
menyisihkan penggunaan akal. Mahmud Basuni Faudah juga menambahkan
bahwa golongan Ahlus Sunnah tetap memperhatikan kaidah bahsa Arab dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudian apabila terdapat kontradiksi antara
akal dan naqal, mereka berupaya menyesuaikan keduanya tanpa keluar dari
qaidah-qaidah syar’i dan lughawy.7
Sementara itu Rohimin berpendapat bahwa, dalam tradisi Sunni terdapat
tiga aliran tafsir, yaitu ittijah salafi, ittijah kalami, dan ittijah shufi. Kemudian
ia memberi contoh, yang termasuk aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsir.
Sementara yang termasuk dalam aliran yang kedua adalah At-Tafsir al-Kabir
karya Fakhrur Razi. Adapun yang termasuk dalam aliran yang ketiga adalah
Lathaiful Isyarat karya Imam Al-Qusyairi. Kemudian dari tiga aliran ini,
semuanya memiliki garis besar metode yang sama. Metode-metode tersebut
misalnya, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an
dengan hadis, menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan sahabat, menafsirkan
Al-Qur’an menggunakan perkataan tabi’in, dan yang terakhir menafsirkan Al-
Qur’an dengan memperhatikan aspek bahasa.
6
Umma Farida, “Membincang Kembali Ahlussunnah Wa Al-Jama’ah: Pemaknaan Dan Ajarannya
Dalam Perspektif Mutakallimin,” 44–45.
7
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir (Bandung:
Pustaka, 1987), 95.
4
Selain itu, golongan Ahlus Sunnah dalam menafsirkan Al-Qur’an juga
memperhatikan hal-hal berikut8:
1. Al-Qur’an harus ditafsirkan dengan yang umum dalam bahasa
2. Dalam menentukan makna harus sesuai dengan konteks
3. Dalam menafsirkan harus memperhatikan asbab an-nuzul dan alur cerita
4. Dalam memberikan makna mendahulukan makna syar’i ketimbang makna
‘urfi.
Seluruh karya tafsir yang telah disebutkan diatas lahir pada tradisi yang
berbeda-beda, sehingga memiliki corak penafsiran yang berbeda pula. Contoh
corak penafsiran tersebut antara lain tafsir fiqhi, tafsir lughowi, tafsir adabi,
tafsir ijtima’i-huda’i, dan tafsir ‘ilmi.10 Diantara corak-corak tersebut, meskipun
sama-sama berasal dari golongan Ahlus Sunnah, terkadang masih terdapat
perbedaan diantara tafsir satu dengan yang lain. Misalnya, sebagian tafsir fiqhi
8
Rohimin Rohimin, “TAFSIR ALIRAN IDEOLOGIS DI INDONESIA: STUDI PENDAHULUAN TAFSIR ALIRAN
IDEOLOGI SUNNI DALAM TAFSIR KEMENTERIAN AGAMA,” MADANIA: JURNAL KAJIAN KEISLAMAN 20,
no. 2 (December 10, 2016): 173-174.
9
M. Subhan Zamzami, “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,” MUTAWATIR 4, no. 1
(September 10, 2015): 170.
10
Rohimin, “TAFSIR ALIRAN IDEOLOGIS DI INDONESIA,” 174.
5
lebih identik bahkan membela salah satu madzhab fikih, seperti tafsir al-
Qurtubhi yang condong pada fikih Maliki, dan tafsir Al-Jassas yang condong
pada fikih Hanafi.11
Selain itu, masih terdapat beberapa hadis yang dikutip oleh Ibnu Katsir
untuk menguatkan pendapatnya tersebut. Adapun pendapat yang serupa juga
disebutkan dalam Tafsir Ath-Thabari bahwa yang dimaksud ayat tersebut
adalah melihat Tuhan secara langsung.14
11
Zamzami, “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,” 170.
12
Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, trans. M. Abdul Ghoffar and Abu Ihsan al-Atsari, vol. 8 (Bogor:
Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2005), 351.
13
Ibid.
14
Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, vol. 24 (Mu’assasah al-Risalah, 2000), 71.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah salafnya umat ini dari kalangan sahabat
dan tabi’in dan orang yang berkumpul di atas kebenaran yang jelas dari Al-
quran dan Sunnah Rasulullah yang imamnya Rasul itu sendiri, dan setiap orang
yang menyerukan kepada segala yang diserukan oleh Rasulullah, Sahabat, dan
Tabi’in dengan cara yang baik. Kemudian dari golongan ini, muncul berbagai
kitab tafsir yang memiliki corak penafsiran yang berbeda-beda. Hal yang dapat
disimpulkan secara umum bahwa golongan Ahlus Sunnah dalam menafsirkan
Al-Qur’an berpegang berpegang pada dalil yang dikutip dari Nabi Muhammad
saw, para sahabat, dan juga para tabi’in. Kemudian, Ahlus Sunnah dalam
menafsirkan Al-Qur’an juga menggunakan akal. Akan tetapi jika dalam sebuah
ayat sudah terdapat nash yang shahih dan terkonfirmasi datang dari Rasulullah,
maka mereka akan menyisihkan penggunaan akal. Selain itu, golongan Ahlus
Sunnah tetap memperhatikan kaidah bahsa Arab dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Kemudian apabila terdapat kontradiksi antara akal dan naqal,
mereka berupaya menyesuaikan keduanya tanpa keluar dari qaidah-qaidah
syar’i dan lughawy
7
Daftar Pustaka
Ath-Thabari, Ibnu Jarir. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Vol. 24. Mu’assasah al-
Risalah, 2000.
Ismail bin Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Translated by M. Abdul Ghoffar and Abu Ihsan
al-Atsari. Vol. 8. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2005.
Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi. Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Surakarta: Islam
House, 2013.