1
Ansori LAL, Tafsir Bil Ra’yi, menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 4-6
2
Ibd, 7
B. Macam-macam tafsir bi Ar-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi adalah tafsir yang lebih berorientasi kepada penalaran ilmiah yang
bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya.
Dengan demikian, sama halnya dengan ijtihad, tafsir bir-ra’yi yang merupakan tafsir
dengan akal atau ijtihad juga memiliki kemungkinan benar sehingga dapat diikuti dan
juga memiliki kemungkinan salah sehingga penafsirannya harus di jauhi.
Tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
A. Tafsir al-Maḥmūdah
Tafsir al-maḥmūdah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak
syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan
dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-
uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
Tafsir bi al-ra’yi al-maḥmūd memiliki kemungkinan benar karena menafsirkan al-
Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu
yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam
memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah
patut disebut tafsir al–maḥmūd atau tafsir al-masyru’.3
B. Tafsir al-Madzmūmah
Tafsir al-madzmūm adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau
mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah
bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak
maupun bid’ahnya yang tersesat, seperti kitab tafsir al-Kashshaf karya al-
Zamakhshāriy.4
Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman analisa bahasa dan
kesusastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir al-Kashshaf. 5 Namun disayangkan sekali
ketika penafsiran-penafsiran yang dilakukan dirasuki pula dengan dukungan ajaran
paham mu’tazilah sering menggunakan al-amtsīl (perumpamaan) dan al-takhyīl
(pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang atau ada ketidakcocokan dengan
makna lahir ayat yang sebenarnya, mencela wali Allah, selalu mengarahkan
3
Muḥammad ‘Aliy al-Ṣābūniy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985), 157.
4
Ṣubḥiy al-Ṣāliḥ, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977), 294
5
Ibid.,294-295
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ke jalur madzhab mereka, dan lain-lain. Sehingga
kalau memang sudah sedemikian parah, sebagaimana pendapat Subhi Salih, tafsir al-
Kashshaf dapat digolongkan sebagai tafsir bi al-ra’yi yang madzmumah.6
C. Syarat-syarat menjadi mufassir bi Ar-Ra’yi
Seorang mufassir al-Qur’an perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan
berbagai bidang ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi seorang mufassir
yang diakui, maka ia harus memiliki kemampuan dalam segala bidang. Imam Jalaluddin
as-Suyuthi dalam bukunya al-Itqan menyebutkan syarat-syarat menjadi mufassir, yaitu:
1. Ilmu bahasa arab yang dengannya dia mengetahui makna kosakata dalam pengertian
kebahasaan dan mengetahui pula yang musytarak.
2. Ilmu Nahwu karena makna dapat berubah akibat perubahan I’rab.
3. Ilmu sharaf karena perubahan bentuk kata dapat mengakibatkan perbedaan makna.
4. Imu ma’any, yaitu ilmu yang berkaitan dengan susunan kalimat dari sisi
pemaknaannya.
5. Ilmu al-Bayan, yaitu ilmu yang berkaitan dengan perbedaan makna dari sisi kejelasan
atau kesamarannya.7
Untuk menghindari kesesatan penafsiran Al-Quran, maka ijtihadnya harus
disandarkan pada petunjuk-petunjuk yang benar”. Berhubungan dengan hal di atas, maka
senada dengan imam Az-Zarkasyi, imam As-Suyuti menegaskan bahwa prinsipprinsip
yang harus dipegangi dalam menafsirkan Al-Quran bi ar-Ra’yi itu ada empat, yaitu:
a. Dikutif dari Rasul dengan menghindari Hadits-hadits dha’if dan maudhu.
b. Mengambil dari pendapat para sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan-nya adalah
marfu.
c. Mengambil berdasarkan bahasa Arab secara mutlak, karena Al-Quran diturunkan
dengan bahasa Arab.
d. Mengambil berdasarkan ucapan yang popular di kalangan orang Arab serta sesuai
dengan ketentuannya syara.8
DAFTAR PUSTAKA
9
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2014), 357
Ṣābūniy (al). Muḥammad ‘Aliy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Dinamika
Barokah Utama, 1985.
Ṣāliḥ (al). Ṣubḥiy, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977.
Maḥmūd Manī’ ‘Abd al-Ḥalīm, Manāhij al-Mufassirīn. Kairo: Dār al-Kitāb al-
Miṣriy, 1978.
Amin Suma Muhammad, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014.
Shihab M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Lenter Hati, 2013.
LAL Ansori, Tafsir Bil Ra’yi, menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad, Jakarta: Gaung
Persada Press, 2010.
Nasution Muhammad Arsad, pendekatan dalam tafsir, Yurisprudentia Volume 4
Nomor 2 Desember 2018.