Anda di halaman 1dari 15

MENGENAL TAFSIR SIROJUL MUNIR, IRSYADUL

‘AQL, DAN RUHUL MA’ANI


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Kelompok
Dosen Pengampu : KH. Mustahal, L.C.

Disusun oleh :
1. Fazlur Rohman : 40020008

2. Taufikurrahman : 40020033

PRODI TAFSIR WA 'ULUMUHU


MA'HAD ALY AL-IMAN BULUS, INDONESIA
TAHUN 1442 H

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW,
mengandumg hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah,
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai
makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga manusia dapat berbahagia hidup di
dunia dan di akhirat. Al-Qur’an dalam menerangkan hal-hal tersebut di atas, ada yang
dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum
warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja.
Yang diterangkan secara umum dan dan garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan
dijelaskan hadits-hadits nabi Muhammad SAW , dan ada yang di serahkan pada kaum muslimin
sendiri yang disebut ijtihad. Begitu pula halnya tafsir al-Qur’an berkembang mengikuti irama
perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa
dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan
generasi itu dengan tidak menyimpang dari hukum-hukum agama.
Tafsir bi al-ra’yi adalah tafsir yang dalam penjelasan maknanya atau maksudnya,
mufassir hanya berpegang kepada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan
(istinbath)nya didasarkan pada logikanya semata. Mengingat tafsir bi al-ra’yi lebih menekankan
sumber penafsirannya pada kekuatan bahasa dan akal pikiran mufassir, maka para ahli ilmu tafsir
membedakan tafsir bi al-ra’yi ke dalam 2 macam yaitu: tafsir bi al-ra’yi yang terpuji – al-tafsir
al-mahmud – dan tafsir bi al-ra’yi yang tercela – al-tafsir al-madzmum.
Pada makalah ini kami akan membahas mengenai salah tiga tafsir yang tergolong
dalam tafsir bi ra’yi mahmud.
B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk:
1. Mengenal Tafsir Sirojul Munir dari segi pengarang dan metode penafsirannya.
2. Mengenal Tafsir Irsyadul ‘Aql dari segi pengarang dan metode penafsirannya.
3. Mengenal Tafsir Ruhul Ma’ani dari segi pengarang dan metode penafsirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AS-SIROJUL AL-MUNIR FII AL-I’ANAH ‘ALA MA’RIFATI BA’DLI MA’ANI
KALAAMI RABBINA AL-HAKIM AL-KHOBIR

1. Biografi pengarang
Kitab ini dikarang oleh Imam Syamsudin Muhammad bin Muhammad Asy-
Syarbini Al-Qahiri Asy-Syafi'i al-Khatib. la menimba ilmu dari banyak syeikh, antara
lain Syeikh Ahmad al-Barlasi, An-Nur a-Mahalli, Badr Al Masyhadi, Syihab ar-Ramli
dan lainnya. Ketika para syeikhnya suka kepadanya dan menilainya pantas berfatwa dan
mengajar, maka mereka memberikan ijazah kepadanya sehingga ia berfatwa dan
mengajar. Ilmunya ditimba oleh banyak orang yang tak terhitung.
Penduduk Mesir sepakat bahwa Khatib Asy-Syarbini adalah seseorang yang
memilki kepribadian yang agung soleh dan wara’. Mereka menggambarkannya sebagai
seseorang yang berilmu, beramal, zuhud, wara, dan gemar beribadah. la punya
kebiasaan i'tikaf dari awal Ramadhan dan tidak keluar dari mesjid kecuali setelah shalat
id. Jika pergi haji, ia tidak naik kendaraan kecuali kalau sudah tidak kuat jalan. la
menghindari popularitas dan kesibukan duniawi. la adalah salah satu tanda
kemahakuasaan Allah dan hujah bagi para makhluk-Nya. Beliau Berpulang ke
rahmatullah pada waktu asar hari Kamis 2 Sya'ban thn.977 H. Diantara karyanya yang
terpenting adalah Syarah kitab Minhaj dan kitab at-Tanbih yang merupakan dua kitab
syarah besar, berisi tulisan tahrir para syeikhnya sesudah Syeikh Zakaria. Kedua kitab
ini diminati banyak orang sewaktu ia masih hidup. Kitabnya yang lain ialah kitab
tafsirnya ini yang tengah kami perkenalkan.

2. Mengenal Tafsir dan Metode Penafsirannya


Dalam mukadimahnya, Khathib Asy-Syarbaini menyebutkan, "Para imam
generasi salaf telah mengarang kitab tafsir sesuai dengan kadar pemahaman dan tingkat
keilmuan masing-masing. Muncul di benak saya untuk mengikuti jejak mereka, tetapi
jiwa ini digelayuti keraguan dalam waktu lama karena takut terkena ancaman terhadap
golongan orang yang menafsiri Al-Qur'an dengan ro’yu atau tanpa ilmu. Maka saya
melakukan salat istikharah dan meminta kepada Allah agar melapangkan dada saya dan
memberikan kemudahan. la menceritakan bahwa Allah kemudian melapangkan
dadanya. Ketika pulang dari perjalanan, ia menyembunyikan keinginannya itu sampai
seorang rekannya bercerita kepadanya bahwa ia mimpi Nabi Saw. atau Imam Syafi'i
menyuruhnya untuk mengatakan kepada si fulan agar menulis tafsir al-Qur'an. Tidak
lama sesudah itu ia ditugasi satu pekerjaan ke- syekh-an (sebagai syeikh) dalam tafsir di
kota Bimaristan. Al-Khatib menuturkan bahwa sekelompok temannya yang haus ilmu,
memintanya agar setelah selesai menulis kitab Minhaj at-Thalibin ia menulis kitab tafsir
yang tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, lalu ia memperkenankan permintaan
itu, karena mengikuti wasiat Rasul Saw dalam sebuah riwayat Abu Sa'id al Khudri ra.,
"Sekelompok pria datang kepada kamu dari berbagai penjuru bumi untuk memperdalam
agama. Bila mereka datang, maka perlakukanlah mereka dengan baik". Juga karena
mengikuti jejak para salaf dalam mewariskan ilmu untuk generasi sesudahnya. la
menyatakan bahwa tidak ada nilai tambah pada apa yang telah mereka kerjakan. Namun
setiap masa harus ada pembaruan karena lamanya perputaran zaman dan berkurangnya
semangat para peminat, sekaligus mengingatkan mereka yang tidak punya motivasi dan
mendorong mereka yang semangatnya kendor, dan sebagai penolong bagi dia dan
mereka yang lalai. Khathib Asy-Syarbaini juga mengatakan bahwa ia hanya
menyampaikan pendapat yang rajih saja dan i'rab terhadap kalimat yang mungkin
ditanyakan, menghindari ucapan yang tak ia setujui dan i'rab yang dibahas luas dalam
kitab-kitab nahwu. Qira'at yang disebutkannya adalah qira'at sab'ah (qira'at yang tujuh)
yang masyhur. Asy-Syarbaini berkata, "Terkadang saya menyebutkan sebahagian
pendapat dan i'rab karena penting namun dengan ungkapan, "konon, ada yang
mengatakan". Ungkapan ini dipakai agar pembaca mengetahui bahwa pendapat yang
disetujui ialah yang pertama. Kitab ini saya beri nama "As Siraj al-Munir fil i'anah ala
Ma'rifati Ba'di Ma'ani Kalami Rabbina al-Hakim al-Khabir". "Tafsir ini –
akunya, ......saya ambil dari beragam tafsir, baik riwayat maupun dirayat (ma'tsur
maupun ma'kul) tulisan para imam yang terkenal dan populer jejak dan
peninggalannya...".
Di akhir kitab, ia berkata, "Ambillah tafsir ini yang laksana emas berharga atau
mutiara terhimpun rapih, yang menghimpun sebahagian besar tafsir-tafsir yang ada dan
memuat qira'at yang mutawatir serta ucapan dan pandangan yang lebih kuat, juga hadits
yang sahih dan yang hasannya. dilengkapi dengan dalil-dalil dan memperlihatkan aneka
kelembutan hasil fikiran kami saat malam datang...".
Aku (Husein Ad-Dzahabi) telah membaca tafsir ini, ini mudah, bahasanya
menarik, tidak panjang membosankan atau pendek menyebalkan. Pengarangnya
mengutip beberapa tafsir dari para salaf. la juga kadang menyebutkan sejumlah ucapan
para ahli tafsir sebelumnya seperti Zamakhsyari, Baidhawi, Al-Baghawi. Ucapan-
ucapan yang dinukilnya ia tarjih dan ia pilih, terkadang ia memberikan bantahan dan
penilaian terhadap nya.

3. Sikap Beliau mengenai Qiraat, I’rob,dan Hadits


la telah menepati janjinya dengan tidak menyebutkan qiraat kecuali yang
mutawatir saja. la tidak menyusahkan dengan menuturkan tentang i'rab yang memang
kurang penting dalam tafsir. la memenuhi janji dengan tidak mencantumkan hadits
melainkan yang sahih atau hasan semata. la memberikan kritikan dan komentar terhadap
Zamakhsyari dan Baidhawi berkaitan dengan hadits hadits maudhu tentang fadhilah
surat demi surat. Jika ada hadits daif yang disebutkannya dalam tafsirnya, maka ia
mengingatkannya untuk pembaca.
Contoh, saat menafsiri akhir surat Ali Imran, ia berkata, "Ath-Thabari telah
meriwayatkan namun dengan isnad dhaif, "Siapa saja yang pada malam Jum'at
membaca surat yang menceritakan Ali Imran maka Allah dan para malaikat akan
membaca shalawat kepadanya sampai matahari terbenam....." Apa yang diriwayatkan
oleh Baidhawi karena mengikuti Zamakhsyari dan diikuti oleh Ibnu Adil bahwa Rasul
pernah bersabda, "Barangsiapa yang membaca surat Ali Imran, maka akan diberi untuk
setiap ayat keamanan saat di jembatan jahanam", merupakan hadits maudhu produk
Ubay bin Ka'ab tentang fadhilah surat. Ini harus diwaspadai. Para imam ahli hadits yang
terdahulu dan yang belakangan telah mengingatkan atas hal ini. Mereka telah mencela
penafsir al-Qur'an yan menyebutkannya dalam tafsirnya. Wallahu A'lam.
Saat menafsiri akhir surat Al-A'raf Khatib asy-Syarbaini menegaskan, "Hadits
yang disebutkan oleh Al-Baidhawi karena mengikuti Zamakhsyari bahwa, "Barangsiapa
yang membaca S.Al-A'raf, maka Allah akan menjadikan pada hari kiamat antara dia
dengan iblis satu dinding dan Adam akan memberi syafa'at baginya pada hari kiamat",
merupakan hadits maudhu.)
Di penghujung surat Al-Jatsiah ia menegaskan, "Apa yang diriwayatkan oleh Al-
Baidhawi karena mengikuti Zamakhyari yaitu sabda Nabi, "Barangsiapa yang membaca
surat Hamiim Al-Jatsiah, maka Allah akan menutupi cacatnya dan menenangkan
kegelisahan jiwanya pada hari penghisaban", adalah hadits maudhu (palsu)

4. Perhatiannya Terhadap Poin-Poin Menarik dalam Tafsir dan Hal-Hal Musykil


(sulit) dalam al-Qur'an
Hal lain yang nampak, pengarang kitab ini menyebutkan poin-poin menarik
dalam tafsir dan hal-hal sulit, berikut penjelasannya dengan kata kata "Sebuah
peringatan" atau kata-kata "Jika dikatakan bahwa....", maka jawabannya adalah
la juga sangat perduli terhadap munasabah (keterkaitan ) ayat dengan ayat lain.
Maka ia menyebutkannya, dilengkapi dalil dan penjelasannya.
5. Sikap Asy-Syarbaini terhadap Masalah Fiqih
Masalah-masalah fiqih pun disebutkan dalam kitab tafsir ini dengan
menyebutkan berbagai madzhab dan dalil masing-masing sekalipun penyebutan ini tidak
banyak.
Sebagai bukti, ketika menafsiri S.2 (Al-Baqarah) : 225, "Allah tidak meng
hukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi
Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah)
oleh hatimu....", anda dapati ia menyebutkan pandangan para ulama tentang makna
“sumpah yang tidak dimaksud (main-main)"..Usai menyampaikan keterangan, ia
berkata, "Sebuah peringatan". Lalu menyebutkan hal yang menyebabkan terikatnya
sebuah sumpah dan konsekuensi bila melanggar sumpah tersebut. la mengutip pendapat
madzhab Syafi'i bahwa ia wajib bayar kifarat sedang ulama lain tidak mewajibkannya.
la juga menjelaskan hukum bersumpah dengan selain Allah, seperti bersumpah dengan
Ka'bah, bapak dan sejenisnya."
Saat menafsiri S.(Al-Baqarah) : 229 “bahwa thalak itu ada dua..., ia menulis,
"Sebuah peringatan. Para ulama berikhtilaf mengenai apabila salah seorang dari
sepasang suami isteri adalah hamba sahaya. Mayoritas berpendapat, diantaranya Syafi'i
rahimahumullah bahwa bilangan thalak dihitung dari status suami. Suami yang merdeka
(bukan budak) memiliki 3 thalak untuk isterinya sedang budak mempunyai dua thalak.
Sebahagian kecil dari ulama termasuk didalamnya Abu Hanifah berpendapat bahwa
jumlah thalak dihitung dari status wanita seperti halnya idah. Maka seorang suami yang
budak punya 3 thalak terhadap isterinya yang merdeka dan suami yang merdeka (bukan
budak) hanya punya dua thalak untuk isterinya yang budak"

6. Suguhannya Memgenai Kisah-kisah Israilliyat


Tafsir ini tidak luput dari menyebutkan sebagian kisah-kisah israilliyat yang
aneh sayangnya demikian itu tanpa mengomentarinya dengan predikat shohih atau
dhaif.
Contoh, saat menafsiri S.27 (Al-Naml) : 16, "Dan Sulaiman telah mewarisi
Dawud, dan ia berkata, "Wahai manusia, aku telah diberi pengertian tentang suara
burung dan dianugrahi segala sesuatu......". Kita dapati ia mengutip sebuah riwayat
panjang dari Ka'ab (al-Ahbar) bahwa seekor burung merpati bersuara (bicara) kepada
Suliaman as. Sulaiman bertanya kepada yang hadir, Tahukah kamu, ia bilang apa?".
Mereka menjawab, "Tidak tahu". Nabi Sulaiman as menjelaskan, "la bilang, kamu
menolak kematian dan membuat bangunan untuk dihancurkan". Ketika Merpati liar
berkicau didekat Nabi Sulaiman, beliau bertanya kepada kaumnya “Tahukah kalian apa
yang diucapkan burung merpati tersebut?”. Mereka menjawab “tidak”. Lantas Nabi
Sulaiman berkata :”Merpati tersebut berkata : seandainya makhluk ini tidak diciptakan”
Ketika burung merak bersuara (bicara), Sulaiman as menanyakan artinya kepada
mereka. Tetapi mereka tidak ada yang tahu. Maka Sulaiman as bertutur, "Burung merak
berkata, sebagaimana kamu berbuat baik, maka kamu diberi balasan". Begitu seterusnya
ia menyebutkan suara (pembicaraan) burung kepada Nabi Sulaiman dan ia
menjelaskannya. Kemudian ia memeriwayatkan riwayat yang mirip dengannya dari
Makhul dan dari Firgid As-Sanji. Selanjutnya ia menyampaikan sebuah riwayat bahwa
sekelompok orang yahudi bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna ucapan (suara)
burung-burung dan Ibnu Abbas menjelaskannya. Asy-Syarbaini tidak memberi
komentar sedikitpun padahal kisah ini sangat aneh.
Ketika menafsiri S.27 (An-Naml): 35 misalnya, yaitu, "Dan sesungguhnya aku
mengi-rim utusan kepada mereka membawa hadiah....", beliau menyuguhkan kepada
kita kisah aneh dari Wahab bin Munabbih dan lainnya tentang jenis hadiah ratu Bilqis
kepada Nabi Sulaiman as., tentang sikap Sulaiman dan apa yang dilakukannya dalam
memperlihatkan kebesaran kerajaannya yang sangat aneh .Namun sedikitpun asy-
Syarbaini rahimahullah tidak memberi komentar.
Juga sewaktu menafsiri S.37 (Ash-Shaffat) :113, "Dan sesungguhnya Ilyas
termasuk Rasul (yang diutus Allah)". la berkata, "Sebuah peringatan.Disini : saya akan
paparkan kisah lyas as. Lantas ia menuturkan kisah yang panjang dan aneh dari para
ulama sejarah, dan setelah selesai ia tidak memberi komentar walau hanya satu kata pun.

Namun manakala ia tidak setuju dengan kisah yang tanpa komentar karena
isinya mengurangi kedudukan kenabian yang luhur, maka ia mengutipnya kemudian
menjelaskan ketidakbenarannýa.
Misal, saat menafsiri S.38 (Shad) :21-23, "dan adakah sampai kepadamu
berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar......". Kita temui ia
menyebutkan kalimat-kalimat Fakhrur-Razi dalam tafsirnya untuk menulis kisah batil
lalu ia menyatakan isinya yang sesuai dengan kedudukan Dawud as sebagai Nabi.
la banyak menukil atau mengutip dari tafsir Ar-Razi. Hal itu dapat dilihat oleh
orang yang membaca keduanya.
Kitab tafsir Khatib asy-Syarbaini telah dicetak dalam 4 jilid dan beredar di
kalangan ahli ilmu dan pelajar. Isinya mudah dan merupakan kumpulan dari banyak
tafsir sebelumnya.

B. IRSYADUL ‘AQL AS-SALIM ILA MAZAYA AL-KITAB AL-KARIM


1. Biografi Pengarang
Pengarang kitab ini Abus-Saud Muhammad bin Muhammad bin Mustafa al-
Imadi al-Hanafi. Lahir th.893 H. di kampung dekat Konstantinopel, dari keluarga yang
dikenal mulia dan ahli ilmu sampai ada yang berkomentar, ia dibesarkan dalam asuhan
ilmu sampai besar dan menyusu pada putting mulia sampai tumbuh besar. la terus-
menerus berkhidmat pada beragam ilmu sampai benar-benar ahli. la banyak membaca
buku pada ayahnya dan berguru kepada para ulama besar. Sehingga ia dikenal sebagai
gudang ilmu dan besar kedudukannya
Abus-Saud rahimahullah mengajar di sejumlah sekolah Turki, lalu ia menjadi
hakim hingga menjabat hakim Konstantinopel, lantas pindah menjadi hakim wilayah
militer propinsi Rum Ayla selama 8 tahun. Setelah itu dia dipercaya sebagai
penanggung jawab fatwa yang ia tunaikan dengan baik. Setelah sebelumnya pekerjaan
ini berpindah-pindah tangan. Hal itu terjadi pada tahun 952 H. Jabatan ini dipegangnya
selama 30 tahun dengan menyampaikan kedetailan ilmu yang sempurna dan keahlian
berfatwa dalam beragam metode penyampaian
Orang-orang menyebutkan bahwa bila sipenanya bertanya dalam bentuk syair,
beliau menjawabnya dalam bentuk syair, jika pertanyaan disampaikan dalam bentuk
prosa, maka ia menjelaskannya dalam bentuk yang sama Kalau sipenanya bertanya
dengan bahasa arab, ia jawab dengan bahasa arab, jika dengan bahasa Turki,
diterangkan dengan bahasa Turki. Begitu seterusnya. Penulis telah membaca sebahagian
dari pertanyaan yang diajukan kepadanya dan jawaban atau fatwanya. Ternyata hal ini
benar.
la berada dalam puncak ilmu dan kemuliaan, namanya dikenal di barat dan di
timur. la mengungguli orang-orang yang selevel dengannya, tidak ada seorang pun yang
mengunggulinya. Kesibukannya mengajar di berbagai tempat dan sebagai hakim serta
pemberi fatwa menjadikannya tidak punya waktu untuk mengarang atau menulis buku.
Namun ia mencoba meluangkan waktu untuk menulis tafsir sehingga muncullah
kitabnya yang sedang kita perbincangkan ini. la juga sempat menulis catatan kaki
terhadap tafsir Al Kasysyaf, juga terhadap kitab permulaan bab al-Bai (jual-beli) dari
kitab al Hidayah. Yang jelas, ia telah menghimpun adab dengan ilmu .Selain tulisannya
begitu baik , bait-bait yang digubahnya juga sangat indah. Menurut hemat penulis pujian
yang disampaikan seorang temannya kepadanya tidaklah berlebihan kala ia bertutur:
"Bukanlah ilmu sejati, kecuali ilmu yang ada pada dirimu Sedang ilmu pada
orang lain Bagaikan fatamorgana diatas bumi".
Abu-Dawud wafat di kota Konstantinopel dimakamkan di dekat kuburan Abu
Ayub Al-Ansari ra., yaitu pada awal bulan Jumadil Ula th.982 H. Semoga Allah
mengucuri rahmat kepadanya "280)
2. Tentang Kitab ini dan Metode Penulisannya

Pengarang kitab ini sangat sibuk mengajar, menjadi hakim dan berfatwa.
Namun ia menyempatkan diri menulis kitab tafsir. Hal ini telah diakui oleh yang
bersangkutan dalam mukadimah tafsirnya.Tidak diketahui bahwa ia menerbitkan
tafsirnya sekaligus satu kitab atau tidak akan tetapi Orang-orang menyebutkan bahwa
ketika memulai dan sampai pada akhir S. Shad, ia menghentikan karangannya itu karena
datang kepadanya berbagai kesibukan. Selesai ia menerbitkannya pada bulan Sya'ban th.
973 H, ia mengirim kitabnya itu kepada Sultan Sulaiman Khan yang disambut dengan
haik bahkan diberi hadiah dan diberi tambahan 500 dirham setiap hari dari upah
kerjanya. Kemudian ia merampungkannya setelah satu tahun.Sisa karyanya yang ia
rampungkan itu kembali dikirim kepada Sultan dan mendapat sambutan baik bahkan
hadiah seperti semula.
Yang jelas, Kitab ini sungguh luar biasa, sangat indah ungkapan dan
bahasanya, menyingkap rahasia balaghah al-Qur'an yang belum ada contohnya.
Karenanya, tafsir ini menjadi terkenal di kalangan ahli ilmu.Tidak sedikit para ulama
memberikan pujian sebagai kitab tafsir terbaik. Pengarang kitab Al-Aqdu al-Manzhum
fi Dzikri Afadil ar-Rum menuturkan, "la dianugrahi dengan sesuatu yang belum pernah
diberikan kepada orang-orang semasanya dan belum pernah didengar oleh telinga.
Benarlah sebuah ungkapan, "Berapa banyak generasi awal meninggalkan warisan bagi
angkatan belakangan". Penulis kitab Fawaid al-Bahiyah fi Tarajum al-Hanafiah
memberikan pujian, "Saya telah menelaah kitab itu. Saya telah mengambil banyak
manfaat darinya sebagai kitab yang baik. Tidak terlalu panjang membosankan, tidak
terlalu pendek menyebalkan. Sarat dengan berbagai kelembutan dan poin poin penting,
hal-hal bermanfaat dan aneka isyarat". Penulis kitab Al-Kasyf mengatakan, "Naskah
tafsir Abus-Saud telah beredar di berbagai penjuru dan mendapat tempat dengan baik
dari para tokoh terkemuka karena keindahan bahasa dan ungkapannya. Sehingga ia
menjadi "orator para ahli tafsir". Telah maklum bahwa tafsir selainnya setelah Al-
Kasysyaf dan al-Qadhi tidak mencapai kedudukan seperti ini.
Kitab ini berbeda dengan kitab tafsir yang lain. Tidak banyak diberi catatan
kaki dan komentar atau uraian tentang isinya. Tidak sampai kepada kami (Penulis)
tulisan catatan kaki tersebut selain apa yang disebutkan oleh Pengarang kitab Kasyfuzh-
Zhunun bahwa diantara komentar dan catatan kaki terhadapnya ialah tulisan Sveikh
Ahmad Ar-Rumi al-Ahsari yang meninggal th.1041 H dari S. Rum sampai S, Ad-
Dukhan, dan goresan pena Syeikh Ridhaddin i fusuf Al-Qudsi hingga mendekati
separuh kitab yang kemudian dihadiahkan kepada Maula As'ad bin Sa'duddin saat
berkunjung ke Baitil-Magdis Yang biasa dilakukannya ialah menukil ucapan dua orang
Imam, Az Zamakhsyari dan Al-Baidhawi selain ucapan Abus-Saud sendiri yang
mengatakan, "Dalam Al-Kasysyaf disebutkan, "Al-Baidhawi berkata, sementara Al
Mufti bertutur". Lalu ia mengadakan penilaian terhadapnya. Itulah yang disebutkan oleh
penulis Kasyfuzh-Zhunun. Kami tidak mengetahui adanya orang lain yang memberi
catatan kaki selain kedua orang syeikh pemberi catatan kaki diatas82)
Penulis telah membaca mukadimah tafsir ini. Isinya banyak memuji tafsir Al-
Kasysyaf karya az-Zamakhsyari dan tafsir Anwar at-Tanzil karangan Al-Baidhawi. la
mengatakan bahwa sebelum menulis tafsirnya, ia terlebih dahulu membaca kedua kitab
itu. Lalu ia bertutur, "Sungguh, dalam perjalanan hari dan perputaran masa, atau
kesibukan saya menelaah kedua kitab itu dan saat saya fokus mempelajarinya, selalu
terbetik dalam pikiran saya siang malam untuk merangkai mutiara dari keduanya dalam
bentuk yang sangat menarik dan menyusun butir-butir manik keduanya dalam susunan
yang indah dengan diberi tambahan dari permata yang saya dapatkan dari berbagai kitab
yang membanggakan dengan cara saya memadukannya dalam untaian begitu lembut dan
dalam gaya bahasa indah sesuai dengan luhurnya kedudukan bidang ini (Al-Qur'an)
yang sangat indah susunannya yang menganugrahkan perhatian rabbani kepada
pemikiran kotor dan memberikan kepada pandangan tumpul akan hidayah suci yang
sarat dengan ilmu dan informasi yang menarik keinginan dan cita-cita setiap ahli dan
cendekia dan penuh dengan beragam hal menarik yang menggugah kerinduan para
pemikir dan orang-orang cerdas dari berbagai bangsa, juga padat dengan penjelasan
penjelasan detail yang mantap yang melenyapkan dugaan dan perkiraan dari apa yang
terlintas pada umat manusia, dalam pertarungan pemikiran yang didalamnya beragam
masalah simpang siur dan aneka dugaan berbaur. Saya bongkar segala rahasia
tersembunyi dibalik lumbung Kitab yang tersimpan. la akan menenangkan jiwa dan
menyejukkan mata. Selesai penyusunan dengan perkenan Allah, saya berniat untuk
menamainya dengan "Irsyad al-Aqlis-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim.
Dari ucapannya ini, nampaklah bakwa Abus-Saud menjadikan kitab Al
Kasysyaf dan karya Al-Baidhawi sebagai rujukan utamanya Namun ia tidak terkecoh
oleh pemikiran mu'tazilah yang terdapat dalam kitab Al-Kasysyaf. Sebagai bukti ia tidak
menyebutkannya selain mengingatkan kita. Dalam tulisannya ia berjalan dalam
madzhab ahlussunnah wal-jama'ah. Tetapi ia terjebak ke dalam penyebutan hadits-hadits
tentang fadhilah surat surat yang disepakati oleh ulama atas kemaudhuannya,
sebagaimana Az Zamakhsyari dan Al-Baidhawi terjebak ke dalamnya.

3. Perhatiannya yang Besar dalam Mengungkap Balaghah dan l'jaz al-Qur'an.


Usai membaca kitab ini, penulis menemukan bahwa ia banyak memberi
perhatian pada pengungkapan sisi balaghah dalam al-Qur'an dan kemukjizatannya pada
susunan bahasa, utamanya tentang Fasl (pisah) dan Wasl (nyambung), ijaz (kalimat
pendek banyak arti), itnab (kalimat panjang dengan arti yang pendek), taqdim dan
ta'khir (mendahulukan yang semestinya menurut ilmu nahu dibelakangkan dan
membelakangkan yang seharusnya menurut ilmu nahu didahulukan), dan hal lain yang
sejenis. Kitab ini juga memberi perhatian besar terhadap pengungkapan makna-makna
lembut dan detail yang dikandung susunan kalimat al-Qur'an, yang makna-makna
tersebut nyaris luput kecuali bagi orang yang memiliki ilmu bahasa arab yang mumpuni.
Abus-Saud nyaris tergolong ahli tafsir pertama dalam sisi ini.

4. Perhatiannya mengenai Munasabah dan Kepiawaiannya mengenai Sebagian


Qiraat
Disamping itu Abus-Saud juga memberi perhatian besar terhadap apa yang
disebut dengan "Munasabah (relevansi)" antara satu ayat dengan ayat lain dan
menyebutkan qira'at namun tidak terlalu panjang tetapi sesuai dengan kebutuhannya
untuk menjelaskan makna. Sisi lainnya, Abus-Saud tidak banyak menyebutkan riwayat
Israiliyat. Dalam menyebutkannya pun tidak menggunakan redaksi yang menunjukkan
kepastian atau kesahihannya melainkan dengan redaksi yang menunjukkan

5. Menyedikitkan Riwayat Israiliyat


Dari sisi lain tidak begitu banyak (menyedikitkan) menceritakan israilliyat.
Dalam menyebutkannya pun tidak menggunakan redaksi yang bertendensi kepastian
atau keshahihan, melainkan menggunakan redaksi yang bertendensi kedha’ifan
walaupun tidak ada komentar setelahnya
Contoh, saat menafsiri S.27 (An-Naml): 35, "Dan sesungguhnya aku akan
mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah...", ia berkata "Telah
diriwayatkan bahwa ratu Bilqis telah mengirim utusan sebanyak lima ratus orang
pemuda dengan berpakaian pegawai, berhiaskan gelang emas dan .........dan seterusnya
yang begitu aneh. Abus-Saud tidak memberikan komentar sedikit pun sesudah itu,
mungkin menurutnya cukup dengan kata-kata "telah diriwayatkan".

6. Meriwayatkan dari Seseorang yang Terkenal Pendusta


Selain itu ia mengambil sebahagian riwayat dan kisah dari jalur al-Kalbi dari
Abu Saleh yang dikenal pendusta. Sebagai bukti, ketika menafsiri S.Saba: 15 sampai
penghujung kisah ia berkata, "Kisah ini bersumber dari riwayat Al-Kalbi dari Abu
Saleh, bahwa Amr bin Amir seorang anak negeri Saba. Antara keduanya ada dua belas
orang bapak.Dialah yang disebut Maziki putra Ma-as-Sama (air langit). la diberitahu
oleh seorang dukun wanita tentang runtuhnya bendungan ma'rib dan tenggelamnya
kedua kebun oleh banjir bandang.....dst. Padahal Al-Kalbi dikenal sebagai pendusta
seperti dijelaskan oleh Suyuthi dalam penutup kitab tafsirnya Ad-Durrul-Mantsur, "Al-
Kalbi dinyatakan dusta oleh para ulama . Saat sakit ia berkata kepada teman-temannya,
"semua riwayat yang saya sampaikan dari Abu Saleh adalah dusta”. Namun Abus-Saud
rahimahullah menyudahi riwayat yang dikutipnya dengan ucapan "Wallahu A'lam". Ini
menunjukkan ia ragu akan sahih tidaknya.

7. Menyedikitkan Pembahasan Masalah Fiqih


Juga kita jumpai, pengarang tafsir Irsyad al-Aqlis-Salim ini menyebutkan
masalah fiqih tetapi sedikit sekali. la menyebutkan madzhab-madzhab fiqih tanpa
membahas khilafiah dan dalil-dalil mereka.
Contoh, "Saat menafsiri S.2 (Al-Baqarah) : 225 tentang ucapan sumpah yang
bertujuan bukan untuk sumpah, kita dapati Abus-Saud bertutur, "terjadi ikhtilaf tentang
yamin laghw (sumpah bukan yang dimaksud). Menurut hemat kami, itu adalah sumpah
atas sesuatu yang disangkanya sesuai dengan pikirannya lalu ternyata bukan. Ini tidaklah
berdusta. Sedang menurut Syafi'i, yamin laghwu (sumpah yang tidak dimaksud yakni
yang tidak diniatkan sumpah) ialah ucapan "Tidak demi Allah, tentu saja demi Allah".
Ucapan ini disampaikan untuk memperkuat apa yang diucapkannya tanpa bermaksud
bersumpah. lalu ia menyebutkan madzhab lain tanpa memberi tambahan keterangan
apapun.

8. Perhatiannya Terhadap segi-segi I'rab yang Dikandung Ayat


Terkadang ia membahas sisi nahwu manakala satu ayat mengandung sisi sisi
l'rab beserta selisih pendapat tentangnya, lalu ia mentarjih yang rajih (kuat) dengan
menyebut dalilnya.
Yang jelas, kitab tafsir ini sangat rinci dan dalam, terhindar dari hal hal yang
tidak bertalian dengan tafsir, tidak berlebihan dalam membahas sebahagian sisi
keilmuan yang memang harus dibahas. Kitab ini merupakan rujukan penting bagi ulama
tafsir sesudahnya, telah dicetak berkali-kali dalam lima jilid sedang.

C. RUHUL MA’ANI FII TAFSIRI AL-QUR’AN AL-‘ADHIM WA AS-SAB’I AL-


MATSANI
1. Biografi Pengarang
Penulis kitab ini adalah Abust-Tsana Syihabudin Sayid Mahmud Effendi al-
Alusi. Lahir th. 1217 H di dekat kampung Kurkh di Baghdad. Al-Alusi adalah seorang
syeikh para ulama di Irak dan seorang ulama yang langka. Punya banyak ilmu sehingga
menjadi "allamah" (sangat alim) tentang manqul (riwayat) dan ma'kul (ilmu berdasarkan
hasil nalar dan berfikir), sangat paham masalah furu dan usul (fiqih dan usul fiqih),
seorang ahli hadits yang tiada duanya, ahli tafsir yang jarang tandingannya. la menimba
ilmu dari para dedengkot ulama, diantaranya ayahnya, Syeikh Khalid An-Naqsyabandi
dan Syeikh Ali as-Suwaidi rahimahumallah. Al-Alusi Sangat gandrung terhadap
penambahan ilmu, usia 13 tahun ia sudah sibuk mengajar dan mengarang. Ia mengajar
di berbagai sekolah. Sesudah menyandang tugas pemberi fatwa madzhab Hanafi, ia
mengajar banyak ilmu di rumahnya yang terletak disamping mesjid Syeikh Abdullah al-
Aquli di kota Rasafah. la didatangi oleh banyak pelajar dari jauh dan dekat untuk
mengeruk ilmunya. la memberi bantuan pakaian dan makan murid-muridnya selain
memberinya tempat dari rumahnya sehingga di Irak ia menjadi tokoh satu satunya dalam
bidang keilmuan yang berakhir padanya kepemimpinan karena jasa-jasanya.
la adalah "pabrik" satu-satunya dalam karya tulis, pembuatan esai dan prosa
dan dalam hal saratnya ungkapan... la banyak sekali menulis risalah dan ceramah, fatwa
dan aneka masalah. Namun sayang, dalam masa tidak lama, kebanyakan dari karya-
karyanya itu lenyap dan tidak sampai ke tangan para ulama sesudahnya kecuali sedikit.
Hafalannya menakjubkan, pandangannya luar biasa. la sering berkata, "saya tidak
pernah menyia-nyiakan apa yang saya titipkan dalam benakku dan tidaklah saya
gunakan fikiran saya untuk masalah-masalah sulit melainkan dapat menyelesaikannya".

la dipercaya memberi fatwa madzhab Hanafi pada th.1248 H. Beberapa bulan


sebelumnya ia dipercaya menangani waqaf-waqaf madrasah Marjaniah. Karena
syaratnya harus dipegang oleh orang paling alim, dan setelah diteliti oleh menteri Ali
Ridha Basya, Al-Alusi paling unggul di negerinya.
Pada bulan Syawal tahun 1263 H ia mengundurkan diri dari jabatan mufti
untuk fokus menulis tafsir sampai tuntas. Tahun 1267 ia pergi ke Konstantinopel untuk
melaporkan hasil buah karyanya itu kepada Sultan Abdul-Majid Khan yang kemudian
senang dan tertarik. Kemudian Al-Alusi pulang pada tahun 1269 H.
Abu Tsana al-Alusi rahimahullah seorang ulama yang begitu tahu tentang
ikhtilaf berbagai madzhab, menguasai tentang milal dan nihal (beragam agama dan
aliran), penganut aqidah salaf, bermadzhab Syafi'i walaupun dalam banyak masalah ia
bertaklid kepada Imam a'zham Abu Hanifah an-Nu'man. Namun terakhir ia cenderung
untuk berijtihad. la telah mewariskan kepada kita pusaka ilmu yang begitu agung
melalui goresan penanya antara lain tafsirnya yang tengah kita perbincangkan, dan
Hasyiah ‘Ala Al-Quthur yang sebahagiannya ditulis saat muda. Sepeninggalnya, kitab
tersebut dilanjutkan oleh putranya sayid Nu'man al-Alusi. Kitab lainnya adalah Syarah
As-Sullam dalam ilmu mantiq yang lenyap. Juga kitab "Al Ajwibah al-Iraqiyah an al-
Asilah al-Lahiriyah", al-Ajwibah al-Iraqiyah ala al As’ilah al-Iraniyah, Durratul-Ghawas
fi Awham al-Khawas, An-Nafahat al Qudsiyah fi al-Mabahits al-Imamiyah dan lainnya.
Al-Alusi rahimahullah menghembuskan nafas terakhir pada hari Jum'at 25 Dzul-Qa'dah
tahun 1270 H, dikuburkan bersama keluarganya di pekuburanSveikh Ma'ruf al-Kurkhi
di Kurkh. Semoga Allah meridhoinya?.
2. Tentang Kitab ini dan Metode Penulisan
Dalam mukadimah tafsir ini, Al-Alusi mengatakan bahwa semenjak kecil ia
punya keinginan untuk mengungkap rahasia Al-Qur'an dan menghirup baunya yang
harum. la suka jarang tidur untuk menghimpun makna-maknanya yang berserakan dan
meninggalkan kaumnya demi meraih mutiaranya, meninggalkan aneka permainan dan
hal-hal nganggur pengisi waktu luang pemuas hawa nafsu seperti yang diperbuat teman-
temannya. Dengannya Allah Ta'ala membimbingnya untuk mengenal banyak dari
hakekat kitabullah dan rahasia kandungannya. Ia menyebutkan bahwa sebelum usianya
mencapai 20 tahun, ia mulai terdorong memperhatikan hal-hal musykil (samar dan sulit)
yang nampak pada susunan kalimat al-Qur'an yang mulia dan menyatakan dalam kitab
apa yang tidak mampu dicapai dari kedetilan tafsir. la juga memberi komentar terhadap
hal yang samar yang tidak dapat dikomentari oleh setiap pemilik pikiran besar.
Diakuinya bahwa ia mengambil banyak manfaat dari ulama pada masanya, memetik
bunga mereka dan mengambil cahayanya. Ilmu mereka disimpannya di dadanya dan
menuliskannya dengan menghabiskan banyak tinta.
Selanjutnya ia menuturkan bahwa sering terlintas keinginan untuk
mengabadikan ilmu yang ada padanya namun ia ragu, sampai ia mimpi pada malam
Jum'at bulan Rajab th.1252 H bahwa Allah menyuruhnya untuk melipat langit dan bumi
dan memecahkannya sehingga ia mengangkat tangan ke langit dan menurunkan tangan
yang satunya ke tempat air. Lalu bangun terkejut mengenai mimpinya itu. Ia kemudian
mencari di beberapa kitab ta'bir mimpi untuk mimpinya yang aneh itu hingga ia
menemukannya bahwa mimpinya itu isyarat untuk mengarang sebuah tafsir. Maka pada
malam ke 16 bulan Sya'ban tahun tersebut ia mulai mengarang tafsir yang kala itu
berumur 34 th tepatnya pada masa Sultan Mahmud Khan bin Sultan Abdul Hamid Khan
Di akhir kitab, ia menyebutkan bahwa ia menyelesaikan tafsirnya itu tahun
1267 H, lalu ia berfikir tentang judul. Tak terlintas di fikirannya satu judul pun. Maka ia
menghadap sang wazir Ali Ridha Basya, kemudian tafsirnya diberi judul "Ruhul-Ma'ani
fi tafsir al-Qur'an al-Azhim was-Sab'i al Matsani".
Begitulah kisah penulisan tafsir ini menurut pengarangnya. Para ulama
menyebutkan bahwa cara penulisannya sungguh luar biasa dan mengagumkan. Siangnya
Al-Alusi menyampaikan fatwa dan mengajar, permulaan malamnya berkumpul dengan
orang yang mengambil manfaat dan pelajaran darinya. Di penghujung malam, menulis
sejumlah lembar kertas. Paginya, ia menyerahkan kertas-kertas itu kepada orang-orang
yang ditugasi untuk menjadi penulis di rumahnya. Ternyata mereka tidak dapat
menyelesaikan tulisannya dalam lembaran-lembaran itu kecuali sekitar sepuluh jam.
3. Kedudukan Tafsir ini Diantara Tafsir-Tafsir Sebelumnya
Tafsir al-Alusi ini dengan sesungguhnya - benar-benar telah menyedot tenaga
dan perhatian habis-habisan sehingga muncul di tengah-tengah umat manusia sebagai
kitab yang menghimpun pandangan para salaf, baik sisi riwayat maupun dirayah yang
mencakup ucapan para ulama khalaf dengan penuh amanat dan perhatian. Kitab ini
adalah kumpulan terhadap ringkasan tafsir-tafsir sebelumnya seperti tafsir Ibnu Athiyah,
tafsir Abu Hayyan, tafsir Al-Kasysyaf, tafsir Abus-Saud, Al-Baidhawi, Ar-Razi dan
tafsir-tafsir lain yang kredibel. Bila mengutip ucapan dari tafsir Abus-Saud, Al-Alusi
mengatakan, "Syeikhul-Islam berkata", manakala menukil keterangan dari tafsir al-
Baidhawi ia bilang, "Al-Qadhi bertutur", dan manakala menyitir kata-kata dari tafsir ar-
Razi, ia menulis, "Imam telah berujar". Terhadap tafsir-tafsir ini Al-Alusi memposisikan
diri sebagai hakim yang adil dalam menilai dan mengeritik, lalu ia menyampaikan
pikiran yang merdeka terhadap apa yang dikutipnya. la sering mengeritik Abus-Saud, al-
Baidhawi, Abu Hayyan dan lainnya sebagaimana ia mengomentari Fakhruddin ar-Razi
dalam banyak masalah, utamanya dalam sebahagian masalah fiqih untuk membela
madzhab Hanafi. Lalu apabila pendapat yang dikutipnya dinilai benar, maka ia
membelanya dan mentarjihnya.
4. Sikap Al-Alusi terhadap Ulama Yang Bertentangan dengan Ahlus-Sunnah
Imam Abu-Tsana al-Alusi bermadzhab salaf yang berakidahkan ahlussunnah
wal-jama'ah. Oleh karenanya, ia banyak menentang paham Mu'tazilah, syi'ah dan aliran
lain yang menyelisihi ahlussunnah.
Sebagai bukti, sewaktu membahas S.2 (Al-Baqarah) :15, "Allah akan
membalas olok-olok mereka dan membiarkan mereka terombang ambing dalam
kesesatan mereka". Ujarnya, "disandarkannya kata "tughyan (kesesatan)" kepada
mereka karena kesesatan tersebut adalah perbuatan mereka sendiri yang dipengaruhi
dengan izin Allah. Maka pengkhususan penyandaran kepadanya adalah karena
perbuatan mereka bukan karena murni diadakan (oleh Allah). Pengkhususan idhofah
disini demikian yang dimaksud. Bukan mengenai kaitan tempat maupun sifat. Karena
hal tersebut sudah diktahui dan tidak perlu diprjelas. Tidak juga mengenai perbuatan
yang murni tanpa campur tangan izin Allah. Maka janganlah anda terpengaruh oleh
ocehan Az- Zamakhsyari.
Cermatilah pula apa yang ditulisnya sebelumnya yaitu saat menafsiri S.2 (Al-
Baqarah) : 7, "Allah telah menstempel (mengunci mati) hati mereka, pendengaran dan
penglihatan mereka....". Al-Alusi bicara sangat panjang disini mulai dari mengaitkan
kata "Khatama" (mengunci mati) kepada Allah Azza wa jalla sesuai madzhab
Ahlussunnah wal-jama'ah, menyebutkan pandangan Mu'tazilah berikut bantahannya
sampai pernyataannya bahwa ta'wil mereka yang sesuai dengan akidah mu'tazilah
adalah lemah".
Ketika mengulas S.62 (Al-Jumu'ah) : 11, "Dan ketika mereka melihat
perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya...", kita dapati Al-
Alusi berkata, "Melalui ayat ini kelompok syi'ah telah mencela dan melontarkan
tuduhan terhadap para sahabat ra, bahwa mereka lebih mementingkan dunia atas akherat
karena mereka bubar dari shalat jum'at Saat melihat perniagaan, padahal shalat adalah
ibadah paling afdal lebih lebih bersama Rasul. Telah diriwayatkan bahwa kejadian itu
berulang-ulang, Bersama mereka ada sahabat terkemuka, yakni Abu Bakar, Umar dan
sahabat lain yang masuk dalam sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.
Mereka tidak ikut membatalkan salat. Kasus ini terjadi di awal-awal hijrah. Saat itu
mayoritas kaum tidak memiliki adab syaria'at secara sempurna Kala itu penduduk
Medinah tengah dilanda kelaparan, sementara harga barang barang pun mahal. Mereka
yang bubar membatalkan salat itu ingin mendapatkan barang perniagaan dengan harga
lebih murah. Oleh karena itu Allah tidak mengancam mereka dengan neraka melainkan
cukup dengan menegur, mencela dan mengingatkan.
Riwayat yang menyebutkan bahwa kejadian itu berkali-kali, maka jika yang
dimaksud adalah riwayat Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman dari Muqatil bin Hayyan ,
ucapnya, "Telah sampai kepada saya keterangan Wallahu A'lam - bahwa mereka
melakukan hal itu sebanyak 3 kali", maka riwayat itu harus kita abaikan karena tidak
dianggap oleh para ahli hadits. Kalau yang dimaksud adalah riwayat lain, maka
hendaklah penyampai riwayat ini menjelaskannya dan menyebutkan kesahihannya.
Ternyata tidak ada. Kesimpulan, mencela dan menuduh semua sahabat melalui kisah ini
dimana sebahagian mereka baru mengenal Islam, yang setelahnya mereka melakukan
ibadah yang banyaknya tidak terhitung, maka mencela dan menuduh mereka merupakan
kebodohan nyata.
5. Al-Alusi dan Masalah yang Berkaitan dengan Alam
Hal lain yang kita temui dalam tafsir Al-Alusi, ia membahas tentang alam. Ia
mengutip ucapan para pemikir dan ahli bidang ini. Yang cocok ia akui, yang tidak cocok
ia bantah. Jika anda ingin tahu contohnya secara lengkap, silahkan telaah tafsirnya
tentang S.36 (Yasin) : 38-40 bahwa matahari beredar pada porosnya...". juga silahkan
membaca tafsirnya tentang S.Ath Thalaq:12. Anda pasti akan menemukan hal itu secara
luas.
6. Banyak Mengulas Masalah Nahwu
Al-Alusi banyak bicara tentang nahwu bahkan terkadang sampai ke batas
dimana ia nyaris keluar dari kedudukannya sebagai penulis tafsir. Kami tidak perlu
memberikan contoh berkenaan dengan ini. Yang jelas hampir setiap tempat tak luput
dari pembahasan sisi ini.
7. Sikap Al-Alusi terhadap Masalah Fiqih
Apabila bicara tentang ayat-ayat ahkam, ia selalu bicara tentang madzhab
madzhab fiqih berikut dalil masing masing tanpa harus fanatik terhadap madzhab
tertentu.
Sebagai bukti, ketika ia menafsiri S.2 (Al-Baqarah) : 236, "dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka....." la menulis sebagai berikut,
"Imam Malik berkata, "al-Muhsinun" (yang berbuat kebajikan) pada ayat itu ialah yang
suka rela. Kata-kata ini merupakan dalil atas disunahkannya pemberian mut'ah dan ia
mengalihkan wajibnya mut'ah menjadi sunah. Menurut pendapat kami, mut'ah tersebut
adalah wajib pada ayat ini, dan sunah bagi wanita yang dithalak selain pada ayat ini"
sedang bagi Syafi'i, dalam salah satu pandangannya adalah wajib bagi setiap isteri yang
di-thalak jika pisahnya dari pihak suami, kecuali jika telah menentukan maharnya dan
dithalak sebelum disetubuhi. Karena mafhum (konteks) ayat tidak men-dukung hal itu
dan tidak berlakunya keumuman lafazh pada ayat 141 S.2 (AI-Baqarah), "Dan kepada
wanita-wanita yang dithalak, hendaklah diberikan mut'ah oleh suaminya...". Karena
lafazh mutlak harus dibawa ke lafazh muqayyad (yang terikat dan terbatas), maka ia
menggunakan qiyas (analogi) yakni mendahulukannya atas mafhum (konteks ayat).
Sebab dalam keadaan seperti itu qiyas merupakan dalil qath'i (pasti) . Pendapat Malik
dijawab bahwa memaknai kata "al-Muhsinin" dengan makna suka rela saja tidaklah
tepat, karena kata "Al-Muhsinun" punya makna lebih umum dari itu. Maka ia tidak
menafikan wajibnya mut'ah. Dan tidak mengalihkan perintah wajib menjadi sunah.
Jika anda ingin lebih yakin bahwa Al-Alusi tidak asabiah (fanatik) dengan sätu
madzhab tertentu, silahkan mencermati keteranganya saat menafsiri S2 (Al-Baqarah) :
228 dimana setelah ia menyebutkan madzhab Syafi'i dan madzhab Hanafi berikut dalil
masing-asing, ia kemudian berkata, "Kesimpulan, pendapat Syafi'i dalam masalah ini
adalah kuat sebagaimana hal itu nampak bagi setiap orang yang menelusuri ucapannya
dan mendalami perkataannya. Renungkanlah bantahannya terhadap dalil orang-orang
yang menyelisihi pendapatnya.
8. Sikapnya Terhadap Riwayat Israiliyat
Al-Alusi sangat keras mengeritik riwayat Israiliyat dan berita-berita dusta yang
banyak bertaburan pada tafsir lain yang dikira sahih. Terkadang Al-Alusi rahimahullah
mencela riwayat dusta tersebut.
Contoh, saat menafsiri S. 5 (Al-Maidah) "Dan sesungguhnya Allah telah
mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat dari mereka 12 orang
pemimpin....", ia menyajikan kisah aneh tentang Auj bin Inaq yang ia riwayatkan dari
Al-Baghawi. Namun usai menceritakan, ia berkata, "kisah Auj bin Inaq telah popular di
kalangan orang awam. Darinya orang-orang telah menyampaikan sejumlah riwayat
sangat buruk yang tak sedap didengar". Dalam Fatawa Allamah Ibnu Hajar (Al-
Haitami), Al-Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir menyatakan bahwa semua kisah tentang Auj
hanyalah igauan saja tak ada asal usulnya. Kisah-kisah itu karangan ahlil-kitab dan tidak
pernah terjadi sama sekali pada masa Nabi Nuh as. Saat itu tidak ada seorang kafirpun
yang selamat dari banjir.
Ibnul-Qayim berujar, "Diantara perkara yang dengannya suatu hadits dapat
diketahui sebagai hadits maudhu (palsu) ialah dinyatakan oleh realita dan bukti nyata
atas ketidak benarannya, seperti kisah Auj bin Inaq. Kelancangan sipemalsunya tidaklah
aneh, yang aneh adalah orang yang memasukkan riwayat maudhu ini dalam
karangannya tanpa menjelaskan kedudukannya". Ibnul-Qayim melanjutkan,
"......tidaklah diragukan bahwa riwayat seperti ini dan sejenisnya adalah bikinan para
zindiq "ahli-kitab yang sengaja mengejek dan menghina para Rasul Allah yang mulia
dan para pengikutnya.". Lantas al-Alusi memberi bantahan dan menyatakan tidak
benarnya kisah ini dengan apa yang disampaikan oleh ulama lain yang telah jelas-jelas
menolak kisah penuh khurafat ini.
Ketika menafsiri S. 11 (Hud) : 38 tentang Nuh as membuat perahu misalnya,
Al-Alusi menyebutkan sejumlah riwayat tentang jenis papan dari perahu Nabi Nuh,
besar dan panjangnya serta tempat pembuatannya. Lalu ia memberi komentar sebagai
berikut, "Perahu yang rinciannya disebutkan dalam berita tersebut pasti tidak dapat
dinaiki karena banyak cacat. Maka yang patut ialah tidak cenderung untuk berlebihan,
dan wajib mengimani bahwa Nabi Nuh as telah membuat perahu sesuai yang dikisahkan
oleh Allah Ta'ala dalam kitab suci-Nya, tanpa menyebutkan ukuran dan bentuknya, jenis
kayunya dan berapa lama dibuat, yang semuanya itu tidak disebutkan oleh Al-Qur'an
dan tidak diceritakan oleh hadits yang sahih"297).
9. Perhatiannya Terhadap Qiraat, Munasabah dan Asbab Nuzul
Al-Alusi menyebutkan qiraat, tetapi tidak terbatas pada qiraat mutawatir saja.
la juga menyebutkan sejumlah "Munasabah" dalam Al-Qur'an dan asbab nuzul,
dilengkapi dengan bukti penguat dari bait-bait arab untuk makna bahasa yang
dipilihnya.
10. Al-Alusi dan Tafsir Isyari
Tafsir isyari juga menjadi percakapan al-Alusi dalam tafsirnya setelah
pembahasan tentang lahiriah ayat. Oleh karenanya, ada ulama yang menggolongkan
tafsir Al-Alusi ke kelompok tafsir isyari sebagaimana halnya tafsir An-Naisaburi. Tetapi
kami, penulis, memasukkannya ke kategori tafsir bir-ra'yi yang terpuji (yang
diperbolehkan) atas dasar tafsir isyari bukan menjadi tujuan utama penulisannya –
seperti yang nampak. Ini seperti saya
Kesimpulan: kitab Ruhul-Ma'ani karya Imam Al-Alusi tak lain adalah
ensiklopedi tafsir yang berkwalitas. Berisikan mayoritas ucapan ulama yang
mendahuluinya, disertai kritik bebas dan tarjih yang bersandar pada kuatnya pikiran dan
bersihnya sifat. Sekalipun membahas berbagai sisi ilmu dengan pembahasan luas yang
nyaris mengeluarkannya dari statusnya sebagai penulis tafsir, namun ada keseimbangan
dalam pembahasannya .Sikapnya itu merupakan bukti luasnya ilmu Al-Alusi. Semoga
Allah memberi balasan kepadanya melalui ilmunya dengan balasan terbaik.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Memperkenankan doa. Demikianlah,
saudaraku nama-nama kitab tafsir bir-ra'yi al-jaiz (yang diperbolehkan). Masih ada kitab
lain yang juga punya bobot dan memiliki popularitas yang tidak kalah. Tetapi penulis
tidak menyebutkannya disini supaya buku ini tidak terlalu tebal, disamping kitab-kitab
itupun sulit didapat Menurut hemat penulis apa yang disebutkan disini cukup mewakili
kitab yang lain untuk anda.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mengenai pemaparan diatas kita mampu memetik satu hal penting, bahwa tafsir bi
ra’yi yang diperbolehkan adalah tafsir ahlussunah wal jama’ah menurut Husein Ad-Dzahabi.
Namun tidak menutup kemungkinan masih ada kitab tafsir bi ra’yi yang belum disebutkan
dalam kitab ini. Sebab pernyataannya pada akhir pembahasan ini.

B. DAFTAR PUSTAKA
MURNI COPAS TERJEMAH TAFSIR WAL MUFASSIRUN

Anda mungkin juga menyukai