Anda di halaman 1dari 48

Kelompok 6

KRITIK TERHADAP TAFSIR BATINIYAH

A. Pengertian Kritik Tafsir Batiniyah


Sercara bahasa, lafal batini adalah sifat isim fa’il yang berasal dari kata batana-
yabtunu yang berarti adalah sesuatu yang tidak nampak atau tersembunyi. Didalam al-
Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menyebutkan lafal tersebut, diantaranya “ dan
tinggalkanlah dosa yamg nampak dan yang tersembunyi” Apabila lafal batini diawali dengan
tafsir, maka susunan dua kata tersebut menjadi istilah tersendiri yang memiliki arti khusus.
Batiniyah adalah sebutan bagi golungan kaum ekstrimis Syi’ah seperti Isma’ilyah,
Qaramitah, Kharmiyah, dan Rafidah. Predikat ini disematkan karena mereka sepakat
meyakini bahwa tiap-tiap yang zahir memiliki makna batin. Makna zahir diibaratkan seperti
kulit sementara makna batin adalah isinya. Dengan pemahaman semacam ini , pada tahap
tertentu, mereka kemudian memprogandakan gugurnya kewajiban keagamaan. Karena
sederet kewajiban keagamaan ( al-taklif al-diniyah) sejatinya adalah ekspresi lahiriah yang
menunjukkan hakikat agama yang sesungguhnya. Tanpa melewati bentuk lahiriah seseorang
tidak akan mampu mencapai hakikat agama yang sesungguhya. Menurut mereka, hakikat
pengajaran seperti ini mereka dapatkan melalui para imam mereka yang ma’sum.
Berdasarkan pradigma seperti ini , mereka kemudian menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara
sporadis untuk menjustifikasi madzhab nya.1
B. Sejarah Munculnya Tafsir Batiniyah
Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang paling utama, ia merupakan wahyu
secara murni makna dan lafadnya dari Allah SWT.2 Walau demikian tidak semua lafal atau
ayat di dalamnya dapat dipahami secara langsung oleh para hamba. Ada ayat-ayat yang
membutuhkan bayan (penjelasan). Oleh karena itu, Allah mengutus seorang dari Nabi untuk
menjelaskan isi dari kandungan Al-Qur’an. Penjelasan dari Nabi tersebut, kemudian
ditangkap oleh para sahabatnya dan disampaikan secara turun temurun kepada generasi
setelahnya. Seiring berjalanya waktu, munculah firqah-firqah yang menafsirkan Al-Qur’an
secara mandiri. Salah satunya adalah Syiah, firqah yang mengaku bagian dari islam. Mereka
membedakan diri dari metode tafsir-tafsir ulama Sunni, bahkan metode-metode penafsiran
yang disepakati oleh para Salaf sebelumnya. Syiah memiliki metode sendiri dalam
menfsirkan Al-Qur’an, yaitu tafsir Batini. Hal berawal dari doktrin keyakinan mereka bahwa
Al-Quran memiliki makna tersirat (batin) dan makna tersurat (zahir).3
Manusia secara umum hanya dapat mengetahui makna zahir-nya saja, sementara
makna batini hanya diketahui oleh para imam dan orang-orang yang mereka kehendaki.4
Dengan demikian, Syiah dapat secara bebas menafsirkan setiap ayat, hingga akhirnya
berdampak pada pembentukan aqidah dan syari’ah Syiah yang cenderung berbeda dengan
Ahlussunnah.

1
Dr. Muhammad Ulinnuha, Metode kritik ad-Dakhil fit-Tafsir hal 167-167
2
Manna Khalil Al-Khattan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an
3
Muhammad Ya’qub al-Kulaini, Al-Zahabi, Al-Tafsir al-Mufassirun vol 2
4
Muhammad Baqir al-Majlisi, Bahrul Anwar hal. 302
Menurut al-Baghdadi, secara geologis ajaran kelompok batiniyah berasal dari teologi
Zoroaster.5 Bahkan al-Ghazali mensinyalir, selain dari Zoroaster juga sebagian doktrin
filsafat yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan Islam. Kemudian gerakan ini secara
sistematis dan terstruktur mulai muncul pada era Khalifah al-Makmun al-Abbasi (198-218) di
bawah kepemimpinan Maymun ibn Disan (W. 180 H) yang dikenal dengan julukan al-
Qaddah, ia adalah mantan penganut agama Zoroaster dan bekas pembantu Ja’far ibn
Muhammad al-Sadiq (80-148). Maymun ibn Disan bersama koleganya mendeklarasikan dan
memprogandakan ajaran Batiniyah dari balik jeruji besi, yang kemudian penyebaranya terjadi
secara masif setelah ia keluar dari penjara. Ia mengajak penganutnya untuk mentakwilkan Al-
Qur’an secara batin dengan menggunakan tanda-tanda (rumuz) seperti yang biasa diajarkan
di dalam agama Zoroaster. Ajaran ini terus berkembang hingga terpecah menjadi beberapa
kelompok seperti al-Babakiyah atau al-Kharmiyah dan al-Qaramitah.
Menanggapi model penafsiran kelompok Batiniyah yang cenderung mementingkan
makna batin ini, fayed memberika dua parameter sebagai persyaratan diterima tidaknya
penafsiran dengan menggunakan makna batin.
1. Sesuai dengan aturan bahasa Arab (muwafaqat al- ‘Arabiyah)
2. Sejalan dengan syariat Islam ( syahadat al-Syar’i)
Dua parameter tafsir batin yang diajukan oleh Fayed ini hampir mirip, dengan
rumusan al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat nya. Dalam kitab itu secara gamblang bahwa
Al-Quran memiliki makna lahir dan makna batin. Diterima tidaknya makna batin itu harus
memeperhatikan dua syarat itu.
Diantara penafsiran kelompok batiniyah yang mendapat kritik dari Fayed adalah penafsiran
an-Nu’main ibn Muhammad al- Tamimi (w.363 H). terhadap ayat berikut :
َ =‫َ=و= هَّللا ُ= َج= َع= َل= لَ= ُك= ْ=م= ِم= ْ=ن= بُ= يُ= و=تِ= ُك= ْم= َس= َك= نً= ا= َو= َ=ج= َع= َ=ل= لَ= ُك= ْم= ِم= ْ=ن= ُج= لُ= و= ِد= ا=َأْل ْن= َع= ا= ِ=م= بُ= يُ= و=تً= ا= تَ= ْس= تَ= ِ=خ= ُّف= و=نَ= هَ= ا= يَ= ْ=و= َم‬
=‫ظ= ْع= نِ= ُك= ْم= َو= يَ= ْ=و= َم‬
=‫ص= َ=و= ا=فِ= هَ= ا= َو= َأ ْ=و= بَ= ا= ِر= هَ= ا= َو= َأ ْش= َع= ا= ِر= هَ= ا= َأ ثَ= ا=ثً= ا= َ=و= َم= تَ= ا= ًع= ا= ِإ لَ= ٰ=ى= ِح= ي= ٍن‬ =ْ ‫ِإ قَ= ا= َم= تِ= ُك= ْم= ۙ= َو= ِم= ْ=ن= َأ‬
“ Dan allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan dia
menjadikan bagimu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang merasa
ringsn (membawanya) di waktu kamu berjalan dan di waktu kamu bermukim, dan dijadika
nya pula dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan
perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu tertentu.” (QS, an-Nahl [16] : 80).
Nu’man ibn Muhammad al-Tamimi menafsirkan secara batin kata buyut (rumah-
rumah) sebagai wali-wali Allah yakni para imam, kata sakan sebagai ilmu para wali Allah
(imam) yang menyebabkan tenang nya hati mukminin, ya yakni ilmu takwil, sementara kata
julud, aswaf, awbar, asy’ar, ditafsiri secara pemahaman lahiriah, berupa kewajiban-
kewajiban agama yang dilakukam secara terus menerus oleh umat manusia sampai ajal
menjemput.
Jika penafsiran diatas diukur dengan parameter tafsir batini yang telah ditetapkan Fayed,
maka penafsiran Nu’man tentu tidak memenuhi dua syarat yang ada. Sehingga penfasiran
batini nya harus dikritisi dan pada tahap tertentu, direkomendasikan untuk tidak dipakai.6

5
Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-farq bayn al-Firaq hal. 284-285
6
Dr. Muhammad Ulinnuha, metode kritik Ad-Dakhil fii-Tafir hal. 174
C. Eksistensi Makna Batini Dan Zahir
Kaum syi’ah sendiri meyakini bahwa Al-Qur’an mempunyai makna tersirat (batin)
dan tersurat (zahir). Manusia biasa secara umum hanya dapat mengetahui makna zahir nya
saja , sementara makna batin hanya diketahui oleh para imam dan orang-orang yang mreka
kehendaki. Keterangan dan riwayat tentang hal ini telah banhyak tercantum dalam kitab-kitab
induk dan tafsir mereka. Al-Khulaini dalam muqadimahnya Usul al-Kafi nya menegaskan
bahwa Allah telah memberikan petunjuk kepada para imam dari Ahlulbait tentang agama
nya.7
Apabila melihat dari literatur Ahlussunnah, tidak dipungkiri bahwa sebagian mufassir
sunni juga membenarkan adanya makna zahir dan batin dalam Al-Qur’an. Tapi berbeda
dengan kelompok Syiah melampaui teoritisasi Sunni dan mengklaim bahwa makna zahir al-
Qur’an disisi Allah adalah dakwah kepada tauhid, kenabian dan risalah.8 Sedangkan makna
batinya adalah seruan kepada wilayah imamah Ahlulbait.9 Dengan demikian jelaslah dibalik
seruan Syi’ah kepada tafsir batini adalah untuk mendoktrin seseorang agar menerima ideologi
mereka.
Selain melakukan penafsiran ayat dengan cara batini. Syi’ah juga sebelumnya telah
menyatakan bahwa al-Qur’an yang ada ditangan manusia mengalami tahrif pasca wafatnya
Naafbi. Sebenarnya, metode penafsiran batini dan tuduhan mereka terhadap tahrif Al-
Qur’an , hanyalah alasan yang sengaja dirancang untuk dapat menyelamatkan dan menutupi
celah pada doktrin inti mereka, yaitu imamah. Dengan demikian, tafsir batinki dan tahrif Al-
Qur’an adalah bentuk kebohongan dan tuduhan keji mereka terhadap para sahabat.10

Apabila ditelisik lebih dalam, penafsiran secara batin pertama kali dipromosikan oleh
kelompok Saba’iyah, pengikut Abdullah bin Saba’.11 Yaitu, ketika mereka berusaha mencari
sandaran dari Al-Qur’an untuk mendukung kepercayaan mereka mengenai al-Raj’ah (hidup
kembali setelah mati)12. Ibn Saba’ mengatakan putra maryam akan kembali kedunia tetapi
tidak percaya Muhammad akan kembali,13 padahal Allah SWT berfirman : “sesungguhnya
yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan
mengembalikanmu ke tempat kembali.” (QS. Al-Qashas : 85). Ayat ini disalah tafsirkan oleh
Syi’ah bahwa Rasulullah SAW, akan kembali lagi ke dunia setelah ia wafat. Padahal. Maksud
“tempat kembali” pada ayat tersebut adalah kembali kepoada Allah setelah kematian.14
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tafsir yang digunakan Syi’ah dalam penafsiranya
bukanlah berasal dari islam.
D. Contoh Penafsiran Batini
Berikut beberpa contoh ayat yang ditasfirkan secara bāṭinī oleh para mufassir Syī‘ah:
Pertama
ٌ ِ‫ع َم َع هّٰللا ِ اِ ٰلهًا ٰا َخ ۘ َر ٓاَل اِ ٰلهَ اِاَّل هُ ۗ َو ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬
َ‫ك اِاَّل َوجْ هَهٗ ۗ لَهُ ْال ُح ْك ُم َواِلَ ْي ِه تُرْ َجعُوْ ن‬ ُ ‫َواَل تَ ْد‬

7
Al-Kulaini Usul al-Kahfi vol. 1 hal 25
8
Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun vol 2. hal 22-23
9
Ali al-Maskhini, Isthilahat al-Usl wa Mu’zam abhasiha hal 146
10
Abdullah bin Sulaiman Al-Sajistani, al-Mashahif (Makkah : Dar al-Bashar al-Islamiyah,2002) hal 12
11
Muhammad ibn Jarir at-Thabari, Tarikh at-Thabari
12
Ali ibn Muhammad Al-Faqihi, Dirasah ‘an al-Firaq fi Tarikh al-Muslimin
13
Muhammad Rida An-Najafi, Al-Syi’ah Wa ar-Raj’ah. hal. 19
14
Jalaludin Al-Suyuti, Al-Dar Al-Mansur vol 6.Hal 446
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allāh, tuhan apapun yang lain.
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa,
kecuali Allāh. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu
dikembalikan. (al-qashash ayat 88)
Disebutkan dalam al-Burhān fī Tafsīr al-Qur‟ān, bahwa Abū Ja‘far pernah ditanya
tentang ayat tersebut, maka ia berkata: ―Segala sesuatu akan binasa dan yang tersisa hanya
wajahnya. Dan Sesungguhnya Allāh Maha Agung dari pensifatan memiliki wajah. Maka
maknanya adalah segala sesuatu akan binasa kecuali agama-Nya dan wajah yang datang dari-
Nya (Alī bin Abī Ṭālib).‖ Dalam riwayat lain Abu Abdillāh menambahkan: ―Dan kamilah
(para imam) wajah Allāh itu.‖
Para ulama telah membantah penafsirat tersebut. Diantaranya adalah Shaikh
Muhammad al-Shinqiṭī, ia mengatakan bahwa penafsiran Syī‘ah tersebut sangatlah sesat.
Selain telah menafikan Sifat, mereka juga memalingkan makna wajhah kepada makna yang
batil. Apabila lafal tersebut ditafsirkan dengan makna imām, maka artinya ada dzat lain yang
abadi selain Allah, dan Ia memiliki tandingan di dunia ini. Maha Suci Allāh atas tuduhan
tersebut.

Kedua,
ُ ِ‫يَ ْمحُوا هّٰللا ُ َما يَ َش ۤا ُء َوي ُْثب‬
ِ ‫ت َۚو ِع ْند ٗ َٓه اُ ُّم ْال ِك ٰت‬
‫ب‬
Allāh menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitāb.(ar ra'd : 39)
Menurut Syī‘ah, ayat di atas merupakan dalil yang menerangkan tentang salah satu
Sifat Allāh, yaitu badā‟.Artinya, tidaklah mustahil bagi Dia untuk membatalkan takdir yang
telah diputuskan sebelumnya karena muncul pendapat atau hal-hal baru, yang sebelumnya
masih samar-samar.Zurārah meriwayatkan dari Ja‘far al-Ṣādiq, bahwa ‗Alī bin Ḥusain
pernah berkata: ―Demi Allāh, jika bukan karena sebuah ayat (tentang sifat badā‟), niscaya
akan aku ceritakan kepada kalian apa saja yang akan terjadi hingga hari kiamat, (firmal-Nya)
―Allāh menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),
dan di sisi-Nya-lah terdapat Umul Kitab (Lauḥul maḥfūẓ).
Badā‟ merupakan sifat yang mustahil bagi Allāh dan bertentangan dengan Sifat-Sifat
Mulia lainnya. Ayat tersebut menurut sebagian mufassir adalah membahas tentang hukum
yang dihapus dan hukum yang menggantikan, atau dalam istilah ilmu al-Qur´ān disebut
nasakh mansūkh. Dan menurut sebagian mufassir lainnya, ia menjelaskan tentang takdir.
Maksudnya, ada takdir hamba yang Allāh hilangkan kemudian diganti dengan yang lain, dan
semua itu sudah Allāh tuliskan sejak zaman „azalī. Dengan demikian, sangatlah tidak tepat
apabila ayat tersebut ditafsirkan sebagai justifikasi Allāh memiliki sifat badā‟.

Ketiga,
ۚ ُ‫ى ٰااَل ۤ ِء َربِّ ُك َما تُ َك ِّذ ٰب ِن يَ ۡخ ُر ُج ِم ۡنهُ َما اللُّ ۡـؤلُـُؤ َو ۡال َم ۡر َجان‬
ِّ َ ‫َم َر َج ۡالبَ ۡح َر ۡي ِن يَ ۡلتَقِ ٰي ۙ ِن بَ ۡينَهُ َما بَ ۡرزَ ٌخ اَّل يَ ۡب ِغ ٰي ِ=نۚ فَبِا‬
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara
keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing... Dari keduanya keluar
mutiara dan marjan.(ar rahman 19-22)
Seorang pemuka Syī‘ah, Ibnu al-Muṭahhār al-Hillī (w. 747 H) 90 telah menafsirkan
ayat di atas, bahwa yang dimaksud dengan pertemuan dua lautan adalah pertemuan ‗Alī bin
Abī Ṭālib dan Faṭimah al-Zahra‘. Sedangkan “Antara keduanya ada batas yang tidak
dilampaui oleh masing-masing”, maksudnya adalah Nabī SAW. Dan: Dari keduanya keluar
mutiara dan marjan”, maksudnya adalah alḤasan dan al-Ḥusain. Ketika Ibnu al-Muṭahhār
mengemukakan ini, Shaikhul Islām Ibnu Taimiyah berkomentar: Perkataan ini dan yang
semisalnya hanya dilontarkan orang yang tidak memahami apa yang dikatakannya. Sepintas
ia seperti penafsiran al-Qur´ān, padahal ini sejenis dengan Tafsīr al-Mulāḥidah, alQāramiṭah
dan al-Bāṭiniyah terhadap al-Qur´ān. Bahkan, lebih buruk lagi, tafsir seperti ini merupakan
salah satu macam penjelek-jelekan terbesar terhadap alQur´ān.15

15
Taimiyah, Minḥāj Al-Sunnah Al-Nabawiyah vol. 4, p. 66.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sercara bahasa, lafal batini adalah sifat isim fa’il yang berasal dari kata
batana-yabtunu yang berarti adalah sesuatu yang tidak nampak atau
tersembunyi. Didalam al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menyebutkan
lafal tersebut, diantaranya “ dan tinggalkanlah dosa yamg nampak dan yang
tersembunyi” Apabila lafal batini diawali dengan tafsir, maka susunan dua
kata tersebut menjadi istilah tersendiri yang memiliki arti khusus.
Menurut al-Baghdadi, secara geologis ajaran kelompok batiniyah berasal
dari teologi Zoroaster.16 Bahkan al-Ghazali mensinyalir, selain dari
Zoroaster juga sebagian doktrin filsafat yang telah dimodifikasi dan
disesuaikan dengan Islam. Kemudian gerakan ini secara sistematis dan
terstruktur mulai muncul pada era Khalifah al-Makmun al-Abbasi (198-218)
di bawah kepemimpinan Maymun ibn Disan (W. 180 H) yang dikenal
dengan julukan al-Qaddah, ia adalah mantan penganut agama Zoroaster dan
bekas pembantu Ja’far ibn Muhammad al-Sadiq (80-148). Maymun ibn
Disan bersama koleganya mendeklarasikan dan memprogandakan ajaran
Batiniyah dari balik jeruji besi, yang kemudian penyebaranya terjadi secara
masif setelah ia keluar dari penjara. Ia mengajak penganutnya untuk
mentakwilkan Al-Qur’an secara batin dengan menggunakan tanda-tanda
(rumuz) seperti yang biasa diajarkan di dalam agama Zoroaster. Ajaran ini
terus berkembang hingga terpecah menjadi beberapa kelompok seperti al-
Babakiyah atau al-Kharmiyah dan al-Qaramitah.
Kaum syi’ah sendiri meyakini bahwa Al-Qur’an mempunyai makna
tersirat (batin) dan tersurat (zahir). Manusia biasa secara umum hanya dapat
mengetahui makna zahir nya saja , sementara makna batin hanya diketahui
oleh para imam dan orang-orang yang mreka kehendaki. Keterangan dan
riwayat tentang hal ini telah banhyak tercantum dalam kitab-kitab induk dan
tafsir mereka. Al-Khulaini dalam muqadimahnya Usul al-Kafi nya
menegaskan bahwa Allah telah memberikan petunjuk kepada para imam dari
Ahlulbait tentang agama nya.

16
Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-farq bayn al-Firaq hal. 284-285
Kelompok 7

KRITIK TERHADAP TAFSIR SUFISTIK

Pengertian Tafsir Sufi


Dalam tradisi ilmu tafsir klasik, tafsir bernuansa tasawuf atau juga
bisa disebut sufistik sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha
menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan
isyarat-isyarat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Kata tasawuf
sendiri menurut Muhammad Husain al-Dzahabi adalah transmisi jiwa
menuju Tuhan atas apa yang ia inginkan atau dengan kata lain munajatnya
hati dan komunikasinya ruh.
Pengertian tafsir sufi banyak dikemukakan oleh para ulama baik
ulama salaf (klasik) maupun ulama khalaf (modern-kontemporer). Imam
Muhammad Ali al-Shabuni mendefinisikan tafsir sufistik sebagai berikut:
Pengertian isyariy ditandai dengan adanya perbedaan dengan makna
dzahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk (dilalah) yang tersirat dan
hanya diketahui oleh sebagian ulama tertentu, atau hanya diketahui oleh
orang yang mengenal Allah (ma’rifat) yaitu orang yang berakhlak tinggi dan
telah terlatih jiwanya (mujahadah) orang-orang yang telah diberi cahaya oleh
Allah SWT sehingga mampu menjangkau rahasia-rahasia yang terkandung
dalam al-Qur’an, akalnya penuh dengan pemahaman yang mendalam dengan
jalan ilham, atau pertolongan dari Allah SWT, sehingga mereka mampu
menggabungkan antara pengertian yang tersirat (dzawahir) dengan maksud
yang tersurat (isyarat) dari ayat al-Qur’an.1
Tafsir al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan
ini terbagi dalam dua bagian, yaitu tafsir shufi nadzary dan tafsir shufi
isyary. Tafsir sufi nazari adalah tafsir sufi yang berlandaskan pada teori-teori
dan ilmu-ilmu filsafat.2 Muhammad Husen al-Dzahabi mengatakan bahwa
tafsir shufi nadzary pada praktiknya adalah penafsrian yang tidak
memperlihatkan aspek bahasa dan menegaskan apa dikehendaki oleh syara.
Sedangkan tafsir sufi ishari adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
tidak sama dengan makna lahir dari ayat-ayat tersebut, karena disesuaikan
dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang nampak pada para pelaku ritual
sufistik, dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut. Tafsir sufi ishari ini
bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, yaitu :
1. Ada dalil syar’i yang menguatkan
2. Tidak bertentangan dengan syariat/ rasio
3. Tidak menafikan makna zahir teks, jika tidak memenuhi syarat ini, maka
ditolak.3
Sejarah Munculnya Tafsir Sufi
Corak penafsiran sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat
al-Qur’an secara potensial mengandung empat tingkatan makna: zhahir,
bathin, had, dan matka’. Keempat tingkatan makna ini diyakini telah
diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Saw. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang
baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah
Saw, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga
mengacu pada al-Qur’an melalui hierarki sumber-sumber Islam tradisional
yang didasarkan kepada Nabi Saw, para sahabat, dan pendapat kalangan
tabi’in.
Di samping itu, selain penafsiran yang didasarkan melalui jalan
periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat
dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris
kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda
secaara substansial. Jika para Rasul mengemban tugas untuk menyampaikan
risalah ilahiyah kepada umat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama,
maka para sufi memikul tugas guna menyebarkan risalah akhlaqiyyah,
ajaran-ajaran moral yang mengacu pada keluhuran budi pekerti.4
Tafsir sufi al-nazari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk
mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir.
Dalam menafsirkannyaitu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari
tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia. Tetapi yang ada adalah
penafsiran pra konsepsi untuk menetap teori mereka. Al- Dzahabi
mengatakan bahwa tafsir sufi Nazari dalam praktiknya adalah pensyarahan
al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang
dimaksudkan oleh syara’.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-nazari yaitu
Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi Nazari
yang menyandarkan beberapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an.
Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush.
Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul
wujud-nya. Wahdatul wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan
antara manusia dengan Tuhan.5
Tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda
dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para
tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.
Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah
bahwa al-Quran mencakup apa yang zahir dan batin. Makna zahir dari al-
Quran adalah teks ayat, sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat
yang ada di balik makna tersebut.
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah takwil
metode isyarat. Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada
di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya.
Mereka menggunakan kata “isyarat” adalah untuk membedakannya dari
takwil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarat
yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan
takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka
terhadap al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja
dengan membatasi makna al-Quran dengan cara pemaknaan dan penafsiran,
dan mereka lebih menyebutnya dengan nama “isyarat”.6
Lahir-batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi
untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khususnya dan
melihat dunia pada
umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zahir
menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan
sedangkan zahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah
pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa setiap
ayat al-Qur’an memiliki empat makna, yaitu zahir, batin, had, dan matla’.
Al-Ghazali sendiri menegaskan bahwa selain yang zahir, al-Qur’an memiliki
makna batin. Abdullah (al-muhasibi) dan Ibnu al-‘Arabi memberikan
penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zahir
adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu
Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah
bacaannya sementara yang batin adalah pemahamannya.
Baik makna zahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari
Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Qur’an dari Allah kepada para nabi
dengan bahasa umatnya, sedangkan batin adalah adanya pemahaman di hati
sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena
itu, dualisme lahir-batin dalam wacana al-Qur’an, pemahaman dan
penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah.
Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi zahir
dan batin (al-Quran termasuk makhluk). Yang zahir adalah bentuk yang bisa
diindera (al- shurah al-hassiyah), dan yang batin adalah al-ruh al-ma’nawi.
Kritik Terhadap Tafsir Sufistik
secara umum, kaum sufi mengatakan bahwa al-Qur’an memiliki makna lahir
dan batin. Makna lahir ditarik dari teks sesuai kaidah bahasa arab, sementara
makna batin adalah pemahaman dibalik makna lahir teks al-Qur’an. Imam al
Ghazali (450- 505 H) pun meneruskan statemen bahwa pengetahuan
mufassir tentang makna lahir harus sangat mendalam sebelum menafsirkan
ayat secara batin. Sebab barang siapa mengaku mengetahui makna batin
suatu ayat sebelum memahami dengan baik makna lahirnya maka sama
halnya dengan orang mengaku masuk kedalam rumah tanpa melewati pintu
utama.
Dengan pemahaman semacam ini, kaum sufi melakukan penafsiran dengan
metode dan penekanan yang berbeda-beda ada yang menggabungkan
penafsiran antara lahir dan batin dalam satu kitab seperti yang dilakukan al-
Alusi (1217-1270 H) dalam Ruh al-Ma’ani-nya. Ada juga yang kadar
penafsirannya batinnya jauh lebih banyak daripada tafsir lahiriyahnya seperti
yang dilakukan Sahl al-Tustari (w. 283 H) dan pula menafsrikan secara batin
tanpa memasukkan penafsiran lahir sama sekali dalam kitabnya, seperti yang
dilakukan Abu Abd al-Rahman al-Sulami (w. 412 H) dalam Haqaiq al-
Tafsir-nya dan Ibn ‘Arabi (558-638 H) dalam al-Futhuhat al-Makkiyah dan
Fushuhus al-Hikam.
Ulama berbeda pendapat dalam menangani penafsiran kaum sufi, tetapi
secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua aliran. Pertama tafsir
kaum sufi teoritik (sufi Nazari) dianggap sebagai model penafsiran yang
terlarang karena metodologinya yang sama dengan penafsiran kaum
batiniyah tanpa mengindahkan makna lahiriyah teks. Kedua tafsir sufi
praktis (sufi amali) dapat diterima karena penafsiran kelompok ini masih
berbasis pada mkna lahiriyah teks yang dikombinasikan dengan isyarat-
isyarat batin. Isyarat batin tersebut merupakan output dari riyadhah dan amal
sholeh yang dilakukan secara konsisten.
Terkait dengan tafsir sufistik ini, Fayed meletakkan parameter untuk
mengukur keabsahannya, yaitu seperti halnya parameter tafsir batin yakni ;
muwafaqat al-‘arabi (kesesuaian dengan kaidah bahsa arab) dan syahadat
al-syar’i (kepatutan denagn aturan syariat). Sepanjang penafsiran sufistik
memenuhi dua persyarat tersebut maka ia dapat diterima dan dijadikan data
ilmiah.7
Menurut pendapat lain penafsiran sufistik dapat diterima,di antaranya
sebagai berikut8:
Jangan sampai penafsiran model ini menghilangkan makna lahir dari al-
Qur’an
2. Makna sufi yang diambil harus mempunyai makna penunjang dalam
ajaran islam
3. Makna yang dipaparkan tidak bertentangan dengan syariat dan akal
4. Tidak boleh memonopoli penafsiran bahwa penafsiran itu sebagagi satu-
satunya penafsiran terhadap ayat yang sedang ditafsirkan.
5. Jangan sampai penakwilannya terlampau jauh yang bisa
membingungkan masyarakat. Harus ada korelasi yang signifikan antara
penakwilnya dan arti lahiri ayat tersebut.
Diantara contoh penafisran sufistik tang mendapat kritik Fayed adalah
penafsiran Ibn ‘Arabi terhadap QS. al-Baqarah [2]: 6-7. Ketika menfsirkan
ayat ini, secara fantastis sang maha guru sufi ini berkata:
“Wahai Muhammad, sesungguhnya rasa cinta orang-orang kafir kepada-Ku
telah menutupi hati mereka. Maka baik engkau beri peringatan dengan
ancaman dari-Ku, atau tidak engkau beri ancaman, mereka tetap tidak akan
beriman kepadamu mereka tidak akan memikirkan selain dari-Ku. Walaupun
engkau memperingatkan. Mereka tetap tidak akan mendengar dan
memperhatikan peringatanmu itu. Bagaimana mungkin mereka beriman
kepadamu, sementara Aku telah mencap dan menetapkan hati mereka bahwa
tidak ada ruang dalam hati mereka selain diri-Ku. Pendengaran mereka aku
sumpal sehingga meraka tidak akan mendengar kecuali pembicaraan dari-
Ku. Penglihatan mereka aku tutup dengan keagungan-Ku sehingga meraka
tidak akan melihat selain kepada-Ku. Aku ridho kepada mereka, maka aku
tidak akan memarahi mereka untuk selamanya”.9
Mengeja penafsiran di atas pasti kita terheran-heran, begitu juga dengan
Fayed. Mengapa tidak, penafsiran tersebut telah membalik pemahaman pada
umumnya seratus delapan puluh derajat. Ayat di atas secara lahiriah
berbicara tentang sifat buruk kaum kafir yang tidak mau mendengarkan
peringatan dan ajaran Nabi saw., tapi ternyata dipahami oleh Ibn ‘Arabi
sebaliknya. Menurutnya, ayat itu berisi tentang pujian Allah terhadap kaum
kafir. Bagi Fayed, penafsiran semacam ini dianggap telah jauh melampaui
konteks ayat. Sebab secara kronologis, bagian awal surah al-Baqarah
berbicara tentang tipologi manusia; mukmim, kafir dan munafik. Maka pada
ayat 1-5 dibicarakan tentang tipologi kaum mukminin yang selalu taat,
beriman dan patuh, lalu pada ayat 6-7 dibicarakan tentang tipologi kaum
kafir yang selalu membangkang dan tidak patuh kepada peringatan dan
ajakan Nabi saw., kemudian ayat 8 dibicarakan mengenai tipologi keum
munafik yang berbeda antara ucapan dan isi hatinya. Penafsiran di atas
adalah pemahaman yang dipegangi oleh mayoritas ulama berdasarkan
analisis kronologis teks dan konteks ayat. Dengan demikian, pemahaman Ibn
‘Arabi tersebut tak lebih dari sebuah celotehan
(syatahat) yang menyeruak dari diri seorang penggagas dan penganut setia
mazhab wihdat al-wujud.
Contoh lain adalah penafsiran al-Junayd al-Baghdadi (221-297 H) terhadap
QS. al-A’la ayat 6. Ketika menafsirkan ayat ini dia berkata: la tansa
al-‘amal bih (jangan kamu lupa mengamalkannya (Al-Qur’an). Kemudian
ketika ditanya mengenai tafsiran QS. al-A’raf ayat 169, al-Junayd berkata:
taraku al-‘amal bih (mereka tidak mengamalkannya (al-Kitab).
Penafsiran ini dinilai Fayed tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
Pada kasus surah al-A’la ayat 6, al-Junayd memahaminya sebagai susunan
kalimat larangan (nahy), padahal secara gramatikal, ayat tersebut merupakan
khabar (informasi) yang artinya, fa ma tansa (maka kamu tidak akan lupa).
Hal ini terbukti dengan posisi kata tansa yang dibaca Panjang tanfa
membuang huruf ‘illat (ya’). Seandainya ayat tersebut dimaksudkan sebagai
kalimat laranga (nahy), maka tentunya ia akan dibaca jazm (dengan
membuang huruf ya’-nya). Kemudian pada kasus kedua (surah al-A’raf:
169), al-Junayd memaknai kata darasu dengan taraku (mereka
meninggalkan), padahal yang dimaksud kata darasu pada konteks ayat
tersebut adalah al-dars yang berarti al-tilawah (membaca atau mempelajari)
sebagaimana dalam surah Ali Imran ayat 79. Dengan demikian, pada kasus
ini al-Junayd terlihat teliti dalam memilih makna kata, sehingga kesimpulan
jauh dari konteks ayat. Dan karenanya, penafsirannya termasuk al-dakhil
yang patut dikritisi.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir sufistik sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha
menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan
isyarat-isyarat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya, Tafsir al-
Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi
dalam dua bagian, yaitu tafsir shufi nadzary dan tafsir shufi isyary. Tafsir
sufi al-nazari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan
memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Tafsir sufi isyari adalah
pentakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai
dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara
kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Fayed meletakkan parameter
untuk mengukur keabsahannya, yaitu seperti halnya parameter tafsir batin
yakni ; muwafaqat al-‘arabi (kesesuaian dengan kaidah bahsa arab) dan
syahadat al-syar’i (kepatutan denagn aturan syariat).

KRITIK TAFSIR BAHAIYAH


Aliran al-Bahaiyah
Al-Baha’iyah adalah sekte yang muncul pada abad ke-19 di Iran ditangan
Mirza Husayn ‘Ali (w.1892 M). Sekte ini merupakan metamorphosis dari
sekte al-Ba>bi>yah, sebuah sekte yang dinisbatkan kepada Mirza ‘Ali> al-
Shayra>zi> (w.1850 M) yang dikenal dengan julukan al-Ba>b (pintu).
Dalam istilah sekte-sekte bathiniyah, al-Ba>b merupakan satu-satunya
sarana untuk mengetahui apa yang ada dalam bangunan. Dengan kata lain,
al-Ba>b dalam pandangan mereka bermakna wasilah menuju pengetahuan.1
Menurut sejarah, aliran ini didirikan dibawah naungan penjajah Rusia, Zionis
Yahudi, dan Inggris, bertujuan untuk mendekonstruksi aqidah Islam dan
persatuan Muslimin untuk kepentingan politik.2
Pemimpin mereka Mirza ‘Ali al-Syahrazi dilahirkan di Shayraz tahun 1819
atau 1820 M. Ia dikenal sebagai seorang yang rajin bekerja, beribadah,
mempelajari ilmu perbintangan dan pengobatan alternatif. Ia pernah
menderita sakit dan dibawa berobat oleh pamannya di Karbala, Irak. Di kota
inilah, ia bertemu dengan Kazim al-Rashti al-Jaylani (ahli tasawuf yang
mencampurkan ajaran Islam dengan filsafat dan doktrin Syiah Imamiyah dan
Ismailiyah). Sejak saat itu, ia banyak beritngkah laku aneh, mengaku sebagai
Bab al-Mahdi (pintu Imam Mahdi), lalu mengaku sebagai nabi. Ia terus
berdakwah sampai kemudian ia ditangkap dan dihukum mati di Tabriz pada
tahun 1265H/1850 M pada era kekuasaan Raja Iran, Nasir al-Din Shah.3
Pasca terbunuhnya Mirza ‘Ali> pada tahun 1850 M, kepemimpinan sekte al-
Ba>bi>yah ini diteruskan oleh Mirza H{usayn ‘Ali> yang dikenal dengan
julukan Baha>’illah (keagungan Allah). Di depan murid-muridnya ia
mengaku dirinya adalah penerus al-bab, utusan Tuhan, dimana Tuhan
berinkarnasi padanya. Kelompok ini menyembah Mirza H{usayn ‘Ali selain
menyembah Allah Swt. 4 Maka sejak saat itulah, para pengikutnya kemudian
dikenal dengan sebutan al-Baha>’i>yah, merujuk pada gelar para petinggi
awalnya.5
Diantara doktrin sekte ini adalah mengakui kenabian pemimpin mereka,
mengkafirkan orang selain kelompok mereka, menghapus semua agama-
agama, bahkan ‘Abbas al-Baha>’i> –salah seorang tokoh sentral sekte
Baha>’i>yah- mengatakan bahwa ia ingin mengintegrasikan ajaran agama
Islam, Nasrani dan Yahudi dengan menggunakan ajaran Nabi Musa As.
Pengikut bahaiyah mayoritas berada di Iran, sebagian dari mereka juga ada
di negeri-negeri Arab lainnya seperti Irak, Suriah, Lebanon dan Palestina, di
negara yang terakhir inilah markas mereka berada dibawah naungan Zionis
Yahudi. Mereka juga mempunyai pengikut di Mesir. Namun, pemerintah
Mesir membubarkan mereka dengan keputusan presiden No. 263 tahun 1960
M. Mereka juga mempunyai beberapa cabang di Afrika: di Ethiopia, Adis
Ababa, Kampala Uganda, Lusaka Zambia, di kota terakhir ini dilangsungkan
muktamar tahunan mereka, dari 23 Mei sampi 13 Juni 1989 M. Aliran ini
juga mempunyai cabang d Karachi Pakistan. Di Eropa: London, Wina dan
Frankfrut terdapat cabang-cabang mereka, di Sidney Australia.6
Di Amerika, tepatnya di Chichago terdapat tempat ibadah terbesar milik
mereka, di kalangan mereka dikenal dengan Musyriq al-Adzkar, dari sini
majalah Najm al-Gharb diterbitkan. Mereka juga mempunyai perkumpulan-
perkumpulan besar di kota-kota besar Amerika seperti Los Angles,
Brooklyn, New York. Di Amerika sendiri terdapat kurang lebih enam ratus
organisasi Baha`i dengan dua juta anggota. Lebih jauh, aliran ini juga
berhasil menyusupkan orang-orangnya di PBB, mereka mempunyai wakil di
markas PBB di Jenewa, mereka mempunyai orang di badan sosial dan
ekonomi PBB dan di Unicef, duta PBB untuk Afrika adalah orang mereka.7
B. Ajaran-Ajaran Kaum Bahaiyah
Di antara ajaran-ajaran menyimpang dari kaum Bahaiyah ialah:
Dalam perkara i’tiqadiyah (keyakinan), aliran ini tidak mengimani adanya
hari akhir dan keniscayaan hidup sesudahnya baik berupa neraka maupun
surga. Mereka menganggap bahwa hari akhir hanyalah simbol ruh kehidupan
yang baru.8 Mereka juga meyakini konsep hulul. Selain itu, aliran ini juga
meyakini bahwa Nabi Muhammad bukanlah sebagai akhir risalah kenabian
Sedangkan dalam perkara amaliah, mereka juga telah merubah dan
mengganti hukum-hukum Islam seperti: Setaranya derajat wanita dengan
pria dalam masalah waris. Kesetaran wanita yang ditalak tanpa
memperhatikan agama dan dari mana mereka berasal. Mereka juga
mengharamkan hijab bagi wanita, menghalalkan mut‘ah. Harta dan wanita
adalah milik bersama, mirip dengan slogan sosialis-komunis.
Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa kewajiban salat itu gugur bagi
orang yang sakit, sudah tua, gugurnya tayamum ketika tidak ada air, dan
lainnya. Aliran ini juga merubah arah kiblat yang semula berada di Baitullah,
Mekkah menjadi kota Haifa, Palestina, di mana di dalamnya terdapat
kuburan al-Baha’ di samping kuburan al-Bab
C. Kritik Penafsiran Aliran Bahaiyah
Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an, metode yang digunakan sekte
Baha>’i>yah mirip dengan Ba>t}ini>yah yakni dengan mengedepankan
makna esoterik (batin) tanpa mengindahkan makna eksoterik (lahir) ayat.
Metode ini mereka lakukan demi untuk mencari pembenaran atas ajaran dan
dogma madzhab, bukan untuk mencari kebenaran dan ajaran universal Al-
Qur’an. Karena itu, parameter kritik terhadap penafsiran ini sama dengan
parameter kritik tafsir Ba>t}ini>yah.
Contoh penafsiran jenis ini adalah apa yang dilakukan Mirza ‘Ali>
Muh}ammad terhadap QS. Yu>suf ayat 4.
٤ َ‫س َو ْالقَ َم َر َراَ ْيتُهُ ْم لِ ْي ٰس ِج ِد ْين‬
َ ‫ْت اَ َح َد َع َش َر َكو َْكبًا وَّال َّش ْم‬ ِ َ‫اِ ْذ قَا َل يُوْ ُسفُ اِل َبِ ْي ِه ٰيٓاَب‬
ُ ‫ت اِن يْ َراَي‬
“(Ingatlah) ketika Yusuf berkata kepada ayahnya (Ya‘qub), “Wahai ayahku,
sesungguhnya aku telah (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari, dan
bulan. Aku melihat semuanya sujud kepadaku”
Mirza ‘Ali dalam kitabnya, Mita>h al-Abw>ab mengatakan bahwa maksud
Tuhan menyebut Yu>suf adalah jiwa Rasul Saw, dan putra sang wanita suci,
H{usayn ibn ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib. Sesungguhnya yang dimaksud Tuhan
dengan al-Shams adalah Fa>t}imah, al-Qamar adalah Muh}ammad, al-
Nuju>m adalah para imam yang h}aq yang disebut dalam umm al-kita>b.
Mereka itulah yang bersedih dan menangis atas peristiwa yang dialami
Yu>suf dengan izin Allah, baik dalam keadaan sujud maupun berdiri.10
Penafsiran di atas terlihat dengan jelas tingkat subjektivitas mufasirnya. Tak
pelak, penafsiran semacam ini pun berbanding terbalik dengan bentuk teks
dan konteks ayat. Dengan kaca mata awam pun terlihat jelas bahwa ayat di
atas sedang bercerita tentang Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya, tidak
ada korelasi sama sekali dengan
Nabi Muh}ammad Saw. dan keluarganya. Dengan demikian, Mirza ‘Ali>
telah menjadikan ayat sebagai alat justifikasi terhadap doktrin sektenya,
yakni keyakinan terhadap keagungan keluarga Nabi Saw dan para imam
mereka.
Contoh lain adalah penafsiran Abu> al-Fad}l al-I<ra>ni> atas QS. Al-A‘ra>f
ayat 143
ۙ
َ ۗ ‫ال َرب اَ ِرنِ ْْٓي اَ ْنظُرْ اِلَ ْي‬
‫ك قَا َل لَ ْن ت َٰرىنِ ْي َو ٰل ِك ِن ا ْنظُرْ اِلَى ْال َجبَ ِل فَا ِ ِن‬ َ َ‫َولَ َّما َج ۤا َء ُموْ ٰسى لِ ِم ْيقَاتِنَا و َكلَّ َمهٗ َربُّهٗٗ ق‬
َ‫ال ُسب ْٰحنَك‬ َ َ‫ق ق‬
ۚ
َ ‫ص ِعقًاْ فَلَ َّمْٓا اَفَا‬
َ ‫دكا َّوخَ َّر ُموْ ٰسى‬ ًَّ ٗ‫ا ْستَقَ َّر م َكانَهٗ فَ َسوْ فَ ت َٰرىنِ ۚ ْْي فَلَ َّما تَج ٰلَّى َربُّهٗ ِل ْل َجبَل َج َعلَه‬
ِ َ
١٤٣ َ‫ْت اِلَ ْيكَ َواَن َ۠ا اَ َّو ُل ْال ُمْؤ ِمنِ ْين‬
ُ ‫تُب‬
“Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami
tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung)
kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku
agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan
(sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di
tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku Maka,
ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu,281)
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar,
dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah
orang yang pertama-tama beriman.”
Dalam menafsirkan ayat ini, Abu al-Fadl mengatakan:
Ketahuilah wahai kekasihku, sesungguhnya para ahli bahasa sering
menggunakan kata jabal (gunung) secara metaforis untuk menunjuk kepada
makna tokoh dan pembesar atau menunjukkan sampainya derajat seseorang
kepada puncak keutamaan, kedudukan dan ilmupengetahuan. Karena itu,
makna ayat ini adalah bahwa ketika para pengikut Musa meminta untuk
melihat wujud Tuhannya, Musa pun mencoba menurutinya seraya berkata;
‘Wahai Tuhanku kemarilah, aku ingin melihatmu.’ Allah pun menjawab,
kamu tidak akan mampu melihat-Ku, karena Bani
Isra’il belum mencapai derajat kesempurnaan iman. Karena itu, mereka
belum siap untuk bertemu dengan Tuhan.11
Padahal penafsiran tersebut berseberangan dengan pemahaman para mufasir.
Menurut sebagian mufasir, yang ditampakkan itu adalah kebesaran dan
kekuasaan Allah Swt. Sementara itu, sebagian yang lain menafsirkan bahwa
yang tampak itu adalah cahaya-Nya. Bagaimanapun juga, tampaknya Allah
Swt. tidaklah seperti tampaknya makhluk. Tampaknya Allah mestilah sesuai
dengan sifat-sifat-Nya yang tidak dapat diukur dengan pikiran manusia.
Dari penafsiran di atas, terlihat jelas bahwa Abu> al-Fad}l telah
memalingkan makna jabal dari makna hakiki (asal) ke makna maja>zi>
(metafor). Secara hakiki, jabal yang dimaksud ayat tersebut adalah gunung
T}u>r Sinai –yang ada di Mesir-, kemudian dipahami secara metafor sebagai
seorang hamba yang sampai kepada derajat keyakinan yang sempurna dan
keimanan yang kuat.12
Pemahaman semacam ini jauh dari konteks ayat, dan terlihat betul usaha
Abu> al-Fad}l untuk mencari pembenaran atas doktrin sekte Baha>’i>yah
yang mengatakan bahwa Allah tidak akan menampakkan wujud asli-Nya,
tapi Dia akan mewujud dalam sosok para nabi, dan perwujudan Allah yang
terbesar dan terspektakuler terdapat dalam diri al-Baha> (Mirza H{usayn
‘Ali>).13
PENUTUP
Kesimpulan
Aliran Bahaiyah merupakan aliran atau sekte yang muncul pada abad 18-19
M di Iran. Sekte merupakan kelanjutan dari sekte Babiyah. Pemimpin
mereka yakni Mirza Husayn ‘Ali (w.1892 M), mengklaim dirinya sebagai
nabi dan reinkarnasi dari Tuhan. Diantara doktrin sekte ini adalah mengakui
kenabian pemimpin mereka, mengkafirkan orang selain kelompok mereka,
menghapus semua agama-agama, bahkan ‘Abbas al-Baha>’i> –salah seorang
tokoh sentral sekte Baha>’i>yah- mengatakan bahwa ia ingin
mengintegrasikan ajaran agama Islam, Nasrani dan Yahudi dengan
menggunakan ajaran Nabi Musa As.
Dalam hal penafsiran aliran dinilai Abdul Wahab Fayyed sangat jauh sekali
dari paradigma yang digunakan oleh para mufassir. Mereka cenderung
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menolong ideologi mereka, bukan
untuk mencari kebenaran dan ajaran universal Al-Qur’an. Maka sama halnya
dengan tafsir bathiniyah, parameter yang digunakan untuk menngkritik
penafsiran bahaiyah ini ada dua, yakni sesuai dengan kaidah gramatikal
bahasa arab dan relevan dengan syariat Islam. Dari dua parameter tersebut,
dapat ditarik benang merah bahwa penafsiran aliran bahaiyah ini termasuk
dalam kategori penafsiran yang menyimpang.

KRITIK TAFSIR QODYANIYAH


Aliran al-Qodyaniyah
Al-Qadyaniyah adalah sekte yang lahir pada abad ke- 19 di Qodian, india
ditangan Mirza Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan wahyu dari Tuhan
bahwa sang ayah meninggal pada waktu sore hari. Cerita ini diyakini oleh
pengikutnya sebagai wahyu pertama yang diterima Ghulam Ahmad.
Munculnya Ahmadiyah di India merupakan peristiwa sejarah dalam Islam
yang tidak terlepas dari situasi ummat Islam pada saat itu. Sejak kekalahan
Turki Usmani ketika menyerang benteng Wina tahun 1863, pihak Barat
mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, dan serangannya lebih efektif
lagi pada abad ke-18.3 Secara agresif mereka dapat menjarah daerah-daerah
Islam disatu pihak, sedangkan dipihak lain umat Islam sendiri masih
tenggelam dalam kebodohan dan sikap apatis. Akhirnya Inggris dapat
merampas India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara,
sedangkan bangsa Eropa yang lain dapat menjajah daerah Islam lainnya.4
Setelah India menjadi koloni Inggris, Umat Islam semakin terisolasi dengan
sikap-sikap lama yang masih dipelihara. Keadaan umat Islam India semakin
buruk terutama sesudah terjadinya pemberontakan Munity tahun 1857. Itulah
latar belakang kelahiran Ahmadiyah sebagai gerakan pembaharuan dalam
Islam. Ahmadiyah Lahir di India pada akhir abad 19 ditengah suasana
kemunduran umat Islam India dibidang agama, politik, sosial, ekonomi, dan
bidang kehidupan lainnya. Terutama setelah pecahnya revolusi India tahun
1857 yang berakhir dengan kemenangan East India Company yang
menjadikan India sebagai salah satu koloni Inggris terpenting di Asia.5
Kelahiran Ahmadiyah berorientasi pada pembaharuan pemikiran. Disinilah
Mirza Gulam Ahmad mengaku telah diangkat Tuhan sebagai al-Mahdi dan
al- Masih, mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam
dengan memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Quran sesuai
dengan tuntutan zaman dan “ilham” Tuhan kepadanya. Motif Mirza Gulam
Ahmad didorong oleh gencarnya serangan kaum misionaris Kristen dan
propoganda Hindu terhadap umat Islam pada saat itu.6 Ahmadiyah lahir
menjelang akhir abad ke-19 ditengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam.
Ahmadiyah lahir sebagai protes terhadap keberhasilan paham rasionalis dan
westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan. Sekte ini adalah
gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta damai dengan maksud
menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap
Islam dengan paham lama. Sejarah berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari
peran pendiri gerakan ini yaitu MGA. Ia lahir pada tanggal 13 februari tahun
1835 di desa Qadian Punjab, India.
B. Ajaran-Ajaran Aliran Qodyaniyah
Sejak kehadirannya di Indonesia, tidak semua masyarakat muslim Indonesia
sepakat dengan gerakan ini. Banyak kelompok menolak keberadaan
Ahmadiyah di Indonesia. Menurut Amin Jamaluddin, setidaknya ada tiga hal
yang membuatnya meyakini Mirza Gulam Ahmad serta Ahmadiyah menipu.
Pertama, Ahmadiyah mengatakan bahwa “Syahadat kami adalah syahadat
yang diajarkan Nabi Muhammad saw, yang berbunyi `Asyhaduanlā ilāha
illalahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” hal ini dirasa cukup
yang mengaburkan, karena “Muhammad” yang dimaksud. Bisa saja bukan
ditujukan pada nabi Muhammad Saw, mengingat dalam beberapa
literaturnya, kaum Ahmadiyah sering menganggap Mirza Gulam Ahmad
sebagai Muhammad. Dicontohkan, dalam buku Mirza Gulam Ahmad yang
berjudul Eik Ghalṭi Ka Izalah yaitu Memperbaiki Kesalahan, Mirza
menerangkan bahwa “Dalam wahyu ini, Allah Swt, menyebutku Muhammad
dan Rasul.”
Kedua, Ahmadiyah mengatakan “Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa
tidak ada wahyu syariat setelah Alquranul Karim” dan “TaŻkirah bukanlah
kitab suci Ahmadiyah melainkan catatan pengalaman rohani Hadrat Mirza
Gulam Ahmad” pernyataan ini dianggap bertentangan dengan fakta karena
dalam kitab Tadzkirah yang asli ditulis, “Tadzkirah ya`ni wahyu muqoddus”
yang artinya “TaŻkirah adalah wahyu suci.” Ketiga, Ahmadiyah berkata,
“Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan
orang Islam di luar Ahmadiyah” pada kenyataannya, menurut Amin
Jamaluddin, Ahmadiyah justru tidak jarang menunjukkan perbedaannya
dengan umat Islam lainnya. dalam buku Amanat Imam Jemaat Ahmadiyah
Khalifatul Masih IV, disebutkan “Ahmadiyah adalah Islam dalam bentuknya
yang sejati” dan juga disebutkan dalam buku Riwayat Hidup Mirza Gulam
Ahmad Imam Mahdi dan Masih Mau`ud Pendiri Jemaat Ahmadiyah yang
ditulis oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, “Pada tahun 1901 akan
diadakan sensus penduduk di seluruh India. Maka Hadrat Mirza Gulam
Ahmad a.s menerbitkan sebuah Ahmadi Muslim, Hadrat Mirza Gulam
Ahmad a.s telah menetapkan nama Ahmadi bagi para pengikut beliau a,s,
untuk membedakan diri dari orang-orang Islam lain.”
Dari semua permasalahan, yang paling disoroti dari ajaran Ahmadiyah
adalah pengakuan warga Ahmadi tentang keberadaan nabi setelah Nabi
Muhammad Saw. Meskipun dalam klarifikasinya disebutkan “Warga
Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khataman
nabiyyin yaitu nabi penutup” dan “Hadrat Mirza Gulam Ahmad adalah
seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban
mubasysyirat, pendiri dan pemimpin jemaat Ahmadiyah yang bertugas
memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw, tetapi dalam pelaksanaannya, justru kerapkali Mirza Gulam Ahmad
dianggap sebagai nabi. Bahkan dalam literatur-literatur Ahmadiyah dapat
ditemukan pengakuan Mirza Gulam Ahmad mengenai kerasulannya.7
Definisi yang ditawarkan oleh Ahmadiyah lebih rasional dalam pengertian
lebih dapat dipahami dalam menggunakan parameter atau standardisasi,
sebab Ahmadiyah justru membedakan nabi berdasarkan wahyu atau syariat
yang kemudian berbentuk kitab suci yang diterima oleh para nabi. Di sisi
lain ketika menyebutkan siapa saja para nabi yang masuk dalam kategori
tersebut, mereka hanya menyebutkan dua yaitu: Nabi Musa a.s dan Nabi
Muhammad saw. Dalam hal ini, terdapat kejanggalan dalam klasifikasi yang
ditawarkan oleh Ahmadiyah, terutama ketika pemilihan siapa saja para nabi
yang masuk dalam setiap kategori.
C. Contoh Penafsiran Aliran Qodyaniyah
Menurut Alquran, kenabian yang terikat atau pengikut nabi sebelumnya yang
membawa syariat masih tetap ada. Ada begitu banyak ayat Alquran yang
mendukung pemahaman tersebut contohnya: “Barangsiapa yang ta’at kepada
Allah Taala dan Rasul-Nya (Muhammad saw), maka mereka itu termasuk
golongan orang-orang yang kepada mereka Allah memberikan nikmat yaitu
Nabi-nabi, Siddiq-siddiq, Syahid-syahid dan Solihin-solihin”.11 Berbeda
dengan Ahmad Gulam Ahmad, Ahlusunnah wal jamaah mendefinisikan
bahwa Nabi adalah seorang laki-laki merdeka yang mendapatkan wahyu dari
Allah dengan hukum syarah untuk diamalkan sendiri. Sedangkan Rasul
Allah adalah seseorang laki-laki yang merdeka yang mendapatkan wahyu
Allah dengan hukum syarah untuk diamalkan sendiri serta disampaikan
kepada umatnya. Bagaimana ditegaskan Allah di dalam Alquran:
“Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad),
melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka,
maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”
” (Q.S Al-Anbiya’ [21] : 7)
Perbedaan lain antara Gulam Ahmad dengan Ahlussunnah ada dalam
penafsiran tentang kenabian. Mirza Gulam Ahmad serta Ahmadiyah
meyakini adanya Nabi sesudah Nabi Muhammad saw walaupun tetap
mengakui Nabi Muhammad Saw. 13 Mirza Gulam Ahmad mendasari
pendapatnya pada ayat Alquran menyebut adalah firman Allah Swt: ‫َعلِ ْي ًما َش ْي‬
‫ب ْٓا ُم َح َمد َكانَ َما‬ َ ‫ك ل ال ٰ ّل َو َكانَ النَبِ ٖ ّي نَ َوخَاتَ َم ال ٰ ّل َرسُوْ َل َو ٰل ِك ْن‬
ْ ‫رجالِ ُك ْم‬
َ َ‫من اَ َح د ا‬ ُ ِ‫ء ب‬
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia
adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Q.S Al-Ahzab [33] : 40)
Mirza Gulam Ahmad mengartikan ayat tersebut sebagai berikut:
a. Lafaz ‫ ختم‬dibaca dengan tanda kasrah pada huruf ‫ ت‬berarti stempel dan
bukan berarti menutup dan stempel dipergunakan untuk mengabsahkan
sesuatu. Berarti, ayat itu khusus kepada Nabi Muhammad saw adalah
stempel bagi para Nabi.
b. Sesungguhnya “Al-Khatam” tersebut diartikan bukan “terakhir” akan
tetapi artinya adalah “lebih utama” maka pengertian ayat menjadi:
“Muhammad itu bukanlah bapak salah seorang lelaki diantara kalian akan
tetapi ia adalah utusan Allah dan Nabi yang paling utama” bukan artinya
kenabian itu sudah terhenti dengan kenabian Beliau.
c. Pengertian dari “An-Nabiyyin” adalah “pandai atau cerdas” berarti artinya
ia manusia yang pandai dan dengan kepandaiannya ia menjadi Nabi.
d. Sedangkan pengertian dari “An-Nabiyyin” ialah para nabi-nabi yang
membawa syariat baru yaitu bahwa Nabi Muhammad saw ialah penutup bagi
nabi-nabi yang membawa syariat seperti Harun bagi Musa a.s.
Sedangkan Ahlussunnah Wal Jamaah meyakini Nabi Muhammad saw adalah
“penutup para Nabi” itu disebut dan ditafsirkan oleh para imam ahli tafsir:
1. Tafsir Ibnu Katsir. “Ayat yang menyatakan dengan terang, bahwa Nabi
tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Begitu juga Rasul, lebih-lebih
tidak ada lagi.
2. Hal yang sama juga ditegaskan dalam tafsir Jalalain.
3. Imam Abu Hayyan menjelaskan, “Jumhur ulama tafsir membaca
“Khatim” yang artinya bahwa beliau menutup para Nabi yaitu yang datang
terakhir, dan ‘Ashim membacanya “Khatam” yang artinya bahwa para Nabi
ditutup dengan kenabian Muhammad saw”. “Barangsiapa menyebutkan
bahwa kenabian bisa diusahakan dan tidak terhenti atau mengatakan bahwa
wali lebih afdhal dari Nabi maka ia zindiq yang wajib dibunuh”.8
4. Imam Qurṭuby menguraikan, “Cuma ashim saja yang membaca “Khatam
An-Nabiyyin” yang artinya bahwa para Nabi ditutup dengan kenabian
Muhammad saw. Sehingga sudah tertutup. Sementara ahli qira’at
membacanya Khatim An-Nabiyyin yang artinya Nabi yang datang paling
akhir. Ada pula yang mengatakan bahwa kata Al-Khatim dan Al-Khatam
adalah dua bahasa yang berbeda”. (Tafsir Qurṭuby).9
Sedangkan menurut ulama Ahli Bahasa Arab, yaitu Ibnu Manzur Al-Ifriqy
Al-Miṣry tentang pendapat beliau yang dijelaskan secara rinci dalam lafaz
“Al-Khatam”. Beliau menguraikan, “Khatam” segala sesuatu artinya ialah
penutupnya dan akibat dari sesuatu ialah akhirnya, lafaz aku mengkhatamkan
sesuatu merupakan lawan kata dari aku membukanya, “Khatimatussurah”
artinya adalah akhir surat. Khatamul Qaum adalah yang menutup kaum
tersebut dan khatam suatu kaum adalah yang terakhir dari suatu kaum. Dari
Al-Lihyany ia menjelaskan, “Muhammad itu ialah penutup para Nabi” dan
dari At-TahŻib, Al-Khatim dan Al-Khatam ialah bagian dari nama-nama
Nabi Muhammad saw. Terdapat didalam Alquran dijelaskan yang artinya:
“Muhammad itu bukanlah bapak salah seorang lelaki diantara kalian, akan
tetapi beliau adalah utusan Allah dan Khatam Nabiyyin yaitu Nabi terakhir”.
10Kalau diteliti dari ayat di atas paling kuat dan jelas pengertiannya, tidak
memerlukan pentakwilan dan penjelasan lebih lanjut, serta dapat difahami
oleh orang yang mengerti sedikit saja tentang bahasa Arab, bahwasanya
tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw. Apabila pemilihan arti
“yang terakhir” ialah bertentangan dengan kaidah bahasa Arab dan juga
pendapat para tafsir, ijma yaitu kesepakatan umat, serta nash-nash dari
Alquran dan al-Hadis.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qadyaniyah adalah sekte yang lahir pada abad ke- 19 di Qodian, india
ditangan Mirza Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan wahyu dari Tuhan
bahwa sang ayah meninggal pada waktu sore hari. Cerita ini diyakini oleh
pengikutnya sebagai wahyu pertama yang diterima Ghulam Ahmad.
Munculnya Ahmadiyah di India merupakan peristiwa sejarah dalam Islam
yang tidak terlepas dari situasi ummat Islam pada saat itu. Sejak kekalahan
Turki Usmani ketika menyerang benteng Wina tahun 1863, pihak Barat
mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, dan serangannya lebih efektif
lagi pada abad ke-18. Secara agresif mereka dapat menjarah daerah-daerah
Islam disatu pihak, sedangkan dipihak lain umat Islam sendiri masih
tenggelam dalam kebodohan dan sikap apatis. Akhirnya Inggris dapat
merampas India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara,
sedangkan bangsa Eropa yang lain dapat menjajah daerah Islam lainnya.
Sejak kehadirannya di Indonesia, tidak semua masyarakat muslim Indonesia
sepakat dengan gerakan ini. Banyak kelompok menolak keberadaan
Ahmadiyah di Indonesia. Menurut Amin Jamaluddin, setidaknya ada tiga hal
yang membuatnya meyakini Mirza Gulam Ahmad serta Ahmadiyah menipu.
Pertama, Ahmadiyah mengatakan bahwa “Syahadat kami adalah syahadat
yang diajarkan Nabi Muhammad saw, yang berbunyi `Asyhaduanlā ilāha
illalahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” hal ini dirasa cukup
yang mengaburkan, karena “Muhammad” yang dimaksud. Kedua,
Ahmadiyah mengatakan “Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa tidak ada
wahyu syariat setelah Alquranul Karim” dan “TaŻkirah bukanlah kitab suci
Ahmadiyah melainkan catatan pengalaman rohani Hadrat Mirza Gulam
Ahmad” pernyataan ini dianggap bertentangan dengan fakta karena dalam
kitab Tadzkirah yang asli ditulis, “Tadzkirah ya`ni wahyu muqoddus” yang
artinya “TaŻkirah adalah wahyu suci.” Ketiga, Ahmadiyah berkata, “Kami
warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang
Islam di luar Ahmadiyah” pada kenyataannya, menurut Amin Jamaluddin,
Ahmadiyah justru tidak jarang menunjukkan perbedaannya dengan umat
Islam lainnya. dalam buku Amanat Imam Jemaat Ahmadiyah Khalifatul
Masih IV, disebutkan “Ahmadiyah adalah Islam dalam bentuknya yang
sejati” dan juga disebutkan dalam buku Riwayat Hidup Mirza Gulam Ahmad
Imam Mahdi dan Masih Mau`ud Pendiri Jemaat Ahmadiyah yang ditulis
oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, “Pada tahun 1901 akan diadakan
sensus penduduk di seluruh India. Maka Hadrat Mirza Gulam Ahmad a.s
menerbitkan sebuah Ahmadi Muslim, Hadrat Mirza Gulam Ahmad a.s telah
menetapkan nama Ahmadi bagi para pengikut beliau a,s, untuk membedakan
diri dari orang-orang Islam lain.

HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR


Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika merupakan suatu kata yang mengarah kepada seni atau teknik
menetapkan makna. Hermeneutika adalah alat-alat yang di gunakan terhadap
teks dalam menganalisis dan memahami maksudnya serta menampakkan
nilai yang dikandungnya. Hermeneutika, oleh sementara penulis arab,
diterjemahkan oleh ‘Ilm at-ta’wil atau at-ta’wiliyah dan juga ada juga yang
langsung memahaminya dengan ilmu tafsir, karena memang fungsinya
adalah menjelaskan maksud teks yang di teliti.
Sementara pakar berkata bahwa hermeneutika berasal dari kata hermeneuein
(bahasa yunani) yang berarti menjelaskan, menafsirkan, menerjemahkan.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata Hermes.
Dalam metodologi yunani, Hermes merupakan sosok yang bertugas
menyampaikan berita dari dewa yang bertugas menjelaskan maksud-maksud
tuhan kepada manusia.
Sementara ulama atau cendikian muslim, seperti Sulaiman bin Hassan bin
juljul dalam Thabaqat al- Athibba’, Muammad Thahir bin ‘Asyur ketika
menafsirkan QS. Maryam (19): 56. Semua berpendapat bahwa Hermes
adalah Nabi idris as. Dapat di tambahkan bahwa penamaannya dengan idris
boleh jadi karena beliau orang pertama yang mengenal tulisan atau orang
yang banyak belajar dan mengajar. 1 Para ahli hermeneutika telah
menyimpulkan enam definisi yang melingkupi sebagai ilmu interpretasi,
yaitu (1) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci; (2) hermeneutika
sebagai metodologi filologi; (3) hermeneutika sebagai ilmu pemahaman
linguistik; (4) hermeneutika sebagai dasar atau fondasi metodologi bagi
ilmu-ilmu kemanusiaan; (5) hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial
dan fenomenologi eksistensi; dan (6) hermeneutika sebagai sistem
penafsiran.2
1 M.
Hermeneutika dalam Islam menjadi metode dan teori yang difokuskan pada
pemahaman sebuah teks, baik teks al-Qur’an maupun Sunnah Nabi. Hal ini
terdapat tiga tren utama yang diterapkan terhadap pembacaan alQur’an
kontemporer. Pertama, teori yang berpusat pada pengarang (author), yaitu
makna teks yang dimaksudkan oleh pengarang. Dalam konteks al-Qur’an,
yang paling banyak mengetahui maksud pengarang adalah Nabi Muhammad
saw. sahabat, tabi’in, dan para ulama berikutnya. Kedua, teori yang berpusat
pada teks, yakni makna suatu teks ada pada teks itu sendiri, dalam artian
bahwa penulis tidak begitu berarti sehingga teks independen, otoritatif, dan
objektif. Ketiga, teori yang berpusat pada penafsir atau pembaca (reader),
yakni teks tergantung pada apa yang diterima dan diproduksi oleh
penafsirnya sehingga teks bisa ditafsirkan ke arah yang difungsikan oleh
pembaca.3
Sejarah Hermeneutika
Untuk mengetahui makna hermeneutika secara komprehensif, diperlukan
pelacakan sejarah perjalanan hermeneutika dari hermeneutika klasik sampai
hermeneutika modern.
Harus diakui bahwa hermeneutika lahir dari tradisi barat. Hermeneutika yang
lahir di tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan
mengalami perkembangan cukup signifikan. Istilah hermeneutika pertama
kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM).4
Dalam Definitione, Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya
“menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus, Plato mengaitkan hermeneutika
dengan otoritas kebenaran. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan
hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris. Makna hermeneutika
bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam teks
kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk
diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Dalam hal ini, fungsi
hermeneutika berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode
pemahaman teks secara umum. Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar
filologi Friederich Ast (1778-1841).5 hermeneutika modern dan pendiri
Protestan Liberal. Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal
hermeneutic. Dalam gagasannya, teks agama sepatutnya diperlakukan
sebagaimana teks-teks lain yang dikarang manusia. Pemikiran
Schleiermacher dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm Dilthey (1833-
1911), seorang filosof yang juga pakar ilmu-ilmu sosial. Setelahnya, kajian
hermeneutika berbelok dari perkara metode menjadi ontologi di tangan
Martin Heidegger (1889-1976) yang kemudian diteruskan oleh Hans Georg
Gadamer (1900-1998) dan Jurgen Habermas.6
Jadi, Hermeneutik digunakan sebagai alat untuk memahami sebuah teks suci
pada awal abad 17 dan 18 M. Ketika pemikiran tentang wacana bahasa,
filsafat, dan keilmuan lainnya berkembang pesat, hermeneutik mulai dilirik
masyarakat Eropa untuk memamahi kitab suci injil. Hal ini bertujuan agar
mereka bisa menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia yang telah
termanifestakan dalam sebuah teks bernama Injil. Hermeneutika sebagai
proses penafsiran sudah berlangsung sejak dahulu, namun hermeneutika
sebagai istilah baru dikenal di seputar abad ketujuh belas. Kajian
hermeneutika sejak abad 19 (atau akhir abad 18) telah menemukan
bentuknya yang baru dari wajah hermeneutika sebelumnya.
Secara periodik hermeneutik dapat dibedakan dalam tiga fase.7
1. Hermeneutika Klasik

Hermeneutika klasik yaitu lebih bercorak pada bentuk interpretasi teks dan
‘art of interpretation”. Dan istilah ini muncul pertama kali pada abad ke
XVII. Tetapi hermeneutika dalam arti sebagai aktivitas penafsiran telah lahir
jauh sebelumnya, usianya setua dengan eksegesis teks. Hermeneutika dalam
pandangan klasik mengingatkan pada tulisan Aristatoles dalam Peri
Hermeneias Atau De Interpretation. Yaitu : bahwa kata-kata yang kita
ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita
tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana
seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain akan
tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara
langsung itu adalah sama untuk semua orang. Sebagaimana juga
pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.

2. Hermeneutika Romansis
Hermneutika ini bermula dari Faderic Schaleirmacher (1768-1834) yang
menekankan dan meletakkan metode guna menghindari kesalahpahaman.
Tokoh ini berpengaruh sangat besar terhadap pemikir-pemikir hermeneutika
sesudahnya, baik yang setuju maupun yang tidak setuju dengan alirannya.
Dia juga dinilai telah mengalihkan hermeneutika dari penafsiran teks
keagamaan secara khusus ke aneka teks yang lainnya. Hermeneutika
pertengahan ini dimulai pada, dianggap berasal dari penafsiran terhadap
bible yang menggunakan empat level pemaknaan baik secara literal,
allegoris, tropological (moral), and eskatologis. Tetapi pada masa protestan,
empat pemaknaan itu kemudian disempitkan pada eksegegis literal atau
grammatical dan eksegegis studi tentang yahudi dan yunani.
3. Hermeneutika Filososfis

Hermenneutika filososfis sendiri disini banyak mengedepankan hal-hal yang


berkaitan dengan hakikat pemahaman dan kondisi penemuannya tanpa
membahas metode tentang makna pemahaman.
Berdasarkan pemaparan materi di atas, dapat ditarik kesimpulan :
1. Bahwa hermeneutika adalah sebuah seni atau teknik menafsirkan suatu
hal, atau cara untuk mengetahui maksud tersembunyi dari suatu hal.
2. Bahwa ruang lingkup hermeneutika, adalah segala hal yang perlu di
tafsirkan, atau sesuatu yang menyimpan makna dan perlu diketahui.
3. Bahwa secara priodik, hermeneutika dibagi menjadi 3 fase, yaitu : Kalsik,
Romansis, dan Filosofis.8
Hermeneutika dan Ilmu Tafsir Al-Qur’an
Tidak dapat dipungkiri bahwa hermeneutika dapat digunakan untuk
“menginterpretasikan” pelbagai bidang analisis keilmuan, menengok sejarah
munculnya dan perkembangannya, diakui bahwa fungsi hermeneutika
mendominasi ialah pada bidang sejarah, dan kritik teks, khususnya kitab
suci.
Seperti telah menjadi sebuah tawaran metodologi untuk pengkajian kitab
suci, hermeneutika sendiri tak bisa dielakkan dari dunia kitab suci Al-Quran.
Menurut Farid Esack pada bukunya Quran: Pluralism and Liberation,
penerapan hermeneutik sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam,
khususnya dalam Al-Quran. Kenyataan itu terbukti pada:
1. Problematika hermeneutik terus-menerus dialami dan dikaji, walaupun
tidak secara definitif, terdapat dari pengamatan mengenai asbabun-nuzul dan
nasakh-mansukh.
2. Terjadi perbedaan interpretasi yang aktual terhadap Al-Quran dengan
aturan, metode atau teori penafsiran yang telah ada sejak lahirnya literatur-
literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ulumul quran
3. Tafsir klasik selalu di kelompokkan dalam golongan-golongan, misal
tafsir sunni, tafsir syi’ah , tafsir muktazilah dan lain-lainnya.
Pendapat Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu Zayd seorang seorang tokoh pemikir pembaharu asal
Mesir, setidaknya memiliki dua tujuan dalam studi Al-Quran nya.
1. Menghubungkan kembali kajian studi Al-Quran dengan studi sastra dan
studi kritis. Ia berpendapat bahwa analisis Islam dan Al-Quran didasari
dengan teks. Studi aql-Quran sebgai teks linguistik meniscayakan
penggunaan kajian sastra dan linguistik. Untuk melakukan hal ini Abu Zayd
banyak menggunakan teori-teori dalam bidang linguistik, seperti semiotik
dan hermeneutik dalam kajiannya terhadap Al-Quran.
2. Untuk mendefinisikan keobjektifan pemahaman Islam, supaya terhindar
dari kepentingan ideologis. Kesadaran Abu Zayd akan hal itu karena adanya
kelompok-kelompok yang memanfaatkan Islam secara ideologis untuk
menopang tujuan-tujuan mereka9

9
Argumentasi kontra hermeneutika al-Qur’an
Pendekatan Al-Quran melalui hermeneutika memiliki dampak-dampak, salah
satunya ialah, penafsiran yang bernalar antroposentris, mungkin itu alasan
mengapa nalar hermeneutika ini disebut takwil, mungkin lebih tepat untuk
disebut ta’wil-antroposentris. Pada faktanya antroposentris inilah yang
biasanya di tentang oleh kalangan umat beragama. Pendekatan al-Quran
melalui hermeneutika ini acap kali dipandang akan melenyapkan sakralitas
al-Qur’an, karena dengan pendekatan ini maka semua pemaknaan dan
pemahaman yang dinilai sakral dengan teks itu sendiri, kini dianggap hanya
hasil karya manusia biasa yang tidak bersih dari kesalahan.
Jika ditinjau lebih luas, argumentasi kelompok anti hermeneutika sebagai
berikut:
1. Dari sisi historisnya. Hermeneutika sendiri berasal dari tradisi barat,
kristen, juga filsafat, sehingga mungkin menyelipkan ajaran-ajaran kristiani.
Barat dan juga barat yang belum tentu sesuai dengan Islam.
2. Nyatanya umat Islam sendiri memiliki pendekatan/metodologi tersendiri
dalam menginterpretasikan Al-Quran yaitu ilmu tafsir Al-Qur’an 10
Penutup
Kesimpulan
Hermeneutika merupakan suatu kata yang mengarah kepada seni atau teknik
menetapkan makna. Hermeneutika adalah alat-alat yang di gunakan terhadap
teks dalam menganalisis dan memahami maksudnya serta menampakkan
nilai yang dikandungnya. Hermeneutika,
Hermeneutika adalah suatu metodologi yang merupakan sebuah pendekatan
untuk menginterpretasikan tujuan kitab suci berdasarkan pemahaman
terhadap teks kitab suci tak luput Al-Quran untuk dikaji secara hermeneutik.
Harus diakui bahwa hermeneutika lahir dari tradisi barat. Hermeneutika yang
lahir di tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan
mengalami perkembangan cukup signifikan. Istilah hermeneutika pertama
kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM).
Secara periodik hermeneutik dapat dibedakan dalam tiga fase.1.
hermeneutika romansis, 2. Hermeneutika klasik, dan hermeneutika filosofis.
Menurut Farid Esack pada bukunya Quran: Pluralism and Liberation,
penerapan hermeneutik sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam,
khususnya dalam Al-Quran
Nasr Hamid Abu Zayd seorang seorang tokoh pemikir pembaharu asal
Mesir, setidaknya memiliki dua tujuan dalam studi Al-Quran nya. 1.
Menghubungkan kembali kajian studi Al-Quran dengan studi sastra dan studi
kritis. Didasari dengan teks dan untuk mendefinisikan keobjektifan
pemahaman Islam,
Argumentasi kelompok anti hermeneutika sebagai berikut:
1. Dari sisi historisnya. Hermeneutika sendiri berasal dari tradisi barat,
kristen, juga filsafat, sehingga mungkin menyelipkan ajaran-ajaran kristiani.
Barat dan juga barat yang belum tentu sesuai dengan Islam. 2. Umat Islam
sendiri memiliki pendekatan/metodologi tersendiri dalam
menginterpretasikan Al-Quran yaitu ilmu tafsir Al-Qur’an

. Latar Belakang
Perkembangan aspek kehidupan masyarakat baik dari segi ilmu
pengetahuan, ekonomi, sosial maupun yang lain menuntut pemahaman
dan penafsiran Al-Qur’an yang tidak hanya sebatas harfiah saja, tetapi
haruslah dengan melalui pendekatan teoritis. Lebih dari itu berbagai
pendekatan atau corak penafsiran yang lebih umum dikalangan
masyarakat saat ini dibutuhkan mengingat pola piker manusia yang juga
berkembang mengikuti zaman. Maka dari itu, penafsiran Al-Qur’an
dengan corak limiah dinilai urgen dan penting untuk membuktikan
kebenaran Al-Qur’an secara ilmiah dan relevansinya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.17
Menurut Dr.Abdul Mustaqim, munculnya tafsir ilmi disebabkan
oleh dua faktor, yaitu: Pertama, faktor internal, yakni dengan adanya
dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang sangat menganjurkan manusia untuk
selalu melakukan penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniah
atau ayat-ayat kosmologi yang terdapat pada Qs. al-Ghasyiyah (88): 17-
20. Kedua, faktor eksternal, yakni adanya perkembangan dunia ilmu
pengetahuan dan sains modern. Dengan ditemukannya teori-teori ilmu
pengetahuan, para ilmuan muslim (para pendukung tafsir ilmi) berusaha
untuk melakukan kompromi antara Al-Qur’an dan sains dan mencari
‘justifikasi teologis’ terhadap sebuah teori ilmiah. Mereka juga ingin
membuktikan kebenaran Al-Qur’an (i’jaz al-‘ilm) secara ilmiah-empiris,
tidak hanya secara teologis-normatif.18
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tafsir Ilmi dan latar belakang perkembangannya?
2. Apa urgensi dari adanya Tafsir Ilmi ?
3. Apasaja Tahapan-tahapan dalam menafsirkan Al-Qur’an corak Tafsir
Ilmi?

17
Putri Maydi Arofatun Anhar, dkk,Tafsir Ilmi: Studi Model Penafsiran Berbasis
Ilmu Pengetahuan Pada Tafsir Kemenag, Prosiding Konferensi Integrasi Internasional
Islam dan Sains, Vol.1, September 2018, hal. 110.
18
Rubini, Tafsir Ilmi, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol.5, Nomor 2,
Desember 2016, hal. 94
4. Bagaimana pola kritik Tafsir Ilmi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi merupakan salah satu bentuk atau corak penafsiran Al-
Qur’an yang berkembang pesat pada era tafsir kontemporer. Secara bahasa
(etimologis), Tafsir Ilmi berasal dari bahasa Arab dan tersusun dari dua kata:
“al-tafsir” dan “al-‘ilmy”. Kata at-tafsir oleh para ulama dimaknai sebagai
usaha untuk memahami maksud dari Kalamullah sesuai dengan dengan
kemampuan manusia. Sementara al-‘ilmy dinisbatkan kepada kata ‘ilm
(ilmu) yang berarti “yang ilmiah atau bersifat ilmiah”. Jadi, secara bahasa
Tafsir Ilmi berarti tafsir ilmiah atau penafsiran ilmiah.19
Sedangkan menurut istilah (terminologi), beberapa definisi mengenai
Tafsir Ilmi telah dikemukakan para ahli. Muhammad Husayn al-Dzahaby
dalam kitabnya al-Tafsir wal-Mufassirun, mengemukakan bahwa Tafsir Ilmi
adalah penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori-
teori ilmiah dalam mengungkapkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan
berusaha untuk menggali berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan filsafat
terkait ayat-ayat tersebut. Dengan narasi yang berbeda, Abd al-Majid al-
Salam al-Muhtasib dalam kitabnya, Iittihajat al-Tafsir fil-Ashr al-Hadits,
mengatakan bahwa Tafsir Ilmi adalah penafsiran yang dilakukan oleh
seorang musafassir untuk mencari adanya kesesuaian dalam ayat-ayat Al-
Qur’an terhadap teori-teori ilmiah (penemuan ilmiah) serta berusaha
menggali berbagai masalah keilmuan dan filsafat.20
Dari kedua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-Tafsir
Ilmi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan menggunakan
corak ini adalah ayat-ayat kauniyyah (ayat-ayat yang berkenaan dengan alam
dan kejadian-kejadiannya). Dalam penafsiran ayat-ayat tersebut, mufassir
melengkapi dirinya dengan teori-teori sains (ilmu pengetahuan). Penafsiran
dengan corak tersebut bertujuan untuk mengungkap dan memperlihatkan
kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an di samping kemukjizatan dari segi yang lain.

B. Sejarah Munculnya Tafsir Ilmi


Benih dari corak tafsir ilmi pada dasarnya telah muncul sejak masa
Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-
19
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 110.
20
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 110.
Ma’mun (w.853 M). Pada masa ini didirikanlah Bait al-Hikmah sebagai
pusat penerjemahan buku-buku ilmiah dan sains. Bait al-Hikmah juga
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada
masa inilah, Islam mencapai peradaban yang tinggi sebagai pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Munculnya kecenderungan ini
sebagai akibat pada penerjemahan kitab-kitab ilmiah yang pada mulanya
dimaksudkan untuk mencoba mencari hubungan dan kecocokan antara
pernyataan yang diungkapkan oleh Al-Qur’an dengan hasil penemuan ilmiah
(sains).21
Pada masa selanjutnya, Imam Al-Ghazali (w. 505 H) mulai mendorong
penulisan tafsir ilmi, yaitu dengan upaya memahami kitab suci Al-Quran
secara ilmiah dan rasional. Dalam kitabnya, Jawahir al-Quran, al-Ghazali
mengatakan bahwa penafsiran beberapa ayat Al-Quran perlu menggunakan
beberapa disiplin ilmu, seperti: astronomi, perbintangan, kedokteran, dan lain
sebagainya. Meskipun demikian, al-Ghazali tidak berhasil merealisasi
pokok-pokok pemikiriannya mengenai tafsir ilmi. Pemiirannya tersebut baru
direalisasikan satu abad kemudian oleh Imam Fakhruddin al-Razi (w. 604 H)
dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib. Setelah al-Razi, berbagai kitab tafsir ilmi
mulai muncul, di antaranya: Ghara'ib al-Quran wa Ragha'ib al-Furqan,
karya Al-Nasyaburi (w. 728 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil karya
Al-Baidhawi (w. 791 H), dan Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Quran al-Adhim wa
Sab'al-Matsani karya Al-Alusi (w. 1217 H).22
Pada abad ke-20, perkembangan tafsir ilmi semakin meluas dan
diminati oleh berbagai kalangan. Banyak mufassir yang mencoba
menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an melalui pendekatan ilmu pengetahuan
modern. Tujuannya adalah untuk membuktikan mukjizat Al-Qur’an dalam
ranah keilmuwan sekaligus meyakinkan orang-orang nonmuslim akan
keagungan dan kehebatan Al-Qur’an.
Meluasnya minat terhadap corak tafsir ilmi juga disebabkan karena
umat Islam merasa tertinggal dari negara-negara Barat dalam hal ilmu
pengetahuannya. Umat Islam juga khawatir pertentangan antara agama dan
ilmu pengetahuan yang pernah dialami Barat akan timbul di dunia mereka.
Karenanya, umat Islam mulai melakukan berbagai eksperimen ilmiah dengan
mencari kesesuaiannya dalam Al-Qur’an.23

21
Rubini,…hal. 94
22
Tim Tafsir Ilmiah Salman, Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah atas Juz Amma,
(Bandung: Penerbit Mizan Pustaka, 2014), hal. 23.
23
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 111.
C. Urgensi Tafsir Ilmi
Kemunculan tafsir ilmi mengandung polemik panjang di kalangan para
ulama. Hal ini karena terjadi perbedaaan pendapat di kalangan para ulama
mengenai boleh dan tidaknya tafsir ilmi. Para ulama yang menolak tafsir ilmi
ini berpandangan bahwa seolah-olah para ilmuan Muslim terlalu
memaksakan kehendak, yakni dengan mencari-cari kebenaran sains modern
di dalam Al-Qur’an dalam rangka menunjukkan keunggulan Islam sebagai
kompensasi apologetis. Menurut mereka, dalam menafsirkan Al-Qur’an
seseorang cukup menggunakan ilmu-ilmu yang sudah dipatenkan sebagai
alat untuk menafsirkan, misalnya seperti asbab al-nuzul, al-qira’at, ushul fiqh
serta makki dan madani. Sedangkan ilmu-ilmu lainnya misalkan astronomi,
perkiraan cuaca, sejarah dan ilmu biologi sama sekali tidak dibutuhkan
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sementara itu, para ulama yang mendukung
terhadap corak tafsir ilmi berargumen bahwa Al-Qur’an tidak hanya
menghimpun persoalan ilmu-ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu
pengetahuan. Hal ini misalnya sebagaimana diungkapkan oleh Al-Ghazali
dalam Ihya ‘Ulum al-Din yang mengutip pandangan ibn Mas’ud,
dikatakannya bahwa “Jika seseorang menginginkan pengetahuan masa
lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan Al-
Qur’an”.24
Terlepas dari polemik diatas, sejarah telah membuktikan bahwa
terdapat banyak mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan
sains atau ilmu pengetahuan, menggunakan pendekatan sains modern,
menunjukkan bahwa Al-Qur’an sebenarnya selaras dengan ilmu pengetahuan
bahkan Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan. Maka tidaklah
mengherankan apabila Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, menempati
posisi sentral, bukan saja dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi
juga merupakan inspirator dan bidang teknologi dan sains. Selain itu,
sebagaimana disampaikan oleh Tim Penyusun Tafsir Ilmi 2011, bahwasanya
di dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih 750 hingga 1000 ayat yang
mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang menunjukkan kekuasaan dan
kebesaran Allah SWT, sedang ayat-ayat hukum hanya sekitar 200 hingga
250.25

D. Metode Penafsiran Tafsir Ilmi

24
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 110.
25
Putri Maydi Arofatun Anhar,…hal. 112.
Tafsir ilmi pada era modern berangkat dari ketergangguan atas fakta
kemajuan peradaban Barat. Beberapa sarjana barat berlatar belakang sains
telah turut terlibat dalam diskursus-diskursus saintifikasi Al-Qura’an dan
mulai mendukungnya. Kebangkitan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
di Barat menciptakan dominasi di seluruh penjuru dumia, termasuk dunia
islam. Revolusi peradaban di Barat memang mengejutkan bagi peradaban
Islam. Saat Islam menikmati kejayaannya di era Abbasiyah, Barat sedang
terpuruk dan belajar banyak dari Islam. Namun, kini situasinya berbeda,
Barar maju pesat di berbagai sector, sedangkan umat Islam tertatih-tatih.
Berbagai penemuan mengagumkan yang tak terbayangkan sebelumnya
muncul dari dunia Barat. Dalam upaya mengatasi ketertinggalan ini
dilakukan berbagai cara, termasuk kembali masuk ke dalam Al-Qur’an
melalui bantuan analisis saintifikasi Al-Qur’an.26
Persoalan paling krusial dalam kajian tafsir Ilmi adalah menganalisis
adakah korelasi antara teori ilmiah modern dengan tafsir ayat Al-Qur’an.
Bagian inilah yang menimbulkan pro-kontra di kalangan ulama. Namun yang
pasti, pihak yang menerima tafsir Ilmi sepakat bahwa tidak boleh dilakukan
pemaksaan keterkaitan antara teori ilmu pengetahuan umum dengan tafsir
ayat Al-Qur’an.27
Dalam upaya menjaga kesucian Al-Qur’an para ulama merumuskan
beberapa prinsip dasar dalam menyusun sebuah tafsir ilmi, antara lain :
1) Memperhatikan arti dan kaidahkaidah kebahasaan.
2) Memperhatikan konteks ayat yang ditafsirkan, sebab ayat-ayat dan
surah Al-Qur’an, bahkan kata dan kalimatnya, saling berkorelasi.
3) Memperhatikan hasil-hasil penafsiran dari Rasulullah Saw, para
sahabat, tabi’in, dan para ulama tafsir, terutama yang menyangkut
ayat yang akan dipahaminya. Selain itu, diharuskan juga memahami
ilmu-ilmu Al-Qur’an.
4) Tidak menggunakan ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmiah untuk
menghukumi benar atau salahnya sebuah hasil penemuan ilmiah.
5) Memperhatikan kemungkinan satu kata atau ungkapan mengandung
sekian makna, Al-Gamrawī, seorang pakar tafsir ilmiah Al-Qur’an
Mesir, mengatakan, “Penafsiran AlQur'an hendaknya tidak terpaku
pada satu makna. Selama ungkapan itu mengandung berbagai
26
Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejara Perkembangannya,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2019), hal.189-190.
27
Rahman Hakim, Disertasi: Tafsir Salman dalam perspektif metodologi Tafsir
Ilmi Ahmad Al-Fadil, Surabaya: 2018, hal. 58.
kemungkinan dan dibenarkan secara bahasa, maka boleh jadi itulah
yang dimaksud Tuhan”
6) Untuk bisa memahami isyarat-isyarat ilmiah hendaknya memahami
betul segala sesuatu yang menyangkut objek bahasan ayat, termasuk
penemuan-penemuan ilmiah yang berkaitan dengannya.
7) Sebagian ulama menyarankan agar tidak menggunakan penemuan-
penemuan ilmiah yang masih bersifat teori dan hipotesis, sehingga
dapat berubah. Sebab teori tidak lain adalah hasil sebuah “pukul rata”
terhadap gejala alam yang terjadi. Begitupula hipotesis, masih dalam
taraf ujicoba kebenarannya. Yang boleh digunakan hanyalah yang
telah mencapai tingkat hakikat kebenaran ilmiah yang tidak bisa
ditolak lagi oleh akal manusia. Sebagian lain mengatakan, sebagai
sebuah penafsiran yang dilakukan berdasar kemampuan manusia,
teori dan hipotesis bisa saja digunakan di dalamnya, tetapi dengan
keyakinan kebenaran Al-Qur’an bersifat mutlak sedangkan
penafsiran itu relatif, bisa benar dan bisa salah.28

E. Kitab-kitab Tafsir dan Tokoh Tafsir Ilmi


Diantara mufassir yang menggunakan pendekatan corak ilmi
adalah sebagai berikut:
1) Fakhrudin Al-Razi dengan karyanya Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-
Ghayib
2) Thanthawi Al-Jauhari dengan karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al-
Quran al-Karim
3) Hanafi Ahmad dengan karyanya Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-
Kauniyah fi Al-Qur’an
4) Abdullah Syahatah dengan karyanya Tafsir al-Ayat al-Kauniyah
5) Muhammad Syawqi dengan karyanya Al-Fajri Al-Isyarat Al-‘Ilmiyah
fi al-Quran al-Karim
6) Ahmad Bayquni dengan karyanya Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Adapun beberapa tokoh mufassir tafsil ilmi pada masa
kontemporer antara lain:
28
Tafsir Ilmi, Disusun atas kerja sama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), (Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,2012), hal.
xxv-xxvii.
1) As-Syekh Muhammad Abduh.
2) Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam Mahaasin at-Ta’wil.
3) Mahmud Syukri al-Aluusi dalam buku Maa Dalli ‘Alaihi Al-Qur’anu
Mimmaa ya’dhidu al-Hai’ata al Jadiidata al-Qawiimatu al-Burhan
4) Abdul Hamid bin Badis dalam Tafsiru Ibni Badis fii Majaalisi at-
Tadzkiiri min Kalaami al-Hakimi al-Khabiir.29

F. Kritik Tafsir llmi


Tafsir Ilmi bukanlah hal yang terlarang. Justru akan menambah kekayaan
khazanah tafsir Al-Qur’an, dengan syarat; tafsir ilmiah tetap harus berpijak
pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Berikut ini adalah contoh hasil
kajian tafsir Ilmi yang tidak dapat diterima dan contoh yang dapat diterima.
1. Penerapan yang ditolak
ْ ۚ ‫ض فَٱنفُ ُذ‬
َ‫وا اَل تَنفُ ُذون‬ ِ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬ ِ ‫ار ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬ ۡ
ِ َ‫وا ِم ۡن َأقط‬
ْ ‫ٱستَطَ ۡعتُمۡ َأن تَنفُ ُذ‬
ۡ ‫نس ِإ ِن‬ ۡ
ِ ‫ٰيَ َم ۡع َش َر ٱل ِجنِّ َوٱِإۡل‬
‫ِإاَّل بِس ُۡل ٰطَ ٖن‬
“Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah.
Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan
(dari Allah)”,QS. Ar Rahman (55): 33.
Menurut Agus Purwanto, penulis buku Ayat-Ayat Semesta:
Sisi-Sisi Al-Qur’an yang Terlupakan, ayat tersebut memberikan
informasi kepada manusia bahwa mereka akan mampu menjelajahi
ruang angkasa asal mempunyai kekuatan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang memadai Sekilas, analisis tersebut nampak benar,
namun jika kita merujuk ke siyaq ayat tersebut, akan didapati
kekeliruan jika menghubungkan makna ayat tersebut dengan
kemampuan manusia mengarungi ruang angkasa. Adapun yang
menolak pemahaman ilmiah ayat tersebut tidak lain adalah Quraish
Shihab. Alasannya, Quraish Shihab memandang bahwa siyaq ayat
tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan manusia menjelajahi
ruang angkasa. Menurut beliau, surah ar-Rahman membahas tentang
aneka rahmat Allah yang melimpah ruah dalam kehidupan dunia ini.
ۡ
ِ َ‫ض ُك َّل يَ ۡو ٍم ه َُو فِي َشأ ٖن فَبَِأيِّ َءآاَل ِء َربِّ ُك َما تُ َك ِّذب‬
‫ان‬ ِ ۚ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬
ِ ‫سلُ ۥهُ َمن فِي ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬َٔ‍ۡ َ‫ي‬
“Apa yang di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya.
Setiap waktu Dia dalam kesibukan (melayani kebutuhan mereka).

29
Rubini,…hal. 100-102.
Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”, Ar Rahman
(55):29-30.
Lalu dilanjutkan:
ُ ‫َسن َۡف ُر‬
‫غ لَ ُكمۡ َأيُّهَ ٱلثَّقَاَل ِن‬
“Kami akan memberikan perhatian sepenuhnya kepadamu
(golongan) wahai jin dan manusia”, Ar Rahman (55): 31.
Kata akan menunjukkan masa yang akan datang dan bukan
pada kehidupan dunia saat ini. Karena dalam kehidupan dunia saat ini
Allah mengurus seluruh makhluknya baik yang ada di bumi maupun
yang ada di langit, sebagaimana yang diinformasikan 29. Sedangkan
ayat 29 menegaskan bahwa Allah akan berkonsentrasi menghadapi
jin dan manusia. Konsentrasi yang dimaksud pada ayat ini adalah
yang berkenaan dengan hisab atau perhitungan amal kebaikan dan
keburukan yang akan Allah perlakukan terhadap jin dan manusia.
Saat itulah, tidak ada satu pun yang dapat mengelak. Ayat 33
menantang jin dan manusia, bahwa mereka dipersilahkan untuk
keluar dari langit dan bumi. Namun mereka diingatkan bahwa usaha
mereka akan sia-sia kecuali jika mereka punya kekuatan, dan mereka
tidak memilikinya. Kalau pun ada yang berani mencoba, maka resiko
yang akan mereka terima adalah:
ٞ ‫ي ُۡر َس ُل َعلَ ۡي ُك َما ُش َو‬
ِ َ‫اس فَاَل تَنت‬
‫ص َرا ِن‬ ٖ َّ‫اظ ِّمن ن‬
ٞ ‫ار َونُ َح‬
“Kepada kamu (jin dan manusia), akan dikirim nyala api dan
cairan tembaga (panas) sehingga kamu tidak dapat menyelamatkan
diri (tidak akan berhasil)”, Ar Rahman (55): 35.
Artinya, jika ayat 33 dipahami sebagai isyarat ilmiah
kemampuan manusia ke luar angkasa, maka bagaimana memahami
ayat 35 bahwa manusia tidak akan berhasil. Jika yang dimaksud
dengan ketidakberhasilan dalam kehidupuan dunia, maka ayat 35
akan dinilai bertentangan dengan kenyataan bahwa manusia saat ini
mampu pergi ke luar angkasa. Jika yang dimaksud adalah
ketidakkeberhasilan di akhirat, maka demikianlah yang dimaksud
oleh ayat tersebut. Sehingga, ayat 33 tidak ada korelasinya sama
sekali dengan kemampuan manusia mengarungi ruang angkasa
karena konteks ayat tersebut berbicara perkara di akhirat kelak.
Dengan demikian Quraish Shihab menilai penafsiran ilmiah ayat 33
surah al-Rahman adalah keliru karena tidak sesuai dengan konteks
ayat dalam surah yang berbicara persoalan akhirat, dan tidak ada
hubungannya dengan perkara di dunia.30

2. Penerapan yang diterima


Al-Qur’an menguraikan tentang penciptaan manusia menjadi dua
tahap. Tahap pertama adalah tentang kejadian manusia pertama, yaitu Nabi
Adam. Kedua, tentang penciptaan manusia yang berasal dari keturunan
manusia pertama tadi (Nabi Adam).
Tentang kejadian manusia pertama tersebut, Al-Qur’an
menjelaskan: pertama, Allah menjadikan seorang manusia (Adam),
setelah itu Allah menjadikan pasangan (istri) untuk Adam, Kemudian
dari sinilah dikembangbiakan keturunan yang amat sangat banyak.
Seperti yang tertuang di dalam Qs. Al-Nisā (4): 1.
ۚٗ‫يرا َونِ َسٓاء‬
ٗ ِ‫ث ِم ۡنهُ َما ِر َجااٗل َكث‬ َّ َ‫ق ِم ۡنهَا زَ ۡو َجهَا َوب‬ َ َ‫س ٰ َو ِحد َٖة َو َخل‬ ۡ
ٖ ‫وا َربَّ ُك ُم ٱلَّ ِذي َخلَقَ ُكم ِّمن نَّف‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّق‬
‫وا ٱهَّلل َ ٱلَّ ِذي تَ َسٓا َءلُونَ بِ ِهۦ َوٱَأۡل ۡر َحا ۚ َم ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلَ ۡي ُكمۡ َرقِيبٗ ا‬
ْ ُ‫َوٱتَّق‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”
Kedua, Allah menciptakan manusia pada awal prosesnya
adalah membentuk jasadnya, yang terbuat dari unsur tanah. Seperti
yang digambarkan oleh Allah di QS. Al-Hijr (15); 28.
ٓ
‫ون‬ٖ ُ‫ص ٖل ِّم ۡن َح َم ٖإ َّم ۡسن‬ َ ٰ ‫ص ۡل‬
َ ‫ق بَ َش ٗرا ِّمن‬ ُ ۢ ِ‫ال َربُّكَ لِ ۡل َم ٰلَِئ َك ِة ِإنِّي ٰخَ ل‬
َ َ‫وَِإ ۡذ ق‬
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk.”
Ketiga, setelah terbentuknya jasad ini secara sempurna
barulah Allah tiupkan ruh ke dalam ciptaannya tersebut, QS. Al-Hijr
(15); 29.
َ‫ُوا لَهۥُ ٰ َس ِج ِدين‬ْ ‫ت فِي ِه ِمن رُّو ِحي فَقَع‬ ُ ‫فَِإ َذا َسو َّۡيتُهۥُ َونَفَ ۡخ‬
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan
telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah
30
Rahman Hakim,…hal. 105-107.
kamu kepadanya dengan bersujud.”
Adapun terkait dengan proses penciptaan manusia yang
berasal dari keturunan manusia pertama (Nabi Adam dan Siti Hawa),
Al-Qur’an menjelaskan: Pertama, keturunan manusia pertama ini
dijadikan oleh Allah Swt dari air mani. Seperti yang tergambar di
dalam QS. Al-Thāriq (86): 5-7.
ِ ‫ب َوٱلتَّ َرٓاِئ‬
‫ب‬ ۡ
ِ ‫ٱلصُّل‬ ‫ق ِمن َّم ٖٓاء دَافِ ٖق يَ ۡخ ُر ُج ِم ۢن بَ ۡي ِن‬ َ ِ‫ق ُخل‬َ ِ‫ق ُخل‬ َ ِ‫فَ ۡليَنظُ ِر ٱِإۡل ن ٰ َسنُ ِم َّم ُخل‬
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar
dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”
Kedua, air mani yang dijelaskan oleh Al-Qur’an tersebut merupakan air mani
yang memancar dan bercampur dari pihak laki-laki, QS. Al-Insan (76): 2.
‫صيرًا‬ ِ َ‫اج نَّ ۡبتَلِي ِه فَ َج َع ۡل ٰنَهُ َس ِمي ۢ َعا ب‬ ‫ۡ َأ‬ ٰ ۡ
ٖ ‫ِإنَّا َخلَقنَا ٱِإۡل ن َسنَ ِمن نُّطفَ ٍة مۡ َش‬
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes
mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan
perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan
melihat.”
Unsur yang tercampur (amsyaz) yang dijelaskan oleh Al-Qur’an
tersebut itulah yang menentukan hasil akhir.
Ketiga, menurut informasi yang termaktub di dalam Al-Qur’an, bahwa sel
yang akan jadi manusia disimpan di dalam suatu tempat (qarār), yaitu di
sekitar daerah kandungan ibu. Tempat ini merupakan tempat yang aman,
stabil dan bersih. Qarār yang dijelaskan oleh Al-Qur’an itu biasa juga
disebut di dalam dunia medis sebagai kandungan, yaitu tempat anak manusia
berkembang sampai lahir ke dunia. Qs. Al-Mu‟minūn (23): 13
ۡ ٰۡ
‫ين‬
ٖ ‫ار َّم ِك‬ ٖ ‫ثُ َّم َج َعلنَهُ نُطفَ ٗة فِي قَ َر‬
“Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (Rahim).”
Keempat, perkembangan di dalam rahim ibunya berlangsung
secara bertahap, yaitu air mani menjadi segumpal darah, darah ini
menjadi sekerat daging, daging itu oleh Allah dijadikan tulang, lalu
kemudian tulang itu dibalut dengan daging, sesudah itu terbentuklah
makhluk dari proses tadi, yaitu seorang manusia. Qs. Al-Mu‟minūn
(23):14
‫ض َغةَ ِع ٰظَ ٗما فَ َك َس ۡونَا ۡٱل ِع ٰظَ َم لَ ۡح ٗما ثُ َّم َأن َش ۡأ ٰنَهُ َخلقًا‬
ۡ ۡ ‫ثُ َّم خَ لَ ۡقنَا ٱلنُّ ۡطفَةَ َعلَقَ ٗة فَخَ لَ ۡقنَا ۡٱل َعلَقَةَ ُم‬
ۡ ‫ضغ َٗة فَ َخلَ ۡقنَا ۡٱل ُم‬
َ‫ك ٱهَّلل ُ َأ ۡح َسنُ ۡٱل ٰ َخلِقِين‬
َ ‫َءا َخ ۚ َر فَتَبَا َر‬
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk
yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang
Paling Baik.”
Setelah proses tadi, barulah sampai kepada manusia yang berada di dalam
rahim sang ibu terlahir seorang anak.31
Meski ayat-ayat di atas memberikan indikasi bahwa Allah
menciptakan manusia dari tanah, air, kemudian melalui berbagai
proses dalam Rahim, dan kemudian lahirlah sebagai makhluk hidup,
namun masih ada ayat lain yang juga menekankan kekuasaan-Nya,
yakni Allah kuasa menjadikan manusia tanpa melalui proses yang
telah disebutkan di atas, seperti yang dialami oleh siti Maryam
ibunda Nabi Isa AS. QS. Ali Imran (03):47
َ َ‫ق َما يَ َشٓا ۚ ُء ِإ َذا ق‬
‫ض ٰ ٓى َأمۡ ٗرا‬ ِ ِ‫ۖر قَا َل َك ٰ َذل‬ٞ ‫د َولَمۡ يَمۡ َس ۡسنِي بَ َش‬ٞ َ‫قَالَ ۡت َربِّ َأنَّ ٰى يَ ُكونُ لِي َول‬
ُ ُ‫ك ٱهَّلل ُ يَ ۡخل‬
ُ‫فَِإنَّ َما يَقُو ُل لَ ۥهُ ُكن فَيَ ُكون‬
“Dia (Maryam) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana mungkin
aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun
yang menyentuhku?” Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah Allah
menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak
menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!”
Maka jadilah sesuatu itu.”

31
Muhammad Yusuf, Skripsi : Penciptaan Manusia Dalam Tafsir ‘Ilmi
Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta: 2020, hal. 40-44.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Tafsir Ilmi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan
menggunakan corak ini adalah ayat-ayat kauniyyah (ayat-ayat yang
berkenaan dengan alam dan kejadian-kejadiannya). Penafsiran dengan
corak tersebut bertujuan untuk mengungkap dan memperlihatkan
kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an di samping kemukjizatan dari segi yang
lain.
Latar belakang kemunculan tafsir ilmi dapat dimulai secak Khalifah
Al-Ma’mun (w.853 M). Yakni dengan didirikannya Bait al-Hikmah
sebagai pusat penerjemahan buku-buku ilmiah dan sains. Gagasan ini
kemudian berlanjut pada masa Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dimana ia
mulai menanamkan pokok-pokok tafsir corak ilmi yang kemudian baru
direalisasikan satu abad kemudian oleh Imam Fakhruddin al-Razi (w. 604
H) dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib. Setelah al-Razi, berbagai kitab tafsir
ilmi mulai muncul, di antaranya: Ghara'ib al-Quran wa Ragha'ib al-
Furqan, karya Al-Nasyaburi (w. 728 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-
Ta'wil karya Al-Baidhawi (w. 791 H), dan Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-
Quran al-Adhim wa Sab'al-Matsani karya Al-Alusi (w. 1217 H).
Kemudian pada abad ke-20, perkembangan tafsir ilmi semakin
meluas dan diminati oleh berbagai kalangan. Meluasnya minat terhadap
corak tafsir ilmi juga disebabkan karena umat Islam merasa tertinggal dari
negara-negara Barat dalam hal ilmu pengetahuannya.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai
diterima atau tidaknya, tafsir ilmi memiliki urgensi yang sangat penting
bagi perkembangan ilmu tafsir dan pemahaman Al-Qur’an pada masa ini.
Meski demikian, terlepas dari besarnya urgensi tafsir ilmi ini, beberapa
standar dan metode atau tahapan perlu diterapkan dalam penafsiran corak
ilmi, sehingga pemahaman ayat yang dihasilkan dengan pendekatan
ilmiah ini tidak menyimpang sebagaimana terjadi pada beberapa
penafsiran.

AD-DAKHIL DALAM KITAB TAFSIR JALALAIN

A. Pengertian Ad-dakhil
Fayed menjelaskan makna al-dakhil. Menurutnya, secara etimologi
term aldakhil bermakna antara lain:
a. Orang yang berfaliasi kepada yang bukan komunitasnya.
b. Tamu, disebut al-dakhil karena ia masuk ke rumah orang lain yang
dikunjunginya.
c. Kata serapan, karena ia berasal dari bahasa asing.
d. Orang asing yang datang untuk tujuan eksploitasi.32
Secara terminologis, Fayed mendefenisikan al-dakhil dengan
penafsiran Al-Qur’an yang tidak memiliki sumber, argumentasi dan data yang
valid dari agama.33 Dengan kata lain, ad-dakhil adalah penafsiran yang tidak
memiliki landasan yang valid dan ilmiah, baik dari al-Qur’an, hadis sahih,
pendapat sahabat dan tabi’in, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria
dan persyarat ijtihad.
Jadi ad-dakhil dalam tafsir yaitu suatu metode atau cara penafsiran
yang tidak memiliki sumber penetapannya dalam Islam, bertentangan dengan
ruh Al-Qur’an dan bertolak belakang dengan akal sehat, sehingga
memunculkan pemahaman yang tidak tetap terhadap Al-Qur’an.34

B. Macam-macam Ad-dakhil
1. Ad-Dakhil fi al-manqul (al-ma’tsur)
Dalam tafsir ini terdapat riwayat-riwayat yang shahih dan maudhu’.
Riwayat-riwayat yang sahih dapat diterima dan diamalkan kandungannya,
adapun riwayat-riwayat yang maudhu’ tidak dapat diterima dan diamalkan
kandungannya. Beberapa sumber ad-dakhil dalam bagian ini ialah ad-dakhil
melalui Hadits Maudhu’, ad-dakhil melalui Isra’iliyat, ad-dakhil yang
dinisbatkan kepada sahabat dengan cara dusta, ad-dakhil yang dinisbatkan
kepada tabi’in dengan cara dusta atau yang dinisbatkan kepada mursal tabi’in
tanpa dikuatkan dengan dalil lain.35
2. Ad-Dakhil Fi ra’yi
Keberadaan Ad-Dakhil tidak terlepaskan dari faktor-faktor yang
mengakibatkan kemunculan di dalam kajian tafsir, diantaranya ialah ingkar
kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang disertai dengan niat jelek, hanya mengambil
zahirnya nash saja tanpa melakukan kajian analisis, melakukan tahrif
(menyalahgunakan) terhadap teks Al-Qur’an, mencakupkan pada penjelasan
makna batinnya teks Al-Qur’an tanpa disertai dalil sebagai pendukung, keluar
dari tata bahasa dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang baku, menafsirkan AL-
Qur’an tanpa memenuhi persyaratan sebagai mufasir, dan memaksakan dalam

32
Lihat misalnya Ibrahim Mustafa, et.all., al-Mu’jam al-Wasit (Istanbul: Dar al-Da’wah, 1990),
hal. 275.
33
Fayed, al-Dakhil fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz 1, hal. 13
34
Abd al-Wahhab Ab d al-Wahhab Fayed, al-Dakhil fi Tafsir Alquran al-Karim (Kairo: Matba’ah
al-Hadarah al-‘Arabiyah, 1980),hal. 3.
35
Mujiburrahman, AL-DAKHIL DALAM RA’YI DAN MA’TSUR, vol.6, Ahsana media, 2020 hal.
83.
memadukan antara teks Al-Qur’an dan Hadits.36 Diantara ad-dakhil pada
bagian ini adalah ad-dakhil al-lughah, dan ad-dakhil ra’yi.37

C. Ad-Dakhil Dalam Kitab Tafsir Jalalain


Pada bagian ini, pemakalah akan menyajikan contoh ad-dakhil yg ada
dalam kitab tafsir Jalalain pada surat Al-Kahfi.

Surat Al-Kahfi Ayat 74

ۢ ٰ
ٍ ‫فَٱنطَلَقَا َحتَّ ٰ ٓى ِإ َذا لَقِيَا ُغلَ ًما فَقَتَلَ ۥهُ قَا َل َأقَت َْلتَ نَ ْفسًا زَ ِكيَّةً بِ َغي ِْر نَ ْف‬
‫س لَّقَ ْد ِجْئتَ َش ْيـًٔا نُّ ْكرًا‬
“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan
seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu
membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".

Dalam tafsirnya, Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan bahwa setelah mereka


turun dari perahu, mereka pun berjalan hingga keduanya bertemu dengan seorang
anak muda yang belum baligh dan sedang bermain dengan anak-anak lainnya. Ia
merupakan anak yang paling tampan diantara yang lainnya. Maka Khidhir
membunuhnya dengan cara menyembelihnya dengan pisau dalam posisi
berbaring, atau menarik kepalanya menggunakan tangannya, atau menghantamkan
kepalanya ke dinding. Ada beberapa pendapat terkait hal ini. Lafazh ini disebut
dengan huruf fa ’athaf karena pembunuhan dilakukan oleh Khidhir secara
langsung setelah ia menemui anak tersebut. Maka, Musa bertanya untuk kedua
kalinya: “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih?” Sementara makna dari (‫)إذا‬
ialah jiwa yang suci, yang belum mencapai usia taklif. Sedangkan qira’ah lain
menyebut zakiyyatan dengan tasydid dan alif, yaitu bukan karena membunuh jiwa
orang lain. Sedangkan (‫ )نكرا‬bisa dibaca nukran atau nukuran, artinya mungkar. 38
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, yang mana kitab ini dijadikan sebagai
sumber penafsiran dalam tafsir Jalalain, dalam menafsirkan ayat ini beliau tidak
memberikan kritik maupun komentar. Namun, Ibnu Katsir mengakhiri penafsiran
pada ayat ini dengan kata wallahu a’lam (hanya Allah yang mengetahui). Hal ini
berarti kebenaran kisah tersebut hanya diserahkan kepada Allah39
Sedangkan dalam tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Imam
Baidhawi, dalam menafsirkan ayat ini, beliau menjelaskan bahwasannya ketika
mereka turun dari kapal, mereka bertemu dengan anak tersebut, dikatakan bahwa
Khidhir membunuhnya dengan memelintir lehernya, dikatakan bahwa dia
membenturkan kepalanya ke tembok, dan dikatakan bahwa ia membunuh anak
tersebut dengan membaringkannya. Dia (Khidhir) membunuh anak tersebut
36
Jamal Musthafa, Usulu al-Dakhil fi Tafsiri ayi alTanzil, 27-28
37
Mujiburrahman, op.cit. hal. 87
38
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin asy-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, (Kairo: Dar al-Hadits, t. th),
hlm. 391.
39
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Arif Rahman Hakim, (Jawa Tengah: Insan Kamil,
2019), hlm. 501
setelah ia bertemu dan tanpa suatu pertimbangan serta alasan yang jelas.40 Imam
Baidhawi dalam tafsirannya tersebut tidak menyebutkan sanad dan periwayatan.
Sehingga tidak diketahui dengan jelas darimana riwayat tersebut berasal. Namun,
dari redaksi penafsirannya, dimana beliau menggunakan kata qila (dikatakan)
ketika menafsirkan peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Khidhir kepada
anak tersebut, maka dengan redaksi itu, bisa dipastikan bahwasannya Al-Baidhawi
menukil sebuah kisah israiliyyat41 dalam menafsirkan ayat ini.
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwasannya dalam tafsir ayat ini terdapat
ad-dakhil berupa riwayat israiliyyat yang bersumber dari tafsir al-Baidhawi. Yaitu
ketika menafsirkan peristiwa pembunuhan oleh Khidhir kepada anak tersebut,
dengan tanpa diikuti sumber periwayatan yang jelas dalam penukilannya. Ad-
Dakhil dalam tafsir ini terjadi pada era tabi’in yang dilatarbelakangi oleh faktor
politik dan kekuasaan.
Kemudian pada ayat ke 75-76 tidak ditemukan adanya ad-dakhil. Karena
Jalaluddin al-Mahalli menafsirkan ayat tersebut dengan berdasar pada hadits
shahih yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah SAW. Sehingga
tafsir pada ayat ini tergolong ke dalam jenis al-ashil

Surat Al-Kahfi Ayat 77

َ ُ‫َط َع َمٓا َأ ْهلَهَا فََأبَوْ ۟ا َأن ي‬


َّ‫ضيِّفُوهُ َما فَ َو َجدَا فِيهَا ِجدَارًا ي ُِري ُد َأن يَنقَض‬ ْ ‫فَٱنطَلَقَا َحتَّ ٰ ٓى ِإ َذٓا َأتَيَٓا َأ ْه َل قَرْ يَ ٍة ٱ ْست‬
‫َأ‬ ْ ‫َأ‬
‫فَ قَا َمهۥُ ۖ قَا َل لَوْ ِشْئتَ لَتَّخَذتَ َعلَ ْي ِه جْ رًا‬

Artinya: Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada


penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi
penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr
menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu".

Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan, bahwa keduanya berjalan hingga


sampai kepada penduduk suatu negeri yang bernama Antakya, lalu mereka berdua
meminta dijamu oleh penduduk itu, yaitu makanan layaknya jamuan untuk tamu.
Namun penduduk itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian, keduanya
menjumpai adanya dinding rumah dengan tinggi seratus hasta yang hampir roboh
di negeri itu. Dinding tersebut nyaris roboh karena sudah miring. Lalu Khidhir
menegakkannya menggunakan tangannya. Kemudian Musa berkata kepada
Khidhir, bahwasannya jika Khidhir mau, maka Khidhir dapat meminta imbalan
atas apa yang dilakukan itu karena mereka tidak memberikan makanan. Al-
Mahalli menambahkan penjelasan pada kata (‫)لتخذت‬, bahwa qira’ah lain ada yang

40
Imam Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Alamiah, 2003),
hlm. 288.
41
Muhammad Husain al-Zahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadits, 2005), hlm. 256.
membacanya dengan (‫ )الختذت‬yaitu upah karena penduduk negeri tidak mau
menjamu keduanya, padahal mereka memerlukan makanan.42
Dalam Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Adziim karya Imam Ibnu Katsir, beliau
menjelaskan bahwa setelah mereka menempuh perjalanan, mereka sampai pada
penduduk suatu negeri. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa negeri itu
adalah Al-Ailah. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa keduanya datang kepada
penduduk suatu kampung yang tercela, yaitu penduduknya kikir. Mereka tidak
mau menjamu keduanya, kemudian keduanya mendapati dinding yang hampir
roboh dalam negeri itu. Penggunaan kata iradah (hendak) bagi dinding bukanlah
menurut hakikatnya, akan tetapi ini adalah sebagai isti’arah (kiasan) saja, karena
dalam berbagai perbincangan, kata Al-Iradah berarti kecenderungan. Sedangkan
kata Al-Inqdhadh berarti roboh/jatuh. Kemudian, Khidhir menegakkan dinding
tersebut menggunakan tangannya serta menopangnya hingga tegak seperti semula.
Lalu Musa mengatakan kepada Khidhir, bahwa jika ia mau, maka ia bisa saja
meminta imbalan kepada penduduk negeri tersebut atas perbuatannya. Lalu
Khidhir mengatakan kepada Musa bahwa saat itulah waktu perpisahan mereka.
Karena sebagaimana yang dikatakan oleh Musa sendiri ketika peristiwa
pembunuhan yang dilakukan oleh Khidhir terhadap anak kecil waktu itu, bahwa
jika Musa bertanya kepada Khidhir tentang sesuatu hal setelahnya, maka Khidhir
tidak boleh memperkenankan Musa untuk mengikutinya lagi43
Imam Baidhawi dalam tafsirnya Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Takwil44
mengatakan bahwa negeri yang dimaksud dalam ayat ini ialah negeri Antakya,
dan dikatakan juga bahwa negeri itu merupakan Ablah (sebuah nama kota) di
Basrah, dan dikatakan juga negeri itu adalah Bajrawan Armenia.45 Namun, beliau
tidak menyertakan sumber sanad dalam riwayatnya serta tidak menyertakan
referensi darimana riwayat tersebut didapatkan. Hal itu menjadi sebuah ciri dari
penafsiran Baidhawi, dimana beliau memang menggunakan bahasa yang ringkas
dalam memaknai suatu masalah, serta tidak menggunakan catatan atau komentar
mengenai apa yang telah ia jelaskan dalam tafsirnya.46 Ketika menafsirkan ayat
dengan menyisipkan unsur israiliyyat, Baidhawi mengisyaratkan dengan
menggunakan kata qila (dikatakan) atau ruwiya (diriwayatkan). Menurut Al-
Zahabi, penggunaan kedua istilah ini menunjukkan bahwa Al-Baidhawi

42
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin asy-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, (Kairo: Dar al-Hadits, t. th),
hlm. 392
43
7Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Arif Rahman Hakim, (Jawa Tengah: Insan Kamil,
2019), hlm. 503.
44
Kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ditulis oleh Abi Sa’id Abdullah bin Umar bin
Muhammad Asy-Syairazi al-Baidhawi (atau sering dipanggil dengan Al-Baidhawi) di Beirut,
Lebanon. Beliau dilahirkan di Baida’ sebuah daerah yang berdekatan dengan Iran Selatan.
Sumber: syeevaulfa.blogspot.com., Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, diakses pada
tanggal 23 Desember 2020, pukul 14.07 WIB.
45
Imam Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Alamiah, 2003),
hlm. 289.
46
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hlm. 32.
mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah israiliyyat tersebut47
Terbukti dalam menafsirkan nama negeri dalam ayat ini, beliau menggunakan
kata qila sebagai isyarat terdapatnya unsur israiliyyat di dalamnya.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam ayat ini terdapat al-
dakhil berupa riwayat israiliyyat yang bersumber dari tafsir Baidhawi. Yaitu
ketika beliau menafsirkan nama negeri yang di dalamnya terdapat penduduk yang
tidak mau menjamu mereka itu bernama Antakya. Jalaluddin al-Malhalli
mengatakan bahwa dinding rumah yang hampir roboh tersebut memiliki tinggi
seratus hasta. Hal tersebut merupakan sebuah cerita israiliyyat yang tidak
diketahui asal-usulnya dan perawinya

Surat Al-Kahfi Ayat 82

َ ٰ ‫َوَأ َّما ْٱل ِجدَا ُر فَ َكانَ لِ ُغ ٰلَ َم ْي ِن يَتِي َم ْي ِن فِى ْٱل َم ِدينَ ِ=ة َو َكانَ تَحْ تَهۥُ َكن ٌز لَّهُ َما َو َكانَ َأبُوهُ َما‬
‫صلِحًا فََأ َرا َد َربُّكَ َأن يَ ْبلُغَٓا‬
َ ‫ْطع َّعلَ ْي ِه‬
‫ص ْبرًا‬ َ ِ‫َأ ُش َّدهُ َما َويَ ْست َْخ ِر َجا َكن َزهُ َما َرحْ َمةً ِّمن َّربِّكَ ۚ َو َما فَ َع ْلتُهۥُ ع َْن َأ ْم ِرى ۚ ٰ َذل‬
ِ ‫ك تَْأ ِوي ُل َما لَ ْم تَس‬

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu,
sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya”
Menurut al-Mahalli, dinding rumah yang hampir roboh tersebut
merupakan milik dari dua anak yatim yang di dalamnya tersimpan harta berupa
emas dan perak yang dipendam. Harta tersebut untuk mereka berdua dan ayahnya
yang saleh. Sehingga harta dan jiwa mereka berdua terjaga karena kesalehan ayah
mereka. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa, dan
keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsir Al-Qur’an al-Adziim, yang juga
menjadi sumber penafsiran dalam tafsir ini, mengatakan bahwa dinding rumah
yang sengaja diperbaiki itu merupakan milik dua anak yatim penduduk kota itu,
dimana di dalamnya terdapat harta benda simpanan untuk mereka. Ikrimah dan
Qatadah, serta yang lainnya mengatakan bahwasannya di bawah rumah tersebut
terdapat harta yang terpendam bagi kedua anak yatim itu. Demikianlah makna
lahiriah dari ayat tersebut, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Al-
Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa di dalamnya terdapat
perbendaharaan ilmu yang terpendam. Hal yang sama dikatakan oleh Sa’id bin
Jubair. Mujahid mengatakan bahwa yang terpendam itu berupa lembaran
lembaran yang bertuliskan ilmu pengetahuan. Di dalamnya terdapat sebuah hadis

47
Muhammad Husain az-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadits, 2005), hlm.
256.
yang marfu’ telah disebutkan hal yang menguatkan pendapat ini. Al-Hafizh48 Abu
Bakar Ahmad bin Amru bin Abdul Khaliq Al-Bazzar telah mengatakan di dalam
kitab musnadnya yang terkenal, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim
bin Sa’id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mundzir, telah
menceritakan kepada kami Al-Harits bin Abdullah Al-Yahshubi, dari Iyasy bin
Abbas Al-Qatbani, dari Abu Hurairah, dari Abu Dzar, ia merafa’kannya, bahwa
sesungguhnya harta terpendam yang difirmankan oleh Allah di dalam kitab-Nya
adalah berupa lempengan-lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut :
“Aku merasa heran terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada takdir,
mengapa dia bersusah payah. Dan aku heran terhadap orang yang ingat akan
neraka, mengapa dia tertawa. Dan aku merasa heran kepada orang yang ingat akan
mati, mengapa ia lalai. Tidak ada illah (sesembahan yang hak) selain Allah,
Muhammad utusan Allah.”49
Dalam kitab anwar Al-Tanzil Wa Asrar At-Takwil karya Baidhawi,
ditemukan penafsiran yang serupa terkait tafsir ayat ini. Baidhawi menjelaskan
bahwa dinding rumah yang hampir roboh tersebut merupakan kepunyaan dari dua
anak yatim yang dikatakan anak tersebut bernama Asram dan Sarim, dan nama
orang yang terbunuh (ayahnya) adalah Jaysur. Di dalam rumah tersebut terdapat
harta simpanan berupa emas dan perak untuk mereka. Namun, mereka tidak mau
mengeluarkan harta tersebut untuk zakat. Dan dikatakan bahwa sesungguhnya
harta yang terpendam yang difirmankan oleh Allah di dalam kitab-Nya adalah
berupa lempengan-lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut : “Aku
merasa heran terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada takdir,
mengapa dia bersusah payah. Dan aku heran terhadap orang yang ingat akan
neraka, mengapa dia tertawa. Dan aku merasa heran kepada orang yang ingat akan
mati, mengapa ia lalai. Tidak ada illah (sesembahan yang hak) selain Allah,
Muhammad utusan Allah.”50 Dalam tafsir ayat ini, Baidhawi terindikasi
menyisipkan riwayat israiliyyat di dalamnya. Terbukti dengan penggunaan kata
qila (dikatakan) dan ruwiya (diriwayatkan) namun tidak menyebutkan sanad di
dalamnya. Sehingga tidak diketahui darimana riwayat tersebut di dapatkan.
Dalam tafsir ayat tersebut terdapat ad-dakhil berupa riwayat israiliyyat
yang berasal dari tafsir Baidhawi. Yaitu ketika menafsirkan bahwa harta tersebut
ialah berupa emas dan perak yang dipendam. Ad-Dakhil dalam tafsir ini terjadi
pada era tabi’in yang dilatarbelakangi oleh faktor politik dan kekuasaan.

48

49
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Arif Rahman Hakim, (Jawa Tengah: Insan Kamil,
2019), hlm. 506
50
Imam Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Alamiah, 2003),
hlm. 290
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Secara terminologis, Fayed mendefenisikan ad-dakhil dengan


penafsiran al-Qur’an yang tidak memiliki sumber, argumentasi dan data yang
valid dari agama.51 Dengan kata lain, ad-dakhil adalah penafsiran yang tidak
memiliki landasan yang valid dan ilmiah, baik dari al-Qur’an, hadis sahih,
pendapat sahabat dan tabi’in, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria
dan persyarat ijtihad.
Jadi ad-dakhil dalam tafsir yaitu suatu metode atau cara penafsiran
yang tidak memiliki sumber penetapannya dalam islam, bertentangan dengan
ruh Al-Qur’an dan bertolak belakang dengan akal sehat, sehingga
memunculkan pemahaman yang tidak tetap terhadap Al-Qur’an
Macam-macam Ad-dakhil
Ad-Dakhil fi al-manqul (al-ma’tsur)
Dalam tafsir ini terdapat riwayat-riwayat yang shahih dan maudhu’.
Ad-Dakhil Fi ra’yi
Keberadaan Ad-Dakhil tidak terlepaskan dari faktor-faktor yang
mengakibatkan kemunculan di dalam kajian tafsir, diantaranya ialah ingkar
kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang disertai dengan niat jelek, hanya
mengambil zahirnya nash saja tanpa melakukan kajian analisis, melakukan
tahrif (menyalahgunakan) terhadap teks Al-Qur’an, mencakupkan pada
penjelasan makna batinnya teks Al-Qur’an tanpa disertai dalil sebagai
pendukung, keluar dari tata bahasa dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang
baku, menafsirkan AL-Qur’an tanpa memenuhi persyaratan sebagai mufasir,
dan memaksakan dalam memadukan antara teks Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam contoh ad-dakhil dalam tafsir Jalalain, dalam makalah ini ada
beberapa yg terdapat pada surat Al-Kahfi. Dalam contoh tersebut Ad-Dakhil
datang dari penafsiran yg berupa penafsiran dengan menggunakan israiliyat
yang bersandar pada sandaran atau riwayat yang belum jelas keshahihannya.

51
Fayed, al-Dakhil fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz 1, hal. 13

Anda mungkin juga menyukai