1
Dr. Muhammad Ulinnuha, Metode kritik ad-Dakhil fit-Tafsir hal 167-167
2
Manna Khalil Al-Khattan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an
3
Muhammad Ya’qub al-Kulaini, Al-Zahabi, Al-Tafsir al-Mufassirun vol 2
4
Muhammad Baqir al-Majlisi, Bahrul Anwar hal. 302
Menurut al-Baghdadi, secara geologis ajaran kelompok batiniyah berasal dari teologi
Zoroaster.5 Bahkan al-Ghazali mensinyalir, selain dari Zoroaster juga sebagian doktrin
filsafat yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan Islam. Kemudian gerakan ini secara
sistematis dan terstruktur mulai muncul pada era Khalifah al-Makmun al-Abbasi (198-218) di
bawah kepemimpinan Maymun ibn Disan (W. 180 H) yang dikenal dengan julukan al-
Qaddah, ia adalah mantan penganut agama Zoroaster dan bekas pembantu Ja’far ibn
Muhammad al-Sadiq (80-148). Maymun ibn Disan bersama koleganya mendeklarasikan dan
memprogandakan ajaran Batiniyah dari balik jeruji besi, yang kemudian penyebaranya terjadi
secara masif setelah ia keluar dari penjara. Ia mengajak penganutnya untuk mentakwilkan Al-
Qur’an secara batin dengan menggunakan tanda-tanda (rumuz) seperti yang biasa diajarkan
di dalam agama Zoroaster. Ajaran ini terus berkembang hingga terpecah menjadi beberapa
kelompok seperti al-Babakiyah atau al-Kharmiyah dan al-Qaramitah.
Menanggapi model penafsiran kelompok Batiniyah yang cenderung mementingkan
makna batin ini, fayed memberika dua parameter sebagai persyaratan diterima tidaknya
penafsiran dengan menggunakan makna batin.
1. Sesuai dengan aturan bahasa Arab (muwafaqat al- ‘Arabiyah)
2. Sejalan dengan syariat Islam ( syahadat al-Syar’i)
Dua parameter tafsir batin yang diajukan oleh Fayed ini hampir mirip, dengan
rumusan al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat nya. Dalam kitab itu secara gamblang bahwa
Al-Quran memiliki makna lahir dan makna batin. Diterima tidaknya makna batin itu harus
memeperhatikan dua syarat itu.
Diantara penafsiran kelompok batiniyah yang mendapat kritik dari Fayed adalah penafsiran
an-Nu’main ibn Muhammad al- Tamimi (w.363 H). terhadap ayat berikut :
َ =َ=و= هَّللا ُ= َج= َع= َل= لَ= ُك= ْ=م= ِم= ْ=ن= بُ= يُ= و=تِ= ُك= ْم= َس= َك= نً= ا= َو= َ=ج= َع= َ=ل= لَ= ُك= ْم= ِم= ْ=ن= ُج= لُ= و= ِد= ا=َأْل ْن= َع= ا= ِ=م= بُ= يُ= و=تً= ا= تَ= ْس= تَ= ِ=خ= ُّف= و=نَ= هَ= ا= يَ= ْ=و= َم
=ظ= ْع= نِ= ُك= ْم= َو= يَ= ْ=و= َم
=ص= َ=و= ا=فِ= هَ= ا= َو= َأ ْ=و= بَ= ا= ِر= هَ= ا= َو= َأ ْش= َع= ا= ِر= هَ= ا= َأ ثَ= ا=ثً= ا= َ=و= َم= تَ= ا= ًع= ا= ِإ لَ= ٰ=ى= ِح= ي= ٍن =ْ ِإ قَ= ا= َم= تِ= ُك= ْم= ۙ= َو= ِم= ْ=ن= َأ
“ Dan allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan dia
menjadikan bagimu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang merasa
ringsn (membawanya) di waktu kamu berjalan dan di waktu kamu bermukim, dan dijadika
nya pula dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan
perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu tertentu.” (QS, an-Nahl [16] : 80).
Nu’man ibn Muhammad al-Tamimi menafsirkan secara batin kata buyut (rumah-
rumah) sebagai wali-wali Allah yakni para imam, kata sakan sebagai ilmu para wali Allah
(imam) yang menyebabkan tenang nya hati mukminin, ya yakni ilmu takwil, sementara kata
julud, aswaf, awbar, asy’ar, ditafsiri secara pemahaman lahiriah, berupa kewajiban-
kewajiban agama yang dilakukam secara terus menerus oleh umat manusia sampai ajal
menjemput.
Jika penafsiran diatas diukur dengan parameter tafsir batini yang telah ditetapkan Fayed,
maka penafsiran Nu’man tentu tidak memenuhi dua syarat yang ada. Sehingga penfasiran
batini nya harus dikritisi dan pada tahap tertentu, direkomendasikan untuk tidak dipakai.6
5
Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-farq bayn al-Firaq hal. 284-285
6
Dr. Muhammad Ulinnuha, metode kritik Ad-Dakhil fii-Tafir hal. 174
C. Eksistensi Makna Batini Dan Zahir
Kaum syi’ah sendiri meyakini bahwa Al-Qur’an mempunyai makna tersirat (batin)
dan tersurat (zahir). Manusia biasa secara umum hanya dapat mengetahui makna zahir nya
saja , sementara makna batin hanya diketahui oleh para imam dan orang-orang yang mreka
kehendaki. Keterangan dan riwayat tentang hal ini telah banhyak tercantum dalam kitab-kitab
induk dan tafsir mereka. Al-Khulaini dalam muqadimahnya Usul al-Kafi nya menegaskan
bahwa Allah telah memberikan petunjuk kepada para imam dari Ahlulbait tentang agama
nya.7
Apabila melihat dari literatur Ahlussunnah, tidak dipungkiri bahwa sebagian mufassir
sunni juga membenarkan adanya makna zahir dan batin dalam Al-Qur’an. Tapi berbeda
dengan kelompok Syiah melampaui teoritisasi Sunni dan mengklaim bahwa makna zahir al-
Qur’an disisi Allah adalah dakwah kepada tauhid, kenabian dan risalah.8 Sedangkan makna
batinya adalah seruan kepada wilayah imamah Ahlulbait.9 Dengan demikian jelaslah dibalik
seruan Syi’ah kepada tafsir batini adalah untuk mendoktrin seseorang agar menerima ideologi
mereka.
Selain melakukan penafsiran ayat dengan cara batini. Syi’ah juga sebelumnya telah
menyatakan bahwa al-Qur’an yang ada ditangan manusia mengalami tahrif pasca wafatnya
Naafbi. Sebenarnya, metode penafsiran batini dan tuduhan mereka terhadap tahrif Al-
Qur’an , hanyalah alasan yang sengaja dirancang untuk dapat menyelamatkan dan menutupi
celah pada doktrin inti mereka, yaitu imamah. Dengan demikian, tafsir batinki dan tahrif Al-
Qur’an adalah bentuk kebohongan dan tuduhan keji mereka terhadap para sahabat.10
Apabila ditelisik lebih dalam, penafsiran secara batin pertama kali dipromosikan oleh
kelompok Saba’iyah, pengikut Abdullah bin Saba’.11 Yaitu, ketika mereka berusaha mencari
sandaran dari Al-Qur’an untuk mendukung kepercayaan mereka mengenai al-Raj’ah (hidup
kembali setelah mati)12. Ibn Saba’ mengatakan putra maryam akan kembali kedunia tetapi
tidak percaya Muhammad akan kembali,13 padahal Allah SWT berfirman : “sesungguhnya
yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan
mengembalikanmu ke tempat kembali.” (QS. Al-Qashas : 85). Ayat ini disalah tafsirkan oleh
Syi’ah bahwa Rasulullah SAW, akan kembali lagi ke dunia setelah ia wafat. Padahal. Maksud
“tempat kembali” pada ayat tersebut adalah kembali kepoada Allah setelah kematian.14
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tafsir yang digunakan Syi’ah dalam penafsiranya
bukanlah berasal dari islam.
D. Contoh Penafsiran Batini
Berikut beberpa contoh ayat yang ditasfirkan secara bāṭinī oleh para mufassir Syī‘ah:
Pertama
ٌ ِع َم َع هّٰللا ِ اِ ٰلهًا ٰا َخ ۘ َر ٓاَل اِ ٰلهَ اِاَّل هُ ۗ َو ُكلُّ َش ْي ٍء هَال
َك اِاَّل َوجْ هَهٗ ۗ لَهُ ْال ُح ْك ُم َواِلَ ْي ِه تُرْ َجعُوْ ن ُ َواَل تَ ْد
7
Al-Kulaini Usul al-Kahfi vol. 1 hal 25
8
Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun vol 2. hal 22-23
9
Ali al-Maskhini, Isthilahat al-Usl wa Mu’zam abhasiha hal 146
10
Abdullah bin Sulaiman Al-Sajistani, al-Mashahif (Makkah : Dar al-Bashar al-Islamiyah,2002) hal 12
11
Muhammad ibn Jarir at-Thabari, Tarikh at-Thabari
12
Ali ibn Muhammad Al-Faqihi, Dirasah ‘an al-Firaq fi Tarikh al-Muslimin
13
Muhammad Rida An-Najafi, Al-Syi’ah Wa ar-Raj’ah. hal. 19
14
Jalaludin Al-Suyuti, Al-Dar Al-Mansur vol 6.Hal 446
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allāh, tuhan apapun yang lain.
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa,
kecuali Allāh. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu
dikembalikan. (al-qashash ayat 88)
Disebutkan dalam al-Burhān fī Tafsīr al-Qur‟ān, bahwa Abū Ja‘far pernah ditanya
tentang ayat tersebut, maka ia berkata: ―Segala sesuatu akan binasa dan yang tersisa hanya
wajahnya. Dan Sesungguhnya Allāh Maha Agung dari pensifatan memiliki wajah. Maka
maknanya adalah segala sesuatu akan binasa kecuali agama-Nya dan wajah yang datang dari-
Nya (Alī bin Abī Ṭālib).‖ Dalam riwayat lain Abu Abdillāh menambahkan: ―Dan kamilah
(para imam) wajah Allāh itu.‖
Para ulama telah membantah penafsirat tersebut. Diantaranya adalah Shaikh
Muhammad al-Shinqiṭī, ia mengatakan bahwa penafsiran Syī‘ah tersebut sangatlah sesat.
Selain telah menafikan Sifat, mereka juga memalingkan makna wajhah kepada makna yang
batil. Apabila lafal tersebut ditafsirkan dengan makna imām, maka artinya ada dzat lain yang
abadi selain Allah, dan Ia memiliki tandingan di dunia ini. Maha Suci Allāh atas tuduhan
tersebut.
Kedua,
ُ ِيَ ْمحُوا هّٰللا ُ َما يَ َش ۤا ُء َوي ُْثب
ِ ت َۚو ِع ْند ٗ َٓه اُ ُّم ْال ِك ٰت
ب
Allāh menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitāb.(ar ra'd : 39)
Menurut Syī‘ah, ayat di atas merupakan dalil yang menerangkan tentang salah satu
Sifat Allāh, yaitu badā‟.Artinya, tidaklah mustahil bagi Dia untuk membatalkan takdir yang
telah diputuskan sebelumnya karena muncul pendapat atau hal-hal baru, yang sebelumnya
masih samar-samar.Zurārah meriwayatkan dari Ja‘far al-Ṣādiq, bahwa ‗Alī bin Ḥusain
pernah berkata: ―Demi Allāh, jika bukan karena sebuah ayat (tentang sifat badā‟), niscaya
akan aku ceritakan kepada kalian apa saja yang akan terjadi hingga hari kiamat, (firmal-Nya)
―Allāh menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),
dan di sisi-Nya-lah terdapat Umul Kitab (Lauḥul maḥfūẓ).
Badā‟ merupakan sifat yang mustahil bagi Allāh dan bertentangan dengan Sifat-Sifat
Mulia lainnya. Ayat tersebut menurut sebagian mufassir adalah membahas tentang hukum
yang dihapus dan hukum yang menggantikan, atau dalam istilah ilmu al-Qur´ān disebut
nasakh mansūkh. Dan menurut sebagian mufassir lainnya, ia menjelaskan tentang takdir.
Maksudnya, ada takdir hamba yang Allāh hilangkan kemudian diganti dengan yang lain, dan
semua itu sudah Allāh tuliskan sejak zaman „azalī. Dengan demikian, sangatlah tidak tepat
apabila ayat tersebut ditafsirkan sebagai justifikasi Allāh memiliki sifat badā‟.
Ketiga,
ۚ ُى ٰااَل ۤ ِء َربِّ ُك َما تُ َك ِّذ ٰب ِن يَ ۡخ ُر ُج ِم ۡنهُ َما اللُّ ۡـؤلُـُؤ َو ۡال َم ۡر َجان
ِّ َ َم َر َج ۡالبَ ۡح َر ۡي ِن يَ ۡلتَقِ ٰي ۙ ِن بَ ۡينَهُ َما بَ ۡرزَ ٌخ اَّل يَ ۡب ِغ ٰي ِ=نۚ فَبِا
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara
keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing... Dari keduanya keluar
mutiara dan marjan.(ar rahman 19-22)
Seorang pemuka Syī‘ah, Ibnu al-Muṭahhār al-Hillī (w. 747 H) 90 telah menafsirkan
ayat di atas, bahwa yang dimaksud dengan pertemuan dua lautan adalah pertemuan ‗Alī bin
Abī Ṭālib dan Faṭimah al-Zahra‘. Sedangkan “Antara keduanya ada batas yang tidak
dilampaui oleh masing-masing”, maksudnya adalah Nabī SAW. Dan: Dari keduanya keluar
mutiara dan marjan”, maksudnya adalah alḤasan dan al-Ḥusain. Ketika Ibnu al-Muṭahhār
mengemukakan ini, Shaikhul Islām Ibnu Taimiyah berkomentar: Perkataan ini dan yang
semisalnya hanya dilontarkan orang yang tidak memahami apa yang dikatakannya. Sepintas
ia seperti penafsiran al-Qur´ān, padahal ini sejenis dengan Tafsīr al-Mulāḥidah, alQāramiṭah
dan al-Bāṭiniyah terhadap al-Qur´ān. Bahkan, lebih buruk lagi, tafsir seperti ini merupakan
salah satu macam penjelek-jelekan terbesar terhadap alQur´ān.15
15
Taimiyah, Minḥāj Al-Sunnah Al-Nabawiyah vol. 4, p. 66.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sercara bahasa, lafal batini adalah sifat isim fa’il yang berasal dari kata
batana-yabtunu yang berarti adalah sesuatu yang tidak nampak atau
tersembunyi. Didalam al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menyebutkan
lafal tersebut, diantaranya “ dan tinggalkanlah dosa yamg nampak dan yang
tersembunyi” Apabila lafal batini diawali dengan tafsir, maka susunan dua
kata tersebut menjadi istilah tersendiri yang memiliki arti khusus.
Menurut al-Baghdadi, secara geologis ajaran kelompok batiniyah berasal
dari teologi Zoroaster.16 Bahkan al-Ghazali mensinyalir, selain dari
Zoroaster juga sebagian doktrin filsafat yang telah dimodifikasi dan
disesuaikan dengan Islam. Kemudian gerakan ini secara sistematis dan
terstruktur mulai muncul pada era Khalifah al-Makmun al-Abbasi (198-218)
di bawah kepemimpinan Maymun ibn Disan (W. 180 H) yang dikenal
dengan julukan al-Qaddah, ia adalah mantan penganut agama Zoroaster dan
bekas pembantu Ja’far ibn Muhammad al-Sadiq (80-148). Maymun ibn
Disan bersama koleganya mendeklarasikan dan memprogandakan ajaran
Batiniyah dari balik jeruji besi, yang kemudian penyebaranya terjadi secara
masif setelah ia keluar dari penjara. Ia mengajak penganutnya untuk
mentakwilkan Al-Qur’an secara batin dengan menggunakan tanda-tanda
(rumuz) seperti yang biasa diajarkan di dalam agama Zoroaster. Ajaran ini
terus berkembang hingga terpecah menjadi beberapa kelompok seperti al-
Babakiyah atau al-Kharmiyah dan al-Qaramitah.
Kaum syi’ah sendiri meyakini bahwa Al-Qur’an mempunyai makna
tersirat (batin) dan tersurat (zahir). Manusia biasa secara umum hanya dapat
mengetahui makna zahir nya saja , sementara makna batin hanya diketahui
oleh para imam dan orang-orang yang mreka kehendaki. Keterangan dan
riwayat tentang hal ini telah banhyak tercantum dalam kitab-kitab induk dan
tafsir mereka. Al-Khulaini dalam muqadimahnya Usul al-Kafi nya
menegaskan bahwa Allah telah memberikan petunjuk kepada para imam dari
Ahlulbait tentang agama nya.
16
Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-farq bayn al-Firaq hal. 284-285
Kelompok 7
Hermeneutika klasik yaitu lebih bercorak pada bentuk interpretasi teks dan
‘art of interpretation”. Dan istilah ini muncul pertama kali pada abad ke
XVII. Tetapi hermeneutika dalam arti sebagai aktivitas penafsiran telah lahir
jauh sebelumnya, usianya setua dengan eksegesis teks. Hermeneutika dalam
pandangan klasik mengingatkan pada tulisan Aristatoles dalam Peri
Hermeneias Atau De Interpretation. Yaitu : bahwa kata-kata yang kita
ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita
tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana
seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain akan
tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara
langsung itu adalah sama untuk semua orang. Sebagaimana juga
pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.
2. Hermeneutika Romansis
Hermneutika ini bermula dari Faderic Schaleirmacher (1768-1834) yang
menekankan dan meletakkan metode guna menghindari kesalahpahaman.
Tokoh ini berpengaruh sangat besar terhadap pemikir-pemikir hermeneutika
sesudahnya, baik yang setuju maupun yang tidak setuju dengan alirannya.
Dia juga dinilai telah mengalihkan hermeneutika dari penafsiran teks
keagamaan secara khusus ke aneka teks yang lainnya. Hermeneutika
pertengahan ini dimulai pada, dianggap berasal dari penafsiran terhadap
bible yang menggunakan empat level pemaknaan baik secara literal,
allegoris, tropological (moral), and eskatologis. Tetapi pada masa protestan,
empat pemaknaan itu kemudian disempitkan pada eksegegis literal atau
grammatical dan eksegegis studi tentang yahudi dan yunani.
3. Hermeneutika Filososfis
9
Argumentasi kontra hermeneutika al-Qur’an
Pendekatan Al-Quran melalui hermeneutika memiliki dampak-dampak, salah
satunya ialah, penafsiran yang bernalar antroposentris, mungkin itu alasan
mengapa nalar hermeneutika ini disebut takwil, mungkin lebih tepat untuk
disebut ta’wil-antroposentris. Pada faktanya antroposentris inilah yang
biasanya di tentang oleh kalangan umat beragama. Pendekatan al-Quran
melalui hermeneutika ini acap kali dipandang akan melenyapkan sakralitas
al-Qur’an, karena dengan pendekatan ini maka semua pemaknaan dan
pemahaman yang dinilai sakral dengan teks itu sendiri, kini dianggap hanya
hasil karya manusia biasa yang tidak bersih dari kesalahan.
Jika ditinjau lebih luas, argumentasi kelompok anti hermeneutika sebagai
berikut:
1. Dari sisi historisnya. Hermeneutika sendiri berasal dari tradisi barat,
kristen, juga filsafat, sehingga mungkin menyelipkan ajaran-ajaran kristiani.
Barat dan juga barat yang belum tentu sesuai dengan Islam.
2. Nyatanya umat Islam sendiri memiliki pendekatan/metodologi tersendiri
dalam menginterpretasikan Al-Quran yaitu ilmu tafsir Al-Qur’an 10
Penutup
Kesimpulan
Hermeneutika merupakan suatu kata yang mengarah kepada seni atau teknik
menetapkan makna. Hermeneutika adalah alat-alat yang di gunakan terhadap
teks dalam menganalisis dan memahami maksudnya serta menampakkan
nilai yang dikandungnya. Hermeneutika,
Hermeneutika adalah suatu metodologi yang merupakan sebuah pendekatan
untuk menginterpretasikan tujuan kitab suci berdasarkan pemahaman
terhadap teks kitab suci tak luput Al-Quran untuk dikaji secara hermeneutik.
Harus diakui bahwa hermeneutika lahir dari tradisi barat. Hermeneutika yang
lahir di tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan
mengalami perkembangan cukup signifikan. Istilah hermeneutika pertama
kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM).
Secara periodik hermeneutik dapat dibedakan dalam tiga fase.1.
hermeneutika romansis, 2. Hermeneutika klasik, dan hermeneutika filosofis.
Menurut Farid Esack pada bukunya Quran: Pluralism and Liberation,
penerapan hermeneutik sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam,
khususnya dalam Al-Quran
Nasr Hamid Abu Zayd seorang seorang tokoh pemikir pembaharu asal
Mesir, setidaknya memiliki dua tujuan dalam studi Al-Quran nya. 1.
Menghubungkan kembali kajian studi Al-Quran dengan studi sastra dan studi
kritis. Didasari dengan teks dan untuk mendefinisikan keobjektifan
pemahaman Islam,
Argumentasi kelompok anti hermeneutika sebagai berikut:
1. Dari sisi historisnya. Hermeneutika sendiri berasal dari tradisi barat,
kristen, juga filsafat, sehingga mungkin menyelipkan ajaran-ajaran kristiani.
Barat dan juga barat yang belum tentu sesuai dengan Islam. 2. Umat Islam
sendiri memiliki pendekatan/metodologi tersendiri dalam
menginterpretasikan Al-Quran yaitu ilmu tafsir Al-Qur’an
. Latar Belakang
Perkembangan aspek kehidupan masyarakat baik dari segi ilmu
pengetahuan, ekonomi, sosial maupun yang lain menuntut pemahaman
dan penafsiran Al-Qur’an yang tidak hanya sebatas harfiah saja, tetapi
haruslah dengan melalui pendekatan teoritis. Lebih dari itu berbagai
pendekatan atau corak penafsiran yang lebih umum dikalangan
masyarakat saat ini dibutuhkan mengingat pola piker manusia yang juga
berkembang mengikuti zaman. Maka dari itu, penafsiran Al-Qur’an
dengan corak limiah dinilai urgen dan penting untuk membuktikan
kebenaran Al-Qur’an secara ilmiah dan relevansinya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.17
Menurut Dr.Abdul Mustaqim, munculnya tafsir ilmi disebabkan
oleh dua faktor, yaitu: Pertama, faktor internal, yakni dengan adanya
dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang sangat menganjurkan manusia untuk
selalu melakukan penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniah
atau ayat-ayat kosmologi yang terdapat pada Qs. al-Ghasyiyah (88): 17-
20. Kedua, faktor eksternal, yakni adanya perkembangan dunia ilmu
pengetahuan dan sains modern. Dengan ditemukannya teori-teori ilmu
pengetahuan, para ilmuan muslim (para pendukung tafsir ilmi) berusaha
untuk melakukan kompromi antara Al-Qur’an dan sains dan mencari
‘justifikasi teologis’ terhadap sebuah teori ilmiah. Mereka juga ingin
membuktikan kebenaran Al-Qur’an (i’jaz al-‘ilm) secara ilmiah-empiris,
tidak hanya secara teologis-normatif.18
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tafsir Ilmi dan latar belakang perkembangannya?
2. Apa urgensi dari adanya Tafsir Ilmi ?
3. Apasaja Tahapan-tahapan dalam menafsirkan Al-Qur’an corak Tafsir
Ilmi?
17
Putri Maydi Arofatun Anhar, dkk,Tafsir Ilmi: Studi Model Penafsiran Berbasis
Ilmu Pengetahuan Pada Tafsir Kemenag, Prosiding Konferensi Integrasi Internasional
Islam dan Sains, Vol.1, September 2018, hal. 110.
18
Rubini, Tafsir Ilmi, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol.5, Nomor 2,
Desember 2016, hal. 94
4. Bagaimana pola kritik Tafsir Ilmi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi merupakan salah satu bentuk atau corak penafsiran Al-
Qur’an yang berkembang pesat pada era tafsir kontemporer. Secara bahasa
(etimologis), Tafsir Ilmi berasal dari bahasa Arab dan tersusun dari dua kata:
“al-tafsir” dan “al-‘ilmy”. Kata at-tafsir oleh para ulama dimaknai sebagai
usaha untuk memahami maksud dari Kalamullah sesuai dengan dengan
kemampuan manusia. Sementara al-‘ilmy dinisbatkan kepada kata ‘ilm
(ilmu) yang berarti “yang ilmiah atau bersifat ilmiah”. Jadi, secara bahasa
Tafsir Ilmi berarti tafsir ilmiah atau penafsiran ilmiah.19
Sedangkan menurut istilah (terminologi), beberapa definisi mengenai
Tafsir Ilmi telah dikemukakan para ahli. Muhammad Husayn al-Dzahaby
dalam kitabnya al-Tafsir wal-Mufassirun, mengemukakan bahwa Tafsir Ilmi
adalah penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori-
teori ilmiah dalam mengungkapkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan
berusaha untuk menggali berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan filsafat
terkait ayat-ayat tersebut. Dengan narasi yang berbeda, Abd al-Majid al-
Salam al-Muhtasib dalam kitabnya, Iittihajat al-Tafsir fil-Ashr al-Hadits,
mengatakan bahwa Tafsir Ilmi adalah penafsiran yang dilakukan oleh
seorang musafassir untuk mencari adanya kesesuaian dalam ayat-ayat Al-
Qur’an terhadap teori-teori ilmiah (penemuan ilmiah) serta berusaha
menggali berbagai masalah keilmuan dan filsafat.20
Dari kedua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-Tafsir
Ilmi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan menggunakan
corak ini adalah ayat-ayat kauniyyah (ayat-ayat yang berkenaan dengan alam
dan kejadian-kejadiannya). Dalam penafsiran ayat-ayat tersebut, mufassir
melengkapi dirinya dengan teori-teori sains (ilmu pengetahuan). Penafsiran
dengan corak tersebut bertujuan untuk mengungkap dan memperlihatkan
kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an di samping kemukjizatan dari segi yang lain.
21
Rubini,…hal. 94
22
Tim Tafsir Ilmiah Salman, Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah atas Juz Amma,
(Bandung: Penerbit Mizan Pustaka, 2014), hal. 23.
23
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 111.
C. Urgensi Tafsir Ilmi
Kemunculan tafsir ilmi mengandung polemik panjang di kalangan para
ulama. Hal ini karena terjadi perbedaaan pendapat di kalangan para ulama
mengenai boleh dan tidaknya tafsir ilmi. Para ulama yang menolak tafsir ilmi
ini berpandangan bahwa seolah-olah para ilmuan Muslim terlalu
memaksakan kehendak, yakni dengan mencari-cari kebenaran sains modern
di dalam Al-Qur’an dalam rangka menunjukkan keunggulan Islam sebagai
kompensasi apologetis. Menurut mereka, dalam menafsirkan Al-Qur’an
seseorang cukup menggunakan ilmu-ilmu yang sudah dipatenkan sebagai
alat untuk menafsirkan, misalnya seperti asbab al-nuzul, al-qira’at, ushul fiqh
serta makki dan madani. Sedangkan ilmu-ilmu lainnya misalkan astronomi,
perkiraan cuaca, sejarah dan ilmu biologi sama sekali tidak dibutuhkan
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sementara itu, para ulama yang mendukung
terhadap corak tafsir ilmi berargumen bahwa Al-Qur’an tidak hanya
menghimpun persoalan ilmu-ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu
pengetahuan. Hal ini misalnya sebagaimana diungkapkan oleh Al-Ghazali
dalam Ihya ‘Ulum al-Din yang mengutip pandangan ibn Mas’ud,
dikatakannya bahwa “Jika seseorang menginginkan pengetahuan masa
lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan Al-
Qur’an”.24
Terlepas dari polemik diatas, sejarah telah membuktikan bahwa
terdapat banyak mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan
sains atau ilmu pengetahuan, menggunakan pendekatan sains modern,
menunjukkan bahwa Al-Qur’an sebenarnya selaras dengan ilmu pengetahuan
bahkan Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan. Maka tidaklah
mengherankan apabila Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, menempati
posisi sentral, bukan saja dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi
juga merupakan inspirator dan bidang teknologi dan sains. Selain itu,
sebagaimana disampaikan oleh Tim Penyusun Tafsir Ilmi 2011, bahwasanya
di dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih 750 hingga 1000 ayat yang
mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang menunjukkan kekuasaan dan
kebesaran Allah SWT, sedang ayat-ayat hukum hanya sekitar 200 hingga
250.25
24
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 110.
25
Putri Maydi Arofatun Anhar,…hal. 112.
Tafsir ilmi pada era modern berangkat dari ketergangguan atas fakta
kemajuan peradaban Barat. Beberapa sarjana barat berlatar belakang sains
telah turut terlibat dalam diskursus-diskursus saintifikasi Al-Qura’an dan
mulai mendukungnya. Kebangkitan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
di Barat menciptakan dominasi di seluruh penjuru dumia, termasuk dunia
islam. Revolusi peradaban di Barat memang mengejutkan bagi peradaban
Islam. Saat Islam menikmati kejayaannya di era Abbasiyah, Barat sedang
terpuruk dan belajar banyak dari Islam. Namun, kini situasinya berbeda,
Barar maju pesat di berbagai sector, sedangkan umat Islam tertatih-tatih.
Berbagai penemuan mengagumkan yang tak terbayangkan sebelumnya
muncul dari dunia Barat. Dalam upaya mengatasi ketertinggalan ini
dilakukan berbagai cara, termasuk kembali masuk ke dalam Al-Qur’an
melalui bantuan analisis saintifikasi Al-Qur’an.26
Persoalan paling krusial dalam kajian tafsir Ilmi adalah menganalisis
adakah korelasi antara teori ilmiah modern dengan tafsir ayat Al-Qur’an.
Bagian inilah yang menimbulkan pro-kontra di kalangan ulama. Namun yang
pasti, pihak yang menerima tafsir Ilmi sepakat bahwa tidak boleh dilakukan
pemaksaan keterkaitan antara teori ilmu pengetahuan umum dengan tafsir
ayat Al-Qur’an.27
Dalam upaya menjaga kesucian Al-Qur’an para ulama merumuskan
beberapa prinsip dasar dalam menyusun sebuah tafsir ilmi, antara lain :
1) Memperhatikan arti dan kaidahkaidah kebahasaan.
2) Memperhatikan konteks ayat yang ditafsirkan, sebab ayat-ayat dan
surah Al-Qur’an, bahkan kata dan kalimatnya, saling berkorelasi.
3) Memperhatikan hasil-hasil penafsiran dari Rasulullah Saw, para
sahabat, tabi’in, dan para ulama tafsir, terutama yang menyangkut
ayat yang akan dipahaminya. Selain itu, diharuskan juga memahami
ilmu-ilmu Al-Qur’an.
4) Tidak menggunakan ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmiah untuk
menghukumi benar atau salahnya sebuah hasil penemuan ilmiah.
5) Memperhatikan kemungkinan satu kata atau ungkapan mengandung
sekian makna, Al-Gamrawī, seorang pakar tafsir ilmiah Al-Qur’an
Mesir, mengatakan, “Penafsiran AlQur'an hendaknya tidak terpaku
pada satu makna. Selama ungkapan itu mengandung berbagai
26
Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejara Perkembangannya,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2019), hal.189-190.
27
Rahman Hakim, Disertasi: Tafsir Salman dalam perspektif metodologi Tafsir
Ilmi Ahmad Al-Fadil, Surabaya: 2018, hal. 58.
kemungkinan dan dibenarkan secara bahasa, maka boleh jadi itulah
yang dimaksud Tuhan”
6) Untuk bisa memahami isyarat-isyarat ilmiah hendaknya memahami
betul segala sesuatu yang menyangkut objek bahasan ayat, termasuk
penemuan-penemuan ilmiah yang berkaitan dengannya.
7) Sebagian ulama menyarankan agar tidak menggunakan penemuan-
penemuan ilmiah yang masih bersifat teori dan hipotesis, sehingga
dapat berubah. Sebab teori tidak lain adalah hasil sebuah “pukul rata”
terhadap gejala alam yang terjadi. Begitupula hipotesis, masih dalam
taraf ujicoba kebenarannya. Yang boleh digunakan hanyalah yang
telah mencapai tingkat hakikat kebenaran ilmiah yang tidak bisa
ditolak lagi oleh akal manusia. Sebagian lain mengatakan, sebagai
sebuah penafsiran yang dilakukan berdasar kemampuan manusia,
teori dan hipotesis bisa saja digunakan di dalamnya, tetapi dengan
keyakinan kebenaran Al-Qur’an bersifat mutlak sedangkan
penafsiran itu relatif, bisa benar dan bisa salah.28
29
Rubini,…hal. 100-102.
Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”, Ar Rahman
(55):29-30.
Lalu dilanjutkan:
ُ َسن َۡف ُر
غ لَ ُكمۡ َأيُّهَ ٱلثَّقَاَل ِن
“Kami akan memberikan perhatian sepenuhnya kepadamu
(golongan) wahai jin dan manusia”, Ar Rahman (55): 31.
Kata akan menunjukkan masa yang akan datang dan bukan
pada kehidupan dunia saat ini. Karena dalam kehidupan dunia saat ini
Allah mengurus seluruh makhluknya baik yang ada di bumi maupun
yang ada di langit, sebagaimana yang diinformasikan 29. Sedangkan
ayat 29 menegaskan bahwa Allah akan berkonsentrasi menghadapi
jin dan manusia. Konsentrasi yang dimaksud pada ayat ini adalah
yang berkenaan dengan hisab atau perhitungan amal kebaikan dan
keburukan yang akan Allah perlakukan terhadap jin dan manusia.
Saat itulah, tidak ada satu pun yang dapat mengelak. Ayat 33
menantang jin dan manusia, bahwa mereka dipersilahkan untuk
keluar dari langit dan bumi. Namun mereka diingatkan bahwa usaha
mereka akan sia-sia kecuali jika mereka punya kekuatan, dan mereka
tidak memilikinya. Kalau pun ada yang berani mencoba, maka resiko
yang akan mereka terima adalah:
ٞ ي ُۡر َس ُل َعلَ ۡي ُك َما ُش َو
ِ َاس فَاَل تَنت
ص َرا ِن ٖ َّاظ ِّمن ن
ٞ ار َونُ َح
“Kepada kamu (jin dan manusia), akan dikirim nyala api dan
cairan tembaga (panas) sehingga kamu tidak dapat menyelamatkan
diri (tidak akan berhasil)”, Ar Rahman (55): 35.
Artinya, jika ayat 33 dipahami sebagai isyarat ilmiah
kemampuan manusia ke luar angkasa, maka bagaimana memahami
ayat 35 bahwa manusia tidak akan berhasil. Jika yang dimaksud
dengan ketidakberhasilan dalam kehidupuan dunia, maka ayat 35
akan dinilai bertentangan dengan kenyataan bahwa manusia saat ini
mampu pergi ke luar angkasa. Jika yang dimaksud adalah
ketidakkeberhasilan di akhirat, maka demikianlah yang dimaksud
oleh ayat tersebut. Sehingga, ayat 33 tidak ada korelasinya sama
sekali dengan kemampuan manusia mengarungi ruang angkasa
karena konteks ayat tersebut berbicara perkara di akhirat kelak.
Dengan demikian Quraish Shihab menilai penafsiran ilmiah ayat 33
surah al-Rahman adalah keliru karena tidak sesuai dengan konteks
ayat dalam surah yang berbicara persoalan akhirat, dan tidak ada
hubungannya dengan perkara di dunia.30
31
Muhammad Yusuf, Skripsi : Penciptaan Manusia Dalam Tafsir ‘Ilmi
Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta: 2020, hal. 40-44.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir Ilmi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan
menggunakan corak ini adalah ayat-ayat kauniyyah (ayat-ayat yang
berkenaan dengan alam dan kejadian-kejadiannya). Penafsiran dengan
corak tersebut bertujuan untuk mengungkap dan memperlihatkan
kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an di samping kemukjizatan dari segi yang
lain.
Latar belakang kemunculan tafsir ilmi dapat dimulai secak Khalifah
Al-Ma’mun (w.853 M). Yakni dengan didirikannya Bait al-Hikmah
sebagai pusat penerjemahan buku-buku ilmiah dan sains. Gagasan ini
kemudian berlanjut pada masa Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dimana ia
mulai menanamkan pokok-pokok tafsir corak ilmi yang kemudian baru
direalisasikan satu abad kemudian oleh Imam Fakhruddin al-Razi (w. 604
H) dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib. Setelah al-Razi, berbagai kitab tafsir
ilmi mulai muncul, di antaranya: Ghara'ib al-Quran wa Ragha'ib al-
Furqan, karya Al-Nasyaburi (w. 728 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-
Ta'wil karya Al-Baidhawi (w. 791 H), dan Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-
Quran al-Adhim wa Sab'al-Matsani karya Al-Alusi (w. 1217 H).
Kemudian pada abad ke-20, perkembangan tafsir ilmi semakin
meluas dan diminati oleh berbagai kalangan. Meluasnya minat terhadap
corak tafsir ilmi juga disebabkan karena umat Islam merasa tertinggal dari
negara-negara Barat dalam hal ilmu pengetahuannya.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai
diterima atau tidaknya, tafsir ilmi memiliki urgensi yang sangat penting
bagi perkembangan ilmu tafsir dan pemahaman Al-Qur’an pada masa ini.
Meski demikian, terlepas dari besarnya urgensi tafsir ilmi ini, beberapa
standar dan metode atau tahapan perlu diterapkan dalam penafsiran corak
ilmi, sehingga pemahaman ayat yang dihasilkan dengan pendekatan
ilmiah ini tidak menyimpang sebagaimana terjadi pada beberapa
penafsiran.
A. Pengertian Ad-dakhil
Fayed menjelaskan makna al-dakhil. Menurutnya, secara etimologi
term aldakhil bermakna antara lain:
a. Orang yang berfaliasi kepada yang bukan komunitasnya.
b. Tamu, disebut al-dakhil karena ia masuk ke rumah orang lain yang
dikunjunginya.
c. Kata serapan, karena ia berasal dari bahasa asing.
d. Orang asing yang datang untuk tujuan eksploitasi.32
Secara terminologis, Fayed mendefenisikan al-dakhil dengan
penafsiran Al-Qur’an yang tidak memiliki sumber, argumentasi dan data yang
valid dari agama.33 Dengan kata lain, ad-dakhil adalah penafsiran yang tidak
memiliki landasan yang valid dan ilmiah, baik dari al-Qur’an, hadis sahih,
pendapat sahabat dan tabi’in, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria
dan persyarat ijtihad.
Jadi ad-dakhil dalam tafsir yaitu suatu metode atau cara penafsiran
yang tidak memiliki sumber penetapannya dalam Islam, bertentangan dengan
ruh Al-Qur’an dan bertolak belakang dengan akal sehat, sehingga
memunculkan pemahaman yang tidak tetap terhadap Al-Qur’an.34
B. Macam-macam Ad-dakhil
1. Ad-Dakhil fi al-manqul (al-ma’tsur)
Dalam tafsir ini terdapat riwayat-riwayat yang shahih dan maudhu’.
Riwayat-riwayat yang sahih dapat diterima dan diamalkan kandungannya,
adapun riwayat-riwayat yang maudhu’ tidak dapat diterima dan diamalkan
kandungannya. Beberapa sumber ad-dakhil dalam bagian ini ialah ad-dakhil
melalui Hadits Maudhu’, ad-dakhil melalui Isra’iliyat, ad-dakhil yang
dinisbatkan kepada sahabat dengan cara dusta, ad-dakhil yang dinisbatkan
kepada tabi’in dengan cara dusta atau yang dinisbatkan kepada mursal tabi’in
tanpa dikuatkan dengan dalil lain.35
2. Ad-Dakhil Fi ra’yi
Keberadaan Ad-Dakhil tidak terlepaskan dari faktor-faktor yang
mengakibatkan kemunculan di dalam kajian tafsir, diantaranya ialah ingkar
kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang disertai dengan niat jelek, hanya mengambil
zahirnya nash saja tanpa melakukan kajian analisis, melakukan tahrif
(menyalahgunakan) terhadap teks Al-Qur’an, mencakupkan pada penjelasan
makna batinnya teks Al-Qur’an tanpa disertai dalil sebagai pendukung, keluar
dari tata bahasa dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang baku, menafsirkan AL-
Qur’an tanpa memenuhi persyaratan sebagai mufasir, dan memaksakan dalam
32
Lihat misalnya Ibrahim Mustafa, et.all., al-Mu’jam al-Wasit (Istanbul: Dar al-Da’wah, 1990),
hal. 275.
33
Fayed, al-Dakhil fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz 1, hal. 13
34
Abd al-Wahhab Ab d al-Wahhab Fayed, al-Dakhil fi Tafsir Alquran al-Karim (Kairo: Matba’ah
al-Hadarah al-‘Arabiyah, 1980),hal. 3.
35
Mujiburrahman, AL-DAKHIL DALAM RA’YI DAN MA’TSUR, vol.6, Ahsana media, 2020 hal.
83.
memadukan antara teks Al-Qur’an dan Hadits.36 Diantara ad-dakhil pada
bagian ini adalah ad-dakhil al-lughah, dan ad-dakhil ra’yi.37
ۢ ٰ
ٍ فَٱنطَلَقَا َحتَّ ٰ ٓى ِإ َذا لَقِيَا ُغلَ ًما فَقَتَلَ ۥهُ قَا َل َأقَت َْلتَ نَ ْفسًا زَ ِكيَّةً بِ َغي ِْر نَ ْف
س لَّقَ ْد ِجْئتَ َش ْيـًٔا نُّ ْكرًا
“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan
seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu
membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".
40
Imam Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Alamiah, 2003),
hlm. 288.
41
Muhammad Husain al-Zahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadits, 2005), hlm. 256.
membacanya dengan ( )الختذتyaitu upah karena penduduk negeri tidak mau
menjamu keduanya, padahal mereka memerlukan makanan.42
Dalam Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Adziim karya Imam Ibnu Katsir, beliau
menjelaskan bahwa setelah mereka menempuh perjalanan, mereka sampai pada
penduduk suatu negeri. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa negeri itu
adalah Al-Ailah. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa keduanya datang kepada
penduduk suatu kampung yang tercela, yaitu penduduknya kikir. Mereka tidak
mau menjamu keduanya, kemudian keduanya mendapati dinding yang hampir
roboh dalam negeri itu. Penggunaan kata iradah (hendak) bagi dinding bukanlah
menurut hakikatnya, akan tetapi ini adalah sebagai isti’arah (kiasan) saja, karena
dalam berbagai perbincangan, kata Al-Iradah berarti kecenderungan. Sedangkan
kata Al-Inqdhadh berarti roboh/jatuh. Kemudian, Khidhir menegakkan dinding
tersebut menggunakan tangannya serta menopangnya hingga tegak seperti semula.
Lalu Musa mengatakan kepada Khidhir, bahwa jika ia mau, maka ia bisa saja
meminta imbalan kepada penduduk negeri tersebut atas perbuatannya. Lalu
Khidhir mengatakan kepada Musa bahwa saat itulah waktu perpisahan mereka.
Karena sebagaimana yang dikatakan oleh Musa sendiri ketika peristiwa
pembunuhan yang dilakukan oleh Khidhir terhadap anak kecil waktu itu, bahwa
jika Musa bertanya kepada Khidhir tentang sesuatu hal setelahnya, maka Khidhir
tidak boleh memperkenankan Musa untuk mengikutinya lagi43
Imam Baidhawi dalam tafsirnya Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Takwil44
mengatakan bahwa negeri yang dimaksud dalam ayat ini ialah negeri Antakya,
dan dikatakan juga bahwa negeri itu merupakan Ablah (sebuah nama kota) di
Basrah, dan dikatakan juga negeri itu adalah Bajrawan Armenia.45 Namun, beliau
tidak menyertakan sumber sanad dalam riwayatnya serta tidak menyertakan
referensi darimana riwayat tersebut didapatkan. Hal itu menjadi sebuah ciri dari
penafsiran Baidhawi, dimana beliau memang menggunakan bahasa yang ringkas
dalam memaknai suatu masalah, serta tidak menggunakan catatan atau komentar
mengenai apa yang telah ia jelaskan dalam tafsirnya.46 Ketika menafsirkan ayat
dengan menyisipkan unsur israiliyyat, Baidhawi mengisyaratkan dengan
menggunakan kata qila (dikatakan) atau ruwiya (diriwayatkan). Menurut Al-
Zahabi, penggunaan kedua istilah ini menunjukkan bahwa Al-Baidhawi
42
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin asy-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, (Kairo: Dar al-Hadits, t. th),
hlm. 392
43
7Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Arif Rahman Hakim, (Jawa Tengah: Insan Kamil,
2019), hlm. 503.
44
Kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ditulis oleh Abi Sa’id Abdullah bin Umar bin
Muhammad Asy-Syairazi al-Baidhawi (atau sering dipanggil dengan Al-Baidhawi) di Beirut,
Lebanon. Beliau dilahirkan di Baida’ sebuah daerah yang berdekatan dengan Iran Selatan.
Sumber: syeevaulfa.blogspot.com., Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, diakses pada
tanggal 23 Desember 2020, pukul 14.07 WIB.
45
Imam Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Alamiah, 2003),
hlm. 289.
46
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hlm. 32.
mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah israiliyyat tersebut47
Terbukti dalam menafsirkan nama negeri dalam ayat ini, beliau menggunakan
kata qila sebagai isyarat terdapatnya unsur israiliyyat di dalamnya.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam ayat ini terdapat al-
dakhil berupa riwayat israiliyyat yang bersumber dari tafsir Baidhawi. Yaitu
ketika beliau menafsirkan nama negeri yang di dalamnya terdapat penduduk yang
tidak mau menjamu mereka itu bernama Antakya. Jalaluddin al-Malhalli
mengatakan bahwa dinding rumah yang hampir roboh tersebut memiliki tinggi
seratus hasta. Hal tersebut merupakan sebuah cerita israiliyyat yang tidak
diketahui asal-usulnya dan perawinya
َ ٰ َوَأ َّما ْٱل ِجدَا ُر فَ َكانَ لِ ُغ ٰلَ َم ْي ِن يَتِي َم ْي ِن فِى ْٱل َم ِدينَ ِ=ة َو َكانَ تَحْ تَهۥُ َكن ٌز لَّهُ َما َو َكانَ َأبُوهُ َما
صلِحًا فََأ َرا َد َربُّكَ َأن يَ ْبلُغَٓا
َ ْطع َّعلَ ْي ِه
ص ْبرًا َ َِأ ُش َّدهُ َما َويَ ْست َْخ ِر َجا َكن َزهُ َما َرحْ َمةً ِّمن َّربِّكَ ۚ َو َما فَ َع ْلتُهۥُ ع َْن َأ ْم ِرى ۚ ٰ َذل
ِ ك تَْأ ِوي ُل َما لَ ْم تَس
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu,
sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya”
Menurut al-Mahalli, dinding rumah yang hampir roboh tersebut
merupakan milik dari dua anak yatim yang di dalamnya tersimpan harta berupa
emas dan perak yang dipendam. Harta tersebut untuk mereka berdua dan ayahnya
yang saleh. Sehingga harta dan jiwa mereka berdua terjaga karena kesalehan ayah
mereka. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa, dan
keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsir Al-Qur’an al-Adziim, yang juga
menjadi sumber penafsiran dalam tafsir ini, mengatakan bahwa dinding rumah
yang sengaja diperbaiki itu merupakan milik dua anak yatim penduduk kota itu,
dimana di dalamnya terdapat harta benda simpanan untuk mereka. Ikrimah dan
Qatadah, serta yang lainnya mengatakan bahwasannya di bawah rumah tersebut
terdapat harta yang terpendam bagi kedua anak yatim itu. Demikianlah makna
lahiriah dari ayat tersebut, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Al-
Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa di dalamnya terdapat
perbendaharaan ilmu yang terpendam. Hal yang sama dikatakan oleh Sa’id bin
Jubair. Mujahid mengatakan bahwa yang terpendam itu berupa lembaran
lembaran yang bertuliskan ilmu pengetahuan. Di dalamnya terdapat sebuah hadis
47
Muhammad Husain az-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadits, 2005), hlm.
256.
yang marfu’ telah disebutkan hal yang menguatkan pendapat ini. Al-Hafizh48 Abu
Bakar Ahmad bin Amru bin Abdul Khaliq Al-Bazzar telah mengatakan di dalam
kitab musnadnya yang terkenal, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim
bin Sa’id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mundzir, telah
menceritakan kepada kami Al-Harits bin Abdullah Al-Yahshubi, dari Iyasy bin
Abbas Al-Qatbani, dari Abu Hurairah, dari Abu Dzar, ia merafa’kannya, bahwa
sesungguhnya harta terpendam yang difirmankan oleh Allah di dalam kitab-Nya
adalah berupa lempengan-lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut :
“Aku merasa heran terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada takdir,
mengapa dia bersusah payah. Dan aku heran terhadap orang yang ingat akan
neraka, mengapa dia tertawa. Dan aku merasa heran kepada orang yang ingat akan
mati, mengapa ia lalai. Tidak ada illah (sesembahan yang hak) selain Allah,
Muhammad utusan Allah.”49
Dalam kitab anwar Al-Tanzil Wa Asrar At-Takwil karya Baidhawi,
ditemukan penafsiran yang serupa terkait tafsir ayat ini. Baidhawi menjelaskan
bahwa dinding rumah yang hampir roboh tersebut merupakan kepunyaan dari dua
anak yatim yang dikatakan anak tersebut bernama Asram dan Sarim, dan nama
orang yang terbunuh (ayahnya) adalah Jaysur. Di dalam rumah tersebut terdapat
harta simpanan berupa emas dan perak untuk mereka. Namun, mereka tidak mau
mengeluarkan harta tersebut untuk zakat. Dan dikatakan bahwa sesungguhnya
harta yang terpendam yang difirmankan oleh Allah di dalam kitab-Nya adalah
berupa lempengan-lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut : “Aku
merasa heran terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada takdir,
mengapa dia bersusah payah. Dan aku heran terhadap orang yang ingat akan
neraka, mengapa dia tertawa. Dan aku merasa heran kepada orang yang ingat akan
mati, mengapa ia lalai. Tidak ada illah (sesembahan yang hak) selain Allah,
Muhammad utusan Allah.”50 Dalam tafsir ayat ini, Baidhawi terindikasi
menyisipkan riwayat israiliyyat di dalamnya. Terbukti dengan penggunaan kata
qila (dikatakan) dan ruwiya (diriwayatkan) namun tidak menyebutkan sanad di
dalamnya. Sehingga tidak diketahui darimana riwayat tersebut di dapatkan.
Dalam tafsir ayat tersebut terdapat ad-dakhil berupa riwayat israiliyyat
yang berasal dari tafsir Baidhawi. Yaitu ketika menafsirkan bahwa harta tersebut
ialah berupa emas dan perak yang dipendam. Ad-Dakhil dalam tafsir ini terjadi
pada era tabi’in yang dilatarbelakangi oleh faktor politik dan kekuasaan.
48
49
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Arif Rahman Hakim, (Jawa Tengah: Insan Kamil,
2019), hlm. 506
50
Imam Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Alamiah, 2003),
hlm. 290
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
51
Fayed, al-Dakhil fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz 1, hal. 13