Anda di halaman 1dari 18

Metode Tafsir Maudhû’î Muhammad Ghazali dan Abul Hayy al-Farmawi

Oleh: Ali Thaufan DS - Helrahmi Yusman, S.Th.I

Mata Kuliah Tafsir Maudhû’î

Progam Pasca Sarjana Konsentrasi Ilmu Tafsir

Fak. Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendahuluan

Sejalan dengan perkembangan zaman, umat Islam dihadapkan dengan berbagai


persoalan yang semakin kompleks. Pada saat bersamaan, mendapatkan jawaban
secara “instan” dari persoalan semakin digemari, mendapat jawaban yang mudah. 1
Al-Qur’an sebagai kitab suci sepanjang masa diyakin memuat pemecahan
masalah dan persoalan tersebut. Hal ini kemudian membuat para ahli tafsir untuk
menyajikan jawaban persoalan yang terus bermunculan. Menampilkan penafsiran
yang praktis dirasa sangat perlu. Penafsiran “yang praktis” yang penulis maksud
disini adalah penafsiran yang secara khusus membahas tema atau pokok
permasalahan tertentu. Dalam kaidah ilmu tafsir, disebut dengan penafsiran
metode maudhû’î (tematis).

Menurut Quraish Shihab, metode tafsir maudhû’î digagas oleh Ahmad Sayyid al-
Kumiy pada saat ia menjadi ketua jurusan tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas
al-Azhar. Metode yang demikian kemudian menjadi minat para pengkaji al-
Qur’an. Hal ini dibuktikan beberapa sarjana tafsir yang membuat penelitian
terfokus pada satu masalah, seperti: al-Insan fi al-Qur’an dan al-Mar’ah fi al-
Qur’an karya Abbas Mahmud al-Aqqad dan Riba fi al-Qur’an karya al-Maududi.2

Pada perkembangan selanjutnya, muncul beberapa sarjana tafsir yang memberikan


konsep metode tafsir maudhû’î. Mereka antara lain, Abdul Hayy al-Farmawi,
Mustafa Muslim, M. Quraish Shihab dan lainnya. Selain rumusan konsep metode
tafsir maudhû’î, beberapa penafsiran yang “dianggap” sebagai tafsir maudhû’i pun
juga muncul, seperti Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim 3 karya
Muhammad Ghazali. Tidak hanya di kawasan timur tengah di Indonesia, terdapat
tafsir tematik yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI.

1
Lilik Ummi Kaltsum, Mendialogkan Realitas dengan Teks: Metode Tafsir Tematis M. Baqir
al-Shadr, (Surabaya: Penerbit PNM, 2010), h. 9
2
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), h. 175
3
Kitab tafsir ini juga diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dengan judul A Thematic
Commentary On The Qur’an, oleh penerbit Islamic Book Trust Selangor Malaysia pada tahun
2001

1
Makalah ini berusaha memaparkan metode tafsir maudhû’î yang dikonsepkan
oleh: pertama, Muhammad al-Ghazali, serta melihat aplikasi metode tafsir
maudhû’î yang terdapat dalam karyanya, Nahwa Tafsir Maudhû’î. Dalam melihat
penafsiran atau aplikasi metode tafsir maudhû’î dalam Nahwa Tafsir Maudhû’î,
penulis membatasi hanya beberapa surah pendek. Kedua, metode tafsir maudhû’î
yang dirumuskan oleh Abul Hayy al-Farmawi.

Metode Tafsir Maudhû’î Muhammad al-Ghazali dan Aplikasinya dalam


Kitab “Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim”

Diantara tokoh-tokoh yang lahir di Mesir seperti Hasan al-Banna ataupun Yusuf
Qardhawi, nama Muhammad Ghazali tidak kalah populernya.4 Ia seorang ulama
yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan. Banyak karya dan buku-buku yang
telah dihasilkan, termasuk karyanya yang berkaitan dengan al-Qur’an dan ilmu
tafsir, antara lain: Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an, Nahwa Tafsir Maudhû’î li
Suwar al-Qur’an al-Karim, Al-Mahawir al-Khamsah lî al-Qur’an al-Karîm dan
Nadharat fi al-Qur’an.

Dibawah ini, penulis akan memaparkan pandangan al-Ghazali dan perhatiannya


terhadap al-Qur’an, metode penafsiran serta memberikan contoh penafsirannya
sebagaimana terdapat dalam buku tafsirnya, Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-
Qur’an al-Karim.

Perhatian al-Ghazali Terhadap al-Qur’an

Perhatian al-Ghazali terbilang cukup besar dalam mengkaji al-Qur’an. Ia


menyarankan agar seorang muslim tidak saja membaca al-Qur’an, tetapi juga
mengamalkan. Sehingga umat Islam dapat memahami secara utuh pesan
kandungan al-Qur’an. Ia tidak segan mengkritik orang yang hanya sekedar
membaca, tetapi tanpa menggali kandungan didalamnya.5

Dibidang ilmu tafsir, al-Ghazali menyoroti sumber penafsiran yang dijadikan


rujukan oleh para mufasir. Al-Ghazali melihat adanya hadis-hadis dhaif dalam
beberapa kitab tafsir seperti Ibn Jarir al-Thabari dan Ibn Katsir. Ia juga mengkritik
adanya kitab tafsir yang memasukkan kisah isrâiliyat seperti kisah Zainab binti
Jahsy dan Gharâniq. Ia menyarankan agar kisah-kisah yang demikian dihilangkan
dari kitab-kitab tafsir.6

4
Muhammad al-Ghazali lahir pada 22 Septerber 1917 di Mesir. Dibesarkan dilingkungan
sederhana yang sibuk dengan aktivitas perdangan mengingat ayahnya sebagai seorang pedangan.
Diantara gurunya yang berpengaruh adalah Syaikh Abdul Aziz Bilal, Syaikh Ibrahim Al-
Gharbawi, Syaikh Abdul Azhim Al-Zarqani. Al-Ghazali wafat pada 9 Maret 1996. Al-Mustasyar
Abdullah al-Aqil “Mereka Yang Telah Pergi” dalam Buletin Risalah Tsulasa, edisi 2, tahun 2005
5
Muhammad al-Ghozali, Kaifa Nata’amal ma’a Al-Qur’an, (Kairo: Nahdetmisr, 2005), h. 29
6
Muhammad al-Ghozali, Kaifa Nata’amal ma’a Al-Qur’an, h. 41

2
Didalam kitab Al-Mahawir al-Khamsah lî al-Qur’an al-Karîm, al-Ghazali
membahas lima tema pokok di dalam al-Qur’an. Kelima tema tersebut adalah:
keesaan Allah, wujud alam semesta, kisah-kisah dalam al-Qur’an, hari
kebangkitan dan balasan dan pendidikan dan hukum.7

Karya al-Ghazali dibidang tafsir yang paling besar adalah Nahwa Tafsir Maudhû’î
li Suwar al-Qur’an al-Karim. Ia menafsirkan seluruh al-Qur’an sesuai dengan
tartib mushaf dari surah al-Fatihah sampai al-Nas. Menurut Abad Badruzaman,
tafsir tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1995. Kitab tersebut menurut
Badruzaman memiliki dua keutamaan, pertama, bahasanya yang tidak bertele-tele,
praktis untuk dibaca terlebih bagi muslim “awam”. Kedua, menggunakan metode
maudhû’î.8

Dalam muqadimah Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim, al-


Ghazali menyampaikan bahwa tafsirnya tersebut adalah sumbangan kecil untuk
tujuan yang mulia. Ia juga mengakui bahwa banyak terpengaruh oleh Muhammad
Abdu Allah Darraz dalam metode penafsirannya. Al-Ghazali menjelaskan al-
Qur’an memiliki makna dan arti yang sangat luas. Didalamnya terdapat berbagai
tema yang jumlahnya tidak terbatas. Al-Qur’an juga menghasilkan sekian banyak
pandangan dan tema-tema pokok yang saling berhubungan.

Metode Penafsiran al-Ghazali

Metode penafsiran yang digunakan al-Ghazali dalam kitab tafsirnya adalah


memilih ayat-ayat tertentu yang dapat mewakili atau menjadi representasi dari
sebuah surah. Meski demikian, menurutnya setiap surah harus dapat dipahami
sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam menafsirkan ayat, al-
Ghazali berusaha menjelaskan secara teliti dan dengan penuh kehati-hatian untuk
membahas tema utama suatu surah.9

Metode tematik yang diaplikasikan oleh al-Ghazali memang berbeda dengan


metode yang dirumuskan oleh ahli tafsir pada umumnya, seperti al-Farmawi.
Menurut penulis, metode penafsiran al-Ghazali ini pernah digunakan oleh
Mahmud Syaltut dalam kitab tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. 10 Al-Ghazali
menafsirkan seluruh surah dalam al-Qur’an dengan menitikberatkan pada tema-
7
Selengkapnya dapat dibaca dalam, Muhammad al-Ghazali, Al-Mahawir al-Khamsah lî al-
Qur’an al-Karîm, (Kairo: Dar al-Syuruq, tt)
8
Abad Badruzaman “Beberapa Pemikiran Tafsir Muhammad al-Ghazali”, diunduh dari situs
http://abualitya.wordpress.com pada 22/10/2014.
9
Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, (Selangor: Islamic Book
Trust, 2001), h. viii
10
Penulis mendasarkan pendapat pada paparan yang dikemukakan oleh Quraish Shihab
mengenai metode tafsir maudhû’î yang dilakukan Mahmud Syaltut. Menurutnya, Mahmud Syaltut
menafsirkan al-Qur’an bukan ayat demi ayat, tetapi menafsirkan surah demi surah dan mengambil
petunjuk utama yang terkandung didalamnya. Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,
h. 173

3
tema yang dianggapnya penting yang terdapat dalam setiap surah. Dalam satu
surah tertentu, ia tidak menafsiri keseluruhan ayat, tetapi hanya beberapa ayat saja
yang menurutnya menjadi poin penting dari surah tersebut.11

Contoh Penafsiran Al-Ghazali

1. Surah al-Jumuah

Al-Ghazali menerangkan bahwa saat mendengar seruan azan untuk salat Jumat,
setiap muslim segera ke masjid, bergabung dengan sesamanya menunaikan ibadah
kepada Allah. Jumat adalah hari istimewa dalam satu pekan. Umat Islam dihimbau
untuk melakukan mandi besar dan memakai wangi-wangian. Menurut Nabi
Muhammad, setiap muslim yang berdoa pada hari Jumat pasti akan dikabulkan
oleh Allah.

Al-Ghazali selanjutnya menekankan kritik bagi orang yang tergesa-gesa segera


meninggalkan masjid –saat salat Jumat- untuk melakukan aktivitas dagang
(perniagaan). Allah memberi peringatan pada ayat 11,
‫ك مقاَٮٮمممماَ ققمملل مممماَ ٮعلنمممد ا ا‬
‫اٮمم مخليممرۡر مممممن اللللهممٮو موٮممممن‬ َ‫مواٮمذا مراملوا تٮمجاَمرةم املو لملهمواا ااننفم ض‬
‫ض لووا اٮلمليمهاَ موتممرقكمملو م‬
‫اق مخليقر الاارٮزقٮليمن‬ ‫التممجاَمرٮة مو ا ا‬
“ Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk
menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).
Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.”

Surat ini juga menyatakan bahwa Muhammad adalah sebagai penutup utusan
Allah yang membawa risalah dan menyeru seluruh umat menyembah Allah. Ia
adalah orang terhormat yang dipilih diantara orang-orang buta huruf Arab lainnya.
Tetapi kehormatan itu telah dipalingkan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen
yang telah mendistorsi agama mereka. Mereka –Yahudi dan Kristen- adalah
orang-orang yang sombong, keras kepala dan berada dalam kebodohan. Mereka
membuktikan bahwa tidak mampu baik negaranya sendiri, apalagi mereformasi

11
Menurut penulis, metode penafsiran tematik al-Ghazali terhadap suatu surah sama seperti
rumusan metode penafsiran tematik surah yang diulas oleh al-Farmawi dan juga Musthafa
Muslim. Atau sebaliknya, baik al-Farmawi dan Musthofa merumuskan metode tafsir tematik surah
setelah mencermati metodelogi al-Ghazali dalam tafsirnya. Setidaknya menurut Musthofa, ada
empat tahapan dalam menafsirkan surah dan mengambil tema pokok dalam surah tersebut.
Pertama, terlebih dahulu menjelaskan “seluk beluk” surah, baik kategori surah (Makiyah atau
Madaniyah), sebab turunya surah atau ayat dan sebagainya. Kedua, berusaha mengetahui tema
pokok yang paling utama atau menonjol dalam surah tersebut. Ketiga menafsirkan ayat dengan
membagi ayat dalam surah menjadi beberapa bagian (memilih) dan menjelaskan pembicaraan ayat
tersebut. Keempat, menghubungkan bagian-bagian ayat tersebut dan mengambil istinbat, tujuan
pokok yang mendasar dari suatu surah. Musthafa Muslim, Mabâhis fî Tafsîr Maudhû’i,
(Damaskus: Dar al-Qalam, 2000), h. 40

4
orang lain atau memberikan contoh yang baik, sebagaimana firman Allah pada
ayat 2

‫ب مواللٮحلكممممةم مواٮلن‬
‫ث ٮفىِ اللقمم هيامن مرقسلومل مملنهق لم يملتلقلوا معلمليٮه لم ااايتٮهه مويقمزمكليٮه لم مويقمعلمقمهققم اللٮكاتمم م‬ ‫هقمو اللٮذلى بممع م‬
‫ضالنل ضَمبٮليننن‬
‫مكاَنقلوا ٮملن قملبقل لمفٮلىِ م‬
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,”

Al-Ghazali juga menyinggung sikap bangsa Israel yang menjadi etnosentris,


parsial dan materialistis. Kualitas mereka telah terbukti hari ini. Bangsa Israel
tidak mampu menyampaikan pesan Tuhan dan memimpin manusia ke jalanNya.

‫س فمتمممنلقوا اللمملوتماَ ٮلن قكلنتق لم ا‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫و‬


(6) ‫صممٮدقٮليمن‬ ‫ققلل اياَ مضَيمهاَ الل وٮذليمن مهاَقدلوا اٮلن مزمعلمتق لم امنلقك لم ااملولٮمياَقء ٮ الٮ ٮم الن قدلوٮن اللناَ ٮ‬
(7)‫علٮليمرۡم ٮباَلظالٮٮمليمن‬
‫اق م‬ ‫مومل يمتمممنللونمهه امبمممدا بٮمماَ قملدمملت امليٮدليٮه لم‌ مو ا‬
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu
mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-
manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang
yang benar’ (6). Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya
disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri.
Dan Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim. (7)”

Diakhir penafsiran surah al-Jumuah, ia menyayangkan saat ini banyak umat Islam
yang mengabaikan tanggung jawabnya terhadap wahyu Allah. Mereka justru
menyuarakan tentang materialistik, nasionalis dan etnosentris yang memiliki
sedikit kecenderungan hubungan dengan wahyu Allah. Bagi umat Islam yang
tetap bertahan dan bekerja keras untuk menghidupkan agama Allah, al-Ghazali
berpesan agar mereka mengambil peran di dunia serta mengembalikan kedaulatan
Tuhan atas kehidupan manusia dan urusan dunia.12

Menurut penulis, tema-tema pokok dalam surah al-Jumuah yang menjadi poin
penting bagi al-Ghazali adalah pertama, keistimewaan hari Jumat. Hal ini seperti
digambarkan bahwa pada hari tersebut umat Islam berkumpul di masjid dalam
rangka menjalankan ibadah salat jumat. Pun demikian juga anjuran mandi besar
dan menggunakan wangi-wangian yang dianjurkan pada hari Jumat, serta doa
setiap muslim pada hari itu yang pasti dikabulkan. Kedua, adalah pandangan
terhadap orang Israel. Menurut penulis, al-Ghazali memaknai kata “Yahudi”
dalam surah di atas sebagai orang-orang Israel.

2. Surah al-Munâfiqûn

12
Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 649-651

5
Pada awal penafsirannya, al-Ghazali menjelaskan bahwa kemunafikan adalah sifat
tercela, terdapat kontradiksi antara keyakinan dengan perilaku seseorang. Ketika
seseorang bersalah, ia mengubah penampilan dan ekspresi. Menurut al-Ghazali
diantara bentuk kemunafikan adalah kepura-puraan dan sumpah palsu.
Kemunafikan adalah akhlak yang buruk. Hal ini akibat dari kurangnya ketegasan
dan pendirian dalam diri seorang. Seseorang yang mengerjakan kemunafikan
adalah akibat dari sifat egois.
‫ك لممرقسلولقهه ‌ مو ا ا‬
‫اق يملشهمقد اٮلن اللقمانفٮقٮليمممن‬ ‫اٮ ‌ مو ا ا‬
‫اق يملعلمقم اٮنل م‬ ‫ك لممرقسلوقل ا ا‬
‫ك اللقمانفٮققلومن مقاَلقلوا نملشهمقد اٮنل م‬
‫اٮمذا مجاَمء م‬
‫ملماكٮذبقلومن‬
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami
mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah’. Dan Allah
mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah
mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang
pendusta”

Kemunafikan tidak akan berlangsung lama, atau tersembunyi. Cepat atau lambat,
sebuah sikap kemunafikan akan terungkap. Terungkapnya kemunafikan kerap
tercermin dari perilaku itu sendiri atau hal-hal kejadian yang tidak terduga.

Surah ini membuka keburukan dan kemunafikan orang-orang munafik Madinah


yang dianggap berbuat kebajikan dan sudah lama mengaku bagian dari umat
Islam. Pada kenyataanya, orang-orang munafik Madinah tersebut telah menebar
benih-benih perselisihan antara orang-orang Makkah (muhajirin) dan orang-orang
Madinah (ansar). Mereka menjadikan kejadian yang kecil lalu dibesar-besarkan
untuk menyebarkan dan menyulut permusuhan. Hal ini digambarkan pada ayat 7
‫ا‬ َ‫ام مح اتاممىِ يملنفم ض‬ ‫ا‬
‫ضملوا‌ مو ٮ ا ٮ‬
‫لم مخمزاَٮٮممقن اللسمماماو ٮ‬
‫ت‬ ‫هققم اللمٮذليمن يمققلوقلملومن مل تقلنفٮققملوا معالمىِ ممملن ٮعلنمممد مرقسمملوٮل ا ٮ‬
‫ض موالمٮكلن اللقمانفٮقٮليمن مل يملفقمهقلومن‬
‫موالملر ٮ‬
‫ل‬

“Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): ‘Janganlah


kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi
Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)’. Padahal kepunyaan
Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak
memahami.”

Baik muslim Makkah dan Madinah, keduanya saat itu mengalami kesengsaraan.
Muslim Makkah harus meninggalkan harta mereka di Makkah, sedangkan Muslim
Madinah harus menerima mereka dengan segala keterbatasan. Tetapi, Abdullah
ibn Ubay, seorang munafik Madinah justru memberi komentar pedas terhadap
muslim Makkah dan menghasut orang-orang Madinah dengan berkata: “Beri
makan anjingmu, nanti dia akan memakanmu.” Perkataan Ubay lainnya dikutip
dalam ayat ke 8

6
‫يمققلولقلومن لمٮٮلن لرمجلعنمواَ اٮملىِ اللممٮدلينمٮة لميقلخٮرمجلن اللممعضَز ٮملنهممماَ اللممذلل ‌ مو ٮ ا الٮمم اللٮعمملزةق مولٮمرقسمملولٮهه مولٮللقممملؤٮمنٮليمن‬
‫موالمٮكلن اللقمانفٮقٮليمن مل يملعلمقملومن‬
“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah (dari
peperangan Bani Mustalik), benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-
orang yang lemah dari padanya’. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi
Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada
mengetahui”.

Kata-kata Ubay di atas adalah ingin mengacaukan, membelah orang-orang


muslim dan melemahkan kekuatannya. Ubay sangat berambisi mengusir orang-
orang mukmin muhajirin dari Madinah.

Dalam penafsiran al-Ghazali, surah al-Munâfiqûn ditutup dengan nasihat berharga


untuk semua orang yang tulus yang terdapat pada ayat 9.13

‫ك فمقاَواللٮٮمم م‬
‫ك هقممقم‬ ‌ ‫اوياَ مضَيهممماَ اللممٮذليمن ااممنقمملوا مل تقللٮهقكمم لم املمممموالققك لم مو م ول املوملقدقكمم لم معمملن ٮذلكممٮر ا ا‬
‫اٮ مومممملن يللفمعمملل اذلٮمم م‬
‫اللاخٮسقرلومن‬
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang merugi.”

Tema utama yang menjadi sorotan al-Ghazali dalam surah al-Munafiqun adalah
tentang kemunafikan sebagai sifat yang tercela dan perlakuan orang-orang
munafik Madinah kepada muslim Makkah. Selanjutnya, pada akhir penafsirannya,
al-Ghazali mengutip ayat kesembilan dari surah al-Munafiqun sebagai nasihat
yang mulia.

3. Surah al-Taghâbûn

Dalam tafsirnya, al-Ghazali menjelaskan bahwa surah ini dibuka dengan perintah
kepada makhluk yang berada di alam raya untuk memuji Allah. Karena dengan
memujiNya, itu berarti sebuah ketundukan kepadaNya. Tetapi, banyak manusia
yang menolak Allah dan ajaranNya; menyangkal kekuasaan dan kedaulatanNya;
dan tidak sedikit pula yang mencela utusan Allah (rasul Allah). Terkait hal ini, al-
Ghazali mengutip surah al-Nahl ayat 4:

‫ق ا ل ٮللنمساَمن ٮملن ضَنملطفمنة فماَ ٮمذا هقمو مخ ٮ‬


‫صليرۡم ضَمبٮليرۡن‬ ‫مخلم م‬
“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang
nyata”

13
Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 652-653. Lihat sebab
turunnya ayat ini, terutama ayat ke 8 yang menceritakan sikap Abdullah ibnn Ubay yang menebar
kebencian kepada muslim Makkah. Muhammad ibn Ali al-Wahidi, Asbâb Nuzûl al-Qur’an,
(Riyad: Dar al-Maiman, 2005), h. 673

7
Surah ini menyoroti karakteristik perbuatan jahat, dalam ayat 2: “Dia-lah yang
menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang
mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

Selanjutnya, al-Ghazali menjelaskan bahwa sebuah tindakan yang “paradoks”


adalah ketika manusia diciptakan oleh Allah tetapi ia ingkar kepadaNya. Telah
banyak nikmat dan karunia yang telah Allah berikan dengan kemurahan. Tetapi
beberapa orang menolak dengan memberi alasan yang sederhana, yakni: bahwa
wahyu Allah hanya disampaikan oleh manusia, bukan malaikat. Oleh sebab itu,
surah ini memberi peringatan pada ayat 5-6

ۡ‫املم لم يملاَتٮقك لم نممبمقؤا اللٮذليمن مكفمقرلوا ٮملن قملبقل فممذاققلوا مومباَمل املمٮرٮه لم مولمهقمم لم معمممذا ر‬
‫(اذ لٮمم م‬5) ‫ب املٮليممرۡم‬
‫ك بٮمماَ منلهه مكمماَنملت‬
‫ا‬ ‫ا‬
(6) ‫حٮمليرۡد‬ ‫اق مغنٮىىِ م‬‫اق ‌ مو ا‬ ‫تللاَتٮليٮه لم قرقسلقهق لم ٮباَللبميمان ٮ‬
‫ت فممقاَلق لووا امبممشرۡر يللهقدلومنممناَ فممكفمقرلوا موتمموللنوا لوالستملغمنىِ ا‬
“Apakah belum datang kepadamu (hai orang-orang kafir) berita orang-orang kafir
terdahulu. Maka mereka telah merasakan akibat yang buruk dari perbuatan
mereka dan mereka memperoleh azab yang pedih (5). Yang demikian itu adalah
karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka membawa
keterangan-keterangan lalu mereka berkata: ‘Apakah manusia yang akan memberi
petunjuk kepada kami?’ lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak
memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (6).”

Al-Ghazali selanjutnya menjelaskan bahwa dalam dunia modern saat ini, banyak
orang terjebak di dalam dunia materialistik. Sehingga mereka tidak percaya akan
adanya hari kebangkitan dan hanya dianggap sebagai omong kosong. Al-Ghazali
mengutip ayat 7 dari surah ini:

‫مزمعمم اللٮذليمن مكفمقر لووا املن لللن ضَيلبممعمقثملوا ‌ ققلل بمالىِ مومربملىِ ملمتقلبممعمقثملن ثقلم ملمتقمنملبمقؤلن بٮمماَ معٮمللمتق لم‌ مواذ لٮ م‬
ِ‫ك معملى‬
‫اا‬
‫اٮ يمٮسليرۡر‬
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan
dibangkitkan. Katakanlah: ‘Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan
dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Sikap ketidakpercayaan terhadap hari akhir tidak hanya dialami oleh orang-orang
atheis dan kafir, tetapi juga oleh pengikut agama lain: Yahudi dan Kristen. Mereka
tidak dapat menerima ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an. Oleh
sebab itu dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif untuk menyajikan
Islam dengan cara yang lebih efektif dan cerdas. Al-Ghazali kemudian mengutip
ayat kedelapan:
‫فمااَٮمنقلوا ٮباَ ا الٮ مومرقسلولٮهه موالضَنلوٮر اللٮذ لوى املنمزللمناَ‌ مو ا ا‬
‫اق بٮمماَ تملعمملقلومن مخبٮليرۡر‬

8
Kata “al-Nur” atau yang berarti cahaya pada ayat di atas adalah al-Qur’an. Dalam
banyak ayat, Allah juga telah menjelaskan. Ayat ini menegaskan kewajiban
seorang muslim untuk mengimani dan juga memahami al-Qur’an. Seorang
muslim dituntut untuk dalam hidup sesuai dengan panduan al-Qur’an.

Surah yang membicarakan tentang hari penghisapan ini juga ditegaskan pada ayat
9.
‫ا‬
‫ك يملوقم التلمغاَبقٮن ‌ مومملن ضَيلؤٮم لمن ٮباَ الٮ مويملعمممملل م‬
‫صاَلٮمحممماَ ضَيمكفممملر معلنممهق مسمميمااَتٮهه‬ ‫يملومم يملجممقعقك لم لٮيملوٮم اللمجلمٮع اذ لٮ م‬
‫ت تملجٮرلى ٮملن تملحتٮمهاَ اللملناهقر اخلٮٮدليمن فٮليهمواَ امبممدا ‌ اذ لٮ م‬
‫ك اللفملوقز اللمعٮظنيقم‬ ‫مويقلدٮخللهق مج انا ن‬
“ (Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan,
itulah hari dinampakkan kesalahan-kesalahan. Dan barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan beramal saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-
kesalahannya dan memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.”

Pada hari itu, lanjut al-Ghazali, manusia akan diperlihatkan segala kesalahannya.
Mereka mengalami penyesalan yang begitu mendalam atas perbuatan yang telah
dilakukan selama hidupnya. Manusia menyesali kehidupan yang terlewat begitu
saja. Al-Ghazali kemudian mengutip sebuah hadis: “Banyak orang kehilangan dua
hal: kesehatan dan waktu”.

Surah ini juga mengungkap tentang hubungan muslim Makkah dan Madinah yang
terlibat pertengkaran dan permusuhan. Untuk menentramkan dan membesarkan
hati kaum muslim, Allah menurunkan ayat ke 11:
‫اٮ‌ مومملن ضَيلؤٮم لمن ٮباَ ا الٮ يملهٮد قمللبمهه‌ مو ا ا‬
‫اق بٮقكمل مشلىِنء معلٮليرۡم‬ ‫صليبمنة اٮلل بٮاَ ٮلذٮن ا ا‬
‫ب ٮملن ضَم ٮ‬ ‫ممواَ ام م‬
‫صاَ م‬
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah;
dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Muslim Makkah telah meninggalkan tempat tinggal dan tanah mereka guna
menjadi pengikut Muhammad. Mereka tetap pada pendirian dan keyakinannya
akan agama yang dibawa oleh Muhammad. Tidak semua orang dapat berbuat
pengorbanan atau mendapat penghormatan seperti ini.

Beberapa muslim Makkah ada yang ragu-ragu, lebih memilih istri mereka dan
anak-anak mereka. Sehingga mereka menetap di Makkah. Mereka menutup
telinga akan panggilan tugas dan lebih memilih tinggal dengan orang-orang yang
mereka cintai (istri dan anak). Berkaitan dengan hal itu, Allah menegur mereka
sebagaimana dalam ayat 14:
‫اوياَ مضَيمهاَ اللٮذليمن ااممنق لووا اٮلن ٮملن املزمواٮجقك لم مواملوملٮدقك لم معقد اموا للقك لم مفاَلحمذقرلوهق ‌لم مواٮلن تملعفقلوا موتم ل‬
‫صفمقحلوا موتملغفٮقرلوا‬
‫ام مغفقلورۡر لرٮحليرۡم‬ ‫فماَ ٮلن ا ا‬

9
“Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-
anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Menurut al-Ghazali, kenyamanan dalam hidup yang terlalu melekat pada


seseorang dapat menyebabkan penghianatan. Surah ini telah menjelaskan pada
ayat 15:
‫اٮنلممواَ املممواقلمقك لم مواملوملقدقك لم فٮلتنمةرۡ ‌ مو ا ا‬
‫اق ٮعلنمد هوه املجرۡر معٮظليرۡم‬
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi
Allah-lah pahala yang besar.”

Diakhir penafsiran surah al-Taghabun, al-Ghazali menutup dengan uraian bahwa


untuk melawan tindakan korupsi dan agresi membutuhkan kerja keras dan
pengorbanan. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang setia dan
memiliki keberanian dan kepercayaan diri. Sejarah telah menunjukkan bahwa
penindasan hanya dapat ditaklukkan oleh keyakinan. Kemudian al-Ghazali
mengutip ayat 16 sebagai nasihat penutup

‫ق قشلح نملفٮسهه فمقاَواللٮٮ م‬


‫ك هققم‬ ‫طلعتق لم موالسممقعلوا موامٮطليقعلوا مواملنفٮققلوا مخليمرا ململنفقٮسقك لم‌ مومملن ضَيلو م‬ ‫مفاَتلققوا ا ا‬
‫ام مماَ الستم م‬
‫اللقملفلٮقحلومن‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung.”14

Dua tema utama yang menjadi perhatian al-Ghazali dari surah di atas adalah,
pertama, sikap kaum kafir yang tidak mengindahkan perintah Allah dan rasulNya.
Hal itu dibuktikan dengan sikap meremehkan utusan Allah (rasul) dan
ketidakpercayaan terhadap hari akhir (hari kebangkitan). Tema kedua adalah
posisi kelurga (isteri dan anak) yang pada saat tertentu menjadi cobaan bagi
seorang suami.

4. Surah al-Qâri’ah

Dalam surah ini, al-Ghazali menjelaskan sebelum datang hari kebangkitan, akan
datang suara bergemuruh dan letusan yang menggetarkan seluruh dunia dan akan
didengar oleh semua orang. Al-Qur’an juga menjelaskan hal ini di ayat lain:

“Dan dengarkanlah (seruan) hari penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang
dekat. (Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya.
Itulah hari akhir.” (QS. Qaf : 41-42).
14
Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 654-657

10
‫صممليمحةم ٮباَللمحممم م‬
‫ق ‌ اذ لٮمم م‬
‫ك يممملوقم‬ ‫موالستمٮملع يملومم يقنممماَٮد اللقمنممماَٮد ٮممملن لممكمماَنن قمٮرليمم ن ن‬
‫( يممملومم يملسممممقعلومن ال ل‬41) ‫ب‬
‫ل‬
(42) ‫ج‬ ‫القخمقرلو ٮ‬
Seluruh manusia, saat itu akan bangkit dengan ketakutan dan kecemasan. Mereka
bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Surat ini menjelaskan:

‫ش اللمملبثقلو ٮ‬
(4) ‫ث‬ ‫س مكاَلفممرا ٮ‬ ‫ٮ‬ ‫( موممواَ املدارٮ م‬2) ‫( مماَ اللمقاَٮرمعةق‬1) ‫امللمقاَٮرمعةق‬
‫( يملومم يمقكلوقن اللناَ ق ل‬3) ‫ك مماَ اللمقاَرمعةق‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
(5) ‫ش‬ ‫موتمقكلوقن الٮجمباَقل مكاَلٮعلهٮن المملنفقلو ٮ‬
“Hari Kiamat. Apakah hari kiamat itu. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu?
Pada hari itu manusia bagaikan anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung
seperti bulu yang dihambur-hamburkan”.

Gunung-gunung hancur dengan sendirinya dan dan berubah hingga menjadi


puing-puing. Orang-orang berpencar-pencar dan bertebaran bagaikan “ngengat”
ke segala arah. Setiap dari mereka tidak mengetahui arah tujuan mereka.

Nasib mereka telah ditentukan:

‫(فماَ قضَمهه م‬8) ‫( مواملماَ مملن مخفللت مممواٮزلينقهه ن‬7) ‫ضيمنة‬


)ۡ‫هاَٮويمةر‬ ‫( فمهقمو فٮلىِ ٮعليمشنة لرا ٮ‬6) ‫فماَ ملماَ مملن ثمققلملت مممواٮزلينقهه‬
(9

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan kebaikannya, maka dia berada
dalam kehidupan yang memuasakan. Dan adapun orang-orang yang ringan
timbangan kebaikannya, maka tempat kembalinya adalah neraka hawiyah”.

Kata “Ibu” digunakan (fa ummuhu haawiyah) dalam metafora Bahasa Arab karena
pada saat seseorang cemas, saat ingin mencari kenyamanan dan keamanan maka
akan mencari dada ibunya. Menggunakan tersebut menurut penulis bermakna
“kembali”.

Dalam surah ini, al-Ghazali menyoroti keadaan hari kiamat. Hal ini sangat terlihat
saat ia berusaha menggambarkan suasana yang akan terjadi kelak. Ia juga
mengutip ayat dari surah lain untuk menjelaskan hubungan (munasabah) ayat.15

5. Surah al-Mâ’ûn

Pada pembukaan penafsiran surah ini, al-Ghazali menerangkan bahwa orang-


orang ikhlas dan salih selalu bersedia membantu sesama. Agama mendorong
umatnya untuk menyediakan bantuan kepada yang lemah, miskin, menyantuni
anak yatim, dan menuntun mereka yang kehilangan arah dalam hidup.

Mengabaikan amalan ini dapat mengakibatkan pada lemahnya iman. Sehingga


ideologi materialistik seperti komunis akan mudah menyusup. Menurut al-

15
Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 748

11
Ghazali, paham tersebut –komunis- telah menyapu sebagian wilayah di dunia ini
dan telah banyak mendatangkan malapetaka.

Agama, seperti yang dikutip pada surah, berarti: menyedekahkan kekayaan,


bertoleransi, dan berkasih saying. Seperti yang dikatakan dalam surah ini:

‫ض معالىِ طممعاَٮم اللٮملسٮك ل ٮ‬


(3) ‌‫ين‬ َ‫(مو مل يمقح ض‬2) ‫ك اللٮذلى يمقدضَع الليمتٮلينمم‬
‫(فماذلٮ م‬1) ‌‫ب ٮباَلمدلي ٮن‬
‫ت اللٮذلى يقمكمذ ق‬
‫اممرمءلي م‬
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik
anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

Kesimpulan surah ini adalah, pertama, anjuran membantu orang miskin, karenahal
tersebut adalah syarat dari keimanan. Kedua, perintah menegakkan salat. Ini
sekaligus menjadi peringatan bagi orang-orang yang lalai. Mereka akan mendapat
konsekuensinya.16

6. Al-Masad

Surah ini dibuka dengan pernyataan yang sangat keras kepada paman Nabi
Muhammad, Abu Lahab.

‫تمبللت يممدوا امبٮلىِ لمهم ن‬


‌ ‫ب لومتبل‬
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”

Selanjutnya, al-Ghazali mengutip cerita sebab turunnya surah ini, nabi


mengumpulkan kabilah-kabilah Arab dan menyerunya untuk beriman kepada
Allah. Seketika itu juga, ia mendapat kecaman dan yang keras dari Abu Lahab.
Maka turunlah surah al-Masad ini.

Al-Ghazali menceritakan kebencian Abu Lahab serta keluarganya kepada nabi.


Oleh sebab itu, ayat 4 dari surah ini juga menyinggung siksa neraka yang akan
dialami oleh isterinya.

‫لوالممرام تقهه ‌ محلماَلمةم اللمحطم ‌ ٮ‬


‫ب‬
“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”

Diakhir penafsiran surah al-Masad ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa Abu Lahab
telah dibutakan untuk melihat kenyataan Muhammad sebagai anak yatim yang
diasuh oleh kakeknya kemudian pamannya. Lahab tidak dapat menerima
kenyataan ditunjuknya Muhammad sebagai seorang pembawa misi kenabian. Ia
terlanjur berprasangka buruk dan “cemburu” melihat kehidupannya.17

16
Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 757
17
Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 764

12
Metode Tafsir Maudhû’î Abu Hayy al-Farmawi

Sebelum membahas pengertian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tafsir
maudhu’i menurut Al-Farmawi, penulis memaparkan pengertian metode-metode
tafsir secara umum. Sepanjang perkembangan ilmu tafsir telah lahir berbagai
macam kitab tafsir yang disajikan oleh para ulama dengan menggunakan berbagai
metode, metode-metode tersebut adalah; Metode Tahlili, Metode Ijmali, Metode
Muqarran, dan Metode Maudhu’i. Metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya.
Metode ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
cara mengemukakan makna global atau penjelasan secara umum. Lain halnya
dengan metode muqarran (perbandingan), metode ini adalah metode yang
mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang ditulis oleh para penafsir
sehingga terlihat jelas perbedaannya yang kemudian bisa dibandingkan. 18 Metode-
metode yang telah dijelaskan diatas terutama metode tahlili adalah metode yang
seringkali ditemukan dan hampir semua penafsir klasik memakai metode ini.

Pengertian Metode Tafsir Maudhu’i

Tafsir Maudhu’i menurt Al-Farmawi adalah tafsir yang menghimpun ayat-ayat al-
Quran yang mempunyai maksud yang sama dengan kata lain sama-sama
membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta
sebab turunnya ayat tersebut19. Di dalam metode ini seorang penafsir memberikan
keterangan atau kejelasan serta mengambil sebuah kesimpulan. Sebagai contoh
misalnya kajian tentang khamar dengan memakai metode tafsir maudhu’i seorang
penafsir pertama-tama harus mengumpulkan semua ayat yang berkaitan dengan
khamar, kemudian menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya,
mengumpulkan asbab nuzul ayat sebagai keterangan dan kejelasan terhadap ayat
yang dibahas, kemudian penafsir memberi kesimpulan dari beberapa ayat yang
berkaitan dengan khamar.

Bentuk-Bentuk Kajian Tafsir Maudhu’i

Pada dasarnya menghimpun dan menyusun ayat-ayat menurut kronologi


dilakukan untuk mengetahui pokok-pokok masalahnya. Dengan demikian
komentar negatif bahwa di dalam al-Quran terdapat pengulangan bisa ditolak atau
disanggah. Tafsir Maudhui mempunyai dua bentuk kajian yaitu tafsir maudhu’i
per-surah dan tafsir maudhu’i per-tema.

1. Tafsir Maudhu’i Per-Surah

18
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar Terj : Suryan A.Jamrah
(PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994) hal. 12-30
19
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 36

13
Tafsir maudhui yang membahas satu surah secara utuh dan menyeluruh dan
menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus serta menjelaskan
korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehinnga surah tersebut
tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.20

2. Tafsir Maudhu’i Per-Tema

Menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surah yang sama-sama membicarakan


satu masalah tertentu kemudian ayat-ayat disusun sedemikian rupa dan diletakkan
di bawah suatu tema bahasan yang dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’i. 21
Bentuk kajian maudhu’i per-tema seperti ini lah yang biasanya terbayang
dipikiran kita ketika disebutkan tafsir maudhu’i dan Al-Farmawi menjadikan
bentuk kajian tafsir tematik per-tema ini sebagai konsentrasi pembahasannya
dalam menjelaskan tafsir maudhu’i.

Sejarah Perkembangan Tafsi Maudhu’i

Penafsiran al-Quran dengan al-Quran yang seringkali dikenal dengan tafsir bil-
ma’tsur pada dasarnya telah memperlihatkan keselarasan ayat-ayat al-Quran.
Penafsiran al-Quran dengan al-Quran ini pada dasarnya menjadi cikal bakal atau
bibit dari tafsir maudhu’i. Dalam perkembangan berikutnya benih atau bibit tafsir
maudhu’i sangat banyak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir, hanya saja masih
dalam bentuknya yang sederhana, belum mengambil bentuk yang lebih tegas dan
bisa dikatakan sebagai metode yang berdiri sendiri. Kadang-kadang masih dalam
bentuk yang sangat ringkas seperti yang terdapat dalam tafsir karya Al-Fakhr Al-
Razi karya Al-Qurtuby dan karya Ibu Al-Arabi. Dengan demikian bisa dikatakan
bahwa metode maudhu’i ini adalah metode yang sebenarnya sudah ada sejak dulu
kala dengan bentuknya yang masih sederhana yang belum dimaksudkan sebagai
metode yang memiliki karakter metodelogis yang berdiri sendiri.22

Perkembangan tafsir pada masa klasik agak kurang peduli terhadap penafsiran al-
Quran dengan cara tematik, ada dua faktor ketidakpedulian ini:

1. Metode tematik ini mengarah kepada kajian spesialis yang bertujuan


mengkaji satu tema bahasan. Para penafsir klasik tidak melakukan cara
kajian yang seperti ini karena pada masa lalu spesialisasi belum menjadi
tujuan kajian.

2. Para penafsir klasik belum merasakan perlu dan pentingnya untuk


melakukan topik-topik tertentu yang terdapat di dalam al-Quran. Hal ini
disebabkan karena para panafsir masa lalu hafal al-Quran dan ilmu
keislaman mereka sangat dalam serta mencakup semua aspek, oleh sebab itu
20
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal.35
21
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 36
22
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 38- 40

14
mere berpotensi untuk menghubungakan satu ayat dengan ayat yang lain
yang ia jelaskan melalui spesialisasi ilmunya. 23

Pada perkembangan selanjutnya muncul perhatian dan minat untuk melakukan


pembahasan baru berdasar corak tafsir maudhui, karena disebabkan oleh beberapa
faktor:

1. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam mengandung bermacam-macam


ilmu yang bernilai tinggi sehingga banyak tokoh ilmuan dan para penelit
berupaya mencapai khazanah al-Quran tersebut.

2. Banyaknya minat terhadap kajian al-Quran dari orang-orang non-Arab baik


muslim ataupun non-muslim mempelajari masalah-masalah yang dikandung
dalam al-Quran. 24

Sekalipun bibit tafsir maudhu’i sudah ada semenjak dahulu akan tetapi cara
kerjanya belum ditetapkan secara jelas, kajian masa lalu tersebut bisa dikatakan
sebagai usaha untuk melahirkan metode ini. Batasan dan definisi yang jelas dan
rinci mengenai metode maudhu’i ini baru muncul pada periode belakangan oleh
alUstadz Dr. Ahmad Al-Sayyid Al-Kumy ketua jurusan Tafsir Universitas al-
Azhar. Bersama beberapa rekan-rekan dosen dan murid-murid mereka di berbagai
perguruan tinggi.25

Langkah-langkah Metode Maudhu’i

Langkah-langkah atau cara kerja tafsir maudhui dijelaskan oleh Al-Farmawi


sebagai berikut26

1. Menetapkan atau memilih tema yang akan dikaji secara maudhu’i

2. Melacak dan mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan


tema tersebut.

3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologis masa


turunnya, disertai pengetahuan tentang sebab-sabab turunnya.

4. Menjelaskan munasabah atau korelasi ayat-ayat tersebut di dalam masing-


masing suratnya.

5. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna


dan utuh (outline).

23
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 41
24
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 41-44
25
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 45
26
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 45-46

15
6. Melengkapi penjelasan ayat dengan hadis-hadis nabi, bila dipandang perlu,
sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan gamblang.

7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara


menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khas, yang muthlaq
dengan muqayyad yang global dengan terperinci, yang nasikh dan yang
mansukh sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa
perbedaandan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat
kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat

Urgensi Tafsir Maudhu’i

1. Menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan suatu topik masalah


sehingga suatu ayat menjadi penafsir bagi ayat lainnya dan menjadikan
metode tafsir maudhu’i dengan corak bilma’tsur suatu metode yang jauh
dari kesalahan dan dekat dengan kebenaran.

2. Dengan menghimpun beberapa atau sejumlah ayat al-Quran seorang


penafsir akan mengetahui adanya keteraturan dan keserasian serta korelasi
antara ayat-ayat tersebut, karenanya penafsir akan menjelaskan makna-
makna dan petunjuk al-Quran tersebut seraya mengemukakan kelugasan
dan keindahan bahasanya.

3. Dengan menghimpun seluruh ayat atau sebagian ayat penafsir bisa


memberikan buah penafsiran yang utuh dan sempurna untuk suatu
masalah.

4. Dengan menghimpun seluruh ayat atau sebagian ayat penafsir bisa


menghapus anggapan terhadap adanya kontradiksi dalam ayat-ayat al-
Quran.

5. Corak kajian tafsir maudhu’i sesuai dengan semangat zaman modern yang
menuntut agar kita bisa melahirkan suatu hukum yang bersifat universal
untuk umat Islam yang bersumber dari al-Quran.

6. Metode ini memungkinkan seseorang untuk mampu mengemukakan initi


masalah dan segala aspeknya.

7. Metode ini memungkinkan seseorang segera sampai kepada inti


permasalahan yang dimaksud.

8. Zaman modern ini sangat membutuhkan metode maudhu’i karena dengan


metode ini memungkinkan seseorang untuk segera samapai kepada inti
permasalahan dengan jalan yang singkat, praktis dan mudah.27
27
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 51-54

16
Hal-hal yang Harus diperhatikan Oleh Penafsir Maudhu’i

Ada beberapa hal yang seharusnya diperhatikan oleh seorang penafsir yang
memakai metode maudhu’i ini, antara lain:

1. Penafsir harus menyadari betul bahwa dengan menggunakan metode ini


tidak berarti ia menafsirkan seluruh al-Quran.

2. Penafsir harus ingat bahwa ia hanya ingin membahas satu masalah pokok
bahasan sehingga tidak akan menyimpang dari masalah yang telah
ditetapkan.

3. Penafsir harus memperhatikan tahapan-tahaan al-Quran dalam menurunkan


hukumnya.

4. Dalam menafsirkan suatu pokok masalah seorang penafsir harus secara


konsisten menerapkan semua prinsip operasional metode maudhu’i.28

Contoh Tafsir Maudhu’i

Dalam bukunnya, al-Farmawi memberikan beberapa contoh penafsiran maudhu’i


dengan mengemukakan beberapa tema, salah satunya adalah tema “ Memelihara
Anak Yatim Menurut Al-Quran Al-Karim”. Berikut penulis mencoba menganalisa
contoh penafsiran tersebut. Dalam contoh yang diuraikan akan terlihat bahwa al-
Farmawi memakai langkah-langkah tafsir maudhu’i yang telah ditetapkannya.

1. Menetapkan tema pembahasan dengan tema “ Memelihara Anak Yatim


Menurut Al-Quran Al-Karim”

2. Memperiodesisasikan ayat-ayat mengenai anak yatim kedalam periode


mekah dan periode madinah berdasarkan tartib nuzulnya.

3. Menyusun ayat-ayat tentang anak yatim sesuai dengan kronologis turunnya


ayat

4. Menjelaskan munasabah ayat.

5. Memberikan tema terhadap beberapa pokok permasalahan seputar


memelihara anak yatim, misalnya tema: “Pemeliharaan harta anak yatim”,
“Pemeliharaan moran dan pendidikan anak yatim”, “Perintah menyayangi
dan menyantuni anak yatim” dll.

6. Menampilkan beberapa hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan


pemeliharaan anak yatim

7. Mempelajari ayat-ayat tentang anak yatim secara tematik dan menyeluruh.


28
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 54-57

17
Penutup

Kesimpulan makalah ini adalah:

Pertama, al-Ghazali menafsirkan seluruh surah dalam al-Qur’an menurut urutan


surah. Metode tafsir maudhû’i yang diaplikasikan al-Ghazali dalam kitab Nahwa
Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim adalah dengan menafsirkan seluruh
surah dan menjelaskan tema-tema penting yang terdapat dalamnya. Dalam setiap
surah, ia tidak menafsiri keseluruhan ayat, tetapi hanya beberapa ayat saja yang
menurutnya menjadi poin penting dari surah tersebut.

Menurut al-Ghazali, setiap surah memiliki tema-tema penting. Akan tetapi, hal itu
tidak berarti bahwa setiap ayat dalam suatu surah tidak berkaitan. Bahkan antara
satu surah dengan surah yang lain memiliki hubungan (munasabah).

Kedua, al-Farmawi merumuskan metode tafsir maudhu’i dengan mengemukakan


beberapa acuan yang menjadi satandar metode tafsir maudhu’i dengan
memberikan langkah-langkah yang harus dilakukakan dalam tafsir maudhu’i,
langkah-langkah tersebut harus diaplikasikan oleh penafsir tafsir maudhu’i, karena
sebelum metode tafsir maudhu’i dicanangkan penafsiran dengan gaya awal ini
sudah ada sejak zaman penafsir klasik yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-
Quran, namun tidak ada patokan metodologis terhadap penafsiran yang seperti ini,
sehingga kemudian al-Farmawi membuat standarisasi metode tafsir maudhu’i
dalam kitabnya Bidayatu fî Tafsîr Maudhu’î yang di dalamnya terdapat beberapa
langkah yang harus dilakukan penafsir dalam tafsir maudhu’i.

18

Anda mungkin juga menyukai