Anda di halaman 1dari 5

A.

Status tafsir bi Ar-Ra’yi


Para ulama telah berselisih pendapat mengenai kedudukan tafsir bi ar ra’yi,
sebahagian membolehkannya, dan ada juga yang menolak. Masing-masing pihak
mempunyai argumentasi sendiri sendiri.
Adapun ulama yang menolak terhadap tafsir ini dengan alasan tafsir in bisa
melahirkan penafsiran yang sesat, kesesatan tersebut terjadi karena muffasir tidak
memahami kaidah bahasa Arab kemudian menafsirkan al-Qur’an. Ada bebarapa
argumentasi dari para ulama yang menolak tafsir bil al-ro’yi yaitu:
1. Penafsiran dengan bil al-ra’yi tafsirnya tidak menggunakan ilmu, bagi orang yang
menolak tafsir ini mengatakan bahwa “orang yang menafsirkan dengan bil ra’yi
menyamakan apa yang mereka tafsirkan sedah sesuai dengan kehendak Allah.
2. Sebagian ulama menolak tafsir ini karena penafsir yang berhak menafsirkan al-
Qur’an hanyalah Nabi Muhammad SAW. Seperti dijelaskan dalam ayat al-Qur’an.
3. Berdasarkan argumentasinya hadi yang mengatakan bahwa “barangsiapa yang
menafsirkan al-Qur’an dengan logika, maka disedikan tempatnya di neraka”(HR.
Tirmidzy).1
Adapun ulama yang menerima tafsir bil al-ra’yi berargumentasi sebagai berikut
yaitu:
1. Al-Qur’an telah memerintahkan untuk menggunakan logika

۸۲﴿‫اختِالفًا َكثِ ًريا‬ ِِ ِ ِِ ِ


ْ ‫﴾أَفَال َيتَ َدبَُّرو َن الْ ُق ْرآ َن َولَ ْو َكا َن م ْن عْند َغرْيِ اللَّه لََو َج ُدوا فيه‬
Artinya: . Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al
Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak
di dalamnya. (QS al-Nisa: 82).
2. para ulama pendukung tafsir ini mengatakan bahwa seandainya tafsir bi al-ra’yi tidak
diperbolehkan, lalu mengapa Ijtihad diperbolehkan ? seorang mujtahid dalam hokum
syara’ diperbolehkan untuk memutuskan kalau salah diberi satu pahala dan akalu
benar diberi dua pahala, sehingga tafsir ini diperbolehkan juga.2

1
Ansori LAL, Tafsir Bil Ra’yi, menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 4-6
2
Ibd, 7
B. Macam-macam tafsir bi Ar-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi adalah tafsir yang lebih berorientasi kepada penalaran ilmiah yang
bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya.
Dengan demikian, sama halnya dengan ijtihad, tafsir bir-ra’yi yang merupakan tafsir
dengan akal atau ijtihad juga memiliki kemungkinan benar sehingga dapat diikuti dan
juga memiliki kemungkinan salah sehingga penafsirannya harus di jauhi.
Tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
A. Tafsir al-Maḥmūdah
Tafsir al-maḥmūdah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak
syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan
dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-
uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
Tafsir bi al-ra’yi al-maḥmūd memiliki kemungkinan benar karena menafsirkan al-
Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu
yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam
memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah
patut disebut tafsir al–maḥmūd atau tafsir al-masyru’.3
B. Tafsir al-Madzmūmah
Tafsir al-madzmūm adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau
mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah
bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak
maupun bid’ahnya yang tersesat, seperti kitab tafsir al-Kashshaf karya al-
Zamakhshāriy.4
Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman analisa bahasa dan
kesusastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir al-Kashshaf. 5 Namun disayangkan sekali
ketika penafsiran-penafsiran  yang dilakukan dirasuki pula dengan dukungan ajaran
paham mu’tazilah sering menggunakan al-amtsīl (perumpamaan) dan al-takhyīl
(pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang atau ada ketidakcocokan dengan
makna lahir ayat yang sebenarnya, mencela wali Allah, selalu mengarahkan

3
Muḥammad ‘Aliy al-Ṣābūniy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985), 157.
4
Ṣubḥiy al-Ṣāliḥ, Mabāhith  fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977), 294
5
Ibid.,294-295
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ke jalur madzhab mereka, dan lain-lain. Sehingga
kalau memang sudah sedemikian parah, sebagaimana pendapat Subhi Salih, tafsir al-
Kashshaf dapat digolongkan sebagai tafsir bi al-ra’yi yang madzmumah.6
C. Syarat-syarat menjadi mufassir bi Ar-Ra’yi
Seorang mufassir al-Qur’an perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan
berbagai bidang ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi seorang mufassir
yang diakui, maka ia harus memiliki kemampuan dalam segala bidang. Imam Jalaluddin
as-Suyuthi dalam bukunya al-Itqan menyebutkan syarat-syarat menjadi mufassir, yaitu:
1. Ilmu bahasa arab yang dengannya dia mengetahui makna kosakata dalam pengertian
kebahasaan dan mengetahui pula yang musytarak.
2. Ilmu Nahwu karena makna dapat berubah akibat perubahan I’rab.
3. Ilmu sharaf karena perubahan bentuk kata dapat mengakibatkan perbedaan makna.
4. Imu ma’any, yaitu ilmu yang berkaitan dengan susunan kalimat dari sisi
pemaknaannya.
5. Ilmu al-Bayan, yaitu ilmu yang berkaitan dengan perbedaan makna dari sisi kejelasan
atau kesamarannya.7
Untuk menghindari kesesatan penafsiran Al-Quran, maka ijtihadnya harus
disandarkan pada petunjuk-petunjuk yang benar”. Berhubungan dengan hal di atas, maka
senada dengan imam Az-Zarkasyi, imam As-Suyuti menegaskan bahwa prinsipprinsip
yang harus dipegangi dalam menafsirkan Al-Quran bi ar-Ra’yi itu ada empat, yaitu:
a. Dikutif dari Rasul dengan menghindari Hadits-hadits dha’if dan maudhu.
b. Mengambil dari pendapat para sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan-nya adalah
marfu.
c. Mengambil berdasarkan bahasa Arab secara mutlak, karena Al-Quran diturunkan
dengan bahasa Arab.
d. Mengambil berdasarkan ucapan yang popular di kalangan orang Arab serta sesuai
dengan ketentuannya syara.8

D. Kitab-kitab tafsir bi Ar-Ra’yi


6
Manī’ ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd. Manāhij al-Mufassirīn. (Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriy, 1978), 109.
7
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lenter Hati, 2013), 395-396
8
Muhammad Arsad Nasution, pendekatan dalam tafsir, (Yurisprudentia Volume 4 Nomor 2 Desember 2018)157-
158
A. Mafatih al-Ghaib (kunci-kunci keghaiban) juga umum disebut dengan al-Tafsir al-
Kabir, karangan Muhammad al-Razi Fakhr al-Din (554-604 H / 1149-1207 M),
sebanyak 17 jilid sekitar 32000-36200 halaman tidak termasuk indeks.
B. Tafsir Al-Jalalayn (tafsir dua orang jalal), karya jalal al-Din al-Mahalli (w. 544-604
H/1149-1207 M) dan Jalal al-Din Abd. Al-Rahman al-Sayuthi (w. 849-911 H/1445-
1505 M)
C. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ( sinar al-quran dan rahasia-rahasia
penakwilannya ), buah pena al-Imam al-Qadhi Nasir al-Din abi Sa’ed Abdulloh Ali
Umar bin Muhammad al-Syarazi al-Baidhawi ( w. 791/1388 M )
D. Ruh al-Ma’ani (jiwa makna-makna al-quran), dengan muallif (pengarang) al-Alamah
Syihab al-Din al-Alusi (w. 1270 H/1853 M)
E. Gharib Al-Quran wa Ragha’ib al-Furqan (kata-kata asing dalam Al-Quran dan yang
menggelitik dalam al-Furqan), karya Nizam al-Din al-Hasan Muhammad al-
Nyasaburi (w. 728 H/1328 M)
F. Zad al-Masir fi Ilm al-Tafsir (bekal perjalan dalam ilmu tafsir), setebal 2768 halaman
dalam 8 jilid hasil uusaha al-Imam al-Abi Faraj Jamal al-Din Abd. Al-Rahmati bin
Ali bin Muhammad al-Jawazi al-Qurayzi al-Baghdadi (597 H/1200 M)
G. Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya Al-Quran al-Karim (petunjuk akal yang selamat
menuju kepada keistimawaan Al-Quran yang mulia) tulisan Abu al-Sa’ud
Muhammad bin Muhammad Musthafa al-Ammadi (w. 951 H/1544 M)
H. Tafsir al-Khozin lebih populer dengan nama Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil
(pilihan penakwilan tentang makna-makna Al-Quran), susunan A’la al-Din Ali bin
Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi yang lebih myashur dengan panggilan al-
Khozin (w. 544-604 H/1149-1207 M) tafsir ini terdiri atas 4 jilid dengan tebal
halaman antara 2160-4400.
I. Al-Tibyan fi Tafsir Al-Quran (keterangan dalam menafsirkan Al-Quran), karya Al-
Imam Al-Syekh Ismail Haqiqi al-Barusawi (w. 1137 H/1724 M), setebal 10 jilid
dengan jumalah halaman sekitar 4400.9

DAFTAR PUSTAKA

9
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2014), 357
Ṣābūniy (al). Muḥammad ‘Aliy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Dinamika
Barokah Utama, 1985.
Ṣāliḥ (al). Ṣubḥiy, Mabāhith  fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977.
Maḥmūd Manī’ ‘Abd al-Ḥalīm, Manāhij al-Mufassirīn. Kairo: Dār al-Kitāb al-
Miṣriy, 1978.
Amin Suma Muhammad, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014.
Shihab M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Lenter Hati, 2013.
LAL Ansori, Tafsir Bil Ra’yi, menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad, Jakarta: Gaung
Persada Press, 2010.
Nasution Muhammad Arsad, pendekatan dalam tafsir, Yurisprudentia Volume 4
Nomor 2 Desember 2018.

Anda mungkin juga menyukai